Published On: 30 January 2023Categories: Cerpen

SAWITRI DAN SELENDANG SUTRANYA (1/2)

Tirta Nursari

Sungguh, perempuan itu sudah lupa rasanya bercumbu. Yang dia ingat, kala percumbuan terakhir itu dia hampir saja menumpahkan semua isi perutnya, andai sedikit saja dia lupa, bahwa lelaki itu masih berhak atas dirinya. Tubuh lembayung yang entah sudah berapa kali dilecut dengan kata-kata, tetapi masih juga dia suka meminta kehangatan darinya.

“Hay, Gabug, sini kau! Ambilkan kopi untukku, lalu jangan lupa kau pijiti aku!” serapah lelakinya hampir di setiap jelang tengah malam, saat perkawinan mereka mulai memasuki tahun ketiga dan belum pula ada tanda-tanda kehadiran bayi dalam rahimnya.

Perempuan itu, Sawitri namanya. Dia ingin membantah serapah yang dilontarkan lelakinya. Bukankah semua hasil lab mengatakan dia sehat? Tak ada kekurangan sedikitpun pada dirinya. Namun yang bisa dia lakukan kemudian hanya menggigit bibir. Sungguh dia merasa sendirian, pengelakan hanya akan membuat rumah mereka menjelma menjadi neraka. Atas nama ikatan sakral yang telah disepakati bersama, maka perempuan itu bertahan. Apalagi ibunya dulu selalu menekankan, perempuan itu mituhu, setya dan bekti. Harus menurut, setia, dan berbakti pada suaminya. Doktrin itu telah merasuk dalam aliran darahnya. Tersimpan dalam otak kecilnya, bawah sadarnya.

Dia ingin memberontak, namun dia selalu merasa, dia tak bisa. Dia perempuan, hanya pengabdi!

Lalu semakin sering lelaki itu pulang dini hari, dengan aroma alkohol yang menguar dari mulutnya. Bibirnya semakin menghitam karena lapisan nikotin yang semakin pepat disesapnya. Lalu pada saat-saat seperti itu, dia memaksanya bercinta. Tuhan, semestinya ini ibadah terindah yang Kau berikan ini pada umatMu. Tetapi mengapakah Kau hadirkan dia?

Namun Sawitri tak boleh menggugat. Dia tak ingin menjadi istri durhaka, maka dia harus melayaninya. Sayangnya, adakalanya reaksi otak, hati, dan tubuhnya berbeda. Tak sinkron. Bila otaknya menerima percumbuan itu sebagai kewajiban, namun tidak demikian dengan hati dan tubuhnya. Pada setiap malam, tubuhnya menjelma menjadi sebatang pisang. Dingin dan beku. Maka tiada lagi percumbuan. Pada setiap penyatuan, Sawitri hanya bisa menahan segala nyeri yang menghajar tubuhnya. Juga gejolak yang meluap dari lambungnya, menusuk ke ulu hatinya.

Sungguh, andai dia tak ingat ajaran di kitab sucinya yang melaknat para perempuan pembangkang pada kehendak suaminya, pastilah sudah dia muntahkan saja isi lambungnya. Agar lelakinya pergi menjauh dan tak lagi menyentuhnya. Tapi tidak. Dia tetaplah perempuan dengan selendang sutra. Dia akan tetap lembut dalam genggaman, namun ada semayam kekuatan tak terkatakan.

Dia bertahan pada keyakinan, ibadahnya tak akan sia-sia. Atau, selalu ada masa dia akan terlepas dari prahara. Dia tak tahu caranya, namun dia yakin masa itu akan ada.  Dia yakin, dirinya adalah perempuan indah, yang tak layak untuk ditumbalkan. Suatu saat dia akan buktikan.

Sawitri bertapa dalam kepompong meraga. Dalam diam tanpa kata-kata. Dia mengeja hidupnya tanpa suara. Memindai garis-garis waktu yang berjalan maju dengan remah-remah kenangan yang tak semuanya mampu terurai sempurna. Dan melenyap bersama hembusan angin.

Perempuan itu telah melalui banyak waktu dan peristiwa. Dan dia menyimpan, menuliskannya serupa memoar saja. Menyelipkannya rapi dalam almari kalbunya. Sementara dalam lekuk bola matanya, dia menyimpan kenangan tentang perempuan agung yang begitu dipujanya. Perempuan wegig, perempuan penuh welas asih, yang dulu, hampir di setiap malamnya menyenandungkan tembang-tembang yang kental dengan ajaran kebajikan.  Piwulang reh, nasehat agung tentang kepekaan, darma baik yang akan memberikan kemuliaan.

Dan karena itu dia berjanji akan tetap menjadi perempuan baik dan pengabdi, meski lecut demi lecut itu menghantam nadi dan menghancurkannya.

 Ibunya dulu rajin menembang, sembari mencari kutu di sela-sela rambutnya. Ibunya juga suka menembang di jelang tidur, saat rembulan mulai meninggi. Kinanti, tembang yang  konon berasal dari kata kanti, menuntun.Ini  adalah piwulang, ajaran tentang bagaimana seorang anak belajar tentang kehidupan.

Padha gulangen ing kalbu/ing sasmita amrih lantip/aja pijer mangan nendra/kaprawiran den kaesthi//Pesunen sariranira/sudanen dhahar lan guling//

 “Ndhuk, jadilah anak seperti makna yang ada di lagu ini. Biasakanlah kalian mengasah kalbu, agar kamu  tajam dalam menangkap isyarat. Jangan hanya makan dan tidur, harus berani berjuang. Latihlah itu dengan mengurangi makan dan minum.” Begitulah selalu saja ibundanya memberi  pitutur, nasehat, dengan cara yang indah.

 Dan sepanjang yang diingatnya,  ibunya yang mengasihinya itu, tak pernah memarahinya atau menasehatinya dengan kata-kata. Kecuali dengan dongeng atau  sekar-sekar yang selalu disenandungkannya di saat dia menjelang tidur. Kinanti, Pangkur, Mijil, Dandanggula, sembari tangan lembut itu memeluknya hingga perlahan kedua mata gadisnya mengatup.

Ibunya masih suka terus menembang, meski Sawitri telah beranjak dewasa. Masih dengan sekar-sekar Macapat. Namun kali ini syairnya tak lagi bertutur  kebajikan dan kebijakan. Namun pitutur tentang palakrami, nasehat tentang perkawinan.

Sawitri. Usianya kini jelang 40-an. Seperti perempuan Jawa pada umumnya, kulitnya coklat karena guyuran sinar matahari yang berlimpah. Beruntung saja, ibunya mewarisinya kulit pualam, sehingga kulitnya tak lantas melegam, meski hampir separo harinya berkubang di jalanan.

Ya, sepanjang hidupnya ibunya telah mengajarkan tentang ajaran kebaikan lewat tembang-tembangnya. Dan Sawitri mewarisinya. Ibunya juga mengajarkan olah raga lewat tari-tarian Jawa yang anggun dan mempesona. Sawitri mewarisinya pula. Maka selepas jam kerja yang memenjarakannya  dalam kotak bernama gedung sekolah, perempuan itu akan menyusuri jalanan,  dan berhenti di satu persinggahan berbeda setiap harinya. Di sanalah dia menumpah rindu pada kehadiran anak-anak. Dia menembang. Dia menari.

Saat gending ladrang mengalun, perempuan itu berada di sisi depan menghadap delapan, sepuluh, sebelas, hingga dua belasan anak yang melilitkan selendang, orang Jawa biasa menyebutnya sampur di pinggangnya. Dia telah mengajarkan bagaimana caranya mendak, ukel karno, seblak sampur. Itu gerakan-gerakan dasar dalam tarian Jawa. Lalu anak-anak itu mengikutinya dengan gemulai.

Oh, selendang perempuan itu, bukan selendang biasa. Itu selendang sutra yang dihadiahkan seseorang  yang berjejak pada masa lalunya. Selendang yang selalu memberi nyawa  pada setiap tariannya. Pada setiap seblakannya, kibasan sampurnya.

Bersambung ….