Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Oleh: Ana Rahmawati Ningsih, S.Pd., M.Pd.
Pagi itu, aku tergesa. Tanpa sarapan, aku berlari meninggalkan keadaan rumahku yang belum sempat aku rapikan. Aku akan terlambat, pikirku. Kulihat jam tanganku. Hampir menunjukkan pukul 7 pagi.
“Bagaimana ini?” Kuhela napas berkali-kali. Aku harus membimbing siswaku. Dia akan berangkat ke Jakarta pukul 10 pagi. Setidaknya, ada bekal terakhir untuknya. Aku sudah berjanji untuk membimbing dan memberikan semangat terakhir. Semoga aku bisa bertemu dengannya sebelum dia berangkat.
Ranjana, siswa kesayanganku akan berjuang untuk mengharumkan nama sekolah dan daerah kami. Olimpiade matematika tingkat nasional. Semua di luar perkiraan kami. Ranjana lolos seleksi. Aku dan rekan-rekan kerjaku tak menyangka hal itu akan terjadi.
Suara klakson bus biru membuyarkan lamunanku. Tunggu! Bus biru! Aku melihat bus itu. Bus yang akan membawaku menuju ke tempat kerjaku. SMP Harapan. Aku berlari mengejarnya. Namun, bus itu terus melaju. Tak menghiraukanku. Aku menyerah. Aku harus menunggu bus biru itu setengah jam lagi. Dan pastinya, aku benar-benar terlambat. Dengan langkah lunglai, aku menyeberang jalan untuk naik angkutan kota. Meski perjalanan memakan waktu lebih lama, tetapi tak masalah bagiku. Aku harus cepat-cepat sampai dan bertemu dengan Ranjana. Sayangnya, aku tak mendengar suara klakson truk. Tubuhku terhantam oleh truk itu. Aku terpental. Pandanganku seketika itu kabur.
***
Aku terbangun. Kurasakan tubuhku sangat sakit. Seluruh tulangku serasa lepas. Aku buka kedua mataku. Syukurlah, aku masih hidup. Aku baru menyadari bahwa aku berada di atas trotoar. Kuperhatikan seluruh tubuhku dengan saksama. Tak ada luka sedikit pun. Siapa yang mengangkatku kemari? Sebuah pertanyaan yang segera aku tepis. Terlihat tak jauh dari tempatku, beberapa orang berkerumun. Mereka berteriak meminta tolong. Seseorang tergeletak. Apakah ada korban lain? Pikirku.
Sebuah angkutan kota berhenti tepat di hadapanku. Aku beranjak dari trotoar itu dan naik. Hanya aku penumpang di dalam angkutan itu. Sepanjang jalan, aku berbasa-basi dengan sopir. Aku menanyakan beberapa pertanyaan. Namun, sopir itu hanya terdiam. Mungkin suara musik telah menyihirnya.
Beberapa kali aku memastikan pukul pada jam tanganku benar. Aku sangat gugup. Aku selekasnya harus tiba ke sekolah. Aku memaksa sopir itu untuk mempercepat kemudinya. Tak masalah, aku harus membayar lebih. Namun, lagi-lagi sopir itu tak menghiraukanku.
Angkutan kota itu berhenti tepat di depan sekolahku. Terlihat dua wali siswa yang aku kenal naik ke angkutan tersebut. Kusapa mereka, tetapi mereka terdiam. Apa maksud mereka? Mereka juga mengabaikanku. Ah, sudahlah. Tersisa satu jam. Waktuku untuk bertemu Ranjana. Aku berlari kecil menuju ke sebuah ruang kecil. Ruang itu bersebelahan dengan ruang BK. Benar saja, Ranjana sudah menungguku.
“Bu … An … Andini?” Suara Ranjana bergetar. Seperti melihat hantu saja, pikirku. Roman pucat dan kaget yang dia tampakkan. Aku hantu? Yang benar saja. Bukankah aku sehat-sehat saja? Aku melihat tubuhku sendiri dari atas sampai bawah.
Ranjana memang terkenal dengan kemampuan indra keenam. Namun, aku berpikir dia melihat makhluk tak kasat mata lain di dalam ruangan itu.
“Ada apa, Nak? Ayo, kita mulai bimbingan. Tak ada waktu lagi. Kamu harus menang di tingkat nasional nanti.” Aku meletakkan tasku di atas meja dan duduk. Namun, Ranjana berdiri mematung dan menatapku.
“Hei, ada apa?” tanyaku sekali lagi padanya.
“Ti … ti … tidak apa-apa, Bu? Baik, kita mulai,” ucapnya dengan suara yang bergetar. Dia duduk di hadapanku dengan ragu.
Beberapa soal tingkat tinggi kuberikan padanya. Ranjana serius mengerjakan soal itu. Sesekali dia menatap aneh padaku. Ketika aku bertanya, dia menggeleng. Keringat semakin mengucur deras pada dahi dan lehernya. Lagi, aku bertanya. Hanya gelengan sebagai jawabannya. Tidak ada setengah jam, Ranjana selesai mengerjakan soal-soal yang kuberikan. Cepat sekali. Tak salah lagi, Ranjana memang siswa sangat cerdas. Selain, bimbingan dari tutor provinsi, kepala sekolah memang memintaku untuk membimbing Ranjana. Sejak awal, aku memang pembimbingnya. Tak dapat kusangkal, dia memang siswa yang andal.
Aku tersenyum padanya. Ranjana mengerjakan semua soal dengan benar. Sempurna. Aku yakin dia bakal jadi pemenangnya. Aku memberikan tips-tips terakhir sebelum dia berangkat. Secarik kertas juga kuberikan padanya. Sebuah surat sebagai penyemangat dirinya. Aku yakin dia bakal menjadi anak bangsa yang hebat di kemudian hari. Seorang anak bangsa yang akan sukses dan mengabdikan dirinya untuk negeri tercinta.
Suara langkah terdengar. Seseorang membuka pintu ruangan dengan kasar. Dia seakan mendobrak pintu itu.
“Pak Rayyan?” Ada apa dengan dirinya. Romannya begitu khawatir. Bulir-bulir air mata mengalir dari kedua bola matanya.
“Ranjana, kau harus tabah, Nak!” Suara Rayyan bergetar. Dia seakan menyampaikan kabar buruk bagi Ranjana. Aku khawatir kabar itu akan mempengaruhi Ranjana. Aku takut sekali.
“Ada apa, Pak?” tanya Ranjana dengan roman cemas.
“Bu Andini ….” Rayyan tak meneruskan perkataannya. Dia mengambil saputangan dari saku celana dan mengusapkan berkali-kali pada dahi dan lehernya.
“Kenapa Bu Andini, Pak?” tanya Ranjana mendekat pada Rayyan.
“Bu Andini telah meninggal dunia beberapa jam yang lalu. Dia tertabrak truk.”
“Apa … Apa maksudmu? Aku telah meninggal! Kapan?!!” Kedua kakiku lemas. Ranjana hanya menatapku. Tetesan air matanya tak terbendung. Dia terus saja menatapku seakan tak memercayai semua yang terjadi.
“Kau jangan menunggunya. Dia tidak akan datang untuk membimbingmu. Sudah, kamu harus berangkat. Perwakilan pejabat dari dinas sudah datang menjemputmu.” Rayyan membantu mengemasi semua buku dan perlengkapan Ranjana. Siswa kesayanganku itu masih saja terus menatapku.
“Aku akan menang, Bu Andini. Percayalah padaku!” Kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum dia pergi meninggalkanku sendirian di ruangan itu.
***
Ranjana, Anakku ….
Nak, Ibu sangat bangga adamu.
Ibu tak menyangka kau akan berprestasi sejauh ini.
Ibu akan terus mendoakanmu semoga kau bisa mendapatkan prestasi tertinggi di Jakarta nanti.
Ibu akan terus menyemangatimu sampai kau benar-benar menjadi seseorang yang sangat membanggakan bagi keluarga, sekolah, dan bangsa.
Raih dan ukir terus prestasimu.
Jika kau sukses suatu saat nanti, jangan lupakan di mana kau dibesarkan.
Jangan lupakan mereka yang telah membantumu hingga kau mencapai segala sesuatunya.
Jadilah orang hebat. Bukan … bukan, tetapi orang yang sangat hebat.
Orang yang membanggakan.
Dan berkaryalah untuk bangsamu sendiri.
Sekali lagi, Nak. Jangan lupakan bangsamu sendiri.
Berkaryalah. Dan terus berkarya. Hingga ketika kau meninggal nanti, namamu tak akan pudar ditelan waktu.
Nak, Ibu akan terus mendampingimu meski ibu sudah tidak ada di dunia ini.
Andini
juara 2 lomba cipta cerpen kategori tenaga kependidikan
dalam rangka memperingati HUT RI ke-75