Published On: 26 January 2023Categories: Cerpen

Cinta jatuh cinta. Gosip itu tiba-tiba saja merebak begitu saja. Orang-orang dekatnya mulai mengamati perubahan yang terjadi pada dirinya. Gaya busananya, dandanan wajahnya, senyum di bibirnya, dan tentu saja, gesture tubuhnya. Memang tak ada yang berani bertanya langsung pada dirinya. Tetapi bukankah orang lebih suka kasak kusuk dan  bermain asumsi saja di belakang daripada bertanya langsung pada sumbernya?

 

Pagi masih sangat belia, ketika perempuan tua dengan rambut keperakan itu memandang putri cantiknya dengan tatapan asih. Tatapan yang lembut, dalam, namun penuh makna. Cinta sudah bisa menduga pertanyaan apa yang akan dilontarkan perempuan terkasihnya itu padanya.

“Cinta menduga, Ibu sudah mendengar berita yang beredar di luaran itu. Dan pasti Ibu hendak bertanya, apakah berita itu benar adanya, bukan?”

Ah, mereka ibu dan anak. Tigapuluh lima tahun kebersamaan bukan waktu yang pendek untuk saling mengenal satu sama lain. Bahkan dalam diam pun mereka bisa saling bicara. Dan saling mengerti, tentu saja.

“Ya, dan Ibu berharap itu benar adanya. Meski semua tergantung padamu. Hidupmu, milikmu.”

Seperti biasa, dengan kearifannya, perempuan yang sudah menuju senja itu berkata. Dia tak pernah menuntut apapun dari anak-anaknya, meski dia tak memungkiri kesepian acap memenjarakan hatinya. Menimang cucu, adalah salah satu mimpi indahnya semenjak anak-anaknya beranjak dewasa. Namun Lanjar, putra sulungnya, memilih menikah dengan kawan bulenya dan kemudian bermukim di negeri yang dipenuhi salju pada musimnya. Tentu saja dengan jarak yang sangat jauh itu mereka tak bisa setiap saat bertemu. Apalagi saat pandemi melanda, dan semua akses untuk saling berkunjung dibatasi.

Menimang cucu menjadi impian yang sangat mahal harganya. Hanya video call pengobat rindu. Itu pun tak bisa setiap saat dilakukan.

Cinta?

Tentu saja dia sekarang tumpuan harapan satu-satunya. Anaknya hanya dua, Lanjar dan Cinta.  Tetapi harapan tentang Cinta pun seolah masih jauh panggang dari api.

“Kalau waktunya datang, Bu. Kalau Tuhan bicara kun fayakun, aku bisa apa …. Bukankah begitu, Ibuku Sayang?”

Jawaban klasik yang membuat perempuan penuh cinta ini tak lagi bisa berkata-kata. Meski dia pernah mengandungnya lebih dari sembilan bulan penuh, dan melimpahinya dengan ASI selama dua tahun pula, namun perempuan berhati lapang ini tak pernah merasa layak untuk menyampaikan tuntutan apapun pada putri bungsunya ini.

Dia tahu, anaknya, sebagaimana nama yang melekat pada dirinya, adalah perempuan yang penuh cinta. Karena itu dia tak merasa berhak menuntut apapun dari putri satu-satunya itu. Cinta punya cinta. Dia akan tahu yag terbaik baginya, dan akan membahagiakan ibunya. Hanya tinggal waktunya saja ….

***

Pagi merayap begitu lambat. Cinta merasakan itu. Dia melihat tatapan mata rekan-rekannya menikamnya. Dia bukannya tak mendengar kasak kusuk yang berseliweran hari-hari ini. Atau hampir sebulan ini tepatnya. Sejak Pak Rinto, bos di kantornya, menempatkan Cakra sebagai manajer keuangan. Dan Cinta adalah manajer pemasarannya. Bukankah bidang kerja mereka beririsan? Tak heran, bukan, bila mereka kemudian harus saling akrab satu sama lain?

Adalah kebetulan saja kalau mereka berdua masih sama-sama melajang, memiliki performa yang sama-sama menarik, lulusan perguruan tinggi yang sama pula, meski berbeda jurusan.

Tapi benarkah di antara yang serba kebetulan itu, ada magnet lain yang akan membuat mereka memiliki rasa saling ketertarikan?

Cinta bukan tak punya cinta. Dia sungguh punya cinta. Dia mencintai pekerjaannya, mencintai anak-anak, dan suka pula pada cerita cinta.  Pada malam yang dingin dia suka membaca cerita-cerita romantis yang memabukkan. Bukan hanya untuk sekadar melepas jenuh, tetapi juga untuk menjaga kewarasannya. Begitu dia suka menyebut dirinya.

Cinta. Aprilia Cinta Laluna, begitu nama indah yang disematkan oleh orang tuanya,  memiliki filosofi dan harapan yang  begitu indah pada dirinya. Dan Cinta ingin menjaganya. Cinta ingin tetap menjadi perempuan. Karena itu dia suka bercinta dengan pikirannya sendiri, memendam kerinduan pada seseorang yang masih juga disimpannya sendiri.

Cinta mencintai dirinya sendiri, karena dia tak ingin lagi terluka. Dia menjaga hatinya sendiri, setelah satu dasa warsa lalu, lelaki itu mengkhianatinya. Saat perempuan itu menusukkan belati yang disembunyikannya dalam gaun mewah atas nama persahabatan dengannya.

Lelaki itu Candra namanya. Nama yang sama dengan salah satu bagian dari namanya, Luna. Ya, mereka sesama bulan. Lelaki yang dikenalnya di sebuah acara yang sama di suatu waktu, saat Cinta baru saja mekar sebagai  gadis remaja dengan seragam putih abu-abu. Saat dia baru saja pertama kali mengenal debaran indah di hatinya. Dan cupid cinta itu menjatuhkan pilihan pada lelaki bermata teduh dengan tutur kata lembut itu.

Ya, cerita itu begitu indahnya. Lima tahun yang manis, hingga Cinta yang manja duduk di semester 4 sebuah perguruan tinggi terkemuka, dan Candra, kekasihnya, menjadi seorang marketing manajer di sebuah perusahaan multi nasional.

Menyimak cerita itu, seharusnya kisah cinta itu akan berakhir dengan happy ending. Namun peristiwa di suatu senja temaram telah meluluhlantakkan semuanya.  Semua berawal dari telepon Romi, salah satu karibnya untuk bertemu di salah satu kafe.

“Pusing, nih, Cin. Bikin tugas nggak kelar-kelar. Temenin ngafe, ya. Aku traktir,” ajak Romi dari seberang.

Dan sore dengan deret kapas putih di langit itu mestinya menyenangkan, andai gadis bermata bulat itu tak mendengar suara manja dari seseorang yang sudah sangat akrab di telinganya.

“Mas beneran ….”

Kalimat selanjutnya tak lagi penting didengar Cinta. Karena yang dilihatnya sekarang adalah bak adegan sinetron yang tak sengaja sering ditontonnya saat menemani ibundanya di rumah.

Suara itu milik Yuneth, teman karibnya yang lain, yang tadi menolak ikut bersamanya karena katanya akan menemani ibunya ke dokter.

Cinta melengak, mengikuti arah suara yang didengarnya. Hati CInta patah. Remuk redam. Hancur berantakan. Dia menemukan Candra, kekasihnya, sedang bersama sahabatnya sendiri.

Mengapa mereka bisa di sini? Selama ini Candra tak pernah mengajaknya berkencan di tempat ini. Kafe mewah dengan hidangan ala Eropa berharga mahal. Kalau bukan Romi yang mengajaknya, pastilah Cinta tak akan mau menghabiskan sejumlah uang hanya untuk sekadar nongkrong sembari menikmati sedikit kudapan di tempat ini.

Dan dia menemukan kekasihnya itu di sini, bersama dengan sahabat karibnya sendiri. Beruntung ibunya yang hebat itu telah mendidiknya untuk menjadi perempuan dengan hati dan jiwa yang besar.

“Maafkan aku, Cin. Sebenarnya aku sudah tahu ini akan terjadi. Tak sengaja aku mendengar percakapan mereka di telepon tadi. Jujur, aku sudah lama curiga dengan kedekatan mereka.”

Romi memegang bahu Cinta yang sedikit menggigil karena menahan beban emosi yang meronta. Dia ingin melakukan sesuatu pada dua orang yang dicintainya, dengan cinta yang berbeda. Namun mereka menikamnya dari belakang.

Cinta ingat ibunya.

“Selalu hargai dirimu, Ndhuk. Jangan kedepankan emosimu..”  Begitu ibunya selalu berkata.

Cinta mengikuti apa kata ibunya. Dia tak melabrak keduanya. Kakinya terayun rapi saat dia dan Romi mendekati meja dua pecundang yang tak juga menyadari kehadirannya. Baru pada saat dua perempuan itu berada persis di depan mereka, wajah Candra dan Yuneth memias.

“Cinta ….”

“Ya, aku Cinta. Perempuan masa lalumu. Sejak hari ini!”

Senyum Cinta terlihat getir.

“Cinta … aku akan jelaskan …. “ Candra tak mau kehilangan kesempatan. Bagaimanapun Cinta sangat berharga baginya. Namun dia kehilangan nyali dan kata-kata, saat Cinta hanya tersenyum dan menyilangkan kelingkingnya di bibirnya.

“Aku tak akan mempermalukan kalian di kafe ini, meski tingkah kalian sangat memalukan.”

Lalu dengan agung, perempuan berambut sebahu dengan bando merah melingkar di kepalanya ini melangkah kembali ke kursinya, menyeruput segelas kopi latte yang tadi dipesannya, dan segera pergi meninggalkan kafe yang tak juga temaram, meski hujan menderas di luaran.

Candra dan Yuneth hanya bisa tertegun. Mereka seperti sepasang maling yang sedang tertangkap basah.

Sejak itu Cinta seperti kehilangan cinta. Meski bibirnya masih juga tersenyum, namun lubang besar di matanya tak pernah bisa berdusta. Belum lagi lubang menganga di hatinya. Cinta kehilangan sepotong hatinya. Hati yang berwarna merah itu kini telah membiru. Beku.

Cinta hanya bisa mencintai dirinya sendiri. Dia hanya ercaya pada hatinya. Bukan pada sosok lelaki yang entah sudah berapa banyak datang mendekati dirinya.

Dia tak ingin lagi tersakiti. Dia sudah merasakan, betapa dikhianati itu begitu sangat menyakitkan. Betapa kehilangan orang yang dicintai dengan sepenuh hati itu seperti dilemparkan pada lubang besar yang langsung memerangkapnya tanpa hati.

Dan Cinta memilih bercinta dengan hatinya saja. Membangun harapan pada mimpi-mimpinya, meski di relung hati terdalam, dia sangat ingin membahagiakan ibunya. Menikah! Dan punya anak! Tapi mungkinkah, sementara bayang-bayang masa lalu selalu berkelebatan di kepalanya dan masih memenjarakan hatinya?

Cinta tak mematikan cintanya, namun dia menempatkan cintanya pada sudut hati yang lain.

Cinta tetap bercinta dengan hatinya. Dengan kerinduannya sendiri. Dengan bayang-bayang masa lalunya. Meski satu yang terakhir ini betapa ingin dihempaskannya, namun dia tersembunyi manis di alam bawah sadarnya. Dan itu sangat menyakitkan baginya.

Dan Cakra?

Lelaki itu memiliki wajah dan penampilan mirip kekasihnya dulu. Hampir sebelas dua belas. Dan tanpa sadar dia mengalami masa masa dejavu. Ya, dia ingin menjadi Cinta seperti dulu. CInta yang bergairah lagi. Cinta yang cantik, meski hatinya tak untuk lelaki tampan yang kini hari-harinya banyak bersamanya itu.

Cinta seolah ingin membuktikan diri pada semua orang bahwa luka  hatinya telah sembuh, menyembuh. Luka batinnya telah terobati. Cinta bahkan tak mempedulikan Cakra, meski lelaki itu tak menutupi perasaannya padanya. Cinta hanya ingin tampil cantik dan sempurna pada dirinya. Cukup, dan tak lebih!

Saat ini, Cinta hanya ingin mencintai dirinya.

Sampai sosok itu datang, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-35. Sosok santun yang menawarkan cinta dan perhatian padanya dengan cara yang sangat elegan. Dan hati cinta terkapar. Untuk kali kedua dia jatuh cinta. Yudha datang hampir bersamaan dengan hadirnya Cakra. Sosok smart yang memiliki tubuh tak lebih tinggi dari dirinya, dan cukup pelit untuk berkomunikasi verbal dengannya. Justru kemisteriusan ini yang menjerat Cinta dalam pesona. Dia pernah terluka pada lelaki yang begitu lembut dan perhatian padanya, namun ternyata dia menduakannya.

Dan Yudha berbeda. Dia cuek, sangat cuek. Perhatiannya hanya diwujudkan dalam tindakannya.

Mimpi tentang masa depan kembali mengisi hari-hari Aprilia Cinta Laluna. Dia ingin, sangat ingin, menjadi perempuan sebagaimana kodratnya. Dicintai, mencintai. Menikah, dan menimang anak, selagi usia produktif belum terlewati.

“Yud, kapan mau bertemu ibu? Beliau sudah menanyakan keseriusan hubungan kita. Dan … usiaku juga sudah tak muda lagi.”

Hanya ini satu-satunya ganjalan dalam hubungan mereka. Yudha yang tak juga memberikan kejelasan pada hubungan mereka.

Dan ini bukan pertanyaan pertama Cinta pada Yudha ….

Sayang, belum lagi pertanyaan itu terjawab, seseorang datang menghampiri mereka. Seseorang yang nampaknya bukan orang asing bagi Yudha ….

“Hey …..ketemu lagi…”

Heks.

Yudha yang sedang membuka dompet hendak membayar bill tersedak. Sepotong KTP dan beberapa surat penting lainnya terlempar dari dalamnya.  Refleks Cinta memungut  dokumen yang tercecer itu, dan matanya terbelalak ….

“Yukti Prama…yu..dhan.. ti …jenis kelamin … perempu …an…”

Cinta membaca data yang tertera di dokumen pribadi kekasihnya. Melihat wajah kekasihnya dengan tatap tak percaya, dan memindai foto di KTP itu dengan matanya.

Dan seluruh tulangnya tiba-tiba serasa lepas dari tubuhnya …..***(Tirta Nursari)

 

Salatiga, 7 Juli 2022