Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Published On: 19 April 2021Categories: Cerpen

Oleh : Dwi Kustari*

 

Kejadian yang ku alami pada tanggal 25 Desember 2018 masih kuingat dengan jelas sampai saat ini. Perjalanan dari Jogja menuju Semarang yang ku tempuh melalui Magelang yang diwarnai aroma mistis dan membawaku memasuki dunia yang tak kasat mata. Percaya atau tidak, namun peristiwa ini benar-benar terjadi.

Namaku Tari, umur sudah kepala empat. Aku lahir dan besar di Jogja. Tetapi sekarang aku menetap di Semarang bersama suami dan ketiga anakku. Akhir Desember 2018, kami sekeluarga berangkat ke Jogja untuk menengok orang tuaku sambil mengajak anak-anak berlibur. Pada hari Selasa sore, tanggal 25 Desember 2018, aku dan suamiku kembali ke Semarang, meninggalkan anak-anak di Jogja untuk menghabiskan masa libur sekolah sambil menemani Eyangnya. Kami berdua berangkat menuju Semarang lewat Magelang. Sampai Muntilan aku membuka aplikasi Google Maps di HP, memastikan kelancaran jalur yang akan kami lalui. Ternyata, maps memperlihatkan jalur utama berwarna merah di beberapa titik. Dengan pertimbangan hari masih terang, belum ada jam empat sore, maka saat sampai di pertigaan Pasar Mungkid, kami memutuskan belok kanan, mencoba jalur alternatif, lewat Candimulyo, Magelang. Rute yang kami pilih adalah jalur Candimulyo-Kopeng-Salatiga-Semarang.

Dengan berpedoman pada aplikasi Google Maps sebagai penunjuk arah, kami mulai berpetualang. Sepanjang jalan kulihat blok-blok sawah menjadi pemisah antar desa. Akhirnya kami tiba di pertigaan dengan tugu ditengahnya. Sesaat kulihat Maps mengarahkan kami untuk belok ke kiri. Tiba-tiba aplikasi tersebut mati, dan sesaat kemudian menyala lagi. Namun jalan yang harus kami lalui berubah arah menjadi belok kanan. Akhirnya suamiku mengarahkan mobilnya untuk berbelok kekanan. Apalagi kulihat di depan ada mobil merah dengan plat nomor luar kota juga menyusuri jalur yang sama dengan kami. Setelah beberapa saat berjalan, mobil di depan kami memutuskan menepi dan berhenti, seakan ragu untuk meneruskan perjalanan. Suamiku mengarahkan mobil kami untuk melewatinya. Dari spion kulihat mobil tersebut berbalik arah.

Kami terus melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui semakin menanjak, sepi dan semakin gelap. Mungkin karena rimbunnya pepohonan, Aku sedikit lega ketika di depan kami ada sebuah mobil pick up,berharap mobil tersebut juga akan menuju jalan utama. Tetapi kemudian mobil tersebut belok kanan, masuk halaman sebuah rumah. Suamiku melajukan mobilnya semakin cepat. Akhirnya kami sampai di jalan yang diapit areal persawahan. Jalan ini lebih ramai dibanding jalan sebelumnya. Tampak satu-dua motor yang melintas berpapasan maupun melewati kami. Hingga tibalah kami di sebuah perempatan. Aku pun melihat ke HPku, mengamati arah lurus yang ditunjukkan oleh Google Maps. Kulihat, jika lurus ke depan, ada semacam pemukiman penduduk. Tetapi bila belok ke kanan maupun ke kiri, sejauh mata memandang hanya tampak areal persawahan. Mobil melaju lurus, mengikuti petunjuk Google Maps, masuk ke pemukiman tersebut. Setelah melewati tanaman perdu yang seakan menjadi batas desa, reflek kepalaku menoleh ke kanan, aku terkejut melihat ada patung Semar yang berdiri dengan senyum dan pandangan yang misterius. Patung itu benar-benar mirip manusia dan tampak hidup. Tiba-tiba, bulu kudukku terasa merinding.

Kemudian aku melihat seorang laki-laki yang hanya mengenakan celana jins memanggul sebatang kayu di pundaknya. Lelaki tersebut seakan tidak melihat kehadiran kami, dan sibuk dengan aktivitasnya. Sepanjang jalan kulihat patung-patung dengan ukuran yang sesuai ukuran sesungguhnya berjajar rapi. Ada patung manusia, kereta, berbagai macam binatang. Tetapi hanya ada satu patung yang benar-benar membuatku heran. Sebuah patung kuda yang terlihat sangat mirip seperti kuda asli, seakan-akan kuda itu disihir menjadi patung. Kemudian sudut mataku menangkap ada seorang ibu dan anak perempuannya sedang duduk di teras rumah. Mereka hanya diam dengan tatapan kosong. Menatap lurus, seakan mobil kami tidak ada. Mendadak aku merasakan suasana yang dingin. Aku pun tersadar, hari sudah beranjak senja. Cahaya mulai temaram, tetapi tak ada satu pun rumah yang menyalakan penerangan. Sunyi. Hanya terdengar suara deru mobil yang kami naiki. Kemudian kulihat di kiri jalan ada bengkel, dengan seorang laki-laki bercelana pendek hitam sedang jongkok sedang bekerja. Aku kemudian menoleh kebelakang, dan ketika kembali melihat bengkel tersebut, aku tersentak kaget. Tak ada seorang pun disana. Bahkan ruang bengkel terlihat terbengkelai, seperti lama tidak dijamah manusia.

Mobil kami terus melaju melewati areal perkebunan yang luas, dengan banyak pohon besar. Tiba-tiba aku merasa melihat ada sepasang tangan raksasa, yang ingin meraih kami. Aku langsung mengucapkan istighfar, membaca doa dan ayat suci Al Qu’ran. Saat semakin dekat, tangan tersebut berubah menjadi dahan pohon besar yang berjajar di kanan kiri jalan, berbaris seperti prajurit penjaga. Di sebelah kanan jalan kulihat ada pagar tembok memanjang yang sangat bagus, seperti pagar istana, tetapi suasananya suram. Saat kuperhatikan dengan seksama, ternyata pagar tersebut adalah pagar yang mengelilingi areal pemakaman yang luas.

“Ta, ayo berdoa!”, perintah suamiku.

Tanpa bertanya, aku ikuti perintak suamiku meski dalam hati aku merasa heran. Sempat kulirik wajahnya menyiratkan kecemasan. Aku mencari lokasi kami di Google Maps, ternyata jalur Candimulyo-Pogalan. Kulihat rute yang menuju jalan raya Kopeng-Salatiga mengarah belok kiri, yang ternyata adalah jalan setapak untuk roda dua. Mobil kami putar balik dan pelan-pelan menelusuri jalan, mencari jalan kekiri yang bisa dilewati mobil. Tapi satu-satunya jalan kekiri adalah jalan setapak tadi. Mendadak kami kehilangan sinyal. Suamiku memutuskan memundurkan mobil dan berhenti di depan sebuah toko kelontong. Ia kemudian turun, dan bertanya pada penjaga toko, arah menuju jalan utama, serta minta ijin untuk ke toilet. Beberapa saat kemudian aku melihat suamiku bercakap-cakap dengan seorang bapak yang membeli bensin di toko tersebut.

“Ada apa, Mas?”, tanyaku pada suamiku saat dia sudah masuk mobil.

“Kata bapak itu, jalan setapak ke kiri memang mengarah ke jalan raya Kopeng-Salatiga. Tapi tidak bisa dilalui mobil, dan tanjakannya cukup curam, tanahnya mudah longsor”, jawab suamiku.

“Terus gimana?”

“Saran bapak itu supaya kita mengikuti jalan cor di depan yang kelihatan menanjak, tapi lebih aman”.

Kami menelusuri jalan dan memasuki permukiman. Ternyata, desa yang kami lintasi letaknya dekat dengan tempat wisata Top Selfie. Mobil berbelok ke kiri keluar dari desa, menyusuri jalan Ketep-Kopeng menuju jalan Kopeng-Salatiga, kemudian jalan Salatiga-Semarang. Sepanjang jalan kami berbagi cerita tentang apa yang kami lihat dan rasakan selama perjalanan kami. Ketika aku bercerita tentang desa dengan patung Semar, suamiku merasa bingung karena merasa tidak melihat patung yang aku maksud. Dia juga tidak melihat bahwa di desa tersebut berjajar patung-patung, ibu dan anak yang duduk di teras, maupun lelaki bercelana pendek. Tetapi suamiku merasakan hal yang aneh ketika kami melewati areal pemakaman. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di rumah dengan selamat.

Esok harinya ketika sampai kantor untuk bekerja, aku mencari temanku yang berasal dari Magelang untuk bertanya tentang desa Patung Semar. Namun kedua temanku mengatakan bahwa mereka tidak tahu ada desa dengan Patung Semar dan punya banyak patung. Setelah kejadian itu, tiap kali aku mendapat tugas ke Magelang, aku selalu bertanya tentang desa tersebut pada orang-orang Magelang. Tetapi semua mengatakan tidak tahu. Dua tahun lebih sudah berlalu, tetapi sampai sekarang keberadaan desa Patung Semar bagiku masih misterius. Bahkan saat menuliskan cerita ini, aku masih merasa bulu kudukku merinding. Rasa takut yang kembali menyeruak ketika mengingat kejadian waktu itu. Bagi orang Jawa, sosok Semar adalah tokoh mitos yang menjadi penghubung antara dunia manusia dengan dunia lain. Apalagi MMC atau Merapi Merbabu Complex, bagi sekelompok orang dikenal sebagai kawasan purba yang kental dengan aroma mistisnya. Benarkah saat itu aku sempat tersesat di desa gaib?

 
 

*) Penulis adalah Pengembang Teknologi Pembelajaran LPMP Provinsi Jawa Tengah