Oleh: Dr. Mampuono Rasyidin Tomoredjo
#orang_literat_menemubaling
#Motivasi di Pagi Hari
Mendiang Gus Dur pernah berseloroh. Dia bertanya apakah yang menyebabkan rumput tumbuh liar, uban bertambah banyak, dan wanita menjadi hamil. Jawabannya hanya satu. Anda pasti tahu kan? Itu karena terlalu lama tidak dicabut 😂. Jadi ternyata menurut Gus Dur, hal -hal yang terlalu lama bisa menyebabkan banyak masalah. Bagaimana menurut Anda?
Berbicara tentang sesuatu yang terlalu lama, ada sebuah pertanyaan kecil. Pernahkah anda mengalami sindrom Andy Lau alias antara Dilema dan Galau? Jika anda manusia normal pasti pernah mengalaminya. Tetapi berapa lama? Sehari, seminggu, sebulan, setahun, 2 tahun, 10 tahun, atau seumur hidup? Mari kita ikuti kisah motivatif berikut ini
Seharian itu Giyo bolos kuliah. Mata kuliah Fisika Dasar 2 yang diampu oleh dosen wanita tua yang belum menikah dan galak itu benar-benar menjemukan. Dalam keheningan kelas yang mencekam, papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus, dan penjelasan yang berasa tak berguna, Giyo kehilangan semangat dan gairah hidup. Dia lebih memilih untuk duduk duduk di sekitar lapangan tenis sambil menyaksikan permainan Yayuk Basuki yang sedang berlatih untuk menghadapi Asean Games. Di sela-sela kebosanan yang melanda, pikirannya melayang pada peristiwa hampir setahun yang lalu, ketika pilihan hidupnya berada pada titik krusial.
“Giyo. Duduk!” terdengar suara menggelegar yang tegas memerintah. Tanpa banyak berkata Giyo segera menuruti perintah tersebut.
“Sekarang dengarkan baik-baik ya. Kami tidak setuju dengan keputusanmu. Terserah kamu boleh memilih. Mau mengikuti anjuran kami atau kau turuti kata hatimu,” kata suara itu lagi dengan nada yang tidak berubah.
“Yang membiayai sekolahmu selama ini adalah kakak-kakakmu ini. Jika kamu menuruti hatimu, tentu kamu sudah siap menanggung sendiri biaya kuliahmu,” terdengar suara kedua dengan nada yang tak kalah tinggi.
Giyo hanya menunduk. Dia tidak berani menatap kedua kakaknya. Air muka mereka tampak merah padam. Ia merasa dirinya seperti pesakitan di hadapan jaksa penuntut umum yang garang dan saksi yang memberatkan. Tak ada satupun pengacara yang mendampinginya untuk sekedar menemani, apalagi membelanya. Seluruh benda yang ada di ruang tamu adalah para pengunjung sidang yang diam membisu. Mereka menjadikannya pusat perhatian, lalu ikut mencemooh dan menyalahkan. Seolah olah menelanjanginya di hadapan semua orang.
Kedua orang yang menjadi jaksa dan saksi yang memberatkan itu masih berpakaian olahraga. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat di mana semua ASN biasanya berpakaian olahraga. Mereka adalah Hartoko dan Suroso. Kakak pertama dan keduanya yang sama-sama menjalani profesi sebagai guru olahraga sekolah dasar.
Hartoko, kakak pertama Giyo, adalah sosok yang tegas dan memiliki sifat agak otoriter. Suaranya menggelegar dan jika memerintah selalu tegas dan harus diikuti. Dia selalu menunjukkan kepribadian dominan dan cenderung mengambil peran sebagai pemimpin dalam keluarga. Sebagai seorang guru olahraga sekolah dasar, Hartoko memiliki kecenderungan konservatif dan mengutamakan kedisiplinan. Dia percaya bahwa mengikuti anjuran dan nasihat yang diberikan oleh orang tua atau kakak-kakaknya adalah langkah terbaik untuk Giyo.
Hartoko teguh pada keyakinannya bahwa mempertahankan otoritas adalah yang terbaik untuk Giyo. Ia yakin bahwa dengan mengikuti perintahnya, Giyo dapat mengatasi segala tantangan. Meskipun terdapat pertentangan di hatinya, Hartoko memilih untuk tidak melonggarkan pendiriannya. Baginya, ini adalah langkah terbaik untuk membimbing adiknya menuju masa depan yang sukses dan terarah. Dalam hatinya, Hartoko yakin bahwa Giyo memiliki kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala perintah yang diberikan.
Sementara itu, Suroso, kakak kedua Giyo, sebenarnya memiliki sifat yang lebih kompromistis. Suaranya yang terdengar keras dan menggunakan nada tinggi adalah caranya untuk menunjukkan bahwa dia setuju dengan kakak tertua mereka. Karena itu dia mengekspresikan pendapatnya dengan vokal yang kuat untuk menunjukkan rasa solidaritas kepada Hartoko. Sebagai seorang guru olahraga sekolah dasar seperti Hartoko, Suroso lebih terbuka terhadap keputusan individu dan memberi Giyo kebebasan untuk memilih. Namun, sebagai konsekuensinya Giyo harus bertanggung jawab atas biaya kuliahnya sendiri jika memilih melawan anjuran mereka.
Sebenarnya Suroso merasa simpati pada Giyo dan mengerti keinginannya untuk mengejar impian yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Namun, di sisi lain, Suroso juga merasa perlu untuk tetap solid dengan Hartoko, kakak tertua mereka. Ini menimbulkan dilema yang tidak mudah juga baginya.
Namun, Suroso memiliki keyakinan bahwa Giyo memiliki potensi besar untuk sukses sebagai seorang guru fisika. Ia melihat bakat dan minat Giyo juga cukup tinggi dalam bidang tersebut. Itu tidak kalah dengan bakat minat Giyo di bidang olah raga yang sebenarnya sudah agak terlambat ditekuninya. Suroso berusaha mencari jalan keluar yang realistis dapat membuka mata sekaligus memenuhi kepentingan semua pihak. Meskipun pertentangan ini cukup membebani pikirannya, ia berharap statemennya dapat memberikan solusi sekaligus menjaga persatuan keluarga.
Giyo hanya bisa menunduk sambil meremas jari-jemarinya. Terpekur dia di atas kursi rotan tua yang warna lapisan politurnya sudah memudar dimakan usia. Kursi yang dulu dibeli Bapaknya dari perajin di Welahan, Jepara itu telah menemani keluarganya selama lebih dari 30 tahun. Kursi dengan pegangan tangan melengkung terbuat dari kayu jati utuh itu tampak kokoh dan artistik. Namun, kali ini kursi itu terdengar berderit pelan saat Giyo menekannya dengan tubuh resahnya yang kini lunglai. Kursi itu seperti turut merasakan beratnya menahan beban pikiran Giyo.
Hati Giyo berkecamuk. Di satu sisi, dia merasakan beban tanggung jawab dan keterikatan emosional kepada kakak-kakaknya yang telah membiayai sekolahnya. Mereka telah memberikan arahan yang dianggap terbaik untuk masa depannya. Dia harus melanjutkan pendidikan di jurusan fisika. Namun, di sisi lain, semangat belajar Giyo di bidang itu kini hampir tidak ada. Dia lebih tertarik pada dunia olahraga. Dia merasa terjebak di persimpangan. Antara hasrat hatinya yang mengarah pada karir di bidang olahraga dan harapan kakak-kakaknya yang menginginkannya meniti jalur akademik dqn menjadi guru fisika.
Sembari meremas jari-jemarinya yang semakin tegang, batin Giyo terasa semakin terombang-ambing. Dia berusaha menyeimbangkan antara memenuhi ekspektasi kakak-kakaknya yang berarti bagi keuangan keluarga dan mengikuti hasratnya yang menyala-nyala dalam dunia olahraga. Dalam keheningan ruangan, derit kursi kuno itu seperti mencerminkan keraguan dan kegelisahan Giyo yang tak terungkapkan.
Dengan hati penuh kemasygulan, Giyo sempat membayangkan jika terpaksa memilih jurusan fisika. Dia mungkin akan menjadi seorang guru ASN yang dihormati karena kepandaian dan kepiawaiannya di bidang itu. Pikirannya terbang jauh, membayangkan juga dia akan mudah diterima di jurusan itu. Itu karena dia memang bukan termasuk anak yang lambat. Sejak SD dia selalu menduduki peringkat tiga besar di kelas dan timnya sering menjadi juara cerdas tangkas. Pikirannya terbang menjelajah waktu, sampai pada satu titik dia berhenti. Suatu ketika, dalam keheningan malam, di tengah-tengah kesunyian, dia pernah berbicara pada dirinya sendiri.
“Giyo, jangan ragu ragu. Kamu adalah anak pintar. ini adalah langkah penting yang bisa kau ambil. Jurusan fisika akan membawamu menuju masa depan yang gemilang. Sebagai guru ASN, kau akan menjadi tulang punggung keluarga. Mereka akan bangga padamu.”
Namun, tak hanya itu, hatinya berdegup kencang. Dia tahu bahwa sebelum menjadi guru ASN, banyak sekolah swasta yang akan membutuhkan pengetahuannya. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, dengan semangat yang membara, mengajar para siswa dengan penuh dedikasi. Pikirannya melambung tinggi, membayangkan betapa berartinya peran yang akan dimainkannya dalam mencerdaskan generasi mendatang.
Selain itu, Giyo juga menyadari, sebagaimana yang dikatakan kedua kakaknya, bahwa bakat dan keterampilannya akan dicari banyak siswa dan orang tua untuk mengajar les privat dan bimbingan belajar. Dia membayangkan dirinya duduk di meja belajar, di samping siswa-siswa yang haus akan ilmu. Melihat wajah-wajah penuh keinginan itu, Giyo merasa bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik, memberi mereka bimbingan yang tak akan mereka lupakan.
“Dengan ilmu yang kumiliki, aku bisa membuka jalan untuk orang lain. Aku bisa menjadi pencerah bagi mereka yang haus akan pengetahuan. Aku bisa memberikan yang terbaik untuk masa depan mereka,” pikir Giyo penuh semangat.
Namun semangat itu tiba-tiba pudar. Dalam kegelapan malam, di balik jendela kamarnya yang terbuka lebar, Giyo menelisik relung kalbunya dan menata ulang hatinya.
Bukankah selama beberapa tahun ini dia sudah menempa diri? Dilakukannya banyak sekali latihan. Bukan Latihan fisika, tetapi latihan fisik. Semua itu karena dia menggenggam mimpi-mimpi besar dan cita-cita yang menyala-nyala di hatinya. Dia yakin, pilihannya bukan jurusan fisika. Pasionnya adalah di lapangan hijau. Dunia olahraga. Bakat dan minat Giyo yang sesungguhnya ada di sana. Dunia akan menyambutnya dengan tangan terbuka, memberikan kesempatan untuk memenangi berbagai laga. Dia akan mengharumkan nama daerah dan tanah air, lalu memberi pengaruh positif bagi banyak orang.
Giyo memang remaja yang gemar berolahraga. Segala jenis olahraga dia sukai. Ia berlatih semuanya, mulai dari sepak bola, voli, basket, bulutangkis, renang, sampai senam dan bodybuilding, atau catur dan bridge. Dengan begitu otot-ototnya terbentuk dengan baik dan bobot tubuhnya sangat ideal. Dan jujur, sebenarnya dia melakukan semuanya karena terinspirasi oleh kedua orang kakaknya. mereka adalah tokoh tokoh olahraga di desanya. Mereka bahkan memiliki prestasi sampai tingkat kabupaten.
Setelah pergulatan batin yang panjang Giyo memberanikan diri menjatuhkan pilihan. Dengan keyakinan yang kuat, dia memutuskan untuk mengejar karir di bidang olahraga. Ia menyadari bahwa bakatnya dalam olahraga bisa membawanya jauh melebihi menjadi seorang guru fisika.
Di dalam hatinya, dia sering membayangkan keajaiban yang dapat dicapai melalui olahraga. Pikirannya terisi dengan citra-citra gemerlap stadion yang dipenuhi penonton yang antusias, sorakan-sorakan yang memenuhi udara, dan panggung kemenangan yang tak terlupakan.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan kegembiraan dan kepuasan ketika mengangkat trofi juara, melihat langit-langit podium, dan mendengar lagu kebangsaan berkumandang merdu di seluruh stadion. Itulah yang akan aku raih melalui olahraga,” gumam Giyo dalam hati.
Dia tahu bahwa jika dia mengabdikan dirinya sepenuh hati dalam bidang olahraga, bisa ada banyak pintu kesempatan yang terbuka. Sponsor-sponsor akan berdatangan, kontrak endorsement menggiurkan menanti, dan popularitasnya akan melambung tinggi. Pikirannya melambung ke masa depan gemilang yang dia bayangkan.
Selain itu, Giyo menyadari bahwa olahraga juga merupakan sarana untuk menginspirasi dan memberikan pengaruh positif kepada banyak orang. Dia membayangkan dirinya berdiri di hadapan ribuan penggemar, menceritakan kisah inspiratifnya, dan mendorong orang lain untuk mencapai mimpi mereka sendiri.
“Dalam olahraga, aku bisa menjadi panutan bagi orang lain. Aku bisa memotivasi mereka untuk berjuang keras, untuk tak pernah menyerah, dan menggapai puncak kesuksesan. Aku akan menjadi sosok yang menginspirasi, tidak hanya dalam ruang kelas,” pikir Giyo dengan semangat yang membara.
Dalam kegelapan malam itu, melalui jendela yang terbuka lebar, Giyo melihat jauh ke langit yang cerah penuh bintang. Sudah bulat keputusannya. Dia akan menggenggam erat mimpi-mimpi besar yang melambung tinggi. Dia percaya bahwa dengan karir di bidang olahraga ini, dia bisa mencapai hasil yang jauh melebihi menjadi seorang guru fisika, membawa namanya terpampang di puncak dunia, dan memberikan dampak yang mendalam bagi banyak orang.
“Giyo! Kenapa diam saja? Kamu dengarkah kata kata kami?” kembali suara menggelegar dari Hartoko terdengar. Gyo tersentak seperti disengat kalajengking. Pikirannya yang melayang kemana mana kembali mendarat di bumi. Giyo hanya bisa manggut-manggut menghormati perkataan kakaknya dengan pandangan mata kosong. Air muka bimbang menghiasi wajahnya.
Semua yang dikatakan kakaknya itu benar belaka. Sejak lahir, dia belum pernah melihat bapaknya. Pada saat ibunya mengandung dirinya di usia kandungan 8 bulan, ayahnya telah berpulang karena penyakit yang tak terduga. Kematian ayah Giyo menimbulkan luka mendalam dalam keluarga. Kehilangan seorang ayah merupakan kehilangan yang tak tergantikan. Apalagi bagi seorang anak yang belum pernah merasakan kehadiran ayahnya sejak lahir.
Kematian ayah Giyo meninggalkan dia dan kakak kakaknya dalam kondisi yatim. Tanpa figur ayah yang bisa memberikan dukungan, Giyo dqn kakak-kakaknya harus menghadapi tantangan hidup yang berat. Namun, meskipun kehilangan, Giyo beruntung memiliki ibu dan saudara-saudaranya yang sangat menyayanginya. Mereka memberikan cinta, perhatian, dan dukungan yang tidak tergantikan. Keberadaan ibu dan saudara-saudaranya menjadi penopang bagi Giyo, membantunya tumbuh menjadi remaja yang hampir tanpa hambatan fisik dan psikologis.
Meskipun Giyo telah mengalami kehilangan yang besar dalam kehidupannya, cinta dan perhatian yang diberikan oleh keluarganya telah membantu mengatasi kesulitan dan rintangan yang dia hadapi. Keadaan tersebut mendorong Giyo untuk menjadi lebih kuat dan mandiri. Dia belajar untuk menghadapi kehidupan dengan ketabahan dan tekad yang tinggi.
Kematian ayah Giyo tidak hanya meninggalkan kesedihan dan yang mendalam, tetapi juga memberi pengaruh besar pada kehidupan Giyo. Pengalaman ini mengajarkannya tentang arti keluarga, kerukunan, ketahanan, dan nilai-nilai kehidupan yang penting. Meskipun kehilangan ayahnya adalah beban berat yang harus dia pikul, Giyo mampu mengubahnya menjadi motivasi untuk tumbuh lebih baik dan menggapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Ibunya yang tabah dan selalu mencintai anak-anaknya berusaha membesarkan empat bersaudara yang menjadi buah hatinya dengan segenap kemampuannya. Usia mereka terpaut tiga sampai empat tahun antara satu anak dengan yang lainnya. Hanya dirinyalah yang pautan usianya paling banyak dengan saudara diatasnya. Dia lahir ketika kakak wanitanya sudah berumur 8 tahun.
Giyo adalah anak paling bontot dalam keluarganya. Dia lahir ketika Hartoko, kakaknya yang paling besar baru lulus Sekolah Guru Olahraga. Sedangkan kakaknya yang nomor dua, Suroso, saat itu baru lulus SMP. Dia akan mengikuti jejak Hartoko untuk menjadi guru olahraga SD.
Sejak kecil yang Giyo tahu, Hartoko adalah pengganti ayahnya. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak dapat berbuat terlalu banyak untuk mengurusi semua keperluannya. Maka segala sesuatu yang terkait dengan masa depan Giyo, terutama yang terkait dengan pendidikannya, yang mengurusi memang kakak-kakaknya itu.
“Giyo. Kamu dengar kata-kata kakakmu ini?” suara Suroso yang keras kembali menyambar gendang telinganya. ”Jangan hanya diam, tapi segera putuskan,” sambungnya penuh tekanan.
Sesaat Giyo terhenyak dari lamunannya. Lalu sambil masih tetap menunduk dia berusaha mengangguk berat. Wajahnya pasi, tapi matanya memerah. Pandangannya nanar. Tekanan psikologis yang dia alami begitu berat. Tidak biasanya dia berhadapan dengan kedua orang kakaknya yang sedang marah seperti itu.
Melihat anggukan berat Giyo maka Suroso cepat melanjutkan. “Baik. Kalau begitu Kakak minta supaya kamu urungkan niatmu untuk menjadi guru olahraga. Apa kau kira enak menjadi seorang guru olahraga?”
Pertanyaan dari Suroso itu jelas jawabannya ada dua, yaitu enak dan tidak enak. Tetapi dalam kondisi seperti itu Giyo harus tahu bahwa jawaban yang dikehendaki Suroso adalah tidak enak.
Giyo hanya bisa diam seribu bahasa. Di dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan yang saling bertentangan.
“Apakah benar apa yang dikatakan kakakku?” gumam Giyo dalam hati. “Bukankah banyak atlet olahraga yang sukses? Bukankah banyak sarjana lulusan pendidikan olahraga yang kemudian menjadi pelatih bahkan sampai terbang ke berbagai negara karena mengikuti event-event olahraga kelas dunia?”
Ingin sekali dia membantah pernyataan kakaknya itu, tetapi dia benar-benar ciut nyali. Terlalu banyak hutang budi yang selama ini dia terima dari keduanya. Jika sampai membantah, pasti dia dianggap tidak tahu diri. Tidak sanggup rasanya jika dia harus menerima anggapan seperti itu.
“Bagaimana aku bisa melawan pernyataan mereka?” pikir Giyo penuh kebingungan. “Mereka adalah keluargaku, orang-orang terdekat yang selama ini memberikan segalanya untukku. Apa yang bisa aku tunjukkan sebagai bukti bahwa aku mampu sukses dalam bidang olahraga? Tidak ada prestasi yang sangat berarti yang bisa kutunjukkan kepada mereka saat ini. Ini karena sebenarnya saat ini aku sedang menempa diri.”
Dalam diam, Giyo merenungkan semua kata-kata dan keraguan yang melintas dalam benaknya. Dia tertekan dengan ekspektasi yang dituntut darinya. Namun, di balik semua itu, ada keinginan yang kuat untuk membuktikan bahwa dirinya mampu meraih kesuksesan, tidak peduli dengan ketidakhadiran ayahnya dan anggapan orang lain.
“Harus ada cara untuk membuktikan bahwa aku bisa melampaui harapan mereka,” bisik Giyo dalam hati. “Aku harus menemukan jalan untuk membuktikan bahwa olahraga adalah passionku. Aku akan berjuang untuk meraih impianku meskipun tantangan dan keraguan yang ada.”
Dalam keheningan batinnya, Giyo berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan membiarkan keraguan orang lain meruntuhkan semangatnya. Dia akan terus bekerja keras, belajar, dan mengembangkan kemampuan olahraganya. Walaupun tidak mudah, Giyo bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya bisa mencapai kesuksesan dan membawa kebanggaan bagi keluarganya, termasuk mendiang ayahnya.
“Menjadi guru olahraga itu resikonya sangat tinggi. Tanggung jawabnya besar. Kamu tentu mendengar,” kata Hartoko serius kepada Giyo. “Beberapa hari yang lalu, ada kecelakaan di salah satu SMA di Kabupaten sebelah. Seorang anak tenggelam ketika berenang. Dan sekarang yang berhadapan dengan pihak kepolisian adalah guru olahraganya.”
Giyo mendengarkan dengan perasaan cemas yang semakin membesar. Dia mengerti bahwa Hartoko ingin memberikan perspektif yang realistis mengenai profesi guru olahraga.
“Bayangkan, Giyo,” Hartoko melanjutkan, “Sebagai seorang guru olahraga, kita memiliki tanggung jawab besar terhadap keselamatan siswa-siswa kita. Saat mengajar olahraga, kita harus memperhatikan setiap gerakan, memberikan instruksi yang tepat, dan menjaga agar lingkungan latihan aman. Namun, tak dapat dipungkiri, risiko kecelakaan atau cedera tetap ada. Apalagi jika terjadi hal-hal yang tidak terduga.”
Hartoko menatap Giyo lurus-lurus. Berusaha membuatnya memahami pentingnya kehati-hatian dan kewaspadaan dalam profesi guru olahraga. juga resiko besar yang harus ditanggung.
“Dalam kasus kecelakaan itu, guru olahraga harus menghadapi konsekuensi hukum yang berat,” Suroso menambahi dengan suara tidak kalah serius dari Hartoko.
“Mereka akan dipertanyakan, diperiksa, dan mungkin saja disalahkan. Bahkan bisa masuk bui. Sebagai guru olahraga, kita harus benar-benar siap menghadapi semua itu. Kepercayaan orang tua, sekolah, dan masyarakat. Itu tergantung pada kemampuan kita menjalankan tanggung jawab ini dengan baik.”
Hartoko dan Suroso bersikukuh ingin memberikan gambaran kepada Giyo bahwa memilih jalur pendidikan olahraga adalah pilihan yang akan menghadapkan dirinya pada risiko dan tanggung jawab berat yang melekat pada profesi tersebut.
Giyo adalah seorang anak laki-laki dengan kepribadian yang lembut. Hatinya mudah tersentuh dengan rasa Iba. Sejak kecil dia dibesarkan oleh ibunya dengan dibantu oleh kakak-kakaknya. Hubungan emosionalnya dengan ibunya sangat dekat. Sementara ibunya adalah seorang wanita lembut yang mudah menarik iba. Sifat lembut dan mudah merasa Iba dari ibunya inilah yang menurun kepadanya.
Empatinya sangat tinggi sehingga kadang-kadang dia korbankan kepentingannya untuk mengalah dan menuruti kepentingan orang lain, asalkan tidak menyakiti mereka.
“Sekarang begini saja. Kami sudah berembuk bahwa adik-adik kami tidak boleh ada yang menekuni profesi seperti kami,” kata Suroso.
“Lihat kakakmu Si Retno, dia memilih jurusan Biologi karena saran kami. Dan studinya lancar-lancar saja. Dia bahkan bisa lulus kumlaud dan sekarang menjadi guru biologi di SMA paling favorit di Semarang sana. Apa kamu tidak ingin seperti kakakmu?” Hartoko berceramah panjang lebar.
“Sekarang begini saja. Ubah pilihanmu dari fakultas pendidikan olahraga menjadi MIPA. Kamu pilih saja fisika atau matematika,” Suroso berkata tegas.
“Tapi Kak…” kata Giyo.
“Tidak ada tapi-tapian! Keputusan kami sudah bulat. Kamu jika ingin kuliah dalam tanggungan kami harus memilih jurusan fisika atau matematika IKIP Karangmalang Yogyakarta,” kata Hartoko tegas.
Mendengar kata-kata terakhir ini, dada Giyo menjadi sesak. Serasa tiba-tiba dijatuhi beban yang beratnya tak terlukiskan. Setiap detak jantungnya menderu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Nafasnya tersengal. Sebuah batu raksasa seperti menghimpit di punggungnya. Sementara itu, genggaman tangannya dibuka paksa. Seakan-akan kehidupan yang dia impikan dan sudah dia pegang erat dalam genggaman tiba-tiba direnggut dan dicampakkan.
Telinganya tiba-tiba berdenging, mengisi keheningan ruangan dengan kehancuran hatinya. Keputusan sulit yang harus diambil menjadi beban yang tak terbendung. Kepalanya terasa pusing, dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak kunjung mendapatkan jawaban. Bagaimana mungkin dia harus memilih fisika atau matematika yang selama ini tidak disukainya? Passion terkuatnya, cintanya pada olahraga, akan terhancur jika dia menyerah pada tekanan orang lain.
Sejenak, Giyo memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya di tengah kekacauan yang melanda. Ditutupinya mukanya dengan kedua telapak tangannya, seolah-olah mencoba menyembunyikan kesedihan yang meluber di matanya. Sesekali, dia memijat pelan keningnya yang berubah menjadi lebih tinggi suhunya. Hatinya terbelah di antara impian dan ekspektasi orang lain, dan bimbang yang tak terkira menyelimuti benaknya.
Dalam keheningan yang mencekam, Giyo merasakan keputusasaan yang membelenggu dirinya. Tapi di balik semua rasa bimbang dan kegelisahan, masih ada nyala keberanian yang berkobar dalam lubuk hatinya. Ia mengingat semua momen yang dia lalui di lapangan olahraga, ketika semangatnya terbakar dan kebahagiaan meluap dalam setiap gerakannya. Itu adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dipisahkan.
Giyo tahu, mengorbankan passionnya untuk memenuhi ekspektasi orang lain akan membuatnya hidup dalam kepahitan dan penyesalan. Namun, di sisi lain, melawan arus dan mengejar impian akan membawa tantangan yang tidak ringan. Namun, dia juga menyadari bahwa hanya dengan mengikuti passionnya, dia akan merasakan kehidupan yang penuh dengan arti dan kepuasan.
Dalam ketidakpastian yang menyelimuti pikirannya, Giyo mengumpulkan keberanian dalam-dalam. Ia tahu bahwa harus ada keputusan yang diambil, dan tak ada yang bisa mengambilnya kecuali dirinya sendiri. Dalam hening yang menyiksanya, Giyo berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyerah pada tekanan dan meraih impian-impian olahraganya. Tak peduli seberapa berat jalan yang harus dia tempuh.
Mata Giyo terbuka perlahan, dipenuhi dengan tekad yang menggelora di dalamnya. Dalam pandangannya, terpancar kilatan semangat yang tak tergoyahkan. Ingin sekali dia mengikuti hatinya, mengambil risiko, dan membuktikan bahwa olahraga bukanlah sekadar hobi, tetapi panggilan jiwanya. Semula keputusannya sudah bulat, bahwa dia akan mengejar mimpi-mimpinya seiring dengan keberaniannya untuk melawan arus.
Giyo berusaha menemukan kekuatan baru yang tumbuh dari keraguan dan ketakutan yang melilitnya. Ia akan mengikuti jalan yang diarahkan oleh hatinya, menantang takdir dan mengukir jejaknya sendiri.
Namun kembali lagi. Hatinya yang terlalu lembut masih saja berpikir untuk tidak menyusahkan orang-orang yang selama ini menanam budi padanya. Ibunya, kayak-kakaknya, bahkan almarhum ayahnya, mungkin semuanya akan sedih jika dia terus menuruti hati dan memberontak dari mereka. Akhirnya dia hanya diam terpaku. Bibir yang semula akan ia gunakan untuk mendebat dan mempertahankan keyakinan dan mimpi-mimpinya hanya bisa terkatup rapat.
“Jika kamu diam itu artinya kamu setuju dengan keputusan kami,” akhirnya Hartoko mengambil kesimpulan cepat. “Ini blangko pendaftaran di perguruan tinggi sudah kami belikan dan isi. Pilihan pertamamu adalah fisika dan pilihan keduamu adalah matematika.” Tegas Hartoko memberi komando.
Tidak terasa waktu berjalan cepat. Akhirnya Giyo lulus tes dan menjadi mahasiswa D3 jurusan fisika IKIP Karangmalang atau UNY sekarang. Indeks prestasinya pada semester pertama hancur-hancuran. Di semester kedua mungkin nasibnya juga akan sama.
Selama dua semester itu minat belajar fisikanya rendah sekali. Sejak pagi sampai sore Giyo lebih suka menghabiskan waktu di sekitar gelanggang olahraga. Ia seringkali hanya duduk-duduk sambil menikmati permainan beberapa jagoan tenis yang sedang berlatih keras. Kebetulan tempat kuliahnya sangat berdekatan dengan gelanggang olahraga di kampusnya.
Ia membayangkan seandainya dia bisa terjun di lapangan itu tentu dia akan senang sekali. Ia tidak perlu berkutat dengan rumus-rumus fisika yang sangat tidak disenanginya. Atau dia tidak perlu mendengarkan omelan dosen tua yang selalu menyalahkan mahasiswanya.
Suara dosen tua yang mengomel itu masih terngiang jelas di telinganya. Dengan bawel dia mengingatkan akan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa dan harapan orang tua ataupun keluarga yang terletak di pundaknya. Apa yang dikatakan oleh dosen tua itu sesungguhnya benar, namun saat ini, kelas Fisika Dasar 2 terasa seperti penjara Guantanamo atau Alcatraz yang membelenggu keinginan dan semangatnya.
“Giyo! Apa yang kamu lakukan disini?” Sebuah suara serak serak basah tiba-tiba mengejutkan Giyo. Segera ditengokkannya kepalanya ke arah sumber suara. Begitu dia tahu siapa yang menegur, ingin rasanya Giyo terbang atau menghilang. Kalau perlu dia ingin berubah menjadi batu kerikil atau rerumputan sehingga orang yang menegurnya tidak menyadari kehadirannya. Namun, semuanya sudah terlambat. Buyarlah semua angan-angannya. Dosen wanita yang paling tidak disukainya itu kini telah berdiri sejarak tiga meter dari tempatnya duduk nongkrong. Giyo tertangkap basah membolos! Badannya kaku seperti tersetrum aliran es beku. Dia diam seribu bahasa.
Dosen wanita tua itu, sosok yang mengundang rasa benci yang mendalam, tiba-tiba muncul seperti hantu dari kegelapan. Tatapan tajamnya menusuk jiwa, membuat Giyo terpaku dan kehilangan kata-kata. Ketakutan memenuhi ruang hampa di antara mereka.
“Giyo! Ibu bertanya. Dengar tidak?” terdengar suara dosen itu kembali memecah suasana yang tiba tiba saja menjadi sunyi dan mencekam. Suara itu seperti guntur yang mengguncang hati Giyo, memaksanya untuk kembali menyadari keberadaan dosen wanita itu.
Dalam kebingungan dan kecemasan, Giyo merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab, namun suaranya terjebak di tenggorokan yang kering. Seakan waktu berhenti, Giyo terperangkap dalam momen yang menyiksanya, berhadapan dengan dosen wanita tua yang baginya bagaikan penuh kekuatan menakutkan.
Giyo terkejut di tengah-tengah ruang kosong pikirannya akhirnya terbata menjawab. “B-Bu D-Dosen, maaf, saya sedang…” tergugugu Giyo mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Mengapa kamu bolos kuliah? Apakah kamu menganggap mata kuliah ini tidak penting?” tanya sang dosen dengan nada tajam. Matanya menyapu pandang ke lapangan tenis yang mulai sepi, lalu menatap Giyo dengan sikap tak terima.
Giyo terdiam dan mencoba menghindari tatapan mata sang dosen. Semakin ditatap dia semakin merasa bersalah. Akhirnya diberanikan dirinya menatap pandangan mata dosen yang tidak disukainya itu. Dia mencoba mencari kata-kata yang jujur dan tepat.
“Maaf ya Bu. Sejujurnya saya merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton,” katanya dengan suara bergetar pada akhirnya.
“Hmm.. Begitu ya?” Berkata Ibu dosen dengan mata penuh selidik.
Ditatap seperti itu hati Giyo jadi keder. “Semakin seram saja pandangan mata dosen tua ini,” katanya bergidik di dalam hati. Tapi dia sudah kepalang basah. Semua harus dia hadapi, apapun resikonya.
“Saya tidak tahu sebab pastinya. Saya cukup bisa mengikuti pelajaran pada setiap mata kuliah yang saya ikuti Bu. Tapi saya merasa kehilangan semangat dan motivasi untuk belajar, terutama di mata kuliah, maaf, Fisika dasar 2,” kata Giyo jujur.
Dalam hati dia siap dihukum kalau keterus terangannya membuat sang dosen murka. Namun ternyata dosen itu sepertinya justru bisa menerima ungkapan jujurnya. Sang dosen akhirnya menatapnya dengan pandangan berubah lebih lunak. Sepertinya dia bisa memaklumi kondisinya. Maka diberanikannya sekali lagi untuk melanjutkan kata-katanya.
“Saya mencoba menemukan makna hidup yang sebenarnya. Tapi terkadang saya merasa bahwa pilihan yang saya ambil mungkin tidak sesuai dengan impian dan keinginan saya sendiri,” akhirnya Giyo dapat mengungkapkan kegelisahannya dengan jujur. Ditelannya ludah sebelum melanjutkan.
“Saya jujur, berada di jurusan Fisika bukan atas kemauan saya sendiri. Sebenarnya saya inginnya menjadi guru olah raga. Menjadi atlet atau pelatih yang bisa terbang melanglang buana. Mengharumkan nama bangsa dengan meraih kemenangan di banyak laga,” katanya dengan suara bergetar mengungkapkan semua yang mengganjal di hatinya. Matanya sedikit berkaca kaca.
“Namun kedua kakak saya membuat saya harus kuliah di jurusan fisika,” lanjutnya dengan mata memerah menahan sesal yang menggumpal. Nafasnya sedikit tersengal.
Dosen wanita tua itu mengangguk-angguk lalu diam sejenak. Matanya yang penuh pengalaman hidup menyorot Giyo dengan tatapan yang tak terbaca. Kemudian, dia menghela napas dalam-dalam. Sesaat kemudian dia mencoba mengingatkan GIyo dengan nasehat bijak.
“Giyo, hidup ini memang tidak selalu tentang rutinitas dan tugas-tugas. Terkadang, kita perlu menghadapi dilema dan mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan kita,” katanya dengan kalimat tertata dan penuh arti.
Giyo tertunduk, mengangguk membenarkan kata kata dosen tua itu. Sejujurnya semua yang diucapkan oleh sang dosen memang tidak terbantahkan.
“Tapi, ingatlah bahwa hidup juga membutuhkan komitmen dan ketekunan,” lanjutnya. “Jangan biarkan dirimu terjebak dalam siklus kebosanan dan kehilangan semangat. Temukan keseimbangan antara impianmu dan tanggung jawab yang ada di hadapanmu,” tukasnya.
Tiba-tiba seperti ada air jernih yang sangat dingin yang mengalir deras ke dalam relung batin Giyo. Hatinya yang kering kerontang, panas dan berdebu tiba-tiba menjadi lembut, sejuk, jernih dan suasananya terang benderang. Ucapan Ibu dosen itu mulai menggugah hatinya. Giyo mengangguk-angguk membenarkannya.
“Pandai pandailah memaafkan diri sendiri. Syukuri hidupmu. Jangan terlalu lama dalam mencari jati diri. Waktu terus berlalu dan peluang terkadang hanya datang sekali,” kata sang dosen mengingatkan dengan suara penuh kebijaksanaan.
Giyo terpana mendengar kata-kata dari dosen wanita tua itu. Tak disangka sang dosen yang selama ini dia anggap cerewet dan pemarah, sebenarnya adalah malaikat bijak yang membawa banyak hikmah. Matanya mulai melihat harapan baru dan memunculkan bara semangat yang terpendam.
Dalam keheningan suasana sore yang dipenuhi dengan peristiwa masa lalu itu Giyo seperti mendapat hidayah. Hatinya terbuka. Pertemuannya dengan sang dosen di tepi lapangan tenis itu membuatnya seolah lahir kembali. Dosen yang semula membosankan kini bagaikan malaikat pembawa rahmat. Ia merasa ada api kecil yang mulai berkobar di dalam dirinya. Ia menjadi semakin tahu bahwa kehidupan adalah tentang menemukan makna dan melampaui batasan-batasan yang ada.
Dengan tekad yang baru, Giyo mengangkat kepalanya dan bertatap langsung dengan sang dosen wanita tua itu. Didekatinya sang dosen yang dalam pandangannya kini menjadi wanita bijak yang berwajah teduh itu lalu disalaminya dengan takzim.
“Terima kasih, Ibu. Saya telah Ibu sadarkan. Maafkan jika selama ini tingkah polah saya membuat Ibu tidak berkenan,” katanya penuh penyesalan. Matanya berkaca penuh penyesalan.
Sang dosen dapat melihat ketulusan Tikno. Dia lalu mengangguk angguk dan tersenyum puas. “Lalu apa yang akan kamu lakukan Giyo?” tanyanya lebih lanjut.
“Ibu. Saya akan mencoba menemukan kembali semangat dan komitmen dalam belajar. Saya berjanji tidak akan terlalu lama dalam mencari jati diri saya. Saya akan mengejar impian saya dengan keberanian dan menjaga keseimbangan dengan tanggung jawab yang ada,” ucapnya dengan mantap.
Dosen wanita tua itu kembali tersenyum. Tatapannya penuh dengan harapan dan pengertian. “Baiklah, Giyo. Saya akan memberikan kesempatan kedua padamu. Mulai sekarang, berikan yang terbaik dalam kuliahmu. Temukan kekuatanmu untuk melampaui kebosanan. Jangan terlalu lama, karena waktu tidak akan menunggu kita.”
Dengan senyum percaya diri yang penuh rasa terima kasih, Giyo berdiri dan melangkah keluar dari tempatnya nongkrong. Dia merasa telah menjadi pribadi yang baru dan penuh semangat. Disingkirkannya jauh-jauh pikiran negatif tentang sang dosen dan mata kuliahnya yang pernah menjadi penjara pikirannya. Sebuah petualangan baru di bidang fisika menanti, dan kali ini, dia tidak akan terlalu lama dalam mencari jati dirinya.
Kejadian itu berlangsung kira-kira 30 tahun yang lalu. Kebimbangannya yang terlalu lama untuk memutuskan jalur mana yang harus Giyo pilih membuatnya berlarut larut terombang-ambing cukup lama. Sampai akhirnya pada semester ke-3 dia mulai bisa memantapkan diri.
Menjadi guru fisika adalah Pilihan hidupnya. Berkali-kali Giyo meyakinkan dirinya agar hatinya tidak goyah lagi. Sejak saat itu ditekuninya setiap mata kuliah di jurusan yang dipilihkan oleh kedua orang kakaknya itu. Terlalu lama dia memutuskan pilihan hidupnya, tetapi meski terlambat itu tetap lebih baik daripada bimbang seumur hidupnya.
Walaupun agak terlambat akhirnya Giyo lulus juga. Karena dia terikat dengan beasiswa tunjangan ikatan dinas, akhirnya nasib membawanya untuk menjadi salah satu guru fisika di Riau. Dia banyak belajar agar jangan terlalu lama memutuskan sesuatu.
Sekian tahun kemudian dia sudah kembali ke kampung halamannya sambil membawa istri orang sana. Sekarang Giyo sudah menjadi salah seorang kepala sekolah di sebuah SMA yang cukup ternama di Kabupaten tempat kelahirannya.
Salam Menemu Baling 👌
_______________________________
CATATAN: Sampangan, 15 04 2018 14.20 WIB. Ditulis sambil jalan pagi dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Disempurnakan dengan strategi Tali Bambuapus Giri.
Disarikan dari kisah hidup salah seorang kawan baru yang ditemui di kota lain.
(Penulis, Dr. Mampuono, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC, Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas, dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ).