Published On: 12 January 2019Categories: Kajian Sastra, Pojok Sastra

Ada satu hasrat yang muncul ketika melakukan perjalanan mengajar dari satu kota ke kota lainnya. Hasrat itu adalah memotret kota yang saya singgahi dengan puisi. Jika biasanya sekadar catatan dalam agenda, kini ingin saya ungkapkan melalui baris-baris puisi. Saya pun mulai mempunyai keasyikan baru saat malam sendiri di kamar hotel. Ya, menulis puisi tentang kota yang saya singgahi di Jawa Tengah. Suatu saat akan saya terbitkan buku antologi puisi kota singgah. Pada tulisan ini akan saya sajikan beberapa potret kota dalam puisi saat menjalankan tugas mengajar.
Minat menulis puisi kembali muncul ketika saya dan teman-teman widyaiswara mengajar di Jepara. Sore hari, 6 Mei 2017 usai mengajar, kami menuju ke Pantai Bandengan. Indah panorama senja saat itu. “Ayo, Pak Met, tulis puisi. Nanti beri judul Senja di Pantai Bandengan: buat Sri Hartati,” tantang teman saya saat itu. “Wah, sudah lama tidak menulis puisi,” begitu kilahku saat itu. Setelah dari pantai, kami kembali ke hotel hanya untuk mandi dan solat. Malam hari kami keluar bersama lagi untuk makan malam bersama di Pujasera Shopping Centre Jepara (SCJ).
Sekembali di Hotel Kalingga, saat sendirian di kamar, terngiang tantangan teman sore tadi. Segera kuambil laptop dan kutulis puisi. Tentunya sebagai karya puisi, saya bebas memberi bumbu tambahan. Puisi itu tidak lagi menjadi potret realita. Jadilah puisi potret Kota Jepara sebagai berikut.
 
Senja di Pantai Jepara
 
Melepas penat sehari kerja
Sepakat kita menuju Bandengan
Susuri pantai pasir putih di ujung senja
Menanti mentari rebah di batas cakrawala
 
Ketika pohon, gubug, dan perahu menjadi bayang
Karena gelap malam mulai datang menjelang
Kau merajuk mengajak pulang
Sebab lapar sudah mengundang
 
Pujasera esceje destinasi makan malam kita
Kau pesan aneka kerang dan tiram bersambalado
Kucoba horog-horog dalam semangkuk bakso
Minumnya adon-adon coro
 
Sembari menikmati sajian tradisi kita diskusi tentang tiga putri:
Shima, sang ratu penegak kejujuran dan keadilan dari Kalingga
Kalinyamat, sang wanita luka berlaku topo wudo sinjang rikma
Kartini, sang puteri pahlawan emansipasi pengharum bangsa
 
Ketika jarum jam terus merambat perlahan
Sebelum kantuk datang menyerang
Ke Semarang kita pulang, sayang
Turut serta kenangan tak terlupakan.
 
Kalingga, 6 Mei 2017
 
Kegairahan menulis puisi kembali mendapat ruang ketika saya bertugas di Temanggung. Saat itu saya mengajar para calon kepala sekolah. Mengisi waktu malam menjelang tidur di hotel. Kembali kutulis puisi tentang Temanggung dengan ciri khasnya. Kota sejuk di lembah Gunung Sindoro dan Sumbing. Selain daerah penghasil tembakau, juga terkenal dengan kopi dari Candiroto.
Saya mengandaikan berkendara motor, berboncengan. Berhenti sejenak di Sigandul menikmati kebebasan sejauh mata memandang. Maka terciptalah puisi berikut ini.
 
Bersaujana di Temanggung
    
Memasuki kotamu
Ada dingin yang menyergap
Saat embun bagai asap
Turun menyambut pagi itu
 
Sejenak berhenti di Sigandul
Menikmati panorama saujana
Saat itu aku merasa sebagai si Sumbing
Dan kau adalah Sindoro
 
Kau tawarkan secangkir kopi Candiroto
Sambil kunikmati sebatang Djeruk
Kepul uap kopi menyatu dengan kebul rokok
Dalam dekap hangat kita pagi itu
 
Indraloka, 24 Mei 2017
 
Pada kesempatan mengajar calon kepala sekolah, saat malam sendiri di kamar, saya teringat seorang sahabat di Kebumen. Sudah bertahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Saat berada di kotanya, kutuliskan baris-baris puisi berikut ini.
 
Melacak Jejak di Kebumen
    
Selalu ada kamu di tugu walet itu
Bagiku walet itu adalah kamu
Terbang bebas melintas batas
Tetap pulang bersarang di Karangbolong
 
Masih ada sisa senyummu di taman Candisari
Saat dulu kita duduk berdua bersemuka
Berbagi cerita tentang kerja dan mimpi kita
Berteman suara gangsir yang terus mendesir
 
Mengenang plesir pantai senja musim lalu
Melacak jejak nostalgi yang dulu pernah kita bentuk
Lewat ombak yang setia mencumbu Pantai Suwuk
Kutitipkan puisi rindu ini untukmu
 
Candisari, 6 Juni 2017
 
Kegairahan menulis puisi muncul juga saat saya bertugas di Brebes. Saat itu bulan puasa. Saya melakukan pendampingan calon kepala sekolah dalam kegiatan on the job learning. Perjalanan selama bertugas ke Brebes berhasil saya tuangkan dalam puisi berikut ini.
 
Bertugas di Brebes
 
Di peron sunyi stasiun kecil ini
Kunanti Krakatau datang menjemput
Kuda besi pun tepati janji
Mengantarku menemuimu Bumiayu
 
Kota santri sore hari
Pemuda berpeci dan gadis berkerudung
Ngabuburit di sepanjang jalan
Menunggu saat adzan maghrib tiba
 
Bergegas bersama fajar pagi
Kususuri jalan berliku menuju Salem
Berbaris pohon pinus di hutan Bantarkawung
Tubuhnya penuh luka melelehkan gandarukem
 
Lembah Salem sajikan sawah subur
Berundak-undak berlapis bukit
Padi dan brambang tumbuh berdamping
Aroma cengkih dan kapulaga kering di jalanan
 
Rumah padat di kampung berhimpit
Ramah warganya sunda bahasanya
Desa tenang berhawa sejuk
Mengundangku datang bulan depan.
 
Salsa Delila, 8 Juni 2017
 
Ketika berkesempatan tugas di Magelang, menginap di Hotel Sriti, saya mulai menyukai menulis puisi kota singgah. Puisi itu memuat keindahan alamnya, keunikan kulinernya, dan kearifan lokalnya. Sebagai pemanisnya, kutambah bumbu romantika sebagai kesan saya terhadap kota itu. Inilah puisi saya tentang Kota Magelang.
 
Sejuta Bunga di Magelang
 
Sejuta bunga terhampar di berbagai sudut kota
Barisan pepohon berjajar sepanjang jalan
Kecil indah bersih nyaman kotanya
Adipura kencana tlah diraihnya
 
Masjid, klenteng, dan gereja
Berdampingan di seputar alun-alun
Pecinan dan kauman bersebelahan
Di sini toleransi amat terjaga
 
Berjantung alun-alun praja
Berurat nadi kali progo
Berparu-paru hutan kota
Berpayung bukit tidar
 
Menyinggahi kawasan jendralan
Kunikmati kuliner khas mereka
Menyantap tahu kupat siang hari
Malamnya bakmi jawa dan segelas kopi
 
Magelang
Aku pasti kembali datang
Ada kenangan yang ingin kuulang
Di sudut jalan Daha.
 
Sriti, 15 Juni 2017
 
Salah satu puisi yang saya suka adalah potret tentang Kota Kudus. Sebenarnya puisi ini merupakan kesan saya terhadap beberapa kali kunjungan saya di kota itu. Kuramu dan kupadu menjadi baris-baris puisi berikut ini.
 
Sepotong Rindu untuk Kudus
    
Kupacu kuda merahku
Kubawa sepotong rindu
Tersimpan di saku baju
Terbingkis hanya untukmu
 
Di bawah deretan Trembesi
Sejenak aku berhenti
Mengenang jejak nostalgi
Bulan Mei pagi hari
 
Memasuki kotamu malam hari
Ramai orang berdiri sambil berfoto diri
Di seputar gerbang daun tembakau besi
Bermandi cahaya berganti-ganti
 
Kusempatkan wisata religi
Kubasuh muka hingga kaki
Berserah diri pada Ilahi
Di masjid menara makam wali
 
Dari balik jendela kamarku
Kau muncul dari rimbun tebu
Mengajakku sarapan lentog Tanjung
Kau sajikan minuman hangat susu Muria
Kita belah duren Piji di pinggir trotoar
Tak cukup itu kau manjakan lidahku
Kau suguhkan garang asem dan soto kerbau
Masih juga kau bawai jenang dan roti seruni
Serta lima bungkus kretek produk lokal kegemaranku
 
Setiap berada di kotamu
Selalu muncul rasa itu:
Habiskan sisa hidupku bersamamu.
 
Salam Asri, 19 Juni 2017
 
Pernah suatu ketika saya mengajak isteri dan Sinta, anak saya, dalam menjalankan tugas pendampingan calon kepala sekolah di Kota Tegal. Kami bersama naik kereta api Kaligung dari Semarang ke Tegal. Kami sempat berwisata ke Pantai Alam Indah. Pada kegiatan pendampingan berikutnya, sendiri saya kembali ke Tegal. Kenangan selama bertugas ke Tegal itu kemudian saya tulis menjadi puisi di bawah ini.
 
Terkenang Tegal Laka-Laka
     
Kaligung kembali membawaku ke negeri poci
Menyusuri rel besi siang hari
Sendiri kuputar kenangan musim lalu
Ada kamu di hadapanku
 
Di sini, di kota ini
Ada jejak kita terukir di Pantai Alam Indah
Sembunyi di antara batu dan pasir hitam
Masih kudengar tawamu melihat
Gadis kecil menangis dikejar ombak
Jatuh tersungkur di pasir lembut
Sejenak lalu tangisnya berganti gelak riang
 
 
Ada tangan mungil
Menjumput ikan kecil
Yang terkapar di pasir
Kutuntun gadis kecilku
Melepaskannya ke laut lepas
Pulang … Pulanglah ikan
Ke rumahmu yang luas
Tumbuh … besarlah di samudra
Kembalilah datang kelak di meja makan
Menemani santap siangku
 
Peluit menjerit kereta melambat
Sampai juga aku di kota laka-laka
Senyum ramah sahabat menyambut
Sambil berucap: Selamat datang kembali di Kota Tegal
                                                                                                               
Stasiun Kota Tegal, 8 Juli 2017
 
Mengasyikkan juga menulis puisi tentang berbagai kota di Jawa Tengah. Beberapa kota yang terpotret dalam puisi di atas saya pilih secara acak. Kesemuanya hasil potret semasa menjalankan tugas mengajar sebagai widyaiswara. Masih ada beberapa puisi kota singgah yang tersimpan. Kelak akan saya terbitkan dalam buku antologi puisi kota singgah bila jumlahnya sudah memadai.
*) Slamet Tri Hartanto, Widyaiswara dan Pemimpin Redaksi Laman LPMP Jawa Tengah