Published On: 14 March 2023Categories: Berita, Pojok Sastra, Puisi

SEMALAM DI WACICU EDEN BEACH
Oleh: Dr. Mampuono (Tali Bambuapus Giri)

Menjulang di langit atas
Puncak-puncak lontar berhias
Membentang savana selimut cadas
Padanya sulur beringin melintas
Merambat melengkung mengutas
Seelok manikam di alam bebas

Berpadu gagasan tinggi
Refleksi akal, moral dan budi
Ijuk, rotan, bambu, dan kayu jati
Mencipta hiasan penyejuk hati

Dari langit Labuhan Bajo
Tatapan mata melintas samudera
Terpaku pada bentang biru  sebening kristal
Merengkuh  mesra pantai putih dan koral

Cottage-cottage beratap ijuk
Bersusun, bertopang tangga-tangga menjulang
Menempel, melekat pada dinding tinggi
Dalam arsitektur suku Manggarai
Layaknya kemegahan karya
Kaum Ad dan Tsamud
Bukit-bukit cadas berornamen hunian bertingkat
Wacicu Eden Beach selamanya memikat

Dan ruang-ruang laksana kamar pengantin
Berjajar dan bersanding
Mencumbu rayu cinta dan rindu 
Menjaga kenangan  agar tak terpuing

Menatap matahari di langit barat
Kuteguk sisa cappuccinoku
Laut  cemerlang berdebur di kejauhan
Perlahan kian temaram
Sampai kegelapan menggantikan

Bayang-bayang pulau Kukusan
Berdiri gagah di hadapan
Perlahan menghilang
Yang tinggal adalah cahaya kecil
Lampu badai nelayan di ujung buritan
Melintas  menghabiskan malam

Semalam di Wacicu Eden beach
Adalah momen tak terlupa
Tempat berlabuh di ujung dunia
Mencari ketenangan dan kedamaian
Menyatu dengan alam
Merasakan keajaiban

(Kumpulan puisi muhibah Menemu Baling di Indonesia Timur)

***

DESKRIPSI PUISI “SEMALAM DI WACICU EDEN BEACH”

Puisi “Semalam di Wacicu Eden Beach” menggambarkan pengalaman pengarang saat berada di tempat yang indah dan menenangkan, yaitu Wacicu Eden Beach. Pengarang menggambarkan dengan detail keindahan alam di sekitar tempat tersebut, seperti tebing tinggi, puncak lontar yang berhias, savana, cadas, pepohonan, dan laut yang sebening kristal.

Pengarang juga menggambarkan keindahan cottage-cottage beratap ijuk hitam yang terukir indah dan ditopang tangga-tangga menjulang, serta kelembutan dan keelokan dalam arsitektur suku Manggarai.

Pengarang menikmati keindahan matahari yang semakin condong, meneguk sisa cappuccino, dan menatap laut semakin cemerlang dengan irama debur di kejauhan. Ia juga menggambarkan momen ketika matahari mulai tenggelam dan bayang-bayang pulau Kukusan yang berdiri gagah di hadapan mulai menghilang, digantikan oleh cahaya kecil dari lampu badai nelayan di ujung buritan.

Pengarang menutup puisinya dengan menyebut momen tersebut sebagai momen tak terlupa, di mana ia mencari ketenangan dan kedamaian, menyatu dengan alam, dan merasakan keajaiban. Keseluruhan puisi ini menggambarkan keindahan alam yang luar biasa dan pengalaman yang membawa kedamaian dan keajaiban bagi pengarang.