Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Oleh : Slamet Trihartanto
Pernahkah Anda mempersoalkan kondisi literasi bangsa Indonesia? Anda pernah merasa prihatin dengan tingkat literasi masyarakat kita? Mengapa masih banyak terjadi orang mudah terhasut oleh oknum provokator? Mengapa orang mudah termakan berita hoax? Mengapa pula masih banyak orang ngeyel dengan bahaya Covid-19? Atau sederet tanya yang berujung kepada tingkat literasi bangsa kita yaitu kemampuan mengakses, membaca, dan memaknai informasi. Jika Anda pernah mengajukan deretan tanya itu, maka tulisan ini berusaha mencari jawabnya.
Mengawali pembahasan ini, yuk simak kembali quote menarik dari Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Daoed Joesoef: “Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara” (Bukuku Kakiku, 2004). Berdasarkan quote itu, boleh kita mengajukan tanya apakah di tahun 2020 warga masyarakat Indonesia merupakan individu yang gemar membaca? Masihkah mereka lebih senang menjadi pendengar serta suka berbicara?
Kondisi literasi bangsa Indonesia memang tergolong rendah. Minat baca anak bangsa berada di peringkat bawah jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia pernah menempati peringkat kerak dalam hal literasi dan membaca. Pemeringkatan itu pernah dikeluarkan oleh Central Connecticut State University (CSSU) dalam kajian bertajuk “World’s Most Literate Nations” pada Maret 2016. Hasil kajian itu itu menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara. Kita hanya lebih unggul dari Botswana yang menghuni peringkat terdasar.
Ada lima parameter yang menjadi dasar pemeringkatan, yaitu: hasil PISA (Programme for International Student Assessment), jumlah perpustakaan, sirkulasi surat kabar, sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer. Berdasarkan lima parameter itu menempatkan Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia di urutan lima teratas.
Peringkat literasi Indonesia yang berada di kerak itu segera disikapi oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan diluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN). Gerakan itu memiliki tiga jalur utama, yaitu: Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Masyarakat (GLM), dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK). Gerakan Literasi Nasional telah mampu mendorong tumbuhnya minat baca, salah satunya dapat dipantau melalui penyelenggaraan GLS. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23/2015 terbukti mampu menggerakkan sekolah menerapkan kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Minat baca siswa mulai tumbuh berkat akses perpustakaan diperluas melalui sudut pojok baca di kelas maupun sekolah.
GLS terbukti memiliki program yang jelas dalam upaya meningkatkan minat baca anak bangsa. Bagaimana dengan GLM dan GLK? Sejauh ini belum ada kajian yang terpublikasi berkaitan dengan peningkatan kegairahan membaca di masyarakat dan keluarga. Bahkan menurut pengamatan saya secara terbatas, minat baca keluarga dan masyarakat cenderung stagnan kalau tidak bisa dikatakan menurun. Indikatornya adalah pemandangan orang membaca buku di ruang publik masih langka ditemui. Demikian pula, sangat jarang saya melihat anggota suatu keluarga asyik membaca.
Ketidakberhasilan GLM dan GLK tidak lepas dari aspek budaya. Harus diakui secara kultural, masyarakat Indonesia pada umumnya adalah berbudaya tutur. Mereka betah berlama-lama menonton pertunjukan wayang, mendengarkan pengajian, ngerumpi di warung kopi, atau sekadar kongkow-kongkow di suatu tempat. Budaya paternalistik juga sangat kuat terjadi pada masyarakat kita. Apa pun kata ketua RT, ketua partai, pimpinannya adalah kebenaran. Tidak ada waktu bagi mereka untuk melakukan cek and recek, tidak peduli info hoax yang penting share dulu. Literasi masih menjadi kompetensi yang kurang perlu mereka miliki.
Gerakan Literasi Nasional yang ditopang oleh Gerakan Literasi Sekolah terbukti mampu meningkatkan kemampuan literasi anak bangsa. Ada suatu laporan internasional yang membuat kita sebagai bangsa berbangga hati. Hasil survei “World Culture Index Score 2018”, kegemaran membaca masyarakat Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara. Kajian itu melaporkan bahwa dalam hal membaca, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu membaca sebanyak enam jam/minggu. Indonesia bahkan mengalahkan Argentina, Turki, Spanyol, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Mexico, Inggris, Brazil, Taiwan, Jepang dengan masing-masing tiga jam/minggu (dikutip dari Literasi Indonesia Rangking Terbawah Kedua di Dunia, Warta Ekonomi, tersedia online pada 12 April 2020).
Membaca dua laporan peringkat literasi bangsa Indonesia pada tahun 2016 dan 2018 serta membandingkan kondisi minat baca masyarakat saat ini jelas perlu kita persoalkan. Apapun hasilnya, upaya menggairahkan minat baca masih perlu terus dilakukan. Mulai dari diri sendiri, menjadi teladan bagi anggota keluarga, dan menggerakkan masyarakat gemar membaca. Gerakan Literasi Sekolah harus terus dikuatkan. Senyampang pelaksanaan belajar dari rumah seperti saat ini, guru dan orang tua harus terus mendorong kegairahan membaca kepada anak bangsa.