Published On: 14 November 2023Categories: Artikel, Berita, Feature Motivasi, Headline

Oleh: Dr. MRT (Dr. Mampuono R.Tomoredjo)

Ditulis dengan strategi Tali Bambuapus Giri

Tidak selamanya dunia ini menghamparkan kehangatan bagi para penghuninya. Oleh karena itu, individu-individu yang tengah menjelajahi kehidupan di dunia ini menemukan berbagai cara untuk menghadapi kompleksitasnya. Terkadang, keberhasilan menjadi bagian dari perjalanan mereka, namun tak jarang pula kegagalan menyelinap di setiap tikungan. Meskipun budaya abad ke-21 menekankan kolaborasi, realitanya semangat persaingan tetap tumbuh subur di antara mereka yang seharusnya saling membersamai dan bersatu padu.

Ketidakramahan dalam kehidupan sehari-hari seringkali mencuat dalam bentuk bullying, khususnya verbal harassment atau kekerasan verbal. Orang-orang yang merasa memiliki keunggulan atau kekuasaan seringkali menyalurkan rasa superioritas mereka dengan cara merendahkan dan ‘membanting’ individu yang dianggap lebih rendah atau lemah. Efek dari perlakuan semacam ini dapat menciptakan dampak sistemik yang signifikan dalam kehidupan individu ke depannya. Individu yang memiliki ketangguhan mental mungkin akan berkembang menjadi pribadi yang semakin kuat dan hebat sebagai hasil dari tantangan tersebut. Namun, bagi mereka yang mentalnya lebih rapuh, dampaknya bisa menjadi sebaliknya. Bagai terjadinya kiamat kecil dalam kehidupan mereka, pengalaman bullying bisa menghantui tindakan dan nasib mereka di masa yang akan datang.

Permainan Bola Bekel

Ada yang pernah bermain bola bekel? Tentu bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan dan tinggalnya di daerah pedesaan pernah mengalami booming permainan jenis ini. Permainan Bola Bekel menghadirkan nostalgia bagi mereka yang mengalami kegemaran ini pada era 1980-an. Pada masa itu, pilihan permainan terbatas, dan bahkan anak-anak di kota turut meramaikan sensasi bola bekel.

Bola bekel, yang terbuat dari karet kecil dengan empat mata bekel berwarna keemasan, memasuki panggung pada akhir tahun 70-an atau awal tahun 80-an. Sebelumnya, permainan serupa tanpa menggunakan bola, dikenal dengan nama gatheng, memanfaatkan kerikil atau kereweng sebagai mata bekel, salah satunya berfungsi sebagai bola.

Ketertarikan anak-anak perempuan pada bola bekel tidak hanya dipicu oleh faktor variasi dan keceriaan permainan, tetapi juga karena bola bekel memungkinkan mereka untuk menikmati waktu bermain lebih lama dalam satu lemparan daripada menggunakan kerikil. Bergantian memegang bola, mereka menentukan urutan dengan undian melalui permainan telapak tangan dan jari, yang dikenal sebagai hompimpa dan pingsut.

Proses permainan berlangsung ketika bola masih melayang di udara, memantul, dan pemain harus mengubah variasi posisi mata bekel sebelum bola ditangkap. Dalam keahlian yang terampil, tangan mereka dapat dengan cepat merubah posisi keempat mata bekel dalam sekali lemparan, menciptakan suatu keindahan gerak yang mengesankan.

Perbedaan mencolok terlihat jika dibandingkan dengan permainan gatheng yang menggunakan lima kerikil. Dalam permainan gatheng, kerikil yang difungsikan sebagai bola akan jatuh ke bawah seketika setelah dilempar ke atas, dan pemain harus segera bermain dengan empat kerikil lain sebelum menangkapnya. Waktu yang singkat dan ketidakmampuan kerikil untuk memantul membuat permainan ini kurang menarik bagi anak-anak perempuan, sehingga mereka lebih memilih bola bekel yang dianggap lebih menghibur dan menantang. Sebuah perbandingan yang mengilustrasikan bahwa seperti bola bekel yang semakin dibanting semakin melenting, begitu pula dengan mental, semakin dihadapkan pada tantangan, semakin kuat dan tangguh.

Filosofi Bola Bekel

Tulisan ini tidak akan membicarakan tentang permainan bola bekel secara detil tetapi lebih akan mengupas filosofi yang ada di balik keberadaan sebuah bola bekel. Sebuah bola karet berbentuk bulat dengan warna warni khas yang apabila dibanting akan melenting. Apakah filosofi yang terkandung di dalam sebuah bola bekel?

Dalam keseharian, ketika kita menjalani kehidupan, pasti tidak semua yang kita alami menyenangkan. Kita selalu menjalani apa yang disebut dengan suka duka kehidupan. Memang jika diadakan sebuah survei tentang target tujuan akhir  kehidupan, mungkin semua orang akan menjawab bahwa  tujuan hidup mereka adalah bahagia dunia dan akhirat. Tetapi dalam menggapai tujuan happy ending atau husnul khatimah tersebut mereka tentu mengalami suka dan duka, dan itu  adalah sebuah keniscayaan.  Jadi hampir tidak ada orang yang selama hidup senantiasa berbahagia tanpa sekali pun merasa sedih. 

Sebagaimana diketahui Tuhan menciptakan semuanya berpasang-pasangan. Ada Tuhan ada makhluk, ada surga dan neraka, ada laki-laki ada perempuan, ada gelap ada terang, ada putih ada hitam, pada kebaikan ada kejahatan, ada kebahagiaan ada penderitaan, dan sebagainya. Oleh karena itu lah sore hari ini sambil menyetir pulang kerja penulis mencoba  mendiskusikan tentang bagaimana kita mengambil filosofi dari bola bekel dalam memanage mental kita untuk menghadapi kehidupan. 

Bola bekel mungkin hanyalah sebuah bola kecil yang terbuat dari karet yang pejal namun elastis. Bola ini jika dilempar ke atas akan jatuh  bebas ke bawah, lalu bola itu akan memantul dengan tinggi pantulan lebih rendah daripada tinggi lemparan  awal. Namun jika bola itu dibanting, diberi gaya dengan porsi tertentu, yang terjadi adalah bola tersebut akan melenting tinggi jauh melebihi  posisi ketinggian awal ketika bola itu mulai dibanting. Bola itu mungkin akan memantul beberapa kali, berpindah-pindah tempat, sampai akhirnya menemukan posisi baru di mana bola itu akan diam pada kedudukan stabil. Jika bola itu dibanting lagi, maka hal yang sama akan berulang lagi. 

Nalarnya seperti ini. Semakin tinggi bola bekel dilempar maka pengaruh percepatan gravitasi bumi akan membuat bola meluncur turun lebih deras. Ini karena semua benda jatuh  akan  mengalami tarikan gravitasi bumi dengan percepatan 10 m/s2 (meter per detik kuadrat). Setelah satu detik bola meluncur turun maka kecepatan menjadi 10 m/s (meter per detik). Jika dua detik, kecepatan menjadi 20 m/s, dan seterusnya. Sehingga begitu bola menyentuh lantai kecepatannya menjadi lebih tinggi dari awal mula dilempar. Semakin tinggi lemparan, semakin deras kecepatan bola ketika menghantam lantai, dengan demikian semakin tinggi pula pantulan yang dihasilkan. Jika cukup dilempar saja bola akan memantul tinggi apalagi jika dibanting.

Ketika menjalani kehidupan sehari-hari, kita seringkali berada pada posisi serupa dengan bola bekel, menghadapi bantingan-bantingan, meskipun bukan dalam konteks fisik, melainkan dalam dimensi mental yang terasa begitu kuat. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, hidup tidak selalu menyuguhkan kemudahan dan kesenangan; ada saat-saat sulit dan penderitaan. Namun, melalui latihan mental yang mengacu pada filosofi bola bekel, kesulitan dan penderitaan dapat dihadapi sebagai bagian biasa dari perjalanan hidup yang lebih mudah untuk diatasi.

Filosofi mental bola bekel menawarkan perspektif baru dalam mengatasi tantangan, di mana setiap ‘bantingan’ kehidupan dapat menjadi momentum penguatan dan pertumbuhan. Seperti bola bekel yang semakin dibanting semakin melenting, demikian juga individu yang mampu mengubah pandangan dan memperkuat ketangguhan mentalnya. Oleh karena itu, mengadopsi sikap seperti bola bekel dapat membantu kita melihat kesulitan sebagai peluang untuk berkembang, membangun ketahanan psikologis, dan menggunakan setiap ‘bantingan’ sebagai dorongan menuju prestasi yang lebih tinggi.

(Bersambung)

 

***

(Penulis, Dr. MRT atau Dr. Mampuono R. Tomoredjo, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC (Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas), dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ).