Oleh : Tirta Nursari
Seperti dejavu. perempuan itu menatap sosok di depannya seolah memindai. Dia menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu kembali lagi ke ujung rambut. Begitu seterusnya, hingga beberapa kali.
“Kau, benarkah?!”
Perempuan itu mengucak matanya, tak percaya. Sementara lelaki di depannya mengerjapkan matanya seolah menggoda. Namun senyumnya yang sedikit kaku meyakinkan si perempuan, bahwa lelaki itu adalah sosok yang sama dengan dia yang pernah mengisi hari-harinya berpuluh tahun lalu. Saat seragam putih abu masih baru saja melekat di tubuhnya.
Lelaki itu berbeda satu angkatan dengannya. Ya, dia satu tahun persis di atasnya. Meski berasal dari sekolah yang berbeda, namun berbagai event acap mempertemukan keduanya, hingga keakraban sempat terjalin indah.
Dan itulah awal mulanya. Setelah sekian tahun pasca seragam putih kebangsaan itu terlepas dari masa remaja, keduanya hilang kontak. Sampai akhirnya mereka tak sengaja bertemu di ruang maya, dan berlanjut di sore itu. Rembang petang yang syahdu, di sebuah cafe, di batas kota.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Mega, O-mega Rahayu-ningtyas?”
Lelaki itu menyebut nama perempuan di depannya. Bukan hanya dengan nama panggilan saja, tetapi sengaja mengeja nama panjangnya dengan lengkap.
“Dayu, kau masih mengingat namaku selengkap itu?”
“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa pada gadis masa laluku. Seseorang yang pernah menghiasi sekian tahun mimpi-mimpiku…”
“Jangan bercanda, Day. Jangan pernah buat perasaanku melambung ….”
“Hey, kenapa? Apa kau juga pernah merasakan hal yang sama denganku?”
Mega tergelak. Dia bukan gadis remaja yang malu-malu lagi sekarang. Usianya sudah sangat matang saat ini.
“Wkwkwwk, setidaknya aku pernah mencari namamu di berbagai jejaring sosial dan akun pertemanan. Namun aku tak pernah menemukannya, sampai aku patah hati.”
Sepasang insan yang tak lagi muda itu lantas memecah sore dengan renyah tawa mereka.
“Kita ternyata pernah melakukan kekonyolan yang sama. Sayang, ya, kita tidak berjodoh.”
Matahari jingga semakin surup.
“I’m single, now,” ujar Mega tiba-tiba usai guyonan tentang masa lalu mengalir renyah. Ops, itu satu kalimat yang kelepasan sebenarnya. Dan itu cukup membuat Dayu mendongakkan wajahnya.
“Really?”
“Yes.”
Ahhh…
Pertemuan dengan masa lalu. Mega tak menampik pertemuan itu menumbuhkan bunga-bunga di hatinya kembali, setelah perkawinannya yang kandas bertahun lalu. Setelah kekecewaannya yang teramat besar pada makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Ya, dia bahkan sempat mencoret apapun jenis pertemanan intim dengan laki-laki, kecuali untuk urusan pekerjaan. Baginya, semua hubungan dengan laki-laki hanya akan menoreh luka. Dan dia tak ingin itu terjadi lagi.
Tapi pertemuan dengan Dayu mengubah segalanya. Dia tak mengelak, sisi romantisnya sebagai perempuan tiba-tiba hadir kembali dalam hidupnya.
Dia selalu berdandan cantik seolah besok dia akan bertemu lagi dengan arjunanya.
Dia menunggu chat Dayu setiap hari meski hanya untuk sepotong sapaan receh, “Selamat pagi, Ga, lagi ngapain?”
Ah, tiba-tiba saja dia ingin selalu tersenyum lebih indah, meski dia tahu hanya akan bertemu dengan Dayu-nya di alam mimpi saja.
Ah, Mega jatuh cinta lagi rupanya.
Lalu bagaimana dengan Dayu?
Peperangan batin itu bergolak di dadanya. Dia masih cinta Mega-nya. Dia memendam rasa itu sejak pertama kali bertemu, dan rasa itu bertahan hingga saat ini. Meski dia tahu, rasa itu salah adanya.
“Mega, andai saja aku belum terikat ikrar pada seorang perempuan yang lain, setelah aku lelah mencarimu….”
Ya, andai saja.
Malam panjang semakin memanjang bagi lelaki yang belum juga kehilangan pesonanya di usianya yang sudah tak lagi muda itu. Tak bisa dipungkirinya, kehadiran Mega yang tiba-tiba telah menyesakkan dadanya. Apalagi dengan status perempuan masa lalunya itu yang ternyata menyimpan kisah kelam dalam percintaannya.
Dayu dan Mega. Di usia remaja, mereka adalah idola. Sepasang jaka dan dara, tampan dan cantik menawan, sama-sama cerdas dan aktif di berbagai organisasi.
Di suatu kesempatan, seperti adegan di sebuah sinetron yang banyak tayang di layar kaca, sepenggal kisah romantis pernah pula hadir sesaat tanpa Mega pernah sadari. Saat dini hari usai malam api unggun, Dayu melingkarkan sweaternya pada tubuh gadis mungil yang meringkuk kedinginan di luar tenda.
Ya, saat itu sudah jelang dini hari. Namun mata gadis mungil berambut cepak itu tak juga bisa terpejam, hingga dia memutuskan keluar tenda. Dingin malam membuat kulit putihnya memucat. Dan Dayu yang sedang kebagian tugas ronda melihat itu semua.
“Pakailah sweater ini, Ga….”
Naluri lelakinya yang baru mulai tumbuh sejujurnya ingin benar memeluk Mega remaja yang nampak menggigil itu. Tapi dia bukanlah lelaki jalang yang bisa sembarang mendekap perempuan. Pun gadis di hadapannya itu, bukanlah gadis sembarangan. Dia mengaguminya dalam hati. Apalah itu cinta? Dia tak tahu pasti. Yang dia tahu, hatinya berdebar saat berdekatan dengan gadis yang di matanya terlihat begitu anggun dan cerdas itu. Ya, dan dia menghargainya.
“Kau tahu, Ga, aku sedih ketika kamu kembalikan sweater itu. Kau tahu, aku memang sengaja membelikannya untukmu.”
Dayu menyampaikan pengakuan itu pada kesempatan yang lain, pada pertemuan kedua mereka, di sebuah kafe sudut kota yang sama dengan saat pertemuan pertama mereka kembali.
“Kenapa kau tak mengatakannya waktu itu? Kalau saja kau bilang, mungkin aku tak akan jadi jomblo sepanjang itu ….”
Mega menyahut kalimat Dayu dengan debaran aneh di dadanya. Ah, Dayuuu….
“Aku takut, Ga…sungguh, aku takut dengan perasaanku sendiri. Kita masih terlalu muda saat itu.”
Berdua mereka menertawakan kenaifan masa lalu itu. Absurd, sungguh.
“Dan Tuhan mempertemukan kita kembali di saat ini. Mungkin untuk menguji kita.”
“Ya, dan aku tak akan berdoa pada Tuhan agar Dia mempersatukan kita, meski aku tahu perasaanku, dan mungkin juga kamu. Tak akan. Aku hanya berdoa semoga Allah beri yang terbaik untuk kita semua. itu saja.”
Mega menggigil. Ada sedakan di kalimatnya, meski dia menyampaikannya dengan penuh ketulusan. Ah, andai boleh jujur, betapa ingin dia melepaskan lelahnya dengan bersandar pada bahu kokoh yang dulu pernah dirindukannya itu. Mendapatkan sebuah kecupan …..
Ah, Mega menepis pikirannya sendiri yang mulai meliar. Dia masih perempuan, lajang, dan normal. Dia merasa berhak untuk jatuh cinta kembali. Tetapi bukan pada Dayu, lelaki masa lalu yang namanya pernah bersemayam indah di hatinya, dan kini hadir kembali.
Malam merambat pelan. Dua tangan saling merindu untuk saling bersentuhan, atau sekadar saling menguatkan. Tapi sebuah kesadaran menghalanginya. Ini adalah sebuah kesalahan!
“Mega, maafkan aku …..”
Mega menggeleng. Ada embun di matanya. Dia tahu, dia jatuh cinta lagi. Dan dia menyadarinya, bahwa cinta itu tak boleh digenggamnya. Ada seorang perempuan lain yang lebih berhak atasnya.
“Ya, Dayu, aku mengerti, sangat mengerti. Tuhan menguji kita. Dan insya Allah, kita akan lulus dengan sempurna. Pulanglah, Day, terima kasih untuk pertemuan ini.”
Dua tangan saling berjabat erat. Salam perpisahan yang indah.
“Semoga kita bertemu lagi dengan cerita yang lebih indah. Tetap kuat dan berbahagialah, Ga.”
Mega tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya.
“Doa yang sama untukmu.”
Sepasang kaki jenjang dengan flat shoes sederhana itu melangkah cepat menuju mobil tumpangan yang telah dipesannya. Tangannya meraih kacamata hitam dari dalam tasnya. Memasangnya untuk menutupi sepasang matanya yang makin berembun. Ada yang menyesak di dadanya, meski dia bahagia, karena berhasil melepaskan diri dari stigma yang hampir saja menjeratnya andai dia dan Dayu tak mampu menahan diri.
Ya, pertemuan dengan masa lalu. Mega mencecap manisnya. Tapi menjaga marwah, adalah kewajibannya. Selamat tinggal, Dayu …..
Dari balik kaca mobil berbeda, sepasang mata seolah tak hendak lepas dari mobil yang pelan meluncur meninggalkan pelataran resto. Ya, Dayu. Betapa cinta itu tak pernah benar-benar pergi darinya. Tetapi ikrar yang telah diucapkannya di hadapan Tuhan adalah pengikatnya pada sebuah tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki.
“Jemput bahagiamu, Mega. Maafkan aku ….”
Dia harus segera menjemput Dian, istrinya yang hari ini masih meeting di kantor. Membelikannya setangkai mawar, rasanya akan mengurangi rasa lelah Dian saat ini. Ya, Dian dan dua putri cantiknya adalah prioritasnya saat ini. Bukan yang lain.*
Wapas, 25 Agustus 2021