Published On: 1 February 2023Categories: Cerpen

SAWITRI DAN SELENDANG SUTRANYA (2/2)

Tirta Nursai

 

Lalu, pada saat hari mulai sendu meremang, perempuan itu melepas selendangnya, memasukkan ke dalam dompet berhiaskan sulaman bunga. Lantas dia akan memacu motornya, kembali pada kehidupan yang selalu saja meremangkan kuduknya. Namun dia harus pulang. Dia perempuan pengabdi.

Perempuan itu memuja rembulan. Pada setiap malam, saat hari menggelap, perempuan berambut ngandan-andan, berombak, suka menerawang dari balik jendela kamarnya yang selalu dibiarkannya terbuka. Dia suka mencecap aroma angin malam yang menerobos masuk lewat jendela berbingkai jati yang khusus dipesannya dari Jepara. Lalu pada gelap malam itu, Sawitri akan melirihkan Maskumambang. Nadanya mengayun lirih, bertutur tentang asmara dengan sendu yang menggelayut di dalamnya.

Lelakinya telah lama menghilang usai vonis dokter mengatakan air kehidupannya  jauh dari cukup untuk bisa menghasilkan keturunan.

Dia hanya akan datang saat matahari hendak pamitan. Dan tak ada lagi sentuhan. Lelakinya lebih suka menebar kehangatan pada perempuan-perempuan sesaat yang ditemuinya di setiap persimpangan.

Angan Sawitri menjelajah pada perjalanan waktunya dulu, saat kenyal tubuhnya masih sempurna. Lebih dari duapuluhan tahun lalu saat kebersamaan manis itu sesaat pernah direguknya. Arjuna, lelaki itu. Dialah cinta pertama.

Pada biru dia menyeru, rindu!

“Sawitri.” Begitu lelaki itu menyapanya di senja yang galau. Usai kelulusan sekolah. Dan entah bagaimana pula ceritanya, Arjuna, lelaki jelang dewasa yang begitu dipujanya itu mengajaknya bertemu di taman kota, berjeda seperempat jam jaraknya dari sekolahnya. Padahal meski satu sekolah, mereka hampir tak pernah bersapa sebelumnya. Arjuna bintang di sekolahnya, lalu dia siapa?

Hanya berita yang berhembus kencang di SMAnya, Juna  telah dinyatakan lulus tanpa tes di sebuah perguruan tinggi negeri di kota. Fakultas Teknik, entah teknik apa.

“Sawitri, aku sudah suka padamu lama. Tapi kita hanyalah anak baru gede, maka aku simpan sukaku sampai saat ini. Sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Aku ingin kau menjadi penyemangatku. Sampai saat itu tiba. Aku titipkan  hati ini padamu.”

Untuk pertama kalinya jemari perempuan itu digenggam dan dikecup lembut oleh seorang lelaki. Riak-riak itu menari. Geletar meningkahi matanya yang meluruh, tak berani beradu pandang dengan lelaki bermata bintang yang kini menatap lekat padanya.

Ya, itulah kebersamaan indah yang akan terus dikenangnya. Juga selembar selendang sutra hadiah pertama dan satu-satunya dari kekasih jiwanya itu.

“Kau teruslah menari, Sawitri. Seperti kau akan terus menari dalam anganku.”

Lalu lelaki itu pergi.

“Juna, aku rindu.”

Pada langit, di hampir setiap malam, Sawitri menitip pesan. Dan selendang itu adalah sumber kekuatan. Sawitri selalu merasakan kehadiran lelaki berkulit terang itu saat dia mengalungkan selendang sutra itu di lehernya, atau melilitkannya di pinggang. Dia akan menari dengan sepenuh jiwa dan hatinya, karena dia selalu merasa Arjuna ada bersamanya.

Ya,  Arjuna memang telah benar-benar pergi, sejak saat awal perjalanannya merintis mimpi. Mobil seorang lelaki mabuk yang baru saja pulang dari klub, menyambar motornya, persis di lampu merah, saat semua kendaraan seharusnya berhenti. Tepat di tengah malam.

Sawitri tak bisa meraung, saat peti jenazah itu tiba di kampung halamannya. Dia hanya menatap beku pada lelaki yang namanya baru saja disematkannya di relung hati. Dadanya menyesak. Butir-butir bening perlahan menetes dari sudut matanya.

 Arjuna telah pergi. Kekasih jiwa yang namanya selalu tersimpan di dalam hati, namun tak pernah terukir di buku suci.

Dan lelaki kedua itu datang, bersama bilangan warsa yang  menyampai pesan kegundahan pada sang bunda.

Ndhuk, kamu itu nunggu apa, to? Usiamu itu sudah hampir tigapuluhan…”

Orang-orang menilainya dia cukup tampan, berpendidikan tinggi, dan berasal dari keluarga terhormat, kurang apa? Maka setengah memaksa, sang ibu menyodorkan untuk menjadi jodohnya.

Ndhuk, dia pantas untukmu,” ujar Ibundanya dengan mata berbinar.

Maka pesta pernikahan digelar penuh kemeriahan. Sayangnya, hingga bulan berganti dan tahun berjalan pelan namun pasti, tak jua ada tanda kehidupan di rahim Sawitri. Lelakinya mulai menuntut, ibunda, sang mertua. Aneka remuan, jejamuan, dijejalkan di mulutnya. Dan sebutan-sebutan yang mulai menyudutkannya. Sawitri, perempuan gabug. Mandul.

Namun Sawitri yakin, bukan dia penyebabnya. Dokter telah memeriksanya. Tak ada masalah sedikitpun dengan dirinya.

Melalui perjalanan panjang pula, akhirnya dia berhasil memaksa lelakinya untuk memeriksakan kesuburannya. Hasilnya, hampir mustahil perempuan manis ini bisa mendapatkan keturunan dari lelaki yang telah sekian tahun menikahinya itu. Tapi, dia bisa apa? Menuntut cerai? Apa kata dunia….

 “Sawitri….di mana kamu…..?!”

Seperti biasa,rembulan hampir saja pamitan. Perempuan yang masih bertahan berada di balik jendela kamar itu bangkit berdiri. Kalungan selendang sutra menghiasi lehernya. Ini sambutan selamat datang. Namun diapun hendak sampaikan salam perpisahan. Tak ada salim cium tangan. Yang ada sepucuk surat gugatan dia angsurkan. Dia sudah persetankan apa kata orang tentang sebuah perpisahan.

Sungguh, bukan karena lelakinya tak bisa memberikan keturunan. Tetapi Sawitri yakin, dia tak mungkin bisa bertahan dalam rumah tangga yang sakit. Sekian tahun sudah dia bertapa dalam diamnya, membiarkan semua bilur di tubuhnya, hatinya, nadinya, dalam lecut-lecut yang tak menampakkan darahnya. Kini saatnya dia harus mengambil langkah. Ini bukan lagi tentang stigma dan dogma, perempuan setya, bekti, mituhu. Dia harus menyelamatkan dirinya.

Hanya menunggu waktu. Rembulan akan berganti dengan matahari.

“Maafkan aku, Mas.”

Gending tak lagi mengalun ladrang, apalagi ketawang. Anak-anak menari. Musiknya rampak, rancak. Ritmis. Tepakan gendangnya dinamis.

“Ayo, anak-anak, seblakannya yang semangat. Jangan lupa senyumnya….”

“Yak, matanya diisi!  Yak, bagus….!”

Sawitri terus menari.

Dia pecinta malam. Pengagum rembulan. Kali ini dia berjanji, akan lebih banyak mengisi harinya dengan sepenuh matahari.

Dia, Sawitri, perempuan yang setia dengan selendang sutranya …. ***