Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Published On: 16 April 2021Categories: Artikel Populer

Oleh: Nodi Herhana – SMAN 1 Bojong Kab. Pekalongan

 

Lika-Liku Mapel Pancasila

Sudah menjadi keniscayaan bahwa dalam sebuah negara harus memilki suatu landasan fundamental yang menjadi roh bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara yang lahir dari perjuangan panjang rakyatnya, landasan fundamental lahir dari khasanah dan kebudayaan asli bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu digali, ditemukan, dan dikristalkan dalam bentuk mahakarya yang kita kenal dengan nama Pancasila. Proses transformasi ilmu dan nilai Pancasila yang paling efektif adalah melalui jalur pendidikan. Seiring dengan dinamika perjalanan bangsa ini yang “labil” begitu pula dengan perjalanan kurikulum pendidikan kita yang sering berubah-ubah. Bukan hal yang sangat perlu diperdebatkan karena sejatinya kita masih mencari bentuk yang ideal yang cocok diterapkan di Indonesia. Alangkah indahnya perdebatan dialihkan untuk berdiskusi merumuskan bentuk terbaik dari kurikulum.

Mata Pelajaran “Pendidikan Pancasila” yang menjadi pusat transformasi ilmu dan nilai tentang Pancasila mengalami banyak perubahan nama seiring perubahan kurikulum yang terjadi. Dewasa ini mata pelajaran PPKn berawal dari tahun 1957 yang mulai diperkenalkan sebagai mata pelajaran Kewarganegaraan. Lalu, pada tahun 1959 diganti menjadi mata pelajaran Civics  di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Selanjutnya, pada tahun 1962 terjadi perubahan dan  pergantian dari mata pelajaran Civics menjadi Kewargaan Negara. Perubahan berikutnya terjadi lagi pada tahun Tahun 1968.  Pada tahun ini keluar kurikulum 1968 sehingga istilah Kewargaan Negara diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian pada  Tahun 1975, terjadi kembali perubahan.  Pada tahun ini muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau PMP  menggantikan PKn. Pada tahun 1994 terjadi kembali perubahan nama mata pelajaran PMP menjadi  mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan  atau PPKn. Kemudian, pada tahun 2006 berdasarkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) muncul mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn menggantikan PPKn. Terakhir pada tahun 2013, seiringan perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 2013, maka mata pelajaran PKn berubah menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.

 

Ditengah Kepungan Ideologi Dunia

Dewasa ini munculnya era disrupsi disamping membawa perubahan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi disisi lain menimbulkan kegelisahan moral bagi bangsa berkembang seperti Indonesia. Bukan hal mudah, kesenjangan sosial yang semakin nyata dan turbulensi politik yang semakin tidak terkendali membuat Indonesia kehilangan arah dan pondasi kebangsaan meluntur. Masyarakat Indonesia masih terlalu “latah” dengan kebudayaan asing yang sejatinya bertentangan dengan adat ketimuran yang gotong royong, ramah dan sopan santun. Kemampuan masyarakat Indonesia yang local genius atau memiliki sifat selektif dalam menerima nilai dari bangsa asing semakin hari semakin melemah, sehingga sangat mudah untuk menjadi “pengekor” dari kebudayaan asing tanpa mampu mempertahankan jati dirinya.

Gempuran dari berbagai arah angin menyebabkan Indonesia menjadi sesak nafas. Munculnya isu akan kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan mencuatnya gerakan-gerakan yang diindikasikan terkait dengan isu Khilafah atau ISIS menimbulkan kewaspadaan terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara. Belum lagi budaya fanatik k-popers dan budaya individualisme yang mulai jadi budaya milenial Indonesia. Keresahan yang dirasa lebih urgent sebenarnya adalah melunturnya kesadaran masyarakat Indonesia oleh “kesamaran” budaya barat yang menjangkiti mental Indonesia tanpa merasa terjangkiti. Begitu halusnya nilai-nilai asing terinternalisasi oleh generasi milenial saat ini.

Generasi muda yang menjadi harapan dan masa depan bangsa Indonesia terasa sangat rentan dalam menghadapi pusaran badai degradasi moral. Terlalu banyak berita-berita di media cetak dan elektronik tentang mirisnya kelakuan para remaja milenial ini, mulai dari terjerumus pada minuman keras, narkoba, seks bebas, pembullyan, hingga tawuran yang menyebabkan korban jiwa. Berbagai hal diatas tidak mungkin untuk dibiarkan begitu saja. Butuh komitmen dari berbagai pihak untuk menyelamatkan generasi muda dari jurang kehancuran.

 

Maksimalisasi Peran Pendidikan Pancasila

Ujung tombak dari proses maksimalisasi peran Pendidikan Pancasila tidak lain adalah melalui pembelajaran di sekolah. Perlu ada pembaharuan baik dalam muatan maupun metode pembelajarannya. Muatan yang diajarkan harus bersifat objektif dan kontekstual sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, tidak boleh berat sebelah. Pembelajaran juga harus dilaksanakan dengan prinsip pembelajaran yang menyenangkan dan berpusat pada siswa, bukan lagi dengan suasana yang kaku dan membosankan. Pemerintah tidak hanya berfokus pada idealnya kurikulum tetapi juga peningkatan kapasitas guru yang akan mampu mentransfer ilmu dan nilai moral Pancasila dengan lebih efektif. Mapel “Pendidikan Pancasila” adalah hal mutlak yang harus ada di negara Pancasila, bagaimana mungkin Pancasila akan bisa eksis jika tidak ada pembelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan?