Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Published On: 6 May 2021Categories: Cerpen

Oleh : Dwi Kustari*

 

Besok adalah hari lebaran. Biasanya, beberapa hari sebelumnya saat menjelang lebaran, kami sudah bersiap-siap untuk mudik, pulang ke kampung halaman Bapak untuk menengok Mbah Cilacap, nenekku. Kalian pasti bertanya kenapa aku menyebut nenekku Mbah Cilacap. Sebetulnya orang tuaku yang membiasakan kami, anak-anaknya, untuk memanggil kakek nenek kami dengan sebutan Mbah ditambah keterangan merujuk pada tempat tinggal kakek dan nenek. Mbah Cilacap adalah ibu dari Bapakku yang tinggal di Cilacap, tepatnya di Cisuru, yang waktu itu masuk wilayah Kecamatan Sidareja. Bapakku memang asli kelahiran sana. Setelah lulus SD, Bapak merantau ke Jogja ikut Pakdhe Imam, kakak laki-lakinya, agar bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan akhirnya bekerja, berkeluarga dan menetap di Jogja sampai sekarang. Bapak menikah dengan Ibu yang asli Jogja. Seperti Mbah Cilacap, aku memanggil kakek dan nenek dari pihak ibu dengan mbah ditambah nama daerah tempat tinggalnya, yaitu Mbah Jambon Kakung dan Mbah Jambon Putri, karena mereka tinggal di daerah Kejambon, Sleman.
“Besok kita mudik”, kata Bapak.
“Memang masih bisa dapat tiket, Pak?”, tanya Ibu.
“Yang penting siap-siap dulu. Nanti Aku suruh Jum untuk cari tiket”, kata Bapak yang lalu memanggil Om Jum dan memintanya untuk membeli tiket kereta api.
Om Jum adalah adik sepupu ibuku. Mbah Purun Putri, ibunya Om Jum adalah bulik atau tantenya ibuku. Selang beberapa waktu, Om Jum memberi kabar bahwa tiket kereta api arah Bandung yang berhenti di Stasiun Sidareja sudah habis. Akhirnya, Bapak memutuskan besok setelah sholat Ied, kami berangkat ke stasiun Tugu, berharap besok akan ada gerbong tambahan.
Esok harinya, setelah sholat Ied, kami berangkat ke Stasiun Tugu naik dua buah becak. Bapak bersama kakakku dalam satu becak, sedangkan aku, adikku dan ibuku naik becak lainnya. Sampai di stasiun, Bapak bergegas membeli tiket kereta api jurusan Bandung, dengan tujuan Stasiun Sidareja, stasiun kereta api terdekat dengan desa asal Bapakku. Seharian kami menunggu di stasiun. Bapak akhirnya mendapat tiket, tapi belum tentu bisa dapat tempat duduk di gerbong karena hari itu penumpang membludak.
“Nanti, yang masuk gerbong penumpang biar ibu dan adikmu. Kita bertiga naik kereta barang”, kata Bapak.
Setelah malam tiba, kereta api yang ditunggu datang. Ternyata yang dimaksud Bapak sebagai kereta barang adalah kereta bak terbuka yang mengangkut pasir. Setelah mengantar ibu dan adikku masuk ke gerbong penumpang, Bapak mengajakku dan kakakku naik ke kereta barang. Kami menghamparkan koran sebagai alas. Sebenarnya tidak nyaman, tapi mau gimana lagi. Demi mudik ke kampung halaman. Hehehe….
“Tuuuuuutttttt….”. Peluit tanda kereta akan berangkat berbunyi. Kereta mulai bergerak perlahan.
“Semoga cuaca cerah dan tidak hujan”, kata Bapak pada penumpang lain yang ada di sebelahnya. Karena gerbong penumpang sudah penuh, banyak penumpang yang akhirnya naik ke kereta pasir ini. Jadi suasana terasa ramai. Para penumpang duduk di atas hamparan pasir sambil bercakap-cakap dan menikmati pemandangan sekitar. Kulihat langit penuh dengan bintang yang berkerlap-kerlip. Aku dan kakakku memandang langit sambil saling bercerita tentang segala hal untuk menghilangkan kebosanan dan mengabaikan hawa dingin karena kami tidak memakai jaket. Perlahan mataku terpejam dan aku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba badanku terasa bergoyang-goyang dan kudengar suara kakakku memanggil namaku.
“Bangun. Sebentar lagi kita masuk ke Terowongan Ijo”, kata kakak ketika melihat mataku mulai terbuka. Aku pun bergegas bangun dan segera merapatkan dudukku mendekati bapak dan kakak. Bagi yang terbiasa naik kereta api jalur selatan pulau Jawa, pasti tahu Terowongan Ijo. Saat aku kecil, terowongan ini yang paling membuat berdebar jantung karena sangat panjang dan gelap. Kabarnya, banyak ular yang berkeliaran disini. Kalau sudah mendekati Terowongan Ijo, ada petugas kereta api yang akan berkeliling memperingatkan penumpang agar menutup jendela, menyuruh penumpang yang biasa berdiri di pintu agar masuk ke gerbong, dan menutup pintu penghubung antar gerbong. Tidak lupa petugas juga memperingatkan penumpang untuk menjaga barang berharga yang dibawanya, karena saat kondisi gelap, seringkali terjadi aksi pencopetan. Begitu masuk terowongan, kondisi gerbong kereta api akan berubah gelap gulita dan masinis mempercepat laju kereta api. Itu kalau bisa mendapat tempat duduk di gerbong penumpang, yang lebih nyaman dan terlindung. Padahal kondisinya sekarang, kami di tempat yang terbuka.
Semakin mendekati Terowongan Ijo, para penumpang dewasa bergerak menggeser tempat duduknya agak ke tengah mengelilingi penumpang wanita dan anak-anak. Beberapa mulai menyalakan rokok dan ada yang menyalakan senter yang dibawa untuk memberi sedikit penerangan.
“Tuuuutttt… tuuuutttt… tuuuutttt…”.

baca juga : cerpen menarik lainnya

Terdengar tanda bahwa kereta api mulai memasuki Terowongan Ijo. Suasana yang tadinya agak berisik mendadak menjadi hening, sepi, kemudian gelap. Bapak menyuruh kami berdoa dalam hati, memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa. Aku merasa, perjalanan melewati terowongan ini terasa panjang dan lama. Setelah beberapa waktu, suasana menjadi lebih terang, yang menunjukkan bahwa Terowongan Ijo sudah dilewati. Ada hembusan nafas lega dari kami. Kulihat beberapa penumpang kembali menggeser posisi duduknya supaya lebih nyaman. Suara orang bercakap-cakap mulai terdengar, dan lampu senter mulai dimatikan. Karena masih mengantuk, aku kembali lelap tertidur. Rasanya belum lama aku terlelap, Bapak sudah membangunkanku.
“Ayo bangun. Siap-siap turun. Sebentar lagi kita sampai Stasiun Sidareja!”. Kudengar, Bapak juga berpamitan pada beberapa penumpang yang selama perjalanan menjadi teman mengobrol.
“Tuuuutttt… tuuuutttt… tuuuutttt…”. Kembali suara peluit terdengar sebagai tanda kereta api akan masuk dan laju kereta api mulai melambat, sampai akhirnya berhenti di stasiun. Setelah para penumpang diperbolehkan turun, Bapak turun lebih dulu lalu membantu kakak dan aku turun dari kereta.
“Tunggu disini. Jangan kemana-mana. Bapak akan menjemput ibumu!”, perintah Bapak, yang kemudian melanjutkan menuju gerbong penumpang tempat ibu berada. Beberapa saat kemudian kulihat Bapak dan Ibu berjalan ke arah kami, dan mengajak kami keluar dari stasiun. Di luar stasiun, ada beberapa orang yang menawarkan jasa untuk membantu membawakan barang ataupun mengantar penumpang. Bapak kemudian menghampiri orang-orang tersebut untuk menanyakan apakah ada yang bisa disewa mobilnya untuk melanjutkan perjalanan ke rumah nenek. Setelah beberapa waktu, bapak menghampiri ibu.
“Ada angkot yang mau mengantar kita, tapi hanya sampai Cukangleles. Tidak mau sampai Cisuru karena jalan menuju sana berlumpur. Takutnya nanti malah terjebak lumpur. Gimana?”, tanya Bapak.
“Berapa sewanya?”, tanya Ibu.
“Lebih mahal dari biasanya karena ini sudah malam dan perjalanan cukup jauh”. Bapak kemudian menyebutkan harga sewa angkot tersebut.
“Ya sudah, tak apa”, jawab Ibu setelah berpikir sejenak.
Kami kemudian masuk ke angkot yang disewa bapak. Perjalanan dari Stasiun Sidareja ke Cukangleles memakan waktu mungkin sekitar satu jam. Jalan yang berlubang-lubang, gelapnya malam dan kondisi angkot yang sudah tua, membuat sopir angkot tidak berani melajukan kendaraannya dengan cepat. Sesampainya di Cukangleles, kami turun dan melihat sekitar yang sangat sunyi dan gelap karena sudah lewat tengah malam. Bapak kemudian mengajak kami berjalan kaki. Bapak berjalan di depan dengan memanggul tas koper berbahan kain yang berisi pakaian ganti kami di pundak kanan, sementara tangan kiri membawa tas plastik berisi oleh-oleh. Di ikuti oleh kakakku dan aku dengan menenteng beberapa tas plastik yang menurutku cukup berat di kedua tangan kami. Sedang ibu berjalan paling belakang sambil menggendong adikku yang masih tertidur dan membawa perbekalan untuk perjalanan kami.
Jalan yang gelap dan dingin, kami mulai memasuki kawasan hutan. Bapak memilih jalur tersebut untuk memintas jalan. Setelah beberapa saat, aku merasa sudah lelah.
“Pak…, capek”. Aku mengeluh pada bapak. Kaki dan tanganku terasa sangat pegal, ditambah rasa kantuk yang kembali menyerang, membuatku ingin berhenti dan beristirahat.
“Baiklah, kita istirahat disini sejenak”, kata Bapak.
Kami kemudian duduk, menyandarkan punggung pada batang pohon, meletakkan semua barang bawaan untuk mengistirahatkan tangan dan meluruskan kaki. Belum hilang rasa lelahku, ibu sudah mengajakku berdiri untuk mulai berjalan lagi.
“Ayo, bangun. Kita harus berjalan lagi!”, perintah Ibu.
“Tapi aku masih capek dan mengantuk, Bu”.
“Ibu juga capek. Tapi terlalu lama disini tidak aman. Lihat, bapakmu sudah mulai berjalan lagi”, kata ibu sambil menunjuk bapak yang sudah mulai berjalan beberapa langkah di depan kami dan diikuti oleh kakakku. Dengan rasa kesal karena masih ingin istirahat, aku pun bangun, mengambil tas plastik yang menjadi tanggung jawabku. Aku berjalan sedikit lebih cepat untuk menyusul bapak dan kakak, diikuti oleh ibu. Setelah keluar hutan, kulihat areal persawahan yang sangat luas. Bapak berhenti sejenak untuk mengamati sekitarnya, kemudian menuju pematang sawah yang menjadi jalur yang akan kami lewati.
“Hati-hati, licin”, kata Bapak. Memang benar, pematang itu sedikit licin. Beberapa kali aku dan kakakku terpeleset, untungnya tidak sampai tercebur ke sawah. Ketika sudah menempuh setengah perjalanan, tiba-tiba ada suara seperti geraman tertahan yang membuat kami kaget.
“Gerrrrmmmm… Gerrrrmmmm…”
“Uhuk… Uhuk… Uhuk…”. Kudengar Bapak terbatuk tiga kali. “Assalamualaikum. Punten Nini, incu anjeun ngaliwat” (Permisi Nenek, cucumu numpang lewat). Bapak berbicara entah dengan siapa menggunakan bahasa sunda. Suasana kembali sunyi dan bapak meminta kami untuk mempercepat langkah. Akhirnya kami sudah sampai tepi areal persawahan yang ternyata berbatasan dengan kampung tempat Mbah Cilacap tinggal.
“Assalamualaikum, Mak… ieu Unen, Mak…”, ucap bapak sambil mengetuk pintu. Terdengar suara langkah mendekat dan membuka kunci pintu. Betapa kagetnya Mbah Cilacap saat melihat kami di balik pintu. Meski kaget, kebahagiaan terlihat jelas di raut wajah Mbah Cilacap karena anak bungsu, menantu dan cucu-cucunya datang berkunjung karena kabar yang diterima Mbah, kami tidak bisa mudik pada lebaran tahun ini disebabkan kesibukan bapak. Mbah Cilacap segera menyuruh kami masuk, memeluk dan menciumi kami satu per satu. Kemudian pergi ke dapur untuk merebus air agar kami bisa mandi air hangat. Mungkin mendengar suara ramai dari rumah Mbah Cilacap, Budhe Onah yang tinggal di sebelah rumah datang untuk menyapa. Melihat kami yang baru datang dengan wajah kusut dan pakaian kotor terkena lumpur, Budhe bergegas membantu Mbah Cilacap di dapur dan membuatkan teh panas bagi kami.
Saat beristirahat sambil menunggu air panas untuk mandi siap, aku bertanya pada bapak tentang kejadian di tengah sawah tadi.
“Pak, tadi waktu di sawah Bapak bicara sama siapa?”, tanyaku penasaran.
“Nini Dasih”
“Nini Dasih itu siapa?”
Belum sempat bapak menjawab, budhe sudah memanggil kami untuk segera mandi. Apalagi sebentar lagi masuk waktu subuh. Penasaran dengan sosok Nini Dasih sebenarnya? Lain waktu akan aku ceritakan ya.

 
baca juga : cerpen menarik lainnya

*) Penulis adalah Pengembang Teknologi Pembelajaran LPMP Provinsi Jawa Tengah