Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Published On: 11 June 2021Categories: Cerpen

Oleh : Dwi Kustari*

         

Badanku terasa segar setelah mandi air hangat. Aku mengambil gelas berisi teh panas yang disajikan oleh Budhe Onah di atas meja.

“Kok pahit, Budhe?”, tanyaku.

“Disini, kalau minum teh ya nggak pakai gula. Kalian orang Jogja memang sukanya manis-manis, ya. Sebentar, Budhe ambil gula dulu di dapur”, jawab Budhe Onah sambil beranjak menuju dapur. Beberapa saat kemudian, Budhe Onah datang dan menyerahkan toples berisi gula pasir padaku.

Aku pun menambahkan gula ke dalam tehku, mengaduknya sebentar, kemudian meminumnya. Kemudian aku membuka tas berisi bekal untuk perjalanan kami, mencari makanan yang bisa jadi camilan sebagai teman minum teh.

“Ayo, subuh dulu”, kata Bapak mengajak shalat berjamaah. Setelah selesai shalat subuh, aku kembali mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Sesaat terlelap, kudengar suara ramai orang bercakap-cakap dengan bahasa Sunda di ruang tengah. Ternyata keluarga besar Bapak sedang berkumpul.

Aku segera bangun, merapikan rambut dan pakaianku, lalu keluar kamar untuk menyalami Pakdhe dan Budhe serta menyapa para sepupuku.

“Ibu dimana, Pak”, tanyaku pada Bapak karena kulihat tidak Ibu ikut berkumpul.

“Ibu di dapur, sedang masak bareng Mbah dan Budhe Onah”, jawab Bapak.

Aku berjalan menuju dapur. Melihat aku datang, ibu segera menyuruhku menyiapkan piring dan menatanya di meja makan. Ternyata di atas meja sudah tertata nasi putih dan nasi merah, sambal terasi buatan Budhe Onah, bandeng goreng, dan lalapan mentah yang terdiri dari daun mareme, terong gelatik, terong bulat ungu, leunca, mentimun, kubis, kacang panjang dan jengkol. Juga ada besengek, yaitu oseng cabe hijau yang dibelah dua, diberi bumbu bawang merah, bawang putih, terasi, asam jawa, kecap, garam dan gula. Melihat makanan yang tersaji, perutku jadi lapar.

“Ayo, Wak, Ceu, sarapan dulu. Seadanya, ya”. Ibu mengajak semuanya untuk sarapan. Aku pun ikut antri mengambil makanan, lalu mencari tempat untuk duduk karena di ruang makan sudah penuh dengan keluarga besar bapak. Aku dan kakakku lalu memilih duduk di ruang tengah, dekat dengan jendela. Hmmm…. Makan pagi yang sangat nikmat.

Selesai sarapan, acara berikutnya adalah membongkar oleh-oleh dari Jogja, yang segera dibagikan ibu pada sanak saudara. Aku dan kakakku membereskan meja makan, lalu mencuci semua gelas dan piring kotor di dekat sumur yang ada di halaman samping rumah.

Ketika sanak saudara yang bertamu sudah pulang, kami bersantai di ruang tengah. Tiba-tiba, aku teringat tentang Nini Dasih. Aku masih penasaran dengan sosok yang Bapak sebut dengan nama Nini Dasih.

“Pak, Nini Dasih itu siapa?”, tanyaku sambil mendekat dan duduk di sebelah Bapak. Rupanya, kakakku juga penasaran dan ikut duduk dekat Bapak.

“Nini Dasih itu uwaknya Bapak”, jawab Bapak. Uwak adalah sebutan untuk kakak dari bapak atau ibu kita dalam bahasa sunda, atau Pakdhe dan Budhe dalam bahasa jawa.

“Berarti kakaknya Mbah Cilacap, dong”, kata kakakku menimpali.

“Tapi kok waktu itu aku nggak lihat kalau ada orang selain kita?”, tanyaku dengan rasa penasaran.

“Ya jelas nggak liat karena Nini Dasih itu bukan orang”, jawab Bapak sambil tertawa.

“Kalau bukan orang, terus apa, Pak? Setan?”

“Bukan setan, tapi macan”.

“Hah…? Macan? Yang bener, Pak?”. Aku dan kakakku merasa sangat terkejut dengan cerita Bapak tentang sosok Nini Dasih.

“Kalau tidak percaya, tanya sendiri sama Mbah”, jawab Bapak.

Karena penasaran, aku dan kakakku segera mencari Mbah Cilacap yang sedang bercakap-cakap dengan Ibu dan Budhe Onah di dapur.

“Mbah, kata Bapak, Mbah punya kakak. Namanya Nini Dasih. Beneran, Mbah?”, tanyaku pada Mbah Cilacap.

Mbah Cilacap tersenyum sambil menganggukkan kepala, lalu mengajak kami duduk di ruang tengah. Budhe Onah yang mendengar pertanyaanku pun tertawa, lalu mengajak ibu untuk ikut duduk di ruang tengah.

“Iya. Nini Dasih itu kakaknya Mbah, yang berubah wujud jadi macan”, kata Mbah Cilacap mengawali ceritanya tentang Nini Dasih.

Mitos manusia harimau, yang juga sering disebut sebagai macan (jawa) atau maung (sunda), sangat terkenal di kalangan rakyat Pasundan dan sering dihubungkan dengan kisah Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan pengikut setianya meninggalkan Pajajaran karena menolak untuk masuk Islam, kemudian moksa beralih wujud menjadi harimau. Selain cerita tersebut, juga ada kisah tentang Maung Panjalu, yang menceritakan tentang keturunan raja Pajajaran yang beralih wujud menjadi harimau dan berdiam di kerajaan Panjalu. Wilayah kerajaan Panjalu kabarnya berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Ciamis, daerah asal Mbah Cilacap sebelum menetap di Cisuru.

“Jadi, Nini Dasih itu punya ilmu kanuragan atau ilmu kesaktian jadi macan. Tetapi karena tidak ada keturunan atau kerabat yang mau menjadi penerusnya, Nini Dasih akhirnya malihrupa jadi macan”. Mbah Cilacap melanjutkan ceritanya.

“Lho Mbah, kok tahu kalau macan itu jelmaan Nini Dasih?”, tanyaku penasaran.

“Karena saat mau pergi ke sawah, Nini Dasih berpesan pada keluarganya. Apabila nanti di sawah ketemu macan dengan bulu yang menyentuh tanah, kamu jangan takut. Macan itu adalah aku”. Mbah Cilacap menceritakan itu dalam bahasa sunda, yang kemudian diterjemahkan oleh Budhe Onah supaya aku dan kakakku paham.

Memang aku tidak terlalu menguasai bahasa sunda, karena sehari-hari aku berkomunikasi menggunakan bahasa jawa dan bahasa indonesia. Sedangkan Mbah Cilacap sehari-hari berkomunikasi dengan bahasa sunda, jarang menggunakan bahasa indonesia, apalagi bahasa jawa.

“Kalau mau ketemu Nini Dasih, caranya gimana Mbah?”, tanyaku.

“Mbah akan memukulkan ujung tongkat Mbah ke tanah sebanyak tiga kali, sambil memanggil namanya”, jawab Mbah Cilacap sambil menunjuk ke arah tongkat yang disandarkan di dekat pintu samping, yang menghubungan ruang tengah dengan halaman yang ada sumurnya.

“Biasanya, kalau Mbah memanggil Nini Dasih, Mbah akan menyediakan segelas kopi dan pisang goreng, yang diletakkan di dekat sumur”, ujar Budhe Onah menambahi cerita Mbah Cilacap.

“Makanya, tadi Budhe melarang kalian menyentuh gelas kopi dan piring kecil yang ada di dekat sumur”, lanjut Budhe Onah. Aku lalu teringat kejadian tadi pagi, yang merasa aneh dengan adanya gelas berisi kopi yang tinggal separuh dan piring kecil yang sudah kosong. Ternyata, itu disediakan untuk Nini Dasih.

“Kalian mau ketemu Nini Dasih?”, tanya Mbah Cilacap.

“Nggak ah, Mbah. Takut”, jawabku sambil geleng-geleng kepala, tiba-tiba badanku merinding.

Mbah Cilacap tertawa, lalu menjelaskan bahwa Nini Dasih tidak mau bertemu dengan sembarang orang. Dia sangat pemilih. Jadi, meskipun aku mau bertemu dengannya, belum tentu Nini Dasih berkenan menemuiku.

Saat bertemu sepupu-sepupuku, aku juga bertanya tentang Nini Dasih. Mereka semua tahu cerita tentang Nini Dasih. Beberapa pernah mendengar suara geraman yang diyakini adalah suara Nini Dasih. Tetapi, diantara para sepupuku itu, hanya satu orang, yaitu Mas Opik, yang pernah melihat penampakan Nini Dasih.

Mas Opik adalah anak Budhe Onah, cucu yang paling disayang Mbah Cilacap. Menurut cerita Mas Opik, saat Mas Opik sakit dan tidur siang di kamar Mbah, terdengar suara geraman kemudian dari jendela kamar menyembul kepala macan. Kedua mata macan itu menatapnya tajam selama beberapa saat, kemudian pergi.

Dua hari kemudian keluargaku kembali ke Jogja. Selama aku tinggal di rumah Mbah Cilacap, aku tidak pernah berjumpa atau melihat sosok Nini Dasih. Namun selama disana, setiap pagi, aku dan kakakku selalu menemukan gelas berisi ampas kopi dan piring kecil di dekat sumur.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa Nini Dasih ditemukan sudah terbujur kaku di dekat sumur. Mbah Cilacap yang saat itu sedang mengunjungi kami di Jogja, segera bergegas pulang, kembali ke Cisuru. Pada suatu ketika, aku bertanya pada Budhe Onah, apakah ketika ditemukan mati, Nini Dasih berubah wujud menjadi manusia lagi? Ternyata tidak. Nini Dasih ditemukan mati tetap dengan bentuk sebagai macan.

Kisah Nini Dasih, seorang manusia yang berubah wujud menjadi macan, masih belum bisa diterima oleh nalarku sampai sekarang. Apakah dia benar-benar manusia ataukah mahluk yang oleh sebagian orang dianggap sebagai khodam, jin pembantu atau prewangan? Wallahualam Bissawab. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

===SELESAI===

 
 

*) Penulis adalah Pengembang Teknologi Pembelajaran LPMP Provinsi Jawa Tengah