Published On: 10 December 2021Categories: Artikel Pendidikan, Headline

Pujiadi

Widyaprada LPMP Jawa Tengah

E-mail: pujiadi.lpmpjateng@gmail.com

 

Abstrak

Kecemasan yang dialami oleh siswa berkaitan dengan subyek matematika lazim dinamakan sebagai kecemasan matematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat kecemasan matematika siswa SMA, sehingga memberikan kajian analisis empiris tentang kecemasan matematika siswa SMA, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode penilitian dekriptif, dengan pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu dari populasi siswa SMA Provinsi Jawa Tengah ditentukan siswa dari seluruh Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah sebagai sampel penelitian sebanyak 2.240 siswa. Pengumpulan data menggunakan instrumen pengukuran kecemasan matematika dari Freedman (mathpower.com) berupa angket dengan 10 item, menggunakan model skala Likert dengan 5 alternatif jawaban. Skor hasil pengisian angket diklasifikasi menjadi 4 katagori tingkat kecemasan matematika yaitu kecemasan tinggi, sedang, rendah, dan tidak mengalami kecemasan. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Tingkat kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah secara umum berkatagori kecemasan rendah, dengan rata-rata skor kecemasan matematika 26,89, (2) Modus skor kecemasan matematika siswa sebesar 24,00, juga berada dalam katagori kecemasan rendah, (3) Rata-rata terendah item kecemasan matematika siswa adalah 1,82, dan rata-rata tertinggi sebesar 3,52.

Kata Kunci: kecemasan, kecemasan matematika, siswa SMA, Jawa Tengah

 
 

  1. Introduction

Kecemasan yang muncul dalam diri siswa antara lain karena ada rasa frustasi atau trauma terus-menerus yang tidak tertangani. Hal ini menimbulkan ketegangan, rasa tidak nyaman dan kekhawatiran. Olatunde (2009) menyatakan bahwa suatu kecemasan mengacu pada tekanan, stres, ketegangan, atau kebingungan dalam pikiran dan diri seseorang.

Kecemasan yang dialami oleh siswa berkaitan dengan subyek matematika lazim dinamakan sebagai kecemasan matematika (mathematics anxiety). Kecemasan matematika merupakan kondisi psikologis yang tidak kondusif yang dialami oleh seorang siswa. Kondisi tersebut berupa perasaan takut, ngeri, tidak menyenangkan, tegang dan sejenisnya. Perasaan ini dialami oleh siswa ketika beraktivitas dengan subyek matematika, seperti mempelajari matematika, mengerjakan matematika, menyelesaikan soal dan pemecahan masalah matematika.

Seorang yang mengalami kecemasan matematika, akan cenderung menghindari subyek, ini karena dapat menyebabkan ketakutan dan teror (Calm Clinic, 2020). Jika kondisi ini dialami oleh siswa secara terus menerus, maka akan memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap efektifitas pembelajaran matematika. Demikian pula terhadap pencapaian hasil belajar matematika siswa, serta sikap siswa terhadap subyek matematika. Seperti tersirat dalam deskripsi dari Richardson dan Suinn (1972), bahwa kecemasan matematika adalah sumber penyebab dari beberapa penurunan fungsi matematika.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh siswa pada jenjang sekolah dasar yang rentan dengan kecemasan, pada siswa sekolah menengah, bahkan siswa SMA yang dapat dikatakan telah memiliki “kedewasaan matematika” juga tidak terhindar dari mengalami kecemasan matematika dengan berbagai dampaknya. Seperti yang disampaikan oleh Hembree (1990) dalam Sherman & Wither (2003) yang menyatakan bahwa kecemasan matematika telah lama diakui berperan dalam pencapaian matematika siswa di sekolah menengah dan sekolah menengah atas.

Mengingat pentingnya kecemasan matematika dalam pendidikan matematika, maka sudah selayaknya para pendidik matematika memberi perhatian terhadap kecemasan matematika siswa. Sebagaimana rekomendasi penelitian Ramirez et al. (2013), yakni agar para guru matematika menyelidiki perkembangan kecemasan matematika siswa sebagai langkah awal yang penting dalam mengembangkan intervensi yang dirancang untuk memperbaiki kecemasan matematika dan meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kecemasan matematika siswa SMA, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Data yang diperoleh dari sampel siswa SMA pada 35 kabupaten/ kota di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah, akan memberikan kajian analisis empiris tentang kecemasan matematika siswa SMA di Provinsi Jawa Tengah.

 
 

  1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kecemasan Matematika

Kecemasan sesungguhnya merupakan gangguan kesehatan mental dikarenakan oleh suatu sebab. Seseorang yang cemas terkadang mengalami kekhawatiran yang kompulsif, ketakutan irasional, atau mungkin kesulitan bercabang secara sosial. Dalam situs resmi CalmClinik di sana diuraikan ada tujuh jenis kecemasan yakni terdiri dari: generalized anxiety disorder (GAD)/gangguan kecemasan umum, fobia sosial, gangguan panik, agora-fobia, fobia spesifik, posttraumatic stress disorder (PTSD)/gangguan stres pascatrauma, dan obsessivecompulsive disorder (OCD)/gangguan obsesif-kompulsif (Calm Clinic, 2020).

Kecemasan matematika merupakan bentuk kecemasan yang dapat dikategorikan sebagai fobia spesifik (Karoll, 2008). Ashcraft (2002), mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan tegang, cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika cenderung menghindarkan diri terhadap situasi yang mereka harus mempelajari dan beraktivitas dengan matematika. Menurut Richardson & Suinn (1972), kecemasan matematika adalah ada perasaan tegang dan cemas yang memengaruhi secara simultan ketika seorang siswa menyelesaikan persoalan matematika dalam kehidupan sehari-hari maupun akademik.

Adapun Buckley & Ribordy (1982) mendefinisikan kecemasan matematika adalah ketakutan matematika yang tidak rasional yang mengganggu dalam manipulasi angka dan memecahkan masalah matematika pada berbagai kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Adapun definisi kecemasan matematika menurut Núñez-Peña, Suárez-Pellicioni, & Bono (2013) yakni perasaan panik, tidak berdaya, kelumpuhan, dan disorganisasi mental yang muncul ketika beberapa siswa dihadapkan dengan tugas matematika.

Dari definisi-definisi di atas tampak bahwa kecemasan matematika merupakan kondisi psikologis siswa yang tidak kondusif ketika mereka beraktivitas yang berkaitan dengan subyek matematika. Dan ini memiliki pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap hasil matematika siswa. Seperti yang disampaiakan oleh Richardson & Suinn (1972), bahwa kecemasan matematika adalah sumber penyebab dari beberapa penurunan fungsi matematika, dan banyak dugaan teoritis tentang proses ini seperti yang disampaikan oleh Tobias (1976), Brush (1978), Richardson & Woolfolk (1980), Tobias & Weissbrod (1980), Hadfield & Maddux (1988), Hembree (1990), Cooper & Robinson (1991), dan Ashcraft & Kirk (2001) kesemuanya dalam  Sherman & Wither (2003).

 

2.2 Tingkatan dan Gejala Kecemasan Matematika

Tingkat kecemasan matematika diklasifikasi menjadi tiga katagori, yaitu kecemasan rendah, kecemasan sedang, dan kecemasan tinggi. Seperti tampak pada tabel model kecemasan matematika dari Cavanagh dan Sparrow berikut.

Tabel 1. Model kecemasan matematika dari Cavanagh dan Sparrow (Cooke, Cavanagh, Hurst, & Sparrow, 2011).

Model Sifat Dominan Kecemasan Matematika
Tingkat kecemasan Attitudinal Kognitif Somatik
Kecemasan tinggi takut tentang apa yang harus dilakukan khawatir tentang orang lain berpikir dia bodoh mengalami kesulitan pernafasan
Kecemasan sedang tidak ingin melakukan apa yang harus dilakukan pikiran menjadi kosong
 
jantung berdetak lebih kencang
Kecemasan rendah khawatir mendapatkan kesulitan melakukan seadanya dari yang diperlukan merasa bingung tidak nyaman
Relevan untuk: ·      Instruksi di dalam kelas: kerja mandiri, kerja kelompok, atau seluruh kelas
·      Penilaian di dalam kelas: ujian atau tes formal, kuis informal
·      Aplikasi di luar kelas: mata pelajaran lain, di rumah, di tempat kerja atau secara sosial

Tampak pada model Cavanagh dan Sparrow di atas, bahwa gejala dominan yang muncul dari kecemasan matematika meliputi gejala attitudinal, kognitif, dan somatik. Secara attitudinal gejala yang paling ringan yaitu sikap khawatir mendapatkan kesulitan, kemudian sikap tidak ingin melakukan apa yang harus dilakukan, dan yang paling parah adalah sikap takut tentang apa yang harus dilakukan. Sedangkan pada dimensi kognitif gejala yang muncul pada level terendah yaitu melakukan seadanya dari yang diperlukan, kemudian pada level sedang berupa pikiran menjadi kosong, dan akhirnya pada level tinggi berupa rasa khawatir bahwa orang lain berpikir dirinya bodoh. Adapun untuk gejala somatik yaitu merasa bingung, dan tidak nyaman pada level rendah, jantung berdetak lebih kencang pada level sedang, dan mengalami kesulitan pernafasan pada level tinggi.

 

2.3 Penyebab Kecemasan Matematika Siswa

Taylor (2017) menyebutkan bahwa ada lima penyebab kecemasan matematika siswa, meliputi: (1) Tekanan, (2) Strategi pengajaran, (3) Konsep matematika yang abstrak, (4) Kemampuan dan kepercayaan diri guru, dan (5) Keyakinan individu.

Menurut Butte (1993), tekanan yang menyebabkan kecemasan matematika diantaranya yaitu jumlah dan beban tugas sekolah, hubungan dengan guru, hubungan dengan teman sebaya, masalah keluarga yang merembet ke lingkungan sekolah, cedera fisik, kesejahteraan emosional dan banyaknya aturan disiplin di rumah dan sekolah. Adapaun terkait strategi pengajaran, Fiore (1999) menemukan bahwa kecemasan matematika mulai terbentuk dengan metode yang digunakan guru untuk mengajar matematika. Seharusnya, persiapan dan pemikiran harus diperhitungkan ketika merencanakan bagaimana pelajaran disampaikan dan bagaimana perasaan siswa selama setiap pelajaran.

Terkait konsep matematika yang abstrak, menurut Martinez & Martinez (2003), alasan kecemasan matematika dan penghindaran matematika mulai meningkat setelah kelas empat, dan sikap positif yang dimiliki anak-anak sebelumnya tentang matematika mulai menurun adalah karena konsep matematika berubah dari dunia kongkrit ke dunia. Dan terkait dengan sebab kemampuan dan kepercayaan diri guru, menurut Blazer (2011), ketika guru tidak dapat menjelaskan konsep matematika secara mendalam, tidak memiliki kesabaran yang diperlukan untuk mengajar berbagai tingkat kinerja siswa, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak menunjukkan kecintaan untuk menyampaikan pelajaran, dan justru menakuti siswa mereka untuk tunduk secara perilaku, mereka mestinya bertanggung jawab dalam menciptakan siswa dengan tingkat kecemasan matematika tertinggi. Penting bagi guru untuk merasa yakin dengan kemampuan mereka dalam merencanakan, mengajar, dan menjawab pertanyaan tentang berbagai pelajaran matematika.

Adapun terkait penyebab kecemasan matematika dari keyakinan individu, Stuart (2000), menjelaskan bahwa matematika adalah 90% mental, atau bagaimana siswa mempersepsikan kepercayaan diri mereka sendiri, dan hanya 10% fisik, yaitu bagaimana siswa memahami tingkat kompetensi mereka sendiri saat melakukan matematika. Oleh karenanya guru perlu menemukan metode untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa untuk memastikan mereka dapat mengalami kesuksesan. Sementara Dodd (1992) menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki kepercayaan diri yang rendah atau tidak ada pada keyakinan mereka sendiri, hambatan untuk belajar terjadi karena gagasan bahwa “kepercayaan mengatur tindakan”. Sehingga menurut Ma (1999) ketika pendidik mampu mengubah kecemasan matematika menjadi kepercayaan matematika, siswa tidak hanya menerima dorongan emosional untuk harga diri mereka, tetapi guru mampu membuat keuntungan profesional besar dengan menemukan cara untuk menjembatani kesenjangan antara prestasi akademik dan kecemasan matematika.

Sementara itu, Hopko membagi kecemasan matematika dalam dua dimensi yaitu kecemasan belajar matematika (kecemasan tentang proses pembelajaran), dan kecemasan evaluasi matematika. Dua dimensi kecemasan matematika ini merupakan penelitian Hopko (2003) yang menggunakan Mathematics Anxiety Rating Scale Revision (MARS-R). Instrumen ini memiliki dua sub skala yaitu Learning Math Anxiety (LMA), yang berkaitan dengan kecemasan tentang proses pembelajaran, dan Math Evaluation Anxiety (MEA), yang lebih langsung terkait dengan situasi pengujian. Dan hasil penelitian Hopko ini mendapatkan dua faktor yang divalidasi dengan analisis faktor konfirmatori. Faktor tersebut adalah faktor kecemasan belajar matematika (kecemasan tentang proses pembelajaran), dan faktor kecemasan evaluasi matematika atau yang berhubungan dengan situasi tes.

 

2.4 Urgensi Mengetahui Kecemasan Matematika Siswa

Bagi para pendidik matematika, mengetahui kecemasan matematika siswa merupakan hal penting. Ini merupakan bagian dari asesmen, khususnya terkait dengan assessment for learning (penilaian selama proses pembelajaran berlangsung), dan assessment as learning (penilaian sebagai pembelajaran), yang merupakan bagian penting dalam implementasi kurikulum yang sekarang sedang berlaku (Kemendikbud, 2019). Dengan demikian para pendidik matematika dapat memikirkan bagaimana mengatasi kecemasan matematika siswa itu, dan merancang strategi untuk meningkatkan efektifitas pembelajarannya.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ramirez et al. (2013), yang merekomendasikan agar para guru matematika menyelidiki perkembangan kecemasan matematika siswa sebagai langkah awal yang penting dalam mengembangkan intervensi yang dirancang untuk memperbaiki kecemasan matematika dan meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Demikian pula Stuart (2000) yang menyatakan bahwa sebagai pendidik harus dapat mengenali bahwa kecemasan matematika nyata, dan harus memikirkan strategi untuk mengurangi kecemasan matematika siswa.

Stuart (2000) juga merekomendasikan bahwa kelas harus menjadi komunitas matematika yang berkembang pada dugaan, inventing, dan pemecahan masalah yang membangun kepercayaan diri matematika pada siswa. Dengan berpandu saran dari NCTM (1995) Stuart mengimplementasikan praktek berikut untuk mengurangi kecemasan matematika, yakni: (1) Mengakomodasi gaya belajar yang berbeda, (2) Buat berbagai lingkungan pengujian, (3) Desain pengalaman sehingga siswa merasa positif tentang diri mereka sendiri, (4) Hapuslah mementingkan ego. Ini seharusnya tidak menjadi ukuran harga diri, (5) Tekankan bahwa setiap orang membuat kesalahan, (6) Jadikan matematika relevan, (7) Berdayakan siswa dengan membiarkan mereka mendapat masukan ke dalam evaluasi mereka sendiri, (8) Memungkinkan pendekatan sosial yang berbeda, (9) Tekankan pentingnya pemikiran kualitas asli daripada manipulasi formula, dan (10) Menggolongkan matematika sebagai upaya manusia.

 

  1. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non ekperimental dengan metode penilitian dekriptif (descriptive research), yakni suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau (Sukestiyarno, 2020). Fenomena yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kecemasan matematika siswa.

 Teknik pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling berjenis purposive sampling, yaitu dari populasi siswa SMA Provinsi Jawa Tengah ditentukan siswa dari seluruh Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah (35 Kabupaten/ Kota) sebagai sampel penelitian sebanyak 2.240 siswa, khususnya siswa kelas X yang mengikuti mata pelajaran matematika wajib.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kuesioner menggunakan instrumen pengukuran kecemasan matematika dari Freedman (2020) dalam situs mathpower.com berupa angket dengan jumlah butir pernyataan sebanyak 10 item. Adapun model skala yang dikembangkan mengadopsi dari model yang dikembangkan Likert dengan lima alternatif jawaban yaitu 1 = sangat tidak setuju , 2 = tidak setuju , 3 = netral     4 = setuju , dan 5 = sangat setuju.

Skor hasil pengisian angket oleh sampel diklasifikasi sebagai katagori tingkat kecemasan matematika siswa, dengan interval seperti tertera pada tabel berikut.

Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kecemasan Matematika Siswa (Freedman, 2020)

No Jumlah Skor Tingkat Kecemasan Matematika
1 40 – 50 Kecemasan Tinggi
2 30 – 39 Kecemasan Sedang
3 20 – 29 Kecemasan Rendah
4 10 – 19 Tidak mengalami kecemasan matematika

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskrptif, yakni dengan cara mendiskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya, tanpa mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, atau membuat ramalan (Sukestiyarno, 2020).

 
 

  1. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tingkat Kecemasan Matematika Siswa

Skor kecemasan matematika siswa SMA Jawa Tengah yang berpartisipasi dalam penelitian disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Statistik Deskrptif Skor Kecemasan Matematika Siswa

Jumlah Siswa (N) Skor Tertinggi Skor Terendah Rata-rata (Mean) Modus Standar Deviasi (SD)
2240 50 10 26,89 24,00 6,51

Dari tabel 3 tampak bahwa rata-rata skor kecemasan matematika siswa adalah 26,89. Jika merujuk pada klasifikasi tingkat kecemasan matematika siswa pada tabel 2, maka menunjukkan bahwa tingkat kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah secara umum masuk dalam tingkat kecemasan rendah. Katagori ini juga merupakan kondisi di sebagian besar siswa SMA di Jawa Tengah, yang ditunjukkan oleh nilai modus sebesar 24,00 yang masuk juga dalam tingkat kecemasan rendah.

Capaian skor tertinggi kecemasan matematika siswa adalah 50, yang berarti masuk dalam katagori tingkat kecemasan tinggi. Namun demikian capaian skor terendah kecemasan matematika siswa, berada dalam katagori tidak mengalami kecemasan, karena skor yang diperoleh sebesar 10.

Secara rinci tingkat kecemasan matematika siswa pada masing-masing katagori ditunjukkan oleh tabel 4 berikut.

Tabel 4. Tingkat Kecemasan Matematika Siswa

No Tingkat Kecemasan Matematika Jumlah Siswa (orang) Prosentase (%)
1 Kecemasan Tinggi 62 2.77
2 Kecemasan Sedang 711 31.74
3 Kecemasan Rendah 1191 53,17
4 Tidak Mengalami Kecemasan 276 12,32
Total 2240 100

            Dari tabel 4 tampak bahwa tingkat kecemasan matematika siswa paling banyak pada katagori kecemasan rendah yaitu sebanyak 1191 orang (53,17%). Hanya 62 orang (2,77%) yang mengalami kecemasan tinggi, dan 711 orang (31,74%) yang berkatagori kecemasan sedang, bahkan yang tidak mengalami kecemasan matematika lebih dari 10%, yaitu sebanyak 276 (12,32).

            Secara grafis data tingkat kecemasan matematika siswa ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 1. Prosentase Tingkat Kecemasan Matematika Siswa

Dari gambar 1 ini, tampak bahwa urutan tingkat kecemasan siswa mulai dari yang tertinggi adalah katagori kecemasan rendah, kecemasan sedang di urutan kedua, kemudian yang urutan ketiga yaitu tidak mengalami kecemasan, dan yang paling sedikit adalah kecemasan tinggi.

 

4.2 Statistik Deskriptif Item Kecemasan Matematika Siswa

Adapun statistik deskriptif tentang keseluruhan item kecemasan matematika siswa, ditunjukkan oleh tabel 5, yakni terdiri dari banyak sampel siswa (N), rata-rata perolehan skor (Mean), dan Standar deviasi (SD).

Tabel 5. Statistik Deskriptif Item Kecemasan Matematika Siswa

No Pernyataan N Mean SD
1 Saya merasa takut ketika saya masuk kelas matematika 2240 2,18 0,89
2 Saya merasa takut ketika maju ke papan tulis di kelas matematika 2240 2,67 0,95
3 Saya merasa takut mengajukan pertanyaan di kelas matematika 2240 2,59 0,94
4 Saya selalu khawatir bila dipanggil guru di kelas matematika 2240 2,71 0,97
5 Saat ini saya memahami matematika, tapi saya khawatir kalau nanti akan mendapat kesulitan di saat berikutnya 2240 3,52 0,97
6 Saya cenderung ingin keluar dari kelas matematika 2240 1,82 0,90
7 Saya merasa takut mengikuti ulangan matematika bila jenis tesnya bervariasi 2240 2,92 0,99
8 Saya tidak tahu cara belajar untuk persiapan ulangan matematika 2240 2,59 0,99
9 Saat di kelas matematika saya memahami materi matematika, tapi ketika  kembali ke rumah saya merasa tidak pernah berada di sana 2240 2,90 1,08
10 Saya takut  bahwa saya tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tenang di kelas 2240 2,99 1,05

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 10 item kecemasan matematika siswa, rata-rata terendah adalah 1,82, yakni pada item “Saya cenderung ingin keluar dari kelas matematika”. Sedangkan rata-rata tertinggi pada item “Saat ini saya memahami matematika, tapi saya khawatir kalau nanti akan mendapat kesulitan di saat berikutnya” yakni sebesar 3,52. Dari hasil rata-rata tertinggi ini mengartikan bahwa yang paling mencemaskan bagi siswa yakni terkait dengan kekhawatiran siswa akan mendapat kesulitan di saat berikutnya, ketika di saat tertentu telah memahami matematika. Di sisi lain ternyata kecemasan siswa tidak berujung pada kecenderungan siswa untuk berkeinginan keluar dari kelas matematika. Ini ditunjukkan oleh rata-rata terendah pada item yang menyatakan bahwa “Saya cenderung ingin keluar dari kelas matematika”.

Secara rinci hasil pada tabel 5, memiliki urutan item kecemasan matematika siswa dari yang terendah adalah: (1) Saya cenderung ingin keluar dari kelas matematika, (2) Saya merasa takut ketika saya masuk kelas matematika, (3) Saya merasa takut mengajukan pertanyaan di kelas matematika, (4) Saya tidak tahu cara belajar untuk persiapan ulangan matematika, (5) Saya merasa takut ketika maju ke papan tulis di kelas matematika, (6) Saya selalu khawatir bila dipanggil guru di kelas matematika, (7) Saat di kelas matematika saya memahami materi matematika, tapi ketika  kembali ke rumah saya merasa tidak pernah berada di sana, (8) Saya merasa takut mengikuti ulangan matematika bila jenis tesnya bervariasi, (9) Saya takut  bahwa saya tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tenang di kelas, dan (10) Saat ini saya memahami matematika, tapi saya khawatir kalau nanti akan mendapat kesulitan di saat berikutnya.

Jika mengacu pada pendapat dari Hopko (2003) yang membagi kecemasan matematika dalam dua dimensi yaitu kecemasan belajar matematika, dan kecemasan evaluasi matematika, maka diperoleh rata-rata kecemasan belajar matematika siswa (item no 1-6) adalah 2,58, dan rata-rata kecemasan evaluasi matematika (item no 7-10) siswa sebesar 2,85. Ini menunjukkan bahwa siswa memiliki kecemasan evaluasi matematika lebih tinggi dibandingkan dengan kecemasan belajar matematika. Artinya bahwa kecemasan siswa ketika menghadapi evaluasi matematika mengalami peningkatan dibandingkan dengan kecemasan siswa ketika mengikuti pembelajaran matematika.

 

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil pada tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah masuk dalam katagori kecemasan rendah, bahkan katagori kecemasan rendah ini juga merupakan modus di kalangan siswa SMA di Jawa Tengah. Demikian juga hasil yang ditunjukkan oleh tabel 4 bahwa hanya 2,77% siswa yang mengalami kecemasan tinggi, dan 31,74% siswa yang berkatagori kecemasan sedang, bahkan yang tidak mengalami kecemasan matematika sebanyak 12,32% siswa.

Data ini merupakan modal yang baik bagi para pendidik matematika di Jawa Tengah, untuk memetakan kondisi siswa dalam meningkatkan potensi matematika siswa, terkait dengan attitudinal dan kognitif siswa, baik pada dimensi proses pembelajaran, maupun hasil belajar matematika siswa.

Ini sesuai dengan rekomendasi dari Stuart (2000) bahwa kelas antara lain harus menjadi komunitas matematika yang berkembang untuk pemecahan masalah yang membangun kepercayaan diri matematika pada siswa. Demikian pula rekomendasi hasil penelitian Ramirez et al. (2013), yakni agar para guru matematika menyelidiki perkembangan kecemasan matematika siswa sebagai langkah awal yang penting dalam mengembangkan intervensi yang antara lain dirancang untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

Adapun hasil pada tabel 5, memberikan petunjuk kepada para pendidik matematika di Jawa Tengah untuk mencermati hal-hal yang merupakan item kecemasan matematika siswa. Berdasarkan urutan yang ada para pendidik dapat menentukan prioritas fokus penanganan item kecemasan matematika. Secara bertahap dan berkelanjutan para pendidik memikirkan strategi untuk mengatasi kecemasan matematika siswa mulai dari item kecemasan dengan rata-rata tertinggi dan seterusnya hingga item kecemasan dengan rata-rata terendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2000) yang menyatakan bahwa sebagai pendidik harus dapat mengenali bahwa kecemasan matematika siswa itu nyata, dan harus memikirkan strategi untuk mengurangi kecemasan matematika siswa.

Dari tabel 5 juga diketahui bahwa hasil item kecemasan dengan rata-rata tertinggi yakni item “Saat ini saya memahami matematika, tapi saya khawatir kalau nanti akan mendapat kesulitan di saat berikutnya“. Ini menunjukkan masalah kecemasan matematika siswa yang bersumber dari keyakinan individu atau kepercayaan diri siswa tentang matematika. Ini diperkuat oleh hasil yang terkait dengan dimensi kecemasan matematika siswa, yakni bahwa siswa memiliki kecemasan evaluasi matematika lebih tinggi dibandingkan dengan kecemasan belajar matematika. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Dodd (1992) yang menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki kepercayaan diri yang rendah atau tidak ada pada keyakinan mereka sendiri, hambatan untuk belajar terjadi karena gagasan bahwa “kepercayaan mengatur tindakan”.

Oleh karenanya yang terpenting bagi para pendidik matematika adalah menentukan strategi pembelajaran dengan berbagai metode yang dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa untuk sukses dalam matematika. Ini senada dengan pendapat dari Stuart (2000), bahwa matematika adalah 90% mental, atau bagaimana siswa mempersepsikan kepercayaan diri mereka sendiri, dan hanya 10% fisik, yaitu bagaimana siswa memahami tingkat kompetensi mereka sendiri saat melakukan matematika. Oleh karenanya guru perlu menemukan metode untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa untuk memastikan mereka dapat mengalami kesuksesan.

Dan lebih dari itu, dengan kreatifitas para pendidik matematika secara profesional mereka mampu mengubah kecemasan matematika siswa menjadi keyakinan matematika. Dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang baik, siswa akan mengikuti pembelajaran matematika dengan baik, hingga lebih siap dalam menjalani tes matematika tanpa kecemasan. Dan pada akhirnya siswa mampu memperoleh hasil belajar matematika secara optimal. Ini sesuai dengan pendapat Ma (1999) yang menyatakan bahwa ketika pendidik mampu mengubah kecemasan matematika menjadi kepercayaan matematika, siswa tidak hanya menerima dorongan emosional untuk harga diri mereka, tetapi guru mampu menemukan cara untuk menjembatani kesenjangan antara prestasi akademik dan kecemasan matematika.

 
 

  1. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Simpulan penelitian ini adalah:

  • Tingkat kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah secara umum masuk dalam tingkat kecemasan rendah, dengan rata-rata skor kecemasan matematika adalah 26,89.
  • Prosentase tingkat kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah berdasarkan katagori tingkat kecemasannya yakni: kecemasan tinggi 2,77%, kecemasan sedang 31,74%, kecemasan rendah 53,17%, dan yang tidak mengalami kecemasan matematika 12,32%.
  • Berdasarkan rata-rata tertinggi item kecemasan matematika siswa, maka secara umum timbulnya masalah kecemasan matematika siswa SMA di Jawa Tengah bersumber dari keyakinan individu atau kepercayaan diri siswa tentang matematika.

 

5.2 Rekomendasi

  • Para pendidik matematika di Jawa Tengan dapat memanfaatkan temuan data empiris dari penelitian ini untuk mengembangkan metode pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan potensi dan hasil belajar matematika siswa.
  • Perlunya penelitian lebih lanjut dengan fokus pada sumber timbulnya kecemasan matematika siswa. Khususnya terkait interaksi siswa dengan lingkungannya, terutama di sekolah dan kelas saat seorang siswa mengikuti pembelajaran matematika.

 

References

Ashcraft, M. H. (2002). Math Anxiety: Personal, Educational, and Cognitive Consequences. DIRECTIONS IN PSYCHOLOGICAL SCIENCE. VOLUME 11, NUMBER 5, 181-185.

Blazer, C. (2011). Strategies for Reducing Mathematics Anxiety. Information Capsule: Research Services, 1102(1), 1-6.

Buckley, P. A., & Ribordy, S. C. (1982). Mathematics Anxiety and the Effects of Evaluative Instructions on Math Performance. Washington D.C.: ERIC Clearinghouse, Paper presented at the Midwestern Psychological Association (Minneapolis, MN, May 6-8, 1982), Tersedia di https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED222334.pdf (diakses 25 Februari 2020).

Butte, H. P. (1993). Developing curriculum to reduce emotional stress in middle schoolers. Middle School Journal, 24(4), 41-46.

Calm Clinic. (2020, Februari 12). The 6 Main Types of Anxiety – Which Do You Have? Retrieved from Calmclinic: https://www.calmclinic.com/anxiety-guide/main-types

Cooke, A., Cavanagh, R., Hurst, C., & Sparrow, L. (2011). Situational Effects of Mathematics Anxiety in Pre-service Teacher Education. International Research in Education Conference 2011 (pp. 1-14). Hobart: Australian Association for Research in Education (AARE) .

Dagaylo-AN, M. B., & Tancinco, N. P. (2016). Mathematics Anxiety and the Academic Performance of the Freshmen College Students of the Naval State University. International Journal of Engineering Sciences & Research Technology, 5(7), 1125-1136.

Dodd, A. W. (1992). Insights from a Mathematics Phobic. The Mathematics Teacher, 85(4), 296-298.

Finlayson, M. (2014). Addressing math anxiety in the classroom. Improving Schools, 17(1), 99-115.

Fiore, G. (1999). Mathematics-abused students: Are we prepared to teach them? The Mathematics Teacher, 92(5), 403-406.

Freedman, E. (2020, Maret 26). Do You Have Math Anxiety? A Self Test . Retrieved from Professor Freedman’s Math Help: http://mathpower.com/anxtest.htm

Hopko, D. R. (2003). Confirmatory Factor Analysis Of The Math Anxiety Rating Scale-Revised. Educational and Psychological Measurement, Vol. 63 No. 2, 336–351.

Karoll, D. (2008). Why is Math So Hard for Some Children? The Nature and Origins of Mathematical Learning Difficulties and Disabilities. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, Vol. 29, No. 3, 241.

Kemdikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (Lampiran III). Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi.

Kemendikbud. (2019). Buku Penilaian Berorientasi Higher Order Thinking Skills (HOTS). Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kusmaryono, I., & Ulia, N. (2020). Interaksi Gaya Mengajar dan Konten Matematika sebagai Faktor Penentu Kecemasan Matematika. Mosharafa: Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, Nomor 1, 143-154.

Ma, X. (1999). A Meta-Analysis of the Relationship Between Anxiety Toward Mathematics and Achievement in Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 30, No. 5, 520-540.

Martinez, J. G., & Martinez, N. C. (2003). Raising Middle School Mathematics Standards without Raising Anxiety. Middle School Journal, 34(4), 27-35.

Núñez-Peña, M., Suárez-Pellicioni, M., & Bono, R. (2013). Effects of Math Anxiety on Student Success in Higher Education. International Journal of Educational Research, Vol 58, 36–43. Tersedia di http://dx.doi.org/10.1016/j.ijer.2012.12.004 (diakses 25 Februari 2020).

Olatunde, Y. P. (2009). Mathematics Anxiety and Academic Achievement in Some Selected Senior Secondary Schools in Southwestern Nigeria. Pakistan Journal of Social Sciences, Volume 6 Issue 3, 133-137.

Ramirez, G., Gunderson, E. A., Levine, S. C., & Beilock, S. L. (2013). Math Anxiety, Working Memory, and Math Achievement in Early Elementary School. Journal of Cognition and Development, 14(2), 187-202.

Richardson, F. C., & Suinn, R. M. (1972). The Mathematics Anxiety Rating Scale: Psychometric Data. Journal of Counseling Psychology, 19(6), 551-554, Nov 72, 551-554. Tersedia di: https://eric.ed.gov/?id=EJ069707 (diakses 25 Februari 2020).

Sharma, Y. (2014). The Effects of Strategy and Mathematics Anxiety on Mathematical Creativity of School Students. Mathematics Education, 9(1), 25-37.

Sherman, B. F., & Wither, D. P. (2003). Mathematics Anxiety and Mathematics Achievement. Mathematics Education Research Journal, Vol. 15, No. 2, 138-150.

Stuart, V. B. (2000). Math Curse or Math Anxiety? Teaching Children Mathematics, 6(5), 330-335., 330-335.

Sukestiyarno, Y. L. (2020). Metode Penelitian Pendidikan. Semarang: UNNES Press.

Taylor, S. R. (2017). Successful Teacher Practices for Reducing Mathematics Anxiety In Secondary Students ((Unpublished Master Dissertation). Carson-Newman University.

Whyte, J., & Anthony, G. (2020, April 13). Maths Anxiety: The Fear Factor in the Mathematics Classroom. Retrieved from New Zealand Journal of Teachers’ Work, Volume 9, Issue 1, 6-15, 2012: https://www.researchgate.net/publication/260710496_Maths_anxiety_The_fear_factor_in_the_mathematics_classroom