Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Mengemban tugas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang baru menggantikan Muhadjir Effendy, Nadiem Makarim mengemban tugas untuk memberikan warna baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam program 100 hari Nadiem Makarim, program kebijakan Kemendikbud mengusung konsep “Merdeka Belajar” dalam rangka menyongsong era baru pendidikan di tanah air kita. Empat pokok kebijakan strategis merdeka belajar yang akan menjadi concern pembelajaran ke depan antara lain sebagai berikut:
Pertama, perubahan kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) menjadi asesmen yang diselenggarakan oleh sekolah. Semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk menentukan kelulusan, namun saat ini USBN membatasi penerapan hal ini. Selain itu, kurikulum 2013 yang merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi, memerlukan asesmen yang lebih holistik untuk mengukur kompetensi anak. Untuk menjawab kebutuhan itu, maka arah kebijakan Nadiem Makarim antara lain pada tahun 2020 ini, USBN akan diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian yang diselenggarakan untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya). Hal ini membuat guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa. Sehingga anggaran USBN dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran
Kedua, perubahan kebijakan Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Selama ini materi UN terlalu padat, sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten dan bukan kompetensi penalaran. UN menjadi beban bagi siswa, guru, dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. UN seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian siswa. Dan juga UN hanya menilai aspek kognitif dari hasil belajar, belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh
Untuk menjawab tantangan itu, maka arah kebijakan Nadiem Makarim melaksanakan UN untuk terakhir kalinya tahun 2020. Dan mulai tahun 2021, UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter misalnya pembelajar, gotong royong, kebhinnekaan, dan perundungan.
Asesmen dilakukan pada siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas IV, VIII, XI), sehingga mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil asesmen ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. Arah kebijakan ini mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study).
Ketiga, penyederhanaan komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kondisi saat ini, guru diarahkan untuk mengikuti format RPP secara kaku. RPP memiliki terlalu banyak komponen, dimana guru diminta untuk menulis dengan sangat rinci (satu dokumen RPP bisa mencapai lebih dari 20 halaman). Penulisan RPP saja menghabiskan banyak waktu guru, yang seharusnya bisa digunakan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.
Untuk menjawab kelemahan itu, maka Nadiem Makarim mengambil arah kebijakan dimana guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan dan mengembangkan format RPP. Komponen RPP diringkas menjadi 3 komponen inti (komponen lainnya bersifat pelengkap dan dapat dipilih secara mandiri) yang meliputi: Tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen (satu halaman cukup). Dengan demikian penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.
Keempat, perubahan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi menjadi lebih fleksibel. Tujuan peraturan PPDB zonasi adalah untuk memberikan akses pendidikan berkualitas dan mewujudkan Tripusat Pendidikan (sekolah, keluarga, masyarakat) dengan bersekolah di lingkungan tempat tinggal. Kondisi saat ini, pembagian zonasi antara lain: Jalur zonasi minimal 80%, jalur prestasi maksimal 15% dan jalur perpindahan: maksimal 5% . Dalam impelemtasinya, peraturan terkait PPDB kurang mengakomodir perbedaan situasi daerah, belum terimplementasi dengan lancar di semua daerah, dan belum disertai dengan pemerataan jumlah guru.
Untuk memperbaiki PPDB Zonasi, Nadiem Makarim membuat kebijakan PPDB lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah, antara lain: Jalur zonasi minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, jalur perpindahan maksimal 5%, dan sisanya adalah jalur prestasi (0-30% disesuaikan dengan kondisi daerah). Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru.
Melalui program merdeka belajar, diharapkan guru dapat lebih fokus pada pembelajaran siswa begitu pula sebaliknya siswa pun bisa lebih banyak belajar. Keberhasilan dari empat progam unggulan Kemendikbud ini membutuhkan dukungan, peran dan kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, untuk saling bahu membahu dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan. Optimisme dan sikap terbuka kita semua dalam menyongsong perubahan ini sangat menentukan keberhasilan kebijakan yang menjadi Tagline-nya Kemendikbud.
(Sumber: Kemendikbud, disampaikan dalam Rapat Korodinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia)
(Penulis: JP; Pengelola Laman: Hesty)