Keberadaan sistem manajemen mutu International Standart Organisation (ISO) yang sejak dekade tahun 2000an ramai diterapkan dan digencarkan di Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA/K), kini seolah sudah tinggal nama. Banyak sekolah yang memutuskan untuk tidak melanjutkan sertifikat mutunya, tidak mengupgrade atau bermigrasi lagi ke standar ISO yang lebih tinggi. Kenapa ISO sudah tidak lagi diterapkan di sekolah-sekolah?
Menjawab pertanyaan diatas, merujuk pada penelitian Oliver Boiral (2011), dalam Sik Sumaidi (2015) dinyatakan bahwa manfaat yang dirasakan oleh organisasi yang menerapkan standar ISO baik manajemen mutu maupun sistem manajemen lingkungan cenderung kurang memuaskan dan menimbulkan kontroversi.
Lebih lanjut hasil riset Oliver Boiral, sebagai seorang pakar ISO, sekaligus Profesor Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Laval Quebec Kanada, yang dimuat dalam jurnal ilmiah Long Range Planning Volume 44 tahun 2011, berjudul “Managing with ISO Systems : Lessons from Practice” menunjukkan terdapat lima penyebab kegagalan penerapan sistem manajemen berbasis standar mutu ISO yang paling sering terjadi.
Pertama, dokumentasi yang berlebihan atau tidak sesuai. Riset Boiral menyebutkan bahwa organisasi cenderung memerlukan sumber daya yang besar untuk menyiapkan dokumentasi. Selain itu, ketidaksesuaian dokumentasi berakibat pada “birokratisasi” sistem yang dijalankan.
Kedua, adalah tidak adanya kontinuitas penerapan sistem. Boiral mengungkap bahwa sering kali organisasi hanya berusaha memenuhi persyaratan standar mutu ISO saat akan diaudit oleh badan sertifikasi. Akan tetapi, setelah audit sertifikasi, organisasi melupakan persyaratan-persyaratan tersebut.
Ketiga, motivasi sertifikasi untuk kepentingan komersial, Boiral menjelaskan bahwa organisasi cenderung untuk melihat sertifikasi ISO sebagai isu untuk “berjualan”. Pada sisi lain, organisasi cenderung mengabaikan sertifikasi ISO sebagai sarana untuk melakukan peningkatan atau perubahan organisasi. Dengan kata lain, penerapan standar mutu ISO cenderung membentuk sistem yang hanya berfungsi “ritual”.
Keempat, penerapan sistem manajemen berbasis standar mutu ISO adalah tidak cukupnya sumber daya organisasi. Boiral memaparkan bahwa proses penerapan dan sertifikasi standar ISO memerlukan sumber daya manusia, keuangan, ataupun sumber daya lainnya. Dalam konteks sumber daya manusia, persoalan kekurangan sumber daya semakin kentara apabila personel organisasi bersikap resisten terhadap sistem yang dikembangkan.
Kelima, penerapan sistem manajemen berbasis standar mutu ISO, adalah eksternalisasi proses penerapan. Dalam hal ini, Boiral menjelaskan bahwa organisasi cenderung bergantung pada konsultan eksternal di dalam proses penerapan sistem manajemen. Hal ini berakibat pada persoalan internalisasi terhadap sistem yang dikembangkan.
Disamping faktor diatas, dalam tinjauan manajemen pendidikan belum efektifnya dokumen yng dibuat apabila dipakai untuk standar visitasi akreditasi dari kemendikbud. Artinya terjadi dua kali persiapan pemenuhan dokumen apabila menerapkan standar ISO dan akreditasi. Karena ini dua hal yang berbeda walaupun tujuannya sama. Kalau begitu kenapa tidak disinkronkan saja?
Kini sekolah yang sejak beberapa tahun lalu sudah meninggalkan sistem ISO mencoba mensinkronkan dan beralih ke Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Internal (SPMI) yang diterapkan di sekolah dalam pengawalan Kemendikbud, melaui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).
SPMI terus mengalami banyak perubahan dan peningkatan dua tahun terakhir. Berdasarkan data di LPMP Jawa Tengah tahun 2018 ini, tercatat 805 sekolah semua jenjang sudah menerapkan SPMI atau sudah menjadi sekolah model.
Sejak SPMI didorong diawal tahun 2016 dengan keluarnya Permendikbud 28 tahun 2016, kini sudah ada 98 SMK sebagai sekolah model yang menerapkan SPMI. Sekolah yang satu atau dua tahun lalu sudah ditunjuk sebagai sekolah model harapannya sudah bisa mandiri dalam arti tanpa bergantung lagi pembiayaan dalam mengawal sistem penjaminan mutu ke sekolah imbasnya.
Seperti dalam buku panduan SPMI tahun 2018, sedikitnya ada delapan tujuan diterapkannya SPMI di sekolah diantaranya :
Pertama, mereview penerapan penjaminan mutu pendidikan pada sekolah model dan pola pengimbasannya.
Kedua, meningkatkan pemahaman tentang sekolah model dan integrasi pengembangan sekolah rujukan.
Ketiga, melaksanakan evaluasi kuantitatif dan kualitatif implementasi sekolah model SPMI.
Keempat, meningkatkan pemahaman tentang perencanaan, pemanfaatan dan pelaporan bantuan pemerintah sekolah model.
Kelima, mereview penyusunan proposal kegiatan Pengembangan Sekolah Model Sistem Penjaminan Mutu Internal melalui pembiayaan bantuan pemerintah.
Keenam, meningkatkan kemampuan sekolah model dalam pertangungjawaban kegiatan Sekolah Model Sistem Penjaminan Mutu Internal melalui pembiayaan bantuan pemerintah.
Ketujuh, meningkatkan kemampuan dan komitmen sekolah dalam menjalankan penjaminan mutu pendidikan.
Kedelapan, merumuskan rencana penerapan SPMI tahun 2018.
Setidaknya setelah diterapkan SPMI akan lebih maju dan siap dalam peningkatan mutu pendidikan.
Seiring beralihnya penerapan manajemen mutu dari ISO ke penerapan SPMI di SMK, ada atau tidak ada bantuan dari pemerintah hanya sebatas stimulus. Namun nafas dan ruh budaya mutu tetap harus dilanjut untuk diterapkan sekaligus ditularkan pada sekolah imbas.
*) Edy Siswanto, S.Pd., M.Pd., Guru SMK Negeri 4 Kendal.
Gambar ilustrasi diambil dari: https://mutupendidikan.com