Published On: 19 January 2019Categories: Artikel, Kajian Sastra, Pojok Sastra

Sebuah teks membawa nilai-nilai tersendiri. Naskah Jawa sebagai warisan adiluhung dari nenek moyang bangsa Indonesia banyak mengandung nilai-nilai yang layak diteladani, dijadikan panutan, dan tuntunan. Nilai-nilai itu sudah sepatutnya tidak hanya berhenti tatkala naskah itu selesai ditulis oleh pengarangnya. Penulis naskah Jawa Klasik tentu berkehendak agar nilai-nilai yang baik itu dapat disebarluaskan dalam kehidupan bermasyarakat yang melingkupinya. Masyarakat itu bisa hidup di masa lalu ataupun yang hidup di masa kini. Nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah itu sudah semestinya dikaji dan disebartumbuhkan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Sebab nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya tentu tidak lekang oleh waktu dan keadaan.
Salah satu ranah kehidupan yang penting untuk diulas dalam kehidupan orang Jawa adalah masalah irasionalitas pada garis dan nasib hidup yang masih kental. Hal inilah yang mendorong seorang pujangga bernama R. Ng. Pujahardja menulis Serat Nitileksana. Pujahardja tentu tidak menulis dari hal yang tidak nyata. Karyanya tentu terikat dengan situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupannya saat itu. Menariknya lagi, Serat Nitileksana tidak ditulis dalam bentuk puisi (geguritan). Pujahardja menuliskan Serat Nitileksana dalam bentuk cerita cekak (cerkak) atau gancaran.
Serat Nitileksana yang ditulis oleh Pujahardja juga mengulas mengenai pandangan masyarakat Jawa yang cenderung mengagungkan mitos. Akan tetapi melalui tokoh yang bernama Nitileksana, Pujahardja hendak mengikis pandangan masyarakat Jawa itu. Bila ditinjau dari namanya, Nitileksana berarti “meniti pelaksanaan” sebagaimana terungkap pada pembukaan yang terdapat pada Serat Nitileksana berikut ini.
Wonten tiyang jaler nama Nitileksana, mila nama makaten kajengipun ateges: niteni lelampahan. Awit Nitileksana punika sampun jajah sanget dhateng lalampahan, sawawratipun tiyang Jawi seserepanipun sampun kalebet onjo, labet saking anggenipun remen kalana, wiwit lare dumugi dados tiyang sepuh.
Serat Niitileksana termasuk satu naskah Jawa yang memiliki ciri-ciri sebagai teks piwulang. Nasihat yang terkandung di dalam Serat Nitileksana termasuk sesuatu yang masih baru pada masa itu, yaitu mengajarkan rasionalitas, berpikir secara rasional, masuk akal, dan hendak mengikis kepercayaan-kepercayaan atau mitos yang irasional.
Bahwa Serat Nitileksana mengandung nilai yang rasional tercermin melalui falsafah Jawa yang tersirat di dalamnya. Falsafah itu adalah sapa gawe nganggo. Siapa saja yang ingin hidup sejahtera ia mesti berupaya, mesti bekerja. Tidak ada setetes keringat yang tidak dibalas. Langkah paling rasional manusia untuk hidup sejahtera dan berkecukupan adalah dengan bekerja. Memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan kemampuan yang dimiliki merupakan kewajiban setiap manusia untuk mencapai derajat yang dimuliakan. Ketekunan, kesabaran, dan pantang putus asa dalam bekerja menjadi kunci agar kehidupan seorang manusia tercukupi. Hal ini juga disinggung Pujahardja melalui tokoh Nitileksana.
Kacariyos dangu-dangu Nitileksana sempulur penggesanganipun, labet saking mungkul amengkeli pandamelan wonten ing griya, pikantukipun nipkah tuwin rijeki ing sadinten-dinten boten pot, cekap kangge nyukani sandhhang tedha dhateng anak semahipun, malah ngantos ambaleber dhateng sanak ingkang kekirangan tedha, arta simpenanipun kangge mragadi anggenipun iya sagriya sapirantosipun. Ing suwaunipun Nitileksana taksih nunggil kaliyan tiyang sepuhipun, samangke sampun pisah manggen piyambak. Mila ngantos kalampahan gadhah arta simpenan, labet saking anggenipun ngantepi manah satunggal nyambut damel, samubarang ingkang sampun nama sae dipun lampahi, boten mengeng sarta boten salah weweg, punapa dene boten kakathahen penggayuh kados ingkang sampun. Anggenipun kangelan nyambut damel sadinten-dinten namung kasedyakaken wajibing ngagesang kedah nyambut damel, serta damel kesaenan ing sakuwasanipun.
Pesan yang hendak disampaikan dalam cuplikan nash Serat Nitileksana di atas cukup jelas, bahwa seseorang bila menginginkan hidupnya berkecukupan hanya ada satu cara, yaitu: bekerja. Masyarakat Jawa sejatinya adalah masyarakat yang senang bekerja. Kehidupan agraris membuat mereka harus tekun dan rajin mengurusi kebun atau sawah mereka. Hal itu bisa dilihat saat subuh, para petani sudah mulai keluar rumah menuju sawah atau kebun mereka. Ibu-ibu di desa-desa sudah mulai menuju pasar untuk berdagang apa saja yang bisa dijual untuk menghasilkan uang guna mencukupi keperluan hidupnya hari itu. Falsafah sapa gawe nganggo ini juga sangat erat dengan makna falsafah jawa yang lain yang berbunyi ana awan mangan, ana dina ana upa, dan sapa obah mamah yang mempunyai makna bahwa rezeki pasti akan datang setiap hari jika manusia berusaha dengan bekerja.
*) Tri Winarno, Guru Bahasa Indonesia, SMK Negeri 2 Klaten
Ilustrasi: www.sisemut.com