Oleh : Dedy Iswanto, S.Pd.
Guru SMK Diponegoro Lebaksiu Kab. Tegal
Pemerintah telah merevisi ketentuan pasal 6 ayat (1) UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dimana setiap warga negara yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun wajib mendapatkan pendidikan. Pendidikan dalam hal ini adalah program wajib belajar 12 tahun atau yang lebih tepat disebut sebagai Pendidikan Menengah Universal (PMU).
Sejalan dengan terlaksananya program PMU, namun hingga saat ini disparitas partisipasi sekolah antar kelompok masyarakat masih cukup tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) dari keluarga yang mampu secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan APK dari keluarga kurang mampu. Salah satu alasannya adalah tingginya biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung yang ditanggung oleh siswa.
Biaya langsung yang ditanggung siswa diantaranya adalah iuran sekolah, buku, seragam, dan alat tulis. Sementara biaya tidak langsung yang ditanggung siswa antara lain biaya transportasi, kursus, uang saku, dan biaya lain-lain. Tingginya biaya pendidikan tersebut menyebabkan tingginya angka tidak melanjutkan sekolah dan tingginya angka putus sekolah (drop out), sehingga berpengaruh terhadap APK.
Upaya pemerintah dalam hal mendukung program PMU serta memberikan kemudahan mengakses layanan pendidikan kepada masyarakat terus digulirkan diantaranya melalui pemberian bantuan kepada siswa dari keluarga yang dinilai ‘kurang mampu’. Hal ini sejalan dengan nawacita dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan yaitu dengan “Program Indonesia Pintar (PIP)”.
PIP merupakan salah satu program prioritas sebagai perwujudan komitmen pemerintah di bidang pendidikan dalam memberikan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan. PIP melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan bagian penyempurnaan dari program Bantuan Siswa Miskin (BSM) sejak akhir 2014.
Menurut Permendikbud nomor 19 tahun 2016 tentang PIP, PIP adalah bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya. Tujuan PIP adalah untuk meningkatkan akses bagi anak usia 6 sampai dengan 21 tahun untuk mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah dalam rangka mendukung pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun, mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop out), serta meringankan biaya personal pendidikan.
Kemdikbud dan Kemenag merupakan 2 lembaga pemerintahan yang berwenang dalam penyelenggarakan PIP melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Hal ini sesuai dengan Inpres nomor 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Diantaranya mengamanatkan kepada Kemdikbud dan Kemenag untuk menyiapkan KIP dan menyalurkan dana bantuan PIP kepada siswa yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
MINIM AKSES INFORMASI
Hingga saat ini penerapan PIP dinilai belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Diantaranya adalah pendistribusian KIP belum tepat sasaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Selain itu, banyak siswa yang memiliki KIP namun tidak terdaftar sebagai penerima dana bantuan PIP, serta adanya pemotongan biaya dari pihak sekolah dalam proses pencairan dana PIP.
Disinilai faktor minimnya akses informasi dalam bentuk sosialisasi dari Kemdikbud dan Kemenag melalui dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan provinsi, serta lembaga pendidikan terkait kepada masyarakat akan penyelenggaraan PIP. Terutama tentang mekanisme penyelenggaraan PIP mulai dari pengusulan, mekanisme untuk mendapatkan PIP, penetapan penerima dana, penyaluran dana, sampai dengan pencairan dana PIP.
Menurut Permendikbud nomor 19 tahun 2016 tentang PIP, KIP adalah kartu yang diberikan kepada anak usia 6 (enam) sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun sebagai penanda/identitas untuk mendapatkan manfaat PIP. Kemdikbud dan Kemenag menyediakan KIP berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
KIP diberikan sebagai penanda/identitas untuk menjamin dan memastikan agar siswa memperoleh dana bantuan PIP apabila siswa telah mendaftarkan diri ke lembaga pendidikan formal (sekolah/madrasah) atau lembaga pendidikan non-formal (Pondok Pesantren, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), dan lembaga pendidikan non formal lainnya di bawah Kemdikbud dan Kemenag).
Pemerintah sudah menyalurkan kartu sakti (KIP, KKS, dan KIS) bagi masyarakat yang dinilai ‘kurang mampu’ dan juga PKH bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Kartu sakti didapat berdasarkan acuan bagi masyarakat yang memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS), terutama pada KIP dan KKS. Sehingga rata-rata masyarakat yang memiliki kartu KIP, tentunya juga memiliki kartu KKS dan mungkin juga memiliki kartu PKH. Secara otomatis, masyarakat bisa mendapatkan banyak bantuan dana, selain dari PIP tetapi juga dari KKS maupun PKH sehingga terjadi bantuan yang bersifat ‘tumpang tindih’.
Bagi siswa yang tidak memiliki KIP, mereka juga bisa mengajukan dana bantuan PIP dengan melampirkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dari keluarga pemegang KKS atau kartu Program Keluarga Harapan (PKH) dari keluarga peserta PKH. Selain itu, siswa yang berstatus yatim piatu/terkena dampak bencana alam/kelainan fisik, mereka juga bisa mengajukan dana bantuan PIP dengan melampirkan surat keterangan dari desa/kelurahan kepada pihak lembaga (formal/non-formal) untuk didata melalui dapodik. Karena faktor ketidaktahuan masyarakat, sehingga mereka tidak dapat mendapatkan dana bantuan PIP.
Permasalahan lain juga terjadi dengan adanya pemotongan dana PIP sebagai biaya administrasi juga terjadi hampir pada saat pencairan dana PIP yang dilakukan oleh pihak sekolah. Hal ini sangta bertentangan dengan Juklak dan Juknis PIP tahun 2017, bahwa pencairan/pengambilan dana PIP langsung oleh peserta didik atau secara kolektif di bank/lembaga penyalur, harus dengan kondisi sebagai berikut: tidak ada pemotongan dana dalam bentuk apapun; saldo minimal rekening tabungan adalah Rp 0,00; serta tidak dikenakan biaya administrasi perbankan.
Disinilah fenomena ketimpangan dalam penyelenggaraan PIP yang terjadi saat ini sehingga perlu adanya pembenahan secara optimal dan intensif dari lembaga pemerintahan selaku pihak penyelenggara. Faktor ketidaktepatan sasaran penyaluran KIP serta ketidaktahuan masyarakat akan mekanisme PIP tentu sangat berdampak pada kesenjangan sosial. Sebab, masih banyak anak-anak yang benar-benar dari keluarga yang dinilai ‘kurang mampu’, tetapi belum mendapatkan bantuan dana PIP. Sementara, banyak juga siswa dari kalangan keluarga mampu justru masih mendapatkan bantuan dana PIP.
SINERGITAS ANTAR-LEMBAGA
Pelaksanaan PIP telah diatur dalam Juklak PIP tahun 2017 Kemdikbud dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdasmen nomor 07/D/BP/2017 dan Dirjen PAUD/Dikmas nomor 02/MPK.C/PM/2017 serta Juknis PIP Tahun 2017 Kemenag melalui SK Dirjen Pendis nomor 481 tahun 2017. Menurut data dari Juklak dan Juknis PIP tahun 2017, jumlah sasaran PIP pada tahun 2017 mencapai 20,3 juta siswa, yang terdiri dari 17,9 juta anak pada lembaga pendidikan di bawah Kemdikbud dan 2,4 juta anak pada lembaga pendidikan di bawah Kemenag
Upaya yang perlu dilakukan untuk menanggulangi ketidaktepatan sasaran penyaluran KIP adalah adanya sinergitas antara Kemdikbud dan Kemenag beserta TNP2K dalam mendata peserta penerima KIP secara cermat dan teliti sehingga pendistribusian KIP dapat sesuai dengan sasaran. Tentunya tidak terjadi lagi kesenjangan sosial bagi masyarakat.
Sementara agar tidak terjadi ketidaktahuan masyarakat akan penyelenggaraan PIP tentu perlu adanya sosialisasi secara intensif kepada orang tua/wali siswa melalui dinas pendidikan terkait dan pihak sekolah kepada orang tua/wali siswa agar mereka mengetahui secara jelas tentang mekanisme PIP.
Sesuai dengan Inpres nomor 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Diantaranya mengamanatkan kepada Kemdikbud dan Kemenag selaku pihak penyelenggara PIP untuk meningkatkan sinergitas dengan Kemensos, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Pernerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penetapan sasaran PIP serta melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penerima dana PIP.
Disamping itu, agar pelaksanaan, pendataan, penyaluran, monitoring, evaluasi, pelaporan, serta pengaduan PIP mudah terlaksana sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Kemdikbud beserta Kemenag juga perlu bersinergi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota serta provinsi untuk membentuk koordinator sebagai pengelola PIP di setiap kabupaten/kota serta provinsi.
Jika sinergitas antar-lembaga tersebut dapat dilakukan secara optimal, tentunya pendistribusian dana bantuan PIP akan tepat sesuai dengan sasaran. Secara otomatis, dengan adanya optimalisasi PIP tentu dapat mewujudkan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan.