Oleh: Dr. Mampuono, M.Kom. (Strategi Tali Bambuapus Giri)
#menemubaling
#Seri kisah masa kecil
Saat-saat menjelang musim penghujan adalah saat yang ditunggu-tunggu semua orang. Orang di kampungku, Widuri, menyebut saat itu sebagai mangsa labuh. Hujan deras pertama di mangsa labuh yang mengguyur sawah dan ladang menyebabkan tanah-tanah keras dan bercelah ketika musim kering menjadi gembur. Apalagi jika tanah-tanah itu sudah dicangkul, ditebari biji, dicebloki bonggol, disiram, dirawat, dan disiangi, semua sumber makanan selama setahun akan segera muncul dari bumi. Padi, jagung, ketela, terung, tomat, cabai, deleg, gambas, waluh, bistru, semangka, dan kacang-kacangan adalah hasil bumi Widuri.
Di tahun 1978 ini penduduk kampung Widuri hampir semuanya bermata pencaharian sebagai petani. Ada sebagian yang menjadi pegawai negeri, tetapi jumlahnya sedikit sekali. Mereka hanya tiga orang, yaitu Lik Kasroh, Lik Kasrun, dan Lik Sadimin. Jadi, wajar jika hujan pertama adalah anugerah terindah paling dinanti.
Hujan adalah pertanda kesuburan. Tidak ada yang bisa menandingi kekuasaan Tuhan yang maha mengatur dalam hal ini. Mungkin kita bisa mencangkul tanah dan menyirami terus-menerus, tetapi kesuburan yang dimunculkan tidak akan seperti apa yang dikaruniakan oleh Tuhan. Hujan-hujan pertama di mangsa labuh itu ajaib! Air dari langit itu seperti membawa mantra sakti yang akan menghidupkan kembali apa-apa yang sudah mati.
Kami biasanya menyambut mangsa labuh dengan menanam jagung. Tanah-tanah ladang yang beberapa minggu sebelumnya sudah dicangkul dan dikoak segera ditanami. Dikoak artinya pada jarak jarak tertentu tanah dicangkul dengan kedalaman sekitar 20 cm. Begitu hujan deras pertama tiba, paginya semua berduyun-duyun pergi ke ladang.
“Mpu, kamu bawa ceblok ya. Kamu ambil di pojok, semende di dekat pawon. Kamu ambil juga boding yang terselip di otot-otot. Itu tadi cangkul dan sabit sudah dibawa kakak-kakak laki-lakimu. Kang Yo, Kang So, dan Kang To sudah berangkat duluan.” Pagi-pagi Pak’e sudah memberikan instruksi. Tanpa basa-basi aku langsung bergegas menindak lanjuti perintah dari pimpinan tertinggi keluarga kami.
Pak’e adalah lelaki tiga zaman. Jaman Belanda yang sulit, jaman Jepang yang kejam dan jaman kemerdekaan yang masih butuh banyak perjuangan. Beliau adalah pejuang tak dikenal yang sempat ditahan Belanda di Penjara benteng Ambarawa karena memukul utusan Belanda hingga pingsan. Pada saat jaman Jepang, sebelum terlibat aksi Pertempuran Lima Hari di Semarang, Bung Tomo, begitu Pak’e biasa dipanggil oleh sesama pejuang, juga sempat ditahan beberapa waktu di Tangsi Jepang yang ada di daerah Kabluk, Semarang Timur. Masalahnya sederhana, salah strategi mengungkapkan teriakan kemerdekaan. Dikira yang dihadapan adalah kaum pribumi ternyata di belakangnya bersembunyi tentara Jepang. Padahal dengan pedang keramatnya beliau beberapa hari sebelumnya sempat membobol beberapa gerbong ransum beras Jepang di stasiun Poncol masingmasing dengan sekali tebas. Tebasan pedang sakti dengan pengerahan ilmu kanuragan itu sangat membantu rakyat jelata yang menderita kelaparan.
Setelah kampung pertamanya di Tambak Dalem dan toko kainnya di daerah Bon Knap di Jalan Mataram Semarang dibakar Jepang, beliau lebih memilih menetap di Widuri. Bertani dan memulai kehidupan baru. Di situlah kami sembilan bersaudara dilahirkan. Dua orang kakak tertua kami tidak sempat mengenyam kehidupan lebih lama karena sakit yang saat itu sulit ditemukan obatnya. Seandainya mereka berdua masih hidup tentu keluarga kami sangat ramai. Kami semestinya memiliki 11 orang anggota keluarga.
“Mikuwati dan Nyukupi, kalian gendong biji jagung dan biji kacang lanjar yang ada di dunak itu. Juga kendi dan godogan ketela pohon yang ada di atas gledeg di samoingmeja pawon,” Pak’e melanjutkan instruksinya kepada kedua orang kakak wanitaku.
“Sarapannya dihabiskan dulu,” sambungnya karena melihat mereka berdua ternyata masih asik menikmati sega kering yang dibeli dari warung Yi Muri. Warung satu-satunya di ujung kampung itu sangat terkenal dengan menu sega kering yang lezatnya melegenda seantero Widuri.
“Nggih Pak,” jawab keduanya hampir bersamaan. Kedua kakaku ini memiliki nama yang tak ada duanya. Unik seperti namaku dan nama adikku. Pak’e memang ezpert kalau soal memberi nama penuh makna. Beliau selalu nenjalani laku tirakat saat kami masih di dalam kandungan. Beliau juga konon menciptakan nama dwngan filosofi yang mendalam.
“Ayo, ndang rekat. Selak ditunggu Pakmu,” kata Mak’e menyemangati Yu Mi dan Yu Pi sambil nderesi daun pisang klutuk yang dipanen kemarin sore. Hujan deras semalaman menyebabkan daun daun lebar itu kuyup karena diletakkan di emper omah pawon. Daun harus ditata berdiri sebelum dideresi. Hari ini make prei berjualan hasil bumi karena turut membantu semua anggota keluarga yang sedang bersiap menanam palawija di tegalan depan rumah yang luas.
“Ganjarono, ndak usah bawa apa-apa ya Nang. Kamu kan masih kecil. Kamu boleh di rumah saja sama Mak’e atau ikut menangkap belalang,” kata Pak’e lagi pada adikku mengatur tugas kami satu persatu.
“Nanti kalau ada burung jalak berjalan-jalan didekatmu ditangkap aja ya. Burungnya masih kecil. Belum keluar giginya,” kata Pak’e sambil tersenyum.
Adikku mengangguk angguk senang. Ia bersemangat sekali. “Atu elu Kang Apu ae. Atu dicekelte anuk jalak yoh?” serunya sambil melonjak-lonjak kegirangan. Kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih dia bilang seperti ini, “Aku ikut Kang Mampu saja. Nanti ditangkapkan burung jalak ya. ” Ganjar bicaranya masih cedal. Usianya lima tahun, tiga tahun di bawahku. Ia belum sekolah.
“Hahahaha… Iyo Njar, ngko golek manuk dan belalang yang banyak ya, ” jawabku menghiburnya dan seisi keluarga tertawa geli. Suara tawa kami tertimpa kerasnya suara mainan otok-otok yang dimainkan maju mundur oleh Ganjar. Mainan dari bambu yang ditempeli kertas minyak warna warni dan bersuara nyaring itu dibelikan Mak’e pada saat lagan melek pasiang tetangga yang akan punya gawe. Orang paling kaya itu nanggap wayang dan tledek dua hari dua malam di kampung Widuri Selatan
Ganjar tidak tahu bahwa sebenarnya ia di-prank oleh Pak’e. Sewaktu masih seusianya aku juga pernah mendapatkan ucapan seperti itu. Dengan bersemangat aku segera mengejar burung jalak hitam yang banyak berkeliaran di halaman rumah. Tetapi ternyata tidak pernah berhasil. Aku pikir karena burung jalak itu belum keluar giginya maka mudah ditangkap. Ternyata burung jalak yang masih muda ataupun sudah tua memang tidak pernah keluar giginya. Dan burung jalak yang berani berjalan-jalan di tanah berdekat-dekat dengan manusia itu bukan burung anakan lagi. Burung itu sudah dewasa dan pandai terbang.
Kami membawa beberapa peralatan seperti ceblok, sabit, cangkul, dan bakul tempat benih. Ceblok adalah alat utama kami. Batang kayu dengan diameter kira-kira 5 cm dan panjang sekitar 1,5 meter itu diberi nama sesuai fungsinya. Ujung bagian bawahnya lancip dsedangkan bagian atasnya tumpul. Fungsi ceblok adalah untuk membuka tanah dengan cara nyeblok atau menancapkanya. Hasil tangcapan dengan kedalaman sekitar 3 sampai 5 cm tersebut kemudian diisi dengan butir-butir jagung.
Tanah yang lembab pada malam hari akan segera menumbuhkan biji-biji jagung yang kami tanam. Dalam waktu tiga setengah bulan berikutnya jagung-jagung itu sudah besar dan siap dipanen. Sebagian disimpan di atas para-para sebagai bibit untuk ditanam pada mangsa labuh tahun depan. Sebagian lagi dikonsumsi dan dijual ke pasar.
Di mangsa labuh tentu yang tumbuh tidak hanya jagung. Tuhan menciptakan berbagai macam vegetasi yang juga tumbuh subur tanpa perlu ditanam. Rumput-rumput liar yang selama musim kering seperti sudah punah, dengan datangnya mangsa labuh, semuanya menghijau kembali. Ada rumput teki, alang-alang, lamuran, daun apa-apa, lingi, glagah, tomplek, tembelekan, patik emas, krokot, ciplukan, dan lain-lain. Semua bangkit bersama, menghias tanah pusaka sehingga pemandangan yang ijo royo-royo tersebar dimana-mana.
Menjadi suburnya tanah menyebabkan suburnya tanaman. Suburnya tanaman juga menjadi sebab perkembang biakan berbagai macam binatang yang dipiara oleh alam. Dari binatang kecil dengan kaki banyak sampai binatang besar berkaki dua dan empat semuanya bergembira menyambut datangnya masa kesuburan. Binatang-binatang herbivora yang mengandalkan tumbuhan sebagai makanannya dengan sendirinya akan berkembang biak dengan cepat ketika persediaan makanan berlimpah ruah.
Berlimpahnya jumlah tanaman menyebabkan berlimpahnya jumlah binatang herbivora. Berlimpahnya jumlah binatang pemakan tumbuhan ini juga menyebabkan berlimpahnya jumlah binatang karnivora atau pemakan daging. Tumbuhan dan binatang-binatang itu saling berhubungan sebagai rantai makanan yang tidak terputus. Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa mengaturnya sedemikian rupa sehingga keseimbangan alam di bumi terjaga.
Keberlimpahan itu ditandai dengan berbagai fenomena alam. Semua seolah berpesta menyambut munculnya kembali berbagai sumber penghidupan yang melimpah ruah. Bunyi musang yang kasmaran, blacan yang menjerit bersenda gurau, garangan yang berkejaran, biawak yang saling buru, burung bubut dan srigunting yang berebut mangsa, atau belalang ecek-ecek yang menjerit-jerit tidak pandang siang ataupun malam hari. Semuanya menandai kebahagiaan akan kembali tumbuh suburnya alam. Pendeknya, semua binatang liar, dari yang melata, melompat, maupun terbang di angkasa semuanya mengalami kesuburan di saat bahan makanan mereka tersedia berlimpah di alam. Tak terkecuali serangga-serangga kecil yang hidup di alam bebas, seperti jangkrik misalnya.
Bagiku dan teman-teman sekampung, mangsa labuh merupakan musim menanam jagung sekaligus juga berarti musim jangkrik. Jangkrik-jangkrik itu membuat lubang di sekitar tanaman jagung yang baru tumbuh. Binatang mengerik itu biasanya memanfaatkan gundukan tanah bekas cangkulan yang runtuh oleh air hujan untuk lubang hunian. Tanah cangkulan itu memiliki banyak celah di dalamnya tetapi dari luar terlihat tertutup rapat. Yang terlihat hanya lubang kecil dengan diameter kurang lebih 2 centi yang menjadi jalan keluar masuk penghuninya.
Musim jangkrik selalu mendatangkan keasyikan tersendiri. Banyak pengalaman dari yang paling lucu sampai menakutkan yang kami alami ketika berhubungan dengan jangkrik. Kami mencari jangkrik tidak hanya siang hari. Bahkan di malam hari ketika jangkrik-jangkrik itu sedang bersuara kami akan mendatanginya dengan obor menyala untuk mengetahui lubangnya, lalu menangkapnya.
Jangkrik banyak sekali macamnya. Yang paling penting, harus dibedakan antara jangkrik jantan dan betina. Jangkrik jantan ditandai dengan sayap punggung yang berlekuk-lekuk, keras, dan sedikit menggembung. Sedangkan jangkrik betina sayap punggungnya rata, tetapi pada bagian belakang tubuhnya ada alat yang bentuknya seperti jarum. Panjangnya hampir 3/4 panjang tubuhnya. Secara keseluruhan penampilan jangkrik jantan lebih indah daripada yang betina. Jangkrik jantan juga bisa membunyikan sayapnya sedangkan jangkrik betina tidak.
Jenis-jenis jangkrik juga diberi nama yang berbeda-beda. Nama-nama jangkrik sudah dari sananya begitu. Aku menduga sebagian nama itu dimiripkan dengan ciri khasnya, misalnya warna, bentuk tubuh, atau bunyinya. Contohnya jangkrik kaji. Warna kepalanya merah menyala, berhias sedikit warna kuning agak putih terang seperti peci haji. Jangkrik jekethet itu bunyinya memang mirip kata “jeketit… jeketit”. Jangkrik ngerik atau aduan juga karena bunyi khas “krik..krik…” dan sifatnya yang mudah diadu. Lalu jangkrik gangsir bunyinya seperti “siiir… siirr” dan seterusnya.
Beberapa jangkrik yang sering aku temui memiliki nama yang berbeda-beda. Yang pertama ada jangkrik kaji yang kepalanya persis kepala luwing atau kaki seribu. Ukuran terbesar jangkrik ini bisa mencapai panjang tubuh 3,5 cm. Setahuku semua orang jijik dengan jangkrik jenis ini. Akibatnya jika kebetulan ada yang sedang mencari jangkrik dan menyasar bertemu jenis jangkrik ini biasanya sumpah serapah yang keluar dari bibir si pencari jangkrik. Mereka menuduh jangkrik kaji iti penipu, karena suaranya sangat mirip jangkrik aduan tetapi setelah liangnya dibongkar yang keluar ternyata jangkrik yang penampilannya menjijikkan.
Ada juga jangkrik lupa. Jangkrik jenis ini biasanya tinggal di celah-celah papan rumah. Ukurannya kecil-kecil tetapi antenanya sangat panjang. Panjang tubuhnya hanya sekitar 1 cm. Bunyinya cukup nyaring, sangat mirip bunyi jangkrik aduan. Pencari jangkrik juga sering terkecoh oleh bunyi jangkrik ini. Hobinya makan sisa nasi atau sisa-sisa makanan lain yang ada di meja makan di rumahku. Jika sedang berbunyi di pojok-pojok rumah dan mengerik, aku kadang juga salah mengira bahwa jangkrik itu adalah jenis jangkrik aduan yang juga biasa dinikmati bunyinya.
Selain itu ada jangkrik jeliring yang hobinya terbang mengitari lampu-lampu penerang. Ukuran tubuh jangkrik jenis ini bisa mencapai 2,5 cm. Jangkrik ini sayap dalamnya lebih panjang dan lebar dari jenis lain. Suaranya cukup keras tetapi tidak terlalu diminati. Biasanya untuk pakan burung.
Ada juga jangkrik jekethet yang bentuk badannya lebih pendek tapi kekar. Panjang tubuhnya dari kepala hingga ekor hanya sekitar 1,5 cm. Ukuran kepalanya yang cukup besar sering menipu. Para pencari jangkrik saat melihatnya mengintip dari lubangnya akan mengira itu jenis jangkrik aduan. Sayap luarnya kokoh dan keras. Paha pada bagian kaki lompatnya besar dan kuat.
Ada lagi yang namanya jangkrik gangsir. Jangkrik ini hobinya tinggal di lapangan. Lubang huniannya ditandai dengan sejumlah material galian tanah yang mengelilinginya sehingga menjadi gundukan yang cukup tinggi. Ukurannya paling besar diantara jangkrik yang ada di daerahku. Penampilannya seperti jangkrik kaji, tetapi besar dan panjang tubuhnya bisa dua kali lipatnya. Panjang tubuhnya bisa sampai 5 atau 6 centi. Beberapa orang kampung sering menangkapnya dan menjadikannya sebagai lauk.
Di antara jangkrik-jangkrik yang hidup di kampung Widuri, yang paling dicari adalah jangkrik aduan atau jangkrik ngerik. Secara penampilan, jangkrik jenis ini memang paling keren. Ukuran tubuh yang paling besar bisa mencapai 3,5 senti. Bunyi jangkrik ini sangat keras, saking kerasnya bahkan bisa untuk mengusir tikus. Selain itu jangkrik ini mudah dijadikan aduan. Rahang depannya yang sangat lebar dan kuat menjadi senjata andalan ketika menghadapi lawan. Makanan utamanya adalah rumput krokot. Tetapi bayam dan singkong dia juga tidak menolak.
Jangkrik ini memang jenis pemarah, makanya dijadikan jangkrik aduan. Dikili-kili sedikit saja dia akan langsung menyerbu maju. Rahangnya yang kokoh dengan taring-taring yang tajam segera terbuka lebar. Mereka bertarung dengan saling adu ketajaman taring dan kekuatan rahang. Sayap kerasnya akan ikut terangkat dan menimbulkan bunyi “krik…krik..” Biasanya alat untuk mengkili mulut jangkrik ini adalah bunga rumput teki. Sekali bunga itu dipilin didepannya, serbuan demi serbuan terus dilakukan jangkrik aduan itu.
Berdasarkan warnanya jangkrik jenis ini diberi nama-nama yang berbeda. Ada jangkrik jerabang yang warnanya merah seperti api. Lalu jangkrik jeragem yang merupakan perpaduan antara merah dan hitam. Terakhir adalah jaliteng, yaitu jenis jangkrik ini yang warnanya hitam legam.
Jangkrik-jangkrik jantan jenis ini jika dikumpulkan akan saling berkelahi. Tidak pandang bulu, mereka dari warna yang mana saja jika berhadapan muka akan langsung beradu taring. Sepanjang ada lawan untuk bertarung mereka akan terus saling serangsampai salah satu kalah dan lari terbirit-birit.
Itulah mengapa, anak-anak di kampung Widuri jika musim jangkrik tiba suka berkumpul menghadapi ember bersama-sama. Mereka bersorak sorai mengadu jagoannya masing-masing. Jangkrik-jangkrik jantan itu juga memiliki karakter seperti manusia. Ada yang kecil tapi pemberani. Ada juga yang besar tetapi penakut. Biasanya yang pemberani akan bertarung mati-matian. Walaupun sudah terluka, jangkrik nekat itu akan maju terus.
Ada juga yang nyalinya sedang-sedang saja. Begitu bertarung dan merasakan sakitnya derita pertempuran, jangkrik-jangkrik itu memilih menyingkir. Namun, anak-anak yang mengadu mereka tidak kurang akal. Mereka segera mencari rambut panjang untuk menjantur jangkrik-jangkrik itu. Begitu tubuh jangkrik itu dibelit dengan rambut dan diputar-putar di udara, sayapnya segera berkembang. Sambil berputar di udara jangkrik-jangkrik itu seperti terbang.
Dibutuhkan waktu 1 sampai 2 menit untuk memutar mutar jangkrik itu di udara. Karena diputar-putar, jangkrik-jangkrik itu akan mabuk dan lupa diri. Dari semula mundur karena kalah bertarung, jangkrik-jangkrik itu menjadi lebih berani. Tanpa rasa takut, jangkrik-jangkrik itu terus maju merangsek lawannya setelah dijantur.
Malam itu aku sudah berjanji untuk bertemu dengan Nur Kaji dan adiknya Dikatul. Mereka itu kakak adik tetapi sangat akur. Usianya hampir sepantaran. Tapi terlihat sekali kakaknya kelebihan gizi sedangkan adiknya kekurangan gizi. Kakaknya longgor, adiknya kontet. Kami berencana menangkap jangkrik aduan.
Siangnya sepulang sekolah kami sudah mempersiapkan alat-alatnya. Kami membuat tiga buah oncor atau obor bambu dan beberapa _duduk_ atau linggis dari bahan kayu. Beberapa pelok atau biji mangga golek dan kopyor kering yang sudah dihilangkan bagian dalamnya juga kami siapkan.
Pada mangsa labuh, sekitar Oktober-November itu musim mangga biasanya sudah mulai berakhir. Biji buah mangga yang berserakan dan sudah mengering biasanya kami kumpulkan. Jika isi bagian dalamnya yang merupakan bakal tunas kami ambil yang tersisa adalah kulitnya yang liat. Dengan membuka celah diantara Tangkuban kulitnya kita bisa memasukkan seekor jangkrik tangkapan ke dalamnya. Sebuah karet gelang cukup untuk mengikat pelok itu agar tertutup dan jangkriknya tidak melarikan diri.
Pelok itu hanya tempat sementara sebelum jangkrik dipindahkan ke dalam kanji. Kanji adalah tempat jangkrik yang terbuat dari susunan bambu-bambu kecil yang dibuat petak-petak seperti kandang. Masing-masing petak disediakan untuk seekor jangkrik. Makanan yang berupa daun krokot atau singkong disediakan di dalam petak-petak itu. Petak-petak itu dibuat supaya jangkrik-jangkrik itu tidak saling bercampur dan bertarung.
Malam itu selepas mengaji kami sudah bertemu di jalan di depan rumahku. Di bawah pohon kelapa yang biasa digunakan untuk memberondong petasan pada saat lebaran itu kami berembug. Kami sepakat untuk mencari jangkrik aduan di ladang kampung sebelah. Oncor-oncor sudah kami hidupkan. Api dengan cahaya berwarna kekuning-kuningan meliuk-liuk ditiup angin malam. Sebagian cahayanya menerangi muka kami. Di Belakang kami muncul bayangan bayangan raksasa berwarna hitam.
“Ayo berangkat, ” ajak Nurkaji.
“Jadi kita mencari jangkrik di ladangnya Lik Sumiah?” tanyaku memastikan.
“Kita lihat saja nanti.” Jawab Nurkaji penuh teka-teki.
“Ladang Lik Sumiah biasanya ada yang menjaga. Kita harus memastikan semuanya aman,” kata Dikatul menimpali.
Aku paling tidak suka kalau sedang mencari jangkrik lalu ketahuan yang punya ladang. Mereka akan berteriak-teriak dan memburu kami sambil mengacung-acungkan sabit. Kami akan segera lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Mungkin bagi mereka kami dikenal sebagai anak-anak nakal. Padahal kami adalah anak-anak baik yang sedang bertualang. Kami sudah berjanji supaya tidak menginjak-injak jagung yang sedang tumbuh pada saat mencari jangkrik. Jika ada tunas yang rusak, itu biasanya justru perbuatan jangkrik.
Kantong celana kolor Nurkaji tampak penuh. Selain pelok yang dikantongi, Nurkaji juga membawa beberapa gendul pring. Itu adalah tabung yang terbuat dari potongan bambu yang diberi tutup serabut kelapa. Dia memang paling ahli menangkap jangkrik. Kira-kira ada 10 tempat jangkrik yang terbuat dari tabung bambu itu dia bawa. Dia dibantu oleh Dikatul adiknya.
Kami segera berjalan beriringan melewati jalan kampung yang gelap gulita. Lampu-lampu gembreng dan petromaks yang dinyalakan di rumah-rumah cahayanya tidak sanggup mencapai jalanan yang kami lewati. Rumah Lik Siyah yang lokasinya di ujung kampung malah sudah gelap gulita. Mungkin penghuninya pergi ke kampung Kuwaron. Perempuan tua itu biasa menginap di rumah anaknya di Kuwaron. Kampung Kuwaron hanya berjarak dua kilometer dari Widuri, kampung kami.
Tidak sampai 20 menit kami berjalan, kami sudah hampir sampai di lokasi sasaran. Sebuah ladang luas terhampar di hadapan kami. Tunas-tunas jagung muda bayangannya tampak menari-nari terkena sorotan cahaya oncor kami. Kami berhenti sejenak untuk mengatur strategi.
“Di. Kamu coba lihat gubug di depan itu,” perintah Nurkaji. Pada jarak 20 meter memang ada gubuk yang dijadikan tempat istirahat penjaga ladang. Dikatul harus memastikan gubug itu tidak ada penghuninya.
Lik Sumiah terkenal galak, tetapi jangkrik yang ada di ladangnya terkenal garang-garang dan jago di tempat aduan. Kami berencana bukan hanya mencari jangkrik di ladang tetapi juga di pematang. Konon jangkrik yang bisa membuat lobang hunian di pematang adalah jangkrik yang tangguh. Pematang tanahnya lebih liat daripada ladang yang sudah dicangkul gembur. Jadi jangkrik yang bisa membuat lubang di situ dipastikan memiliki energi lebih.
Di gubug itu tidak ada tanda kehidupan. Tidak ada suara radio transistor ataupun cahaya lampu teplok. Meski begitu yang diperintah tampak bergeming. Dikatul tampaknya takut kalau sampai ketahuan maksudnya. Jika sampai diinterogasi oleh Lik Sumiah dan dilaporkan kepada Ayahnya, bisa habis mereka.
“Ayo sana jalan. Kamu kami awasi dari sini,” kata Nurkaji memerintah. Dikatul mengendap endap memdekati gubug. Wajahnya celingukan kayak bandit mau menyatroni rumah seorang juragan. Kami geli sendiri mengawasinya dari jauh. Setelah dipastikan tidak ada satupun penjaga di gubug itu Dikatul segera berteriak tertahan,“Hoi. Aman!”
Kami segera bergerak maju memasuki “medan pertempuran”. Suasana sangat riuh di ladang yang sangat luas dan jauh dari mana-mana itu. Kami siap berpencar mencari sumber suara jangkrik yang paling dekat dengan kami. Suara jangkrik yang bersahut-sahutan banyak sekali cukup membingungkan juga.
Jujur, malam itu sebenarnya aku merasa sangat bimbang. Aku tahu mencari jangkrik di ladang Lik Sumiah yang baru ditanami jagung adalah sebuah pelanggaran. Namun, begitu banyak jangkrik yang melimpah di sana. Kami membutuhkan jangkrik itu. Kami tahu risiko yang akan dihadapi jika ketahuan, tapi rasa penasaran dan keinginan untuk mencapai tujuan kami begitu besar.
Di sisi lain, kami juga tahu bahwa jika sampai menginjak-injak tanaman yang baru ditanam, itu adalah sebuah kesalahan besar. Kami tentu tidak ingin merusak tanaman yang telah dirawat dengan susah payah oleh pemilik ladang. Kami tahu mereka pasti akan marah jika tahu kami melakukan sesuatu yang merusak tanaman itu. Oleh karenanya kami tidak ingin menyebabkan kekecewaan pada mereka, tapi aku juga tidak bisa menahan hasrat kami untuk mencari jangkrik.
Mula mula aku merasa tertekan dengan dilema ini. Aku tidak tahu harus memilih yang mana. Aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Aku merasa kesal dan frustasi dengan diriku sendiri. Aku merasa takut jika aku salah memilih, aku akan menyesalinya nanti.
Tapi aku tahu, kami harus menyelesaikan semuanya ini dengan bijak. Ambil ikannya, tapi jangan sampai membuat airnya keruh! Kami perlu berpikir secara matang dan mencari solusi terbaik. Kami tidak boleh mengecewakan orang tua kami , tapi aku juga harus bisa mencapai tujuan kami. Kami harus menemukan cara untuk memenuhi hasrat kami tanpa merusak tanaman yang baru ditanam itu.
Aku merasa terjebak beberapa waktu di dalam dilema itu. Tetapi aku tahu, aku harus mengambil keputusan secepatnya. Aku berhenti sejenak di pematang. Nurkaji dan Dikatul yang sudah melangkah masuk dan berdiri di tepian ladang ikut berhenti. Wajah mereka bertanya tanya di bawah cahaya oncor yang melenggak lenggok. Mereka tahu aku masih ragu-ragu.
“Kenapa Lik Mampu? Kok berhenti?” tanya mereka berdua sambil mendekatiku.
Aku diam saja. Aku berharap bisa menemukan jalan keluar dari konflik batin ini. Aku berharap bisa menemukan cara untuk memuaskan keinginan dan mencapai tujuanku tanpa merusak apapun di sekitar ku. Aku perlu mencari solusi terbaik, dan aku tidak akan berhenti mencari sampai menemukannya.
“Sik Di, Nur.” kataku sambil berpikir keras. “MIsalnya kita tidak usah masuk ke ladang bagaimana?” tanyaku pada mereka.
“Terus?” bersamaan mereka bertanya.
“Mosok sudah kepalang basah begini kita mau pulang?” protes Nurkaji.
“Iya. Tiwas kami membawa bawa oncor sama wadah jangkrik banyak banyak. Jebule Lik Mampu apuci wae,” kata Dikatul kecewa. “Bubar Pakde. Bubar!” katanya sambil balik kanan. Langkahnya akan diikuti Nurkaji yang lengannya segera aku pegang.
“Tunggu sebentar!” kataku.
“Tunggu apa lagi Lik. Yuh pulang saja,” Dikatul yang terlanjur kecewa berniat benar benar meninggalkan tempat. Aku segera melompat mencegahnya. Kuhadang jalannya dan ia kuberi isyarat untuk berembug dulu.
“KIta berembug dulu. Jangan nesu begitu,” kataku. “Begini loh. KIta tetap mencari jangkrik tapi yang kita cari adalah jangkrik yang hebat dan kuat,” kataku melanjutkan.
“Tenane Lik?” sambil bertanya Dikatul matanya berbinar binar.
“Dengerin dulu Di,” kata Nurkaji. Dikatul mengangguk angguk.
Akhirnya kami sepakat bahwa kami harus mencari jangkrik istimewa. Jangkrik yang suara kerikannya banding dan kalau di gelanggang aduan selalu menang. Jangkrik yang kami butuhkan adalah yang bertubuh kuat, berbadan besar dan atletis, sekaligus pemberani. Jangkrik-jangkrik itu biasanya membuat liang di pematang. Jadi kami memutuskan untuk cukup bergerak di pematang saja dan tidak masuk ke ladang Lik Sumiah. Jangkrik yang hebat kami akan dapatkan, tetapi kami juga tidak akan membuat kesalahan dengan menyebabkan kerusakan tanaman jagung di ladang. Kami bertiga setuju.
Misi segara dijalankan. Kami kembali menyebar. Mencari sumber suara jangkrik yang bertebaran di pematang. Kami tidak lagi menghiraukan suara jangkrik yang ada di tengah ladang. Dua orang temanku itu lebih suka memilih jangkrik jerabang dan jaliteng. Sedangkan aku lebih suka jragem. Namun tentu saja kami tidak bisa memilih pada saat menangkap jangkrik. Masing-masing tergantung rezekinya. Rezeki jangkrik adalah ditangkap oleh siapa. Rezeki kami adalah menangkap jangkrik yang mana.
Malam semakin larut. Aku sudah mendapatkan beberapa ekor jangkrik. Tetapi ukurannya belum memuaskanku. Ada seekor jangkrik dengan suara keras dan ukuran tubuhnya besar. Pada saat liangnya aku bongkar di dalamnya banyak jangkrik betinanya. Rupanya itu adalah jangkrik jerabang jenis Don Juan. Sayangnya jangkrik itu sudah tua. Hal itu bisa dilihat dari tumbuhnya rambut di bagian belakang tubuhnya yang banyak sekali. Selain itu, si tua yang playboy ternyata hanya punya satu kaki. Bagi kami, jangkrik cacat, walau sekeren apapun, tidak akan pernah menarik hati kami. Sebesar apapun ukurannya dalam pertarungan hampir pasti tidak akan pernah menang.
Aku bergerak lagi, kutinggalkan Don Juan tua itu. Mengendap-endap menuju suara jangkrik di tengah tegalan yang bunyinya paling nyaring. Dua temanku aku beri isyarat supaya menyingkir karena aku yang mendeteksi bunyi jangkrik itu lebih dahulu. Keduanya menyingkir meski sambil menggerutu.
Langkahku kuatur sehati-hati mungkin, sebab suara berisik sedikit saja bisa mengagetkan jangkrik itu. Jika sampai bunyi kerikannya lenyap, alamat gagal total dan sia-sia sudah usaha pencarianku. Satu-satunya navigator dimana kakiku melangkah menuju lubang persembunyian jeragem yang aku harapkan itu adalah suara kerikannya yang “banding” itu.
Sebuah gundukan yang bersebelahan dengan tunas tanaman tomplek yang mulai menghijau menjadi fokus perhatianku. Suara kerikan itu terdengar keras sekali dari baliknya. Rupanya itu bukan gundukan hasil cangkulan. Gundukan itu muncul alami karena sebelumnya tempat itu merupakan tempat tumbuh pohon jati yang sudah mati.
Itu artinya jangkrik yang membuat lubang di dalamnya kekuatannya lebih besar dari sekedar jangkrik yang membuat lubang di pematang. Jangkrik itu bekerja dua kali lebih keras pastinya. Melobangi tanah pematang yang keras sekaligus menundukkan liatnya tanah yang bercampur batu di sekitar tunggakan pohon jati.
Aku melangkah sedikit memutar untuk memastikan lubang hunian di mana si jangkrik sedang pamer suara kerikannya. Sebuah lobang yang cukup besar nampak menganga di sisi gundukan. Begitu sinar obor mengenai lubang selebar lima sentimeter itu, suara kerikan yang keras itu seketika berhenti.
“Jeragem!” sorakku di dalam hati. Sepintas lalu tampak kepala jangkrik yang besar dengan punggung yang kokoh menyelinap ke dalam lubang. Rupanya menyadari adanya bahaya mengintai, jangkrik itu segera diam dan beranjak ke celah yang lebih dalam.
“Aha…mau kemana kamu nak…?!” bisikku sambil menyiapkan kayu penggali. Oncor segera aku tancapkan di sebelah gundukan dan aku mulai menggali. Perlahan namun pasti aku tusukkan ujung kayu penggali itu ke sisi kanan lubang. Dengan sekali ungkit terbukalah bagian dalam rumah sang jeragem.
“Ssshhhhh….!!” berbarengan dengan terbukanya tanah itu tiba-tiba terdengar bunyi mendesis. Tempat di hadapanku tanpa seekor ular dumung irus besar berwarna hitam. Ular jenis kobra itu menegakkan lehernya yang bergambar pola seperti tato berwarna merah kecoklatan.. Jeragem yang aku cari itu sudah tidak ada lagi, sebagai gantinya seekor cobra siap mengejar dan menyerangku.
“JANGKRIK TUNGGOOOON…!!!” Tanpa pikir panjang aku berlari sambil berteriak ketakutan. Aku tidak peduli dengan tempat jangkrik tangkapanku, oncor dan duduk yang aku pegang. Semuanya kutinggalkan. Melihat aku berlari ketakutan, dua temanku tanpa pikir panjang terbirit-birit mengikuti aku yang mengambil langkah seribu.
Kata tunggon adalah kata yang menyeramkan bagi kami. Maka kata itulah yang aku teriakkan setelah melihat jangkrik berubah menjadi ular kobra. Setelah merasa aman aku berhenti. Aku masih tersengal-sengal ketika semerbak bau pesing menyeruak. Rupanya ketakutan Dikatul lebih hebat dari ketakutanku. Karena saking takutnya tidak terasa celana pendek Dikatul basah. Dia terkencing-kencing di celana saat berlari sebelumnya. Kami pulang ke rumah masih dalam kondisi ketakutan dan ngeri dengan pengalaman malam itu. Kesialan kami tidak hanya berhenti sampai di situ. Kami harus merelakan kehilangan tempat jangkrik tangkapan beserta isinya, oncor, dan sandal japit kami.
Sejak saat itu kami memilih mencari jangkrik di siang hari saja. Kami mencarinya juga berkelompok saling berdekatan. Kami kapok jika sampai bertemu dengan jangkrik yang bisa berubah menjadi ular kobra lagi.
__________________________________
Draf Ditulis di Sampangan dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga, menggunakan aplikasi Batu Asimtut (Baca Tulis Aslinya Simak Tutur).
DAFTAR ISTILAH
Belalang ecek-ecek = sejenis belalang dengan suara berisisk yang keras sekali
Boding = sejenis golok
Ceblok = kayu unyuk menancap
deleg, gambas, waluh, bistru = namanama berbagai jenis labu
Dicebloki bonggol = di tanami ketela pohon, dideresi = dipisahkan lembar daun dari tangkainya
Dikoak = di buat cekungan, Dunak = wadah terbuat dari anyaman bambu
Gledeg = semacam almari kabinet kayu
Jeliring, jekethet, gangsir, lupa, kaji, ngerik = jenis jangkrik
Kacang lanjar = kacang panjang
Kang = panggilan untuk kakak lakilaki
Kendi = tempat air minum dari tanah liat
Lagan = bergotong royong di tempat yang punya gawe
Mak’e = panggilan ibu
Mangsa labuh = permulaan musim penghujan
Melek pasiang = satu malam sebelum hari H punya gawe
Otok-otok = mainan dari bambu yang menghasilkan suara toktok keras sekali
Otot-otot = kayu penghubung antar tiang untuk menempelkan dinding papan.
Pak’e = panggilan bapak
Pawon = dapur
Rekat = bersegera
Sega kering = Nasi oseng tempe
Selak = segera, semende = bersandar
Tledek = tayub
Yu = panggilan kakak perempuan