Published On: 19 June 2023Categories: Berita, Cerpen, Pojok Sastra

Dr. Mampuono, S.Pd., M.Kom.
#Orang literat Menemu Baling👌
Menemu Baling on the Way

Alkisah, ada seorang pemuda bernama Paiman. Paiman ini adalah pemuda desa yang sederhana. Pemuda kelahiran tahun 1970-an ini sehari-harinya menekuni profesi sebagai pedagang asongan di sekitar candi Prambanan. Dia hanya lulusan SD dan tidak punya kesempatan sekolah lanjut. Karena himpitan ekonomi dia terpaksa menekuni profesi tersebut

Paiman biasa menjajakan souvenir dan buku-buku bacaan. Souvenir yang dia jual unik-unik dan sebagian justeru antik. Ada pensil yang pangkalnya berupa boneka gadis atau pemuda desa khas Jogja. Ada gantungan kunci berbentuk candi. Ada sepeda onthel mungil yang persis seperti yang asli.

Dalam kegiatan sehari-harinya, Paiman menapaki jalan-jalan berdebu dengan semangat dan keceriaan. Meski hanya menjadi seorang pedagang asongan, dia tidak pernah merasa rendah diri. Paiman tahu betul bahwa setiap benda yang ia jual memiliki cerita tersendiri yang mampu memikat hati pembelinya.

Prambanan, dengan kemegahannya yang memancar dari tiap dinding candi, menjadi saksi bisu atas perjalanan hidup Paiman. Ia menjelajahi setiap sudut kompleks candi, merasakan kehadiran spiritual yang begitu kuat. Di sanalah Paiman menemukan inspirasi untuk mencari benda-benda unik yang mampu merepresentasikan keindahan dan keagungan Prambanan.

Dalam perjalanan mencari bahan untuk barang dagangan, Paiman sering memasuki hutan-hutan kecil dan sungai-sungai terpencil. Di sana, dia mengumpulkan batu-batu yang tersingkir, ditinggalkan oleh waktu. Setiap batu itu dianggapnya sebagai sebuah permata tak bernilai yang dapat disulap menjadi karya seni. Ia membentuk batu-batu itu menjadi bros-bros cantik, gelang-gelang yang menawan, dan hiasan tali rambut yang mempesona.

Tak jarang pula Paiman menemukan pecahan-pecahan tembikar kuno yang tergeletak di sekitar rumahnya. Bagi sebagian orang, pecahan tembikar itu hanya sampah tak berguna. Namun, bagi Paiman, setiap pecahan itu adalah potongan kehidupan masa lalu yang patut dihargai. Ia dengan penuh keahlian merakitnya kembali, menjadikan mereka hiasan yang indah, menghidupkan kembali pesona masa silam. Benda-benda itu di tangannya bisa menjadi bros, gelang, atau hiasan tali rambut yang antik.

Souvenir-souvenir yang Paiman jual adalah bukti nyata dari keahliannya meramu keindahan. Pensil dengan pangkal boneka gadis atau pemuda desa, menggambarkan cinta dan kehangatan Jogja yang melekat pada setiap jalinan pikirannya. Gantungan kunci berbentuk candi, memperlihatkan betapa dia menghormati dan mencintai kebudayaan warisan nenek moyangnya.

Sebagai seorang pemuda desa, Paiman telah menemukan potensi dalam hal-hal kecil yang sering diabaikan oleh banyak orang. Ia telah membuktikan bahwa dalam setiap benda yang tampak “tak berguna” terdapat keajaiban yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dalam dirinya, Paiman membawa semangat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang mungkin telah terlupakan.

Paiman bukanlah seorang pedagang biasa. Ia adalah seorang penyair yang tak menggunakan kata-kata, melainkan benda-benda yang ia pilih dengan teliti. Ia menciptakan lukisan tanpa kuas, melalui sentuhan jemari yang cerdas dan hati yang penuh kehangatan. Paiman adalah orang yang tak hanya menjual souvenir, melainkan membagikan kisah dan keindahan yang tersembunyi di balik setiap benda yang ia miliki.

Di tengah ragam souvenir yang Paiman tawarkan, miniatur sepeda motor, helikopter, dan pesawat terbang kayu menjadi daya tarik tak terelakkan. Melalui karya-karya tersebut, Paiman mengajak orang-orang untuk memimpikan petualangan dan merasakan sensasi kebebasan yang tersembunyi di balik sederetan candi megah.

Namun, tak hanya souvenir yang beragam, buku-buku yang ia jual juga memiliki variasi yang tak kalah menarik. Paiman memperolehnya dari supplier yang khusus datang setiap tiga hari sekali. Dalam rak-rak bukunya, terdapat berbagai macam isi, mulai dari kamus dengan satu juta kata, teka-teki silang yang mengasah pikiran, hingga buku resep dan panduan percakapan dalam bahasa Inggris. Tapi yang paling mencolok adalah koleksi buku tentang Candi Prambanan, seolah Paiman ingin membagikan kekagumannya pada para pembaca.

Di antara buku-buku yang ditawarkan, ada juga yang menjadi primadona dan dengan cepat laku terjual. Buku-buku ramalan nasib, petungan primbon, ramalan nomor togel, serta kisah-kisah seram menjadi favorit beberapa pengunjung. Namun, Paiman senantiasa mengingat pesan yang pernah disampaikan oleh guru ngajinya. Meskipun hidup dalam keterbatasan materi, ia tidak ingin mengorbankan imannya dengan menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan agama.

Dengan semangat yang membara, Paiman berkeliling di sekitar kompleks candi, menawarkan dagangannya kepada para pelancong yang datang dari berbagai penjuru dunia. Banyak dari mereka yang berasal dari luar negeri. Paiman sangat ingin bertransaksi dengan mereka, namun kendala bahasa sering menjadi rintangan yang sulit diatasi. Ia kerap menggunakan bahasa Tarzan yang sederhana, padahal para turis itu ingin mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam tentang barang-barang yang ia jual.

Dalam setiap kesulitan yang dihadapinya, Paiman tetap berusaha dengan segenap kemampuannya. Ia tidak hanya ingin menjual barang-barangnya, tetapi juga ingin menyampaikan pesan keindahan yang tersembunyi di balik setiap benda yang ia miliki. Dalam tatap matanya yang tulus dan keceriaan yang ia pancarkan, tergambar rasa semangat dan ketulusan untuk berbagi cerita dan keajaiban yang ia temukan di sekitar Candi Prambanan.

Paiman, dengan penuh semangat, berjalan mendekati seorang turis asing yang tampak tertarik pada dagangannya. Turis tersebut adalah seorang pria dengan postur tegap dan berwajah tampan. Dari penampilannya yang santai dan busana yang trendy, terlihat jelas bahwa ia berasal dari Amerika Serikat.

Dengan bahasa Tarzan yang sederhana, Paiman berkata, “Mister… mister, bay ai bay ai…”

Turis yang tahu sedikit sedikit bahasa Indonesia tersebut meskipun bingung dengan ucapan Paiman mencoba menanyakan, “Excuse me, what are you trying to say?”

Paiman tersenyum dan menjawab dengan semangat, “Sir… Sir beli saya… Beli saya.”

Turis itu terkekeh, merasa terhibur oleh keceriaan Paiman. “Oh, you mean buy from you? What do you have to sell?”

Paiman dengan antusias memperlihatkan souvenir-souvenir yang ia jual. Sambil menunjuk sebuah miniatur sepeda motor, ia menjelaskan, “This, mister! Look, mini bike! Very beautiful, yes?”

Turis tersebut tertarik dan bertanya lagi, “How much is it?”

Paiman mencoba mengingat beberapa kata bahasa Inggris, “One dollar, mister. Good price, good quality.”

Turis itu mengamati barang dagangan dengan senyum. “It looks amazing. But, what’s your name?”

Paiman dengan bangga menjawab, “My name is Paiman!”

Turis itu terkejut dan tertawa. “Oh, your name is Paiman! Not ‘payment’ as I thought earlier.” Mereka berdua tertawa bersama.

Meskipun ada kesalahpahaman dalam komunikasi, Paiman dan turis itu berhasil mencairkan suasana dengan saling memahami dan menghargai. Paiman tetap bersemangat menawarkan dagangannya, dan turis itu pun memutuskan untuk membeli miniatur sepeda motor yang indah dari Paiman.

Dalam percakapan sederhana itu, sebuah hubungan yang singkat namun hangat terjalin antara Paiman dan turis asing yang berwajah tampan dari Amerika Serikat. Paiman tidak hanya menjual barang dagangannya, tetapi juga membagikan keceriaan dan kehangatan dalam setiap interaksi yang ia jalani.

Banyak turis mancanegara yang ingin membeli dagangannya seringkali menjadi bingung dengan bahasa Tarzan dan Inggris pas-pasan yang dia gunakan. Mereka sebenarnya tertarik dengan apa yang dia jajakan, tetapi karena tidak bisa berkomunikasi dengannya, maka transaksi tidak terjadi.

Bahkan ketika mereka bertanya tentang namanya, jika kebetulan dia bertemu dengan turis yang serius dn bukan pemakai asli bahasa Inggris, belum-belum mereka merasa sudah diminta membayar. Bagi mereka kata Paiman akan terdengar sebagai “Pay man!” di dalam bahasa Inggris. Artinya “Bayar dong Pak”. Waduh!😂 Oleh karena kesalahpahaman itu Jika kurang beruntung akhirnya beberapa turis asing urung melakukan transaksi yang sangat diharapkannya. Penghasilan yang sudah di depan mata urung dijangkaunya.

Mula-mula, Paiman tidak mengerti. Setelah sedikit-sedikit belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang dijualnya, Paiman mulai paham. Namanya, jika diucapkan secara langsung kepada orang asing yang paham bahasa Inggris, terdengar seolah-olah menuntut orang untuk membayar. Padahal, transaksi saja belum terjadi. Sejak saat itu, ia berusaha memberikan penjelasan dengan kalimat sebisanya tentang namanya.

Paiman, dengan perasaan yang terombang-ambing, seringkali merasa iri melihat beberapa temannya sesama pengasong yang sudah lebih mahir berbahasa Inggris. Ia melihat dagangan mereka selalu laris manis karena mereka mampu menjelaskan dengan fasih apa yang mereka jual. Dalam hatinya, Paiman berbicara sendiri, “Kenapa aku tidak bisa seperti mereka? Mengapa aku harus kalah?”

Paiman tahu bahwa jika dia merasa iri dengan karunia yang diterima oleh temannya, itulah yang disebut sebagai hasad. Namun, sulit baginya untuk mengusir perasaan tersebut. Dalam kegalauannya, Paiman seringkali berujar, “Ya Allah, ampunilah aku. Tolong hilangkan rasa iri ini dari hatiku. Aku hanya ingin belajar agar bisa berbahasa Inggris seperti mereka.”

Dia berusaha keras untuk memperbaiki kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Setiap malam, Paiman membaca buku-buku sederhana yang dia punyai. Dia mencoba menghafal kata-kata baru dan melatih pengucapannya. Meskipun sering kali gagal dan terjatuh dalam kesalahan, Paiman tidak menyerah.

Dalam tekad yang bulat, ia berujar dengan mantap, “Aku akan belajar tanpa henti. Aku akan melampaui keterbatasanku dan menjadi lebih baik.”

Dalam perjalanan hidupnya, Paiman menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan karunia yang berbeda-beda. Meskipun ia masih berjuang untuk mengatasi keterbatasannya dalam berbahasa Inggris, Paiman mengambil inspirasi dari kesadaran akan hasad dan menjadikannya sebagai motivasi untuk terus belajar dan berkembang.

Dalam hati yang penuh harap, Paiman berujar, “Ya Allah, berikanlah aku kemampuan untuk berkomunikasi dengan lancar. Bantulah aku untuk meraih kesempatan yang lebih besar dan memberikan yang terbaik bagi diriku dan keluargaku.”

Dengan semangat yang membara, Paiman melangkah maju dalam perjalanan hidupnya. Ia tahu bahwa meski tantangan bahasa mungkin menghadangnya, ia memiliki tekad dan kemauan yang kuat untuk terus belajar. Paiman yakin bahwa dengan setiap usaha yang ia lakukan, langit akan membuka pintu-pintu kesuksesan baginya.

Sebenarnya, Paiman sudah lama tertarik untuk bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Namun, selama menjadi siswa Sekolah Dasar di desanya dulu, dia sama sekali belum pernah mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris. Makanya, dia hanya bisa terlongong-longong saja ketika mendapati para guide berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan para turis yang ada di sekitar Candi Prambanan.

Keinginannya untuk mahir berbahasa Inggris sampai masuk ke dalam mimpi, sehingga mimpi-mimpinya sering dihiasi percakapan-percakapan bahasa Inggris yang rumit dan kadang tidak dimengertinya. Kadang-kadang, dalam mimpinya, datanglah seorang gadis bule yang seolah-olah keluar dari film-film barat yang pernah ia tonton di televisi hitam putihnya. Gadis itu bernama Mary.

Mary adalah tokoh dalam film Little House in the Prairie yang diputar setiap hari Minggu siang. Mary memiliki postur tinggi semampai, berkacamata, dan rambut pirang panjang terurai. Sebagai seorang gadis remaja, parasnya sungguh menawan, dan sikapnya yang ramah tamah membuatnya terlihat semakin memesona. Setiap kali Mary muncul dalam mimpinya, gadis itu selalu mengajaknya bercakap-cakap.

Paiman, dalam hatinya yang penuh kegugupan, merasa malu saat berhadapan dengan Mary. Ia ingin sekali menanggapi percakapan itu dengan menggunakan bahasa Inggris yang sering ia dengar dan saksikan, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah bahasa Tarzan. Ia berharap dapat mengutarakan maksud hatinya bahwa ia sangat bahagia, tetapi apalah dayanya, ia sangat kesulitan karena tidak pernah sekalipun mendapatkan keterampilan menggunakan bahasa itu.

S-sorry, Mary,” ucap Paiman dengan gugup, berusaha menemukan kata-kata yang sesuai. “I… happy… umm… to see you.”

Mary tersenyum lembut melihat usaha Paiman untuk berbicara dalam bahasa Inggris. “It’s okay, Paiman,” kata Mary dengan penuh pengertian. “Don’t worry about your English. We can still communicate even if it’s not perfect. I’m glad to meet you too.

Paiman merasa sedikit lega mendengar kata-kata penyemangat dari Mary yang perlahan bisq dia cerna. Meskipun dia masih kesulitan, tetapi setidaknya ada seseorang yang mau mendengarkan dan memahaminya meski dengan bahasa yang terbatas. Dia bertekad untuk terus belajar dan mengasah kemampuannya, agar suatu hari nanti dia bisa berbicara dengan lancar seperti teman-temannya yang mahir berbahasa Inggris.

Dalam perjalanan hidupnya, Paiman belajar bahwa kemampuan bahasa hanyalah sebuah keterampilan yang dapat dikuasai dengan ketekunan dan latihan. Bahkan pendalaman sampaibke hati dan pikiran diperlukan untuk orang yang tidak pernah “makan sekolahan* atau berpendidikan baik seperti dirinya. Meski Mary hanya muncul dalam mimpi-mimpinya, kehadirannya memberikan semangat dan dorongan bagi Paiman untuk terus berusaha menjadi lebih baik.

Suatu hari ketika bahasa Inggrisnya sudah semakin lancar, dalam salah satu mimpi Paiman yang penuh dengan percakapan bahasa Inggris, Mary muncul dengan senyumannya yang memikat. Paiman terpana melihat kehadirannya. Gadis itu berjalan mendekatinya dengan langkah lembut dan bertanya, “Hi, how are you Paiman?”

Paiman yang kaget dan gugup, mengangguk cepat sambil menjawab, “Y-yes, I am fine. Thank you. Nice to meet you, Mary.”

Mary tersenyum lebar, melihat ketidakpercayaan yang masih terpancar dari wajah Paiman. Dia terlihat merasakan ketidakpastian dalam diri Paiman terkait kemampuannya berbahasa Inggris. Tanpa memberikan tekanan apapun, Mary mencoba membuat Paiman merasa nyaman.

Don’t worry, Paiman. Your English is great. We can have a conversation in English and help each other improve,” kata Mary dengan ramah.

Paiman merasa lega mendengar kata-kata penyemangat dari Mary yang entqh bagaimana dia paham artinya. Dia merasakan aura kebaikan hati dan kesabaran dari gadis itu. Perlahan, kegugupannya mulai mereda, dan dia memberanikan diri untuk bertanya, “Where are you from, Mary?”

Mary tersenyum dan menjawab, “I’m from the United States. I’m here to explore and learn more about the beautiful culture and history of Indonesia. And what about you, Paiman? Tell me about yourself.”

Paiman tersenyum, merasa semakin percaya diri dengan dukungan Mary. Dia mulai menceritakan tentang kehidupannya di desa, pekerjaannya sebagai pedagang asongan di sekitar Candi Prambanan, dan keinginannya untuk bisa berbahasa Inggris dengan baik.

Saat mereka berbincang, Paiman merasa betapa nyamannya berada di dekat Mary. Gadis itu tidak hanya cantik dari segi fisik, tetapi juga memiliki kepribadian yang memancarkan kebaikan dan kehangatan. Percakapan mereka berjalan lancar meskipun Paiman masih kadang-kadang kesulitan mencari kata-kata yang tepat. Namun, Mary selalu dengan sabar membantu dan memahami setiap kata yang diucapkan Paiman.

Pertemuan dengan Mary membuat Paiman semakin bersemangat untuk belajar bahasa Inggris. Ia merasakan betapa berartinya memiliki seseorang yang mau mendengarkan dan berkomunikasi dengannya dengan bahasa yang ingin ia kuasai. Bersama Mary, Paiman merasa bahwa belajar bahasa Inggris bukanlah beban, melainkan kesempatan untuk memperluas dunia dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia.

Dalam perjalanan hidupnya, Paiman belajar bahwa mimpi dan kenyataan bisa bersinggungan. Meskipun Mary hanya ada dalam dunia mimpi, pengaruhnya membawa perubahan nyata dalam hidupnya. Dia yakin bahwa bahasa Inggris perlahan lahan mulai masuk alam bawah sadarnya. Dukungan dan persahabatan Mary, walaupun gadis itu hanya sosok imajiner, telah memberi Paiman kekuatan dan motivasi untuk menggapai mimpinya menjadi mahir berbahasa Inggris.

Mimpi-mimpi dengan pengantar bahasa Inggris semakin lama semakin sering menghiasi tidur Paiman. Versinya juga bertambah bermacam-macam. Mimpi-mimpi itu muncul dari dalam alam bawah sadarnya yang semakin kuat menerima kehadiran bahasa baru di dalam benaknya, bahasa Inggris. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia menginginkan agar bisa berkomunikasi dengan bahasa internasional itu. Tetapi sampai saat itu, dia belum menemukan jalan agar keinginannya terlaksana.

Keinginan Paiman itu memang wajar. Semuanya bermula dari kebiasaannya memperhatikan pekerjaan para gaet yang ada di sekitar situs pariwisata Candi Prambanan. Baginya, para gaet yang berbicara bahasa Inggris dengan fasih itu sungguh mengagumkan. Dengan sangat mahirnya, mereka memandu para turis untuk mengeksplorasi bagian demi bagian dari candi itu. Dia membayangkan, alangkah beruntungnya jika dia juga bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris seperti mereka.

Namun, di balik keinginan itu, Paiman sering merasakan konflik batin yang menghampirinya. Rasa rendah diri mengintai, meragukan kemampuannya, dan memunculkan perasaan takut gagal. Saat teman-temannya berbicara dengan lancar dalam bahasa Inggris, Paiman merasa terkucil. Ia menjadi saksi bisu, hanya bisa mengagumi kehebatan mereka tanpa bisa mengikutinya.

Pada suatu malam, ketika mimpi-mimpinya kembali dihadiri oleh Mary, gadis bule yang cantik dan baik hati, Paiman merasakan getaran yang berbeda. Dalam mimpinya, Mary mengulurkan tangannya kepadanya dengan penuh kehangatan. Dengan lembut, dia berkata, “Paiman, selamat ya. Bahasa Inggrismu semakin bagus. Jangan takut untuk mencoba. Setiap langkah kecil yang kamu ambil menuju impianmu, aku akan selalu mendukungmu.”

Paiman terkejut dan terharu. Dia merasakan semangat dan keyakinan baru yang mengalir dalam dirinya. Sebagai balasannya dipegangnya erat erat telapak tangan gadis itu, ditatapnya bola mata birunya, lalu dia menjawab dengan tulus, “Terima kasih, Mary. Aku akan berusaha sebaik mungkin. Bahasa Inggris, aku tidak akan takut lagi.”

Mendengar kata-kata itu, Mary tersenyum bangga. Dia memberikan semangat dan keberanian kepada Paiman untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuannya. Paiman merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat mengatasi segala rintangan yang ada di hadapannya.

Dari saat itu, Paiman memutuskan untuk tidak lagi merasa rendah diri dan terintimidasi. Ia mengambil langkah-langkah kecil untuk belajar bahasa Inggris, dari menggali kamus hingga berlatih percakapan dengan turis asing yang ia temui di sekitar Candi Prambanan. Meskipun masih terkadang kesulitan, dia tidak menyerah. Setiap kesalahan dijadikannya pelajaran, dan setiap keberhasilan menjadi penguat semangatnya.

Mimpi-mimpi dan tekadnya untuk berbahasa Inggris kini berpadu dalam sebuah perjalanan yang menantang. Paiman melangkah maju dengan penuh keyakinan, berharap suatu hari nanti dapat berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa internasional.

Suatu ketika, Paiman mengunjungi pasar loak yang menjual berbagai buku bekas di Jogja. Dalam perjalanan mencari bahan bacaan, matanya tertuju pada satu set buku berwarna merah yang tersusun rapi. Delapan buku itu tampak menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, dia mengambil salah satunya dan melihat judulnya yang tertulis dengan tegas berwarna putih, diterangi oleh gambar kanguru yang memegang mikrofon di bawah bola dunia. Gambar tersebut terbentuk oleh garis-garis putih yang memberikan kesan elegan.

Tak lama setelah itu, Paiman membaca tulisan di atas buku dengan seksama. Tulisannya berbunyi “English from Radio Australia”. Di bawahnya terdapat keterangan tentang bagaimana cara belajar bahasa Inggris melalui siaran radio Australia. Dengan penuh kegembiraan, dia membuka-buka buku tersebut dan menemukan banyak petunjuk tentang cara belajar bahasa Inggris mulai dari tingkat dasar hingga mahir. Ternyata, syaratnya adalah dengan menyetel radio pada gelombang SW pada jam-jam tertentu setiap pagi. Dari radio inilah akan ada siaran pembelajaran bahasa Inggris yang panduannya terdapat di dalam buku yang sedang ia pegang. Paiman sangat bahagia dan bersemangat mendapatkan buku tersebut.

Paiman mendekati pedagang buku loak yang sedang sibuk menjual buku-buku bekas kepada pembeli lainnya. Dengan antusias, dia menggunakan buku merah yang dipegangnya untuk menunjuk ke tumpukan buku English from Radio Australia yang berada di antara hamparan buku buku loak yang sangat banyak tersebut.

“Pak, saya tertarik dengan buku ‘English from Radio Australia‘ ini. Berapa harganya?” katanya.

“Oh, itu? Harganya Rp. 1.500, Mas. Gak usah ditawar ya karena sudah murah. Buku itu masih dalam kondisi baik dan lengkap setnya. Mas beruntung lho mendapatkannya.” pedagang itu menjawab lengkap dengan ramah.

Paiman melihat kondisi buku yang terawat dengan baik, lengkap dengan petunjuk belajar bahasa Inggris dari radio Australia di dalamnya. Dia merasa bahwa buku itu adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan.

“Saya ingin membeli semua buku ‘English from Radio Australia’ ini Pak. Ada delapan buku, bukan?” kata Paiman.

“Betul, Mas. Anda bisa mendapatkan seluruh setnya dengan harga Rp. 1.500 per buku. Jadi totalnya Rp. 12.000 untuk keseluruhan set,” jawab

Paiman merasa senang karena harganya terjangkau. Dia mengambil uang dari saku celananya dan menghitung jumlah yang tepat.

“Baik, saya sepakat membeli keseluruhan set buku ini. Ini uangnya, Pak. Maaf uangnya kricik,” kata Paiman sambil menyerahkan uang Rp. 12.000 yang hampir separuhnya berupa koin. Maklum uang tabungan pedagang asongan

Pedagang itu tersenyum lebar memqklumi lalu berkata, “Terima kasih, Mas. Mas mendapatkan penawaran yang bagus. Semoga buku-buku ini bermanfaat bagi Mas dalam belajar bahasa Inggris.”

Paiman membayar dengan senang hati dan dengan hati-hati memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tasnya. Dia merasa bahwa hari ini adalah awal dari perjalanan baru dalam belajar bahasa Inggris yang dia impikan.

“Terima kasih, Pak. Saya sangat beruntung menemukan buku-buku ini. Saya akan mempelajari dan merawatnya dengan baik,” kata Paiman.

Pedagang: “Sama-sama, Mas. Selamat belajar dan semoga sukses!”

Paiman berjalan pergi dengan buku-buku yang baru saja dibelinya, penuh semangat dan harapan. Dia tahu bahwa buku-buku tersebut akan menjadi teman setia dalam perjalanan belajar bahasa Inggrisnya, membawanya lebih dekat dengan impian untuk menguasai bahasa internasional.

Baginya, buku-buku tersebut adalah investasi berharga dalam perjalanan belajar bahasa Inggris yang sedang ia jalani. Dengan sisanya, ia memutuskan untuk membeli majalah berbahasa Inggris bekas bernama “Hello”, sebagai tambahan bahan bacaan yang menarik baginya.

Paiman merasa bahwa dia telah menemukan sebuah harta karun. Buku-buku bekas dan majalah tersebut menjadi sahabat setianya dalam perjalanan belajar bahasa Inggris. Dengan tekun dan semangat yang membara, Paiman siap menapaki jalan yang penuh tantangan ini, memperkaya pengetahuan dan keterampilannya melalui bahan bacaan yang ia temukan dengan penuh keberuntungan di pasar tersebut.

Walaupun buku-buku dan majalah-majalah itu sebenarnya sudah agak kumal dan sebagian halamannya mulai berwarna kuning kecoklatan karena usia, tetapi dia yakin di dalam buku itulah dia bisa memperoleh apa yang selama ini diinginkannya. Keterampilan berbahasa Inggris.

Dengan hati berdendang gembira Paiman pulang ke rumahnya. Hari itu diyakininya sebagai hari perubahan yang akan mengubah nasibnya ke depan. Dari seorang pedagang asongan menjadi pemandu wisata kenamaan.

Dengan keterampilan berbahasa Inggris Itulah nantinya dia akan bisa berkomunikasi dengan orang-orang mancanegara yang berkunjung ke Prambanan. Itu termasuk juga gadis bule berambut pirang yang sering masuk ke dalam mimpi-mimpinya.

Paiman begitu optimistis bahwa dia akan menguasai pembelajaran yang ditawarkan di dalam buku buku tersebut. Rajin pangkal pandai, alah bisa karena biasa. Begitulah slogan yang selalu dianutnya. Seolah-olah mimpinya sudah ada di depan mata dan menjadi nyata.

Tentang radio, Paiman yakin dia bisa meminjamnya dari kakaknya. Radio butut yang selama ini sering digunakan untuk menyetel wayang pada malam hari dapat dia pinjam menjelang subuh untuk didengarkan materi pembelajaran bahasa Inggris dari radio Australia.

Dengan semangat menggebu-gebu Aiman segera pulang dan akan mencoba pembelajaran bahasa Inggris yang ditawarkan oleh radio tersebut melalui buku-buku berwarna merah itu. Selain itu dia juga membuka majalah majalah bekas berbahasa Inggris yang diberi tambahan arti kata-kata terjemahannya di dalam bahasa Indonesia. Kita tinggalkan sejenak tentang Paiman.

Sementara itu, ada sesosok pemuda yang namanya mirip Paiman, yaitu Paidi. Paidi adalah salah seorang teman bermain Paiman ketika masih kanak-kanak. Dia berasal dari keluarga yang cukup berada sehingga bisa sekolah lebih tinggi sampai ke akademi bahasa. Mereka berasal dari kampung yang sama di desa di dekat Candi Prambanan. Paidi sehari-harinya menekuni profesi sebagai seorang gaet atau tour guide.

Paidi dan Paiman sama-sama anak desa di lereng gunung Merapi. Namun, Paidi lebih beruntung. Jika paiman hanya lulusan sekolah dasar sebaliknya Paidi adalah lulusan D3 Bahasa Inggris. Orang tuanya bisa menyekolahkan dia ke Semarang. Tiga tahun di Semarang dia mendapatkan gelar Ahli Madya jurusan bahasa Inggris di sebuah Akademi bahasa asing di sana.

Begitu pulang ke desanya Paidi sudah bisa casciscus berbahasa Inggris. Karena daerah tersebut merupakan tujuan wisata yang sangat terkenal di seluruh dunia, banyak turis mancanegara yang berdatangan hampir setiap hari ke sana. Biasanya masa ramainya turis terjadi pada saat liburan panjang musim panas sekitar bulan Juli.

Rupanya kesempatan itu tidak dilepaskan begitu saja oleh Paidi. Dengan kelincahannya dalam berbahasa Inggris, ia mulai menekuni profesi yang diidam-idamkannya selama ini, menjadi gaet Candi Prambanan. Banyaknya turis itu memberinya kesempatan untuk meraih pendapatan yang cukup lumayan sebagai seorang gaet yang cukup berpengalaman di tempat itu.

Sebagai dua orang yang dibesarkan bersama-sama dalam satu kampung dan kebetulan memiliki pekerjaan di lokasi yang sama untuk Paiman dan Paidi sering berjumpa. Jika paiman dengan dagangannya sebagai pedagang asongan tampak kucel dan bajunya terlihat dekil penuh keringat sebaliknya Pak Edi terlihat lebih perlente. Pekerjaannya sebagai jaket memberinya income yang cukup untuk berpakaian layak dan terlihat bersih.

Seringkali tanpa sengaja Paiman memperhatikan bagaimana Paidi memandu para turis berkeliling Candi Prambanan. Segala macam cerita dan legenda tentang berdirinya Candi Prambanan yang melibatkan Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang sampai permusuhan antara Rama yang mewakili kebajikan dan Rahwana yang mewakili kejahatan dia kuasai di luar kepala. Begitu berjumpa dengan para turis yang dipandunya segera bibirnya bergerak dengan lincah menceritakan kisah-kisah legenda dan dongeng yang kadang sebenarnya tidak masuk akal itu di dalam bahasa Inggris.

Bagi Paiman kehidupan yang dijalani oleh Paidi adalah kehidupan orang sukses. Menurut Paiman, itu semua berkat penguasaan bahasa Inggris yang selama itu dimiliki oleh Paidi. Penampilan Paidi yang sering menggunakan busana tradisional yang bersih, rapi, dan wangi membuat Paiman menelan air ludah setiap menatapnya. Di matanya Paidi sungguh terlihat sangat gagah. Tidak salah jika dia mengidolakannya. Karena itu dia bekerja keras agar semakin meningkat keterampilan bahasa Inggrisnya melalui Radio Australia.

Penghasilan Paidi sebagai seorang gaet meningkat pesat. Dia bahkan sudah bisa memberi kendaraan RX King baru dengan uangnya sendiri ketika teman sebayanya masih naik sepeda atau sepeda motor kuno. Menurut kabar yang beredar, kawan semasa kecilnya yang gagah dan perlente itu menjadi incaran para gadis dan janda atau orang tua yang ingin mengambilnya sebagai menantu karena kepincut pada penampilan dan penghasilannya. Pendeknya, Paidi telah menjadi Pemuda idaman paling top di kampungnya.

Suatu hari di bulan Juli, pada saat lepas tengah hari, Paiman menjumpai Paidi. Paidi pun menerimanya dengan senang hati. Dia memuji-muji Paidi yang sekarang penampilannya sudah seperti Bos. Paiman mengatakan maksud kedatangannya bahwa dia ingin sekali meningkatkan bahasa Inggrisnya dengan belajar pada Paidi sehingga akhirnya bisa menjadi gaet mahir seperti Paidi.

Mendengar keinginan Paiman tersebut Paidi tertawa sampai terbahak-bahak. Air matanya sampai berlinangan karena merasa sangat geli. Dia pegangi perutnya yang terguncang-guncang dan terasa agak mules. Setelah beberapa menit barulah tawanya reda. Dilepaskannya kedua tangannya dari perutnya.

Paiman hanya ikut tertawa sekenanya ketika Paidi tertawa terbahak-bahak. Dia agak bingung juga kenapa setelah mengutarakan keinginannya Paidi di justru tertawa terbahak-bahak. Namun semuanya menjadi lebih jelas ketika terjadi dialog setelah itu.

Paidi dengan masih tetap tersenyum dan terlihat matanya agak basah. Air mata itu bukan air mata kesedihan, tetapi itu karena geli. Sambil menepuk-nepuk pundak Paiman, dia katakan bahwa keinginan Paiman itu hebat. Tetapi Paiman harus ingat siapa dirinya. Dia hanyalah lulusan SD. Jangan sampai keinginannya terlalu tinggi sehingga seperti pungguk yang merindukan bulan.

Paiman hanya mengangguk-angguk saja, walaupun jauh dilubuk hatinya sebenarnya dia tidak setuju. Paidi mengatakan bahwa untuk bisa berbahasa Inggris dengan fasih, Paiman harus seperti dirinya. Dia harus bersekolah selama 9 tahun dari SMP sampai lulus D3 Bahasa Inggris dulu, setelah itu barulah berusaha untuk menjadi gaet yang mahir seperti Paidi. Jika tidak maka akan mustahil bagi Paiman untuk bisa menguasai keterampilan berbahasa Inggris sebagaimana yang dikuasai Paidi.

Sambil masih tertawa-tawa Paidi merogoh sakunya. Kemudian dia mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan. Diraihnya tangan kiri Paiman dengan tangan kirinya. Lalu tangan kanannya menjabat tangan itu sambil meletakkan uang tersebut diantara kedua telapak tangan mereka sebagai salam tempel.

“Aku tidak dapat membantu banyak Man. Keinginanmu itu hebat sekali, tetapi bagiku mustahil kalau tanpa sekolah dan kuliah. Ini ada sedikit uang. Buatlah untuk membeli cermin yang bagus. Kamu bisa menggunakannya untuk mematut diri agar lebih rapi setiap hari,” kata Paidi. Paidi lalu berpamitan.

Paiman pun menerima uang yang cukup banyak jumlahnya pada tahun 1994 itu. Ia berterima kasih pada teman masa kecilnya itu, namun dia juga masih bingung mengapa harus membeli kaca. Hari sudah semakin siang, dia harus bekerja lagi. Tanpar pikir panjang, dibelinya sebuah cermin yang bagus dengan uang itu ketika pulang bekerja. Dia sengaja memilih cermin berornamen kuno yang bentuknya seperti cermin ajaib Sang Ratu pada kisah the Sleeping Beauty.

Sesampai di rumah, digantungkannya cermin yang bagus itu di atas dinding papan di dalam kamarnya. Letaknya bersebelahan dengan dipan dimana dia biasa menghabiskan sepertiga malam untuk beribadah, lalu melek dan belajar bahasa Inggris dari radio Australia setiap hari. Dia berharap cermin itu bisa menjadi temannya untuk berkaca agar tampil lebih ganteng seperti Paidi.

Selama beberapa hari setiap pagi sebelum berangkat kerja Paiman selalu berkaca di hadapan cermin antik tersebut. Sambil mematut-matut diri di dalam hatinya dia berbisik, “Mirror-mirror on the wall. Sudahkah aku seganteng Paidi?” Atau terkadang dia juga berbisik “Mirror-mirror on the wall. Sudahkah bahasa Inggrisku semahir Paidi?”

Setelah beberapa kali berkaca, lama-lama Paiman paham dengan maksud pemberian Paidi. Rupanya Paidi berkeinginan agar Paiman berkaca diri. Dia ingin memberi tahu bahwa tidak sepatutnya Paiman bercita-cita muluk-muluk untuk menjadi seorang gaet yang mahir seperti dirinya. “Ngaca dong,” begitu semestinya bunyi pesan itu.

Pada titik ini paiman tiba-tiba menyadari sesadar-sadarnya bahwa dia sedang dilecehkan. Dia menjadi marah dan tersinggung sekali. Ternyata teman sekampung yang diidolakannya justeru melecehkannya. Ingin rasanya dia bawa kaca itu dan dihantamkannya ke muka Paidi. Seharian itu Paiman uring-uringan. Akhirnya dia tidak berangkat bekerja.

Paiman adalah seorang pemuda yang cukup terdidik agamanya. Dia segera menguasai diri. Setelah pikirannya tenang akhirnya dia bisa menyadari bahwa pesan yang disampaikan oleh Paidi dengan cermin itu ada benarnya. Bahwa dia harus berkaca setiap hari agar bisa melakukan refleksi diri. Tentu saja bukan refleksi bahwa dia tidak pantas bercita-cita tinggi. Justru sebaliknya dia harus bercita-cita tinggi dan terus belajar lagi menjadi lebih baik dari yang sudah sudah.

Sejak saat itu Paiman menganggap cermin yang tertempel di dinding kamarnya itu adalah cermin ajaib. Dia justru berterima kasih kepada Paidi yang telah memberinya uang untuk membeli cermin. Dengan cermin itulah dia akan mengubah dirinya agar menjadi orang yang beruntung. Yaitu orang yang hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini.

Di hadapan cermin itu dia selalu melakukan afirmasi. Setiap Dia memiliki keinginan selalu diutarakannya dihadapan cermin tersebut dan dia berjanji memenuhi target yang diinginkan pada kurun waktu tertentu.

Di hadapan cermin itu pula dia melakukan afirmasi bahwa pada suatu masa dia akan menjadi sarjana juga seorang pengusaha yang memiliki berbagai kursus bahasa Inggris di mana-mana. Bahkan dia juga menjadikan kampungnya menjadi kampung bahasa Inggris. Dia berjanji tidak akan pelit berbagi ilmu bahasa Inggris.

Sekian tahun kemudian, atas ijin Allah, ternyata Paiman berhasil meraih apa yang dicita-citakannya. Melalui program Kejar Paket B dan C dia akhirnya bisa mendapatkan ijazah SMP dan SMA. Dia akhirnya juga bisa meraih gelar sarjana pendidikan bahasa Inggris. Beberapa kursus bahasa Inggris berdiri diberbagai kota dengan menggunakan franchise atas namanya. Kampungnya juga sudah menjadi kampung Inggris. Tidak tanggung-tanggung, bahkan banyak menteri yang mengunjungi kampung itu.

Paiman berhasil meraih impiannya satu persatu karena termotivasi dengan “Cermin Ajaib” yang dia dapatkan dari uang pemberian Paidi sekian tahun yang lalu. Paidi sendiri saat ini masih menjadi seorang gaet biasa. Tidak terlalu banyak perubahan yang dia lakukan semenjak Dia memberikan uang pembelian kaca spion tahun yang lalu.

Paiman berterima kasih kepada Paidi yang telah membangunkan macan tidur yang ada di dalam dirinya. Macan itu bangkit, mengaum, dan menundukkan apa saja yang mencoba merintanginya untuk meraih cita-citanya. Berkat ketersinggungan yang dialami Paiman, karena kemampuan mengelola energi positifnya, dia justru menjadi orang sukses di kemudian hari.

(Disarikan dari kisah beberapa orang. Semoga menginspirasi. Salam #menemubaling👌)

__________________________________

Jakarta, langit biru, dan Semarang, 28-29 04 2018. Ditulis dengan metode menemu baling menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga secara bersambung sambil memanfaatkan waktu luang di rumah guru saudara Jakarta, di dalam pesawat Batik Air tipe Airbus A320 dalam perjalanan dari Jakarta ke Semarang, dan diselesaikan di Semarang.

(Penulis, Dr. Mampuono, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC, Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas, dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital mandiri berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ).