Surakarta – Sebanyak 303 anak di Surakarta teridentifikasi sebagai anak tidak sekolah (ATS) dan anak putus sekolah (APS). Selain karena faktor ekonomi, perundungan juga menjadi salah satu pendorong kuat anak tidak mau bersekolah.
Kepala Bidang Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (PAUD dan PNF) Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Galuh Murya Widawati menyebutkan pihaknya memiliki program Ayo Sekolah Lagi, Cah Solo Kudu Pinter (Asli Soloku Pinter) yang diluncurkan tahun 2023. Program ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Kota Surakarta untuk mengatasi permasalahan ATS dan APS.
“Penanganan ATS dan APS sebenarnya sudah kami mulai sejak 2021. Saat pandemi Covid-19, angka ATS dan APS melonjak. Pada tahun 2022, kami melakukan pendataan dan menemukan 2.850 ATS dan APS di seluruh Surakarta,” kata dia saat memberikan sambutan pada kegiatan Advokasi Pemerintah Daerah dalam Percepatan Partisipasi Pendidikan melalui Penanganan Anak Tidak Sekolah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2024, Rabu (17/7).
Dinas Pendidikan memiliki dua opsi untuk menangani masalah ini. Sebagian besar anak yang masih masuk usia sekolah, kembali diminta bersekolah pada SD atau SMP negeri. Sementara bagi anak usia tidak sekolah, anak diarahkan menempuh pendidikan nonformal di PKBM.
“Demikian juga anak usia SMA, juga kami arahkan ke PKBM. Karena SMA Negeri biasanya sudah penuh kuotanya. Kalau kami arahkan ke sekolah swasta juga lebih tidak mungkin karena mahal. Secara bertahap, angka 2.850 tersebut menjadi 0 pada akhir 2023,” imbuh dia.
Tahun ini, pendataan terhadap ATS dan APS kembali dilaksanakan. Pendataan pertama dilakukan khusus untuk wilayah pemakaman, dan menemukan 2 anak yang tidak sekolah. Pendataan kedua dilakukan dengan melibatkan Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan dan Relawan Sosial Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT). Dari kegiatan ini teridentifikasi sebanyak 60 ATS dan 243 APS. Galuh menyebutkan sejumlah faktor pendorong ATS dan APS. Tidak melulu karena faktor ekonomi, jumlah ATS dan APS karena perundungan jumlahnya kian memprihatinkan akhir-akhir ini. Sebagian kecil ATS dan APS lainnya adalah karena hamil di luar nikah.
Total 303 anak ini kemudian diarahkan kembali untuk bersekolah baik melalui sekolah formal maupun nonformal. Walau demikian, masih ada 2 persen anak yang tidak dapat ditangani. Sebagian karena telah pindah domisili, sebagian karena telah bekerja.
Kegiatan Advokasi ini sendiri diselenggarakan oleh Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Tengah di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Cabang Dinas VII, Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), PKBM, Himpaudi, juga Bappeda.
Pada kesempatan tersebut Widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Sulaiman menambahkan beberapa faktor penyebab ATS dan APS. Misalnya anak yang berada di daerah 3T, anak yang bekerja, anak penyandang disabilitas, anak jalanan dan korban penelantaran, anak berkonflik dengan hukum, serta anak dalam perkawinan anak.
Sampai tahun 2023, terdapat 76,54 persen anak kelas 1 SD yang pernah mengikuti pendidikan prasekolah dan siap memasuki jenjang pendidikan dasar. Sementara untuk angka partisipasi sekolah 7-12 tahun mengalami kenaikan dibanding tahun 2022, namun belum sepenuhnya pulih. Demikian pula untuk angka partisipasi sekolah 13-15 tahun. Adapun Dalam lima tahun terakhir, capaian APK SM/sederajat cenderung meningkat. Pada tahun 2023, APK SM/sederajat sebesar 86,34 poin (naik 2.36 poin dari tahun 2019). (Astuti Paramita S.)