Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Widyastuti, S.S., M. Pd. – SMP Negeri 1 Kertek
Dialek daerah semakin ditinggalkan oleh komunitasnya, semakin tergeser oleh perkembangan jaman. Jaman yang sudah diwarnai dengan kemajuan teknologi memang ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif semakin membuat orang berlomba-lomba mengusai dan mempelajari dalam bidang teknologi. Namun ada efek negatif yang mengikutinya, dimana masyarakat yang kurang siap hanya menerima saja tanpa mau mempelajari dari segi keilmuan. Mereka lebih suka menjadi pengkonsumsi fasilitas teknologi yang ada dari pada memproduksi. Masyarakat umumnya lebih suka melihat dan menggunakan teknologi yang sudah tersedia tanpa mau berfikir bagaimana cara membuatnya.
Kemajuan teknologi juga berpengaruh dalam segi penggunaan bahasa. Seperti dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lebih suka melihat suguhan acara di televisi dengan tayangan sinetron, film, animasi maupun iklan. Mereka tanpa sadar terjebak, dan menjadi korban bahasa, mereka sering meniru bahasa yang digunakan dalam acara tersebut. Bahasa dalam era yang serba teknologi memang banyak mengalami pergeseran. Banyak kata-kata baru yang bermunculan dari bahasa asing kemudian dialihkan ke Bahasa Indonesia. Sasaran yang mudah terkena korban bahasa adalah anak-anak. Terutama anak-anak yang waktunya lebih banyak dihabiskan di depan televisi atau gawai. Mereka mudah sekali menyerap kata-kata yang diucapkan oleh tokoh idolanya. Contohnya serial “Upin Ipin” kata-kata yang digunakan para tokoh mudah sekali ditiru anak-anak. Serial “Upin-Upin” berasal dari negara Malaysia secara tidak langsung sudah menjajah bahasa mereka. Bahasa lokal mereka semakin tersisih dan kemungkinan bisa lenyap. Mereka lebih akrab dengan kosakata baru tersebut dari pada bahasa lokalnya. Mereka lebih suka menggunakan kata yang lebih tren pada masanya agar dianggap anak gaul yang modern.
Melihat fenomena tersebut maka sebaiknya anak kembali dikenalkan dengan budaya daerahnya terutama bahasa. Mereka harus lebih sering diajak bicara dengan bahasa daerahnya atau dialek yang ada. Dialek juga memperkaya bahasa daerah, selain itu juga menjadi ciri kebahasaan daerah. Memang kadang ada yang lucu dan aneh terdengar apabila kita jarang mendengarnya. Namun itulah khasanah budaya dan kekayaan bahasa. Oleh karena itu bahasa terutama dialek jangan sampai hilang atau punah dari daerahnya. Setiap anak harus bangga menggunakan bahasa daerahnya sendiri dari pada bahasa asing. Bahasa menjadi identitas kita dari daerah mana. Dialek jangan sampai punah dan hanya tinggal cerita, tergeser oleh bahasa-bahasa yang tidak lazim. Kita harus mengembangkan bahasa dialek kita agar tetap lestari dan tetap digunakan oleh anak-anak.
Bahasa Jawa terutama di daerah Jawa Tengah banyak sekali dialek. Ada dialek Banyumasan, Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Kedu dan Pantura Timur. Wilayah Kedu yang meliputi Purworejo, Wonosobo, Temanggung, Kebumen dan Magelang ini mempunyai dialek yang berbeda antara kabupaten satu dengan yang lain. Secara khusus di daerah Wonosobo sendiri antara kecamatan satu dan kecamatan lain mempunyai logat bicara yang berbeda. Logat atau gaya bahasa tersebut menjadi ciri kedaerahan dari mana asal orang yang berbicara.
Di daerah Wonosobo ini khususnya anak-anak banyak yang sudah merasa asing dengan bahasa Jawa terutama bahasa krama. Mereka malah lebih dekat dengan bahasa asing, yang notabene mereka sendiri tidak menguasai secara sempurna. Mereka hanya mengenal beberapa kosakata, namun seolah sudah menguasainya. Seperti dalam kelas ketika mengenalkan kata sirah dalam bahasa Jawa, peserta didik disuruh mencari bahasa kramanya mereka menjawab ‘head’ mereka tidak tahu kata “mustaka”. Alasannya mereka belum pernah mendengar kata mustaka, sehingga merasa asing dengan kata tersebut. Bahasa krama semakin lama bisa tergerus oleh perkembangan jaman. Bila hal ini berlarut-larut bahasa krama bisa menjadi bahasa asing bagi masyarakatnya. Seperti halnya Bahasa Sansekerta maupun Jawa kuno yang tergantikan oleh bahasa Jawa yang digunakan pada masa sekarang. Bahasa Jawa krama menurut anak-anak sekarang terlalu sulit untuk dipelajari, mereka harus membedakan dengan siapa dia berbicara dan pilihan kata yang harus digunakan. Kalau kita cermati sebenarnya anak-anak pada masa sekarang ketika berkomunikasi banyak menggunakan bahasa Indonesia yang salah. Mereka menggunakan bahasa campuran antara Jawa dan Indonesia, sehingga kadang kurang nyaman terdengar di telinga. Contoh dialog murid dan guru,” Pak, kemarin aku mengumpulkan tugas, sudah tak taruh di meja.” Secara bahasa Indonesia kalimat yang digunakan kurang tepat dan secara etika juga kurang sopan. Kata aku lebih enak di dengar dan lebih sopan menggunakan kata saya. Kata tak merujuk ke bahasa Jawa yang artinya aku (orang pertama/orang yang berbicara), jadi sebaiknya menggunakan kata saya.
Bahasa Jawa dalam tataran bahasa kramapun sudah sering salah kaprah dalam penggunaannya. Mereka sering membahasakan dirinya sendiri. Padahal dalam Bahasa Jawa diharuskan kita merendahkan diri dan lebih menghormati orang lain. Contoh yang sering siswa terhadap guru adalah “Bu, sampun pareng kondur dereng?” Kata kondur yang digunakan anak dalam berbicara seharusnya adalah kata wangsul
Namun mereka tidak sadar kalau mereka menggunakan bahasa yang salah. Kesalahan ini dikarenakan lingkungan yang membuatnya. Dalam lingkungan keluarga ketika bercakap-cakap banyak terjadi “pembiaran” dalam menggunakan bahasa. Orang tua tidak membetulkan kata yang diucapkan, hal ini ada dua kemungkinan karena ketidaktahuan orang tua tentang tata bahasa atau hanya bahasa itu yang paling mudah bisa dipahami, dengan kata lain yang penting kedua belah pihak saling memahami maksud bahasa yang digunakan. Menurut sebagian orang bahasa yang digunakan yang penting komunikatif. Namun apabila hal ini dibiarkan juga akan merusak tatanan bahasa itu sendiri. Seperti halnya bahasa Upin-Upin yang menggunakan Bahasa Melayu lama kelamaan apabila terjadi “pembiaran” maka akan merusak tatanan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu ketika kita berkomunikasi sebaiknya menggunakan bahasa yang ada di daerah kita sendiri agat bahasa itu tetap terdengar di telinga kita. Bahasa tulispun tetap menggunakan bahasa baku yang digunakan agar tidak mengalami pergeseran makna. Meskipun banyak bahasa prokem atau bahasa gaul yang berkembang dalam masyarakat namun kita tetap berpegang dengan bahasa kita sendiri. Setiap kita mengucap secara harfiah kita harus memahami artinya.