Published On: 11 March 2023Categories: Pojok Sastra, Puisi

WIDURI PAGI 
Oleh: Dr. Mampuono, S.Pd., M.Kom. (Tali Bambuapus Giri)

Damai merayap perlahan
Berselimut  hangat menyergap
Berlari dari timur
Uap embun khusuk menari
Di sela pucuk pisang dan siwalan
Ketika semburat pagi mengintip antara sisa hujan
Adalah ketenteraman

Dan rumah-rumah kami
Dengan uap tebal yang menari-nari
Dari kukusan-kukusan di atas dandang
Menyelip di antara dinding bambu
Atau papan-papan usang
Dan genting-genting berlumut
Atau atap ilalang tempat semut bersarang
Adalah hidup kami

Musim hujan ini sawah melimpah,
Sungai  kecil itu  setia mengalirkan berkah
Bersyukur kami
Para  petani yang berharap tinggi
Pada mendung yang bergantung
Pada sedangnya curah air
Banjir dan kekeringan bukanlah pilihan
Sebab sawah kami  tadah hujan

Musik alam prenjak, jalak, dan kutilang
Dan kokok ayam hutan dari petingan
Ditimpa bahana perkusi ala Widuri
Ditingkah tawa renyah gadis-gadis remaja
Mendaulat pagi
Bergema  memenuhi Widuri

Wagini, Temu, Ngaipah
Atau Samah, Suginem, dan Kartini
Hati mereka berseri-seri
Di tangan mereka
Batang alu memukul lumpang
Atau lesung trembesi  panjang
Menjadi musik merdu mendayu

Kami menyebutnya kotekan
Itu pertanda
Ada muda-mudi berbahagia
Anak  gadis warga kami naik pelaminan
Dan jodohnya tidak jauh
Jejaka kampung sebelah

Begitu hidup kami
Di tanah kelahiran Widuri
Sederhana adalah bahagia
Kenangan terpatri adalah chemistry
Setengah abad sudah kujalani

(Sampangan, menjelang pertengahan Maret 2023)

 

DESKRIPSI PUISI ‘WIDURI PAGI”

“Widuri Pagi” adalah sebuah puisi yang menggambarkan suasana pagi di sebuah desa yang tenang dan damai di tengah alam yang asri. Puisi ini membawa pembaca untuk merasakan keindahan alam pagi yang dihiasi oleh embun, pucuk pisang, siwalan, dan semburat warna pagi yang mengintip di antara sisa-sisa hujan.

Di bait pertama puisi “Widuri Pagi” penulis puisi ini, Dr. Mampuono ingin menggambarkan suasana pagi yang tenang dan damai di sebuah desa yang dihiasi oleh alam yang indah. “Damai merayap perlahan” mencerminkan ketenangan dan ketentraman yang hadir di desa tersebut. “Berselimut hangat” menggambarkan suasana yang nyaman dan hangat di pagi hari. “Uap embun khusuk menari” menggambarkan keindahan alam yang dihiasi oleh embun di atas dedaunan yang menari-nari.

Sementara itu, “di sela pucuk pisang dan siwalan” menggambarkan keberadaan pohon-pohon pisang dan siwalan di sekitar desa. “Ketika semburat pagi mengintip antara sisa hujan” menggambarkan semburat warna pagi yang muncul setelah hujan, yang membuat suasana pagi semakin indah dan menenangkan.

Secara keseluruhan, bagian ini menggambarkan keindahan alam di pagi hari yang membuat suasana desa menjadi tenang dan damai, serta memberikan ketenteraman bagi penduduknya.

Bait kedua dalam puisi “Widuri Pagi” Dr. Mampuono ingin menggambarkan bagaimana uap tebal dari kukusan-kukusan yang ada di atas dandang keluar dari dalam rumah-rumah penduduk desa melalui celah-celah dinding bambu, papan-papan usang, dan genting-genting berlumut. Uap tersebut menciptakan suasana yang kental dan memberikan gambaran tentang kehidupan sehari-hari penduduk desa.

Dalam konteks ini, uap kukusan menjadi simbol dari aktivitas memasak makanan di dalam rumah. Kukusan yang dimaksud adalah alat masak tradisional yang digunakan oleh penduduk desa untuk memasak makanan sehari-hari seperti nasi, sayuran, dan lauk pauk. Kukusan tersebut diisi dengan air yang dipanaskan hingga uap keluar dan memasak makanan yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, uap tersebut juga bisa merepresentasikan keringat dan kerja keras penduduk desa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Melalui gambaran ini, puisi “Widuri Pagi” menggambarkan kehidupan sederhana penduduk desa yang masih mengandalkan alat-alat tradisional dalam aktivitas sehari-hari mereka. Meskipun rumah-rumah mereka tidak megah dan modern, tetapi di dalamnya terdapat nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat dihargai.

Pada bagian ini, penulis menggambarkan kebahagiaan para petani di desa yang hidupnya bergantung pada hasil pertanian, terutama pada musim hujan. Musim hujan yang melimpah telah membuat sawah mereka menjadi subur dan memberikan berkah bagi sungai kecil yang mengalir di desa tersebut.

Para petani merasa bersyukur dan berharap tinggi pada kehadiran mendung dan curah hujan yang ukurannya sedang karena sawah tadah hujan rawan banjir dan kekeringan, karena itu akan membuat tanah mereka menjadi lebih subur dan memberikan hasil yang melimpah. Penulis juga menunjukkan bahwa musik alam dari burung-burung seperti prenjak, jalak, dan kutilang, serta suara kokok ayam hutan yang berasal dari petingan atau hutan bambu, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan para petani di desa.

Kehadiran musik alam tersebut ditimpa oleh suara perkusi ala Widuri dan tawa renyah dari gadis-gadis remaja yang mendaulat pagi. Semua hal tersebut menjadi simbol kebahagiaan dan kegembiraan yang mengiringi kehidupan para petani di desa tersebut. Pada intinya, bagian ini menunjukkan betapa pentingnya alam dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat di desa, terutama pada musim hujan yang memberikan berkah bagi kehidupan mereka

Tiga bait terakhir menggambarkan sebuah tradisi yang terjadi di desa Widuri, yaitu kotekan. Kotekan adalah musik tradisional yang dimainkan dengan alu lesung dan lumpang. Dalam tradisi ini, para gadis remaja dari desa tersebut membawa alu atau batang penumbuk padi  dan bermain musik bersama dengan cara memukulkan ujungnya (nutu) ke lesung dan lumpang di pagi hari.

Nama-nama Wagini, Temu, Ngaipah, Samah, Suginem, dan Kartini adalah nama-nama para gadis remaja yang ikut serta dalam tradisi kotekan tersebut. Dalam suasana yang ramai dan riang, mereka memainkan alat musik tradisional tersebut, sambil tertawa-tawa dan berbahagia.

Di akhir bagian ini, puisi menyebutkan bahwa kotekan adalah pertanda bahwa ada muda-mudi yang berbahagia dan akan naik pelaminan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kotekan bukan hanya sebuah hiburan semata, tetapi juga memiliki makna sosial dan budaya yang dalam bagi masyarakat desa Widuri.

Selanjutnya, puisi menggambarkan bahwa kehidupan di desa Widuri sangat sederhana namun bahagia. Di sinilah tempat penulis , Dr. Mampuono,  pernah menjalani hidupnya setengah abad lalu, dan kenangan indah dari masa lalu terpatri menjadi chemistry dalam hatinya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ikatan manusia dengan lingkungannya, dan betapa berharganya kenangan dan tradisi dalam kehidupan manusia.

Dalam puisi ini, penulis, Dr. Mampuono, menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta dan kekayaan, melainkan pada kehidupan yang sederhana dan bergembira di tengah alam yang indah.