Tikus di Rumah Baroto
Tirta Nursari
…… Keceriaan hari Minggu dan celotehan yang bersahutan terusik oleh keributan kecil di sebuah rumah di sudut kampung. Itu rumah Pak Baroto. Lelaki pensiunan guru itu rupanya sedang marah besar. Jasnya yang baru saja keluar dari taylor di kota dan digantung di atas ranjang besi, berlubang besar…. dan tikus-tikus jadi tertuduh ….
Desa Nalumsari, hari Minggu pagi awal bulan. Cuaca cerah dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Lumayan dingin sebenarnya. Tapi itu tak menghalangi langkah-langkah kaki para anak muda dan bocah-bocah untuk menyusuri jalanan desa yang kanan kirinya mulai dipercantik dengan aneka bunga.
Beberapa keluarga muda membawa pula anaknya. Beberapa lagi terlihat mendorong stroller bayi, meski jalan desa tak terlalu mulus lagi.
Minggu pagi di Nalumsari, khususnya di jalur Sekepil dekat balai desa memang selalu meriah. Bukan saja ramai para pejalan kaki, tetapi juga para pedagang dadakan yang mremo dengan berbagai penganan. Dari mulai jajanan pasar macam tiwul, klepon, cethot, dan cethil, sampai jajanan bule yang sudah disesuaikan dengan lidah kampung. Sebutlah pizza dan burger tiga ribuan, hingga kebab dengan isian daging ala-ala.
Hari Minggu memang mestinya hari untuk keluarga.
Ya, kalau di kota ada Car Free Day, di desa pun hari Minggu kini tak kalah semarak pula. Apalagi sekarang sudah ada pula program Desa Wisata, komplet dengan anggarannya. Jadilah desa-desa mulai bebenah diri. Beberapa aset desa didandani. Sudut desa yang ada sungai, belik, kalau dulu hanya menjadi tempat mandi dan buang air besar, kini dipermak menjadi jalur susur sungai, rafting, bahkan tubbing. Segala jenis fasilitas ini tentunya diharapkan bisa mendatangkan pengunjung dan menambah PAD, pendapatan asli desa.
Yang tak memiliki aset, ya, bagaimana mereka berlomba membuat program dan menjualnya. Dari mulai membuat pasar desa, jelajah desa, hingga program yang ngayawara. Ah, sudah jamak itu, dan sudah pula menjadi rahasia umum. Kembali lagi, semua adalah kreativitas. Kreativitas dalam berkarya, kreativitas dalam menjual, dan kreativitas dalam menggombal.
Ops, mungkin ini kedengarannya terlalu kasar. Tapi simak saja celoteh para anak muda yang sedang menggerutu ini.
”Jalan kok kayak gini. Katanya diaspal, tapi baru beberapa hari saja sudah pada ngelothok.”
“Diaspal piye to? Lha wong ngaspale memang ndak niat ok. Ngaspale crat crit….ya mana mungkin hasile bagus,” timpal yang lain.
Akhirnya pembicaraan tentang aspal pun merembet ke mana-mana. Tanpa juntrungan jelas. Mereka hanya bisa meraba-raba, hingga akhirnya capek sendiri.
“Mbuh ah, nggak usah dibahas lagi. Nanti ndak kalau ada yang denger omongan kita ini, terus ngadu, kita bisa masuk penjara … dianggap menyebar fitnah, berita hoax, mencemarkan nama baik. Lha kita ndak punya bukti je….”
“Iya, stop, wis, ndak usah dirembug lagi, apalagi nanti terus dibuat video, diupload di youtube, kita bisa kena undang-undang ITE. Ati-ati, lho….” timpal yang lain.
Pembicaraan tentang aspal pun berhenti. Obrolan kemudian mengalir ke topik yang lebih ringan. Seno lagi naksir Fitri……cie..cie..… taksir-taksiran ni ye ….cinta ni ye ….
Di kelompok anak yang lain, obrolan tak kalah seru. Naif, aneh, jenaka ….
“Eh, tahu nggak. Di rumahku itu banyak setannya lho…” kata seorang bocah laki-laki tujuhtahunan kepada si baju kuning. Kakinya bersandal butut.
“Alah, tenane? Setannya bentuknya seperti apa?” sahut si baju kuning penasaran.
“Aku belum pernah lihat bentuknya. Tapi, itu lho, kalau sudah jam duabelasan malam, pasti di rumahku ada suara krosak-krosak… Pagi juga gitu…Ih, serem….”
“Alah. Itu paling tikus….”
“Bukan, sumpah! Itu setan. Kalau tikus, pasti mereka takut. Lha wong di rumahku itu kalau malem kan sepi. Apalagi kucing di rumahku itu banyak banget, lho…. Tikus kan takut sama kucing.”
“Itu kan tikus dulu… Sekarang tikusnya sudah modern. Jadi nggak takut sama kucing lagi. Lha wong aku pernah lihat kucingnya malah yang lari melihat tikus.”
“Yo, mbuh.….”
Pohon mahoni menjatuhkan dedaunan.Sesekali buahnya yang pahit, ikut pula menginjak bumi. Meskipun pahit, buat mahoni banyak dicari karena konon berkhasiat bisa menyembuhkan gatal-gatal dan menambah nafsu makan, juga obat untuk berbagai penyakit.
Sementara itu, di balik deret mahoni yang tak juga terbilang rapat, padi-padi dengan bulir mudanya bergoyang–goyang tertiup angin. Beberapa petak di antaranya, nampak padi-padi merebah, pertanda tak lagi sehat. Kata Mak Mirah, salah satu petani yang ikut merugi, padi-padi itu terkena hama tikus.
Rupanya emposan tak lagi mempan.
Di jalanan, anak-anak, dan juga para orang dewasa lain masih juga riuh dengan keriangan. Jumlah mereka semakin siang semakin menyusut saja. Maklum, matahari semakin tinggi, dan hari pun semakin panas.
Sayang, di antara kecerahan hari Minggu dan celotehan yang bersahutan, sebuah keributan kecil terjadi di sebuah rumah di sudut kampung. Itu rumah Pak Baroto. Lelaki pensiunan guru itu rupanya sedang marah besar. Jasnya yang baru saja keluar dari taylor di kota dan digantung di atas ranjang besi, berlubangbesar. Padahal jas itu sudah diimpikannya berpuluh tahun lalu, saat kali pertama dia lulus sekolah pendidikan dan mendapat panggilan kehormatan, Pak Guru.
Sayangnya pula, meskipun sudah memiliki profesi terhormat, Pak Guru Baroto tak mampu segera mewujudkan impiannya secepat kilat. Maklum, saat itu gaji guru memang masih terbilang kecil. Tak heran kalau lelaki yang di masa mudanya terlihat gagah ini memilih bekerja sambilan sebagai tukang ojek untuk mencukupi kebutuhan hidup yang makin lama makin membubung.
Juga untuk menabung demi satu stel jas!
Beruntung pemerintah kemudian menaikkan gaji guru, dan bahkan tambahan bonus ‘sertifikasi’. Adapula gaji ke-13. Alhasil, impian Pak Baroto untuk memiliki satu stel jas pun makin menggembung, meski tak tahu jas itu nantinya akan dipakai ke mana dan dalam acara apa.
Impian memiliki satu stel jas itu nyaris saja tak terlaksana, saat sang istri yang kesehariannya jadi bakul sayuran di pasar menolak mentah-mentah keinginan suaminya itu.
“Oalah, to, Pak, Pak…… Mbok ndak usah macem-macem. Lha nek buat gagah-gagahan saja itu buat apa. Bikin jas itu, kan, ndak murah, Pak. Kemarin Bu Lurah cerita, kalau habis buat jas di kota, harganya itu mahal banget. Pokoke, kalau dihitung, harga kain dan jahitnya saja bisa lebih dari sejutaan. Lha kita ini bukan Pak Lurah, bukan anggota dewan yang uangnya banyak, kok mau macem–macem. Mau bikin jas segala, buat apa? Eman–eman duitnya. mending duit ditabung buat persiapan sekolah Fitri , sebentar lagi kan lulus SMU. Biar bisa kuliah, jadi sarjana, dan dapat kerjaan yang lebih bagus dari kita,” ceramah Bu Baroto panjang lebar, saat kali pertama suaminya mengutarakan niat untuk membuat satu stel jas.
Sayang, saran itu tak mempan.
“Memangnya yang boleh punya jas itu hanya Pak Lurah atau anggota dewan yang tiap hari rapat, to, Bu? Kita ini, kan, juga boleh bergaya sedikit, to. Kalau suatu waktu diundang ke acara resmi, atau ke undangan Mas Bejo yang anggota dewa itu, kita bisa pakai jas milik sendiri, bukan pinjaman salon yang hari ini dipakai si A, eh, besok hari dipakai Pak B. Jan nggak gengsi.” Pak Baroto beragumentasi.
Istrinya akhirnya menyerah selelah melihat betapa gigihnya suaminya memperjuangkan satu stel jas itu.
“Bu, Bu, hanya dengan satu stel jas, itu bisa meningkatkan wibawa kita, lho. Itu lho, Pak Baroto, Pak Guru SD, sekarang sudah makmur, nyatanya bisa punya jas yang harganya ratusan ribu bahkan sampai jutaan, lho…. .Lha, wong gajinya saja sudah gede sekarang, kok. Kalau sudah begitu pandangan masyarakat terhadap guru itu akan naik. Apalagi sebentar lagi Fitri itu kan mau kuliah, terus di wisuda, jadi sarjana, kerja, terus dilamar orang, nikah….. Nah, semuanya kan pakai jas, to.”
Begitulah. Dan hari Minggu ini mestinya pemakaian perdana jas berwarna biru berlirik putih halus, di acara pernikahan Sinta, putri pertama Pak Bagus Jayadi, teman Pak Baroto yang dulu juga berprofesi guru SD namun kini naik pangkat menjadi wakil rakyat.
Sayang, tikus keparat itu meluluhlantahkan impian lelaki berkumis tebal itu.
Binatang menjijikan itu memang merajalela. Dia memakan apa saja yang bisa di makan. Tak hanya nasi sisa yang tertinggal di dapur, tapi juga makanan di atas meja, meskipun sudah tertutup tundung saji.
Dengan gampangnya, penutup makanan itu dijungkirbalikkan, dan binatang–binatang itupun berpesta. Tak hanya itu, kaos kaki, sepatu, dan tas pun tak luput dari jarahan mahkluk bernama tikus ini.
Tikus-tikus itu bahkan menggerigiti uang belanja Bu Baroto juga!
Puncaknya jas baru milik Pak Pak Baroto seharga total Rp1.795.000,- tak terkecuali jadi sasaran!
Pak Baroto masih lemas saat mendengar uang belanjaan istrinya digerigiti tikus. Juga beberapa barang lainnya. Namun apa yang dilihatnya kemudian membuatnya semakin syok. Impiannya untuk tampil gagah dengan jas barunya pun sirna seketika.
Suara baritonnya seketika menggelegar di pagi jelang siang itu.
“ Kojur Bu, ini jas Bapak kok bisa berlubang begini kenapa, to ,Bu ?”
Bu Baroto yang sedang memasak di dapur tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang masih berdiri di samping ranjang. Tangan kekar lelaki berkulit gelap itu memeriksa lobang bulat tak beraturan yang sontak membuyarkan niatnya untuk nganyari jas barunya.
“Oalah to, Pak, ini pasti kerjaan tikus–tikus sialan itu. Bapak, sih, Ibu bilang juga apa, kita ini belum saatnya gagah-gagahan pakai jas segala. Buktinya, bikin jas sekali saja sudah diodel-odel tikus …….,” sungut Bu Pak Baroto. Wajahnya tak hanya kesal, tapi juga gemas, gela, dan segudang kejengkelan yang lain.
“Coba, kalau saran ibu kemarin di dengar, pasti duit jutaan itu nggak muspra to, Pak. Uang itu mestinya masih bisa buat bayar uang kuliah Fitri. Kalau sudah begini, terus kita mau apa ?”
Fitri yang baru saja menyelesaikan rutinitas paginya di kamar mandi, kaget, mendengar namanya ikut di sebut–sebut dalam insiden pagi ini.
“ Digrigiti tikus, to, Pak ?” tanya Fitri polos menatap lobang besar di jas baru milik bapaknya.
Pak Baroto hanya terdiam.
“Fit, panggil kangmasmu …. ”
“Untuk apa, Pak?”
“Kita harus segera adakan gerakan pembersihan tikus,” teriak Pak Pak Baroto gemas.
“Lha kondangannya gimana, Pak?”
“Ya, nanti Bapak pakai batik saja. Sekarang yang penting, panggil Aris, kita selesaikan urusan tikus-tikus keparat itu!”
Akhirnya, pagi yang sudah menjelang siang itupun dipenuhi hiruk pikuk di rumah Pak Baroto. Semua kardus-kardus disingkirkan, pakaian-pakaian dirapikan, kolong-kolong tempat tidur dibersihkan. Dapur? Apalagi. Harus bersih…sih….
Tak terasa hari sudah semakin siang. Gerakan bersih-bersih ternyata memakan waktu yang tak sedikit. Pak Baroto kelimpungan, saat melihat jarum jam di ruang tamu. Angkanya sudah menunjukkan pukul 13.30 WIb. Sudah lewat setengah jam dari jadwal resepsi seperti yang tertera di undangan.
Gara-gara tikus, lewat sudah kondangan di rumah anggota dewan.
Tapi rampungkah persoalan tikus hanya dengan gerakan pembersihan sehari saja?
Ternyata tidak. Hanya berselang tiga hari setelah insiden jas, rumah Pak Baroto kembali heboh. Kali ini, beras sekarung yang belum sempat dituang di wadahnya, tinggal separo.
Ternyata, tikus-tikus itu berhasil melubangi lagi kantong beras pandanwangi yang baru kemarin dibeli.
Rupanya tikus masa kini tak hanya betah di tempat basah. Tapi di tempat kering yang kelihatannya bersih pun, mereka masih bisa berpesta pora.
Ya, tikus-tikus. Tak peduli tikus hitam maupun putih. Meski telah dibersihkan dengan penyemprot hama, dia akan terus merajalela. Lalu bagaimana harus membuatnya jera?*
Bergas, 30 Mei 2022
Emposan : Berasal dari kata empos yang berarti tiup. Ini adalah salah satu metode pengendalian hama tikus dengan alat emposan atau ratgon.
Diodel-odel : Dicacah, dirusak
DigrigitiNggrigiti: Dimakan/Memakan dengan gigitan kecil=kecil
Muspra : sia-sia
Nganyari : Memakai untuk yang pertama kali
Mbuh/embuh : Tidak tahu
Tenane : Beneran, yang bener ….