Published On: 14 May 2019Categories: Berita

SEMARANG, LPMP JATENG – Setelah kegiatan Analisis Data Mutu Pendidikan, LPMP Jawa Tengah menyelenggarakan kegiatan Penyusunan Rekomendasi Peningkatan Mutu Pendidikan. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 3 (tiga) hari, yaitu mulai tanggal 13 Mei sampai dengan 15 Mei tahun 2019, bertempat di LPMP Jawa Tengah, Jl. Kyai Mojo, Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, dengan pola 23 (dua puluh tiga) Jam Pelajaran.  Peserta yang diundang dalam kegiatan ini 61 orang yang terdiri dari Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD) dari 35 (tiga puluh lima) kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dan Koordinator Pengawas SMA dan SMK Provinsi Jawa Tengah.
Kegiatan Penyusunan Rekomendasi Peningkatan Mutu Pendidikan ini bertujuan untuk menyusun rekomendasi rencana pemenuhan mutu pendidikan di provinsi dan menyusun rekomendasi rencana pemenuhan mutu pendidikan di kabupaten/kota. Adapun hasil yang diharapkan adalah tersusunnya rekomendasi rencana pemenuhan mutu pendidikan di provinsi dan tersusunnya rekomendasi rencana pemenuhan mutu pendidikan di kabupaten/kota. Struktur program dalam kegiatan ini antara lain kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan di Jawa Tengah, orientasi kegiatan, program Penjaminan Mutu Pendidikan Tahun 2019, review hasil analisis data, penyusunan rekomendasi pemenuhan mutu (standar terkait akademik), penyusunan rekomendasi pemenuhan mutu (standar terkait manajemen), paparan penyusunan rekomendasi pemenuhan mutu, finalisasi laporan dan evaluasi kegiatan.

Peserta mengikuti upacara pembukaan

Dalam upacara pembukaan kegiatan, Kepala LPMP Jawa Tengah, Drs. Harmanto, M.Si, dalam sambutannya mengatakan bahwa hasil Pemetaan Mutu Pendidikan (PMP) tahun 2018, tidak satupun satuan pendidikan atau sekolah yang mencapai SNP. Namun ketika di akreditasi, lebih dari seribu sekolah mendapatkan nilai akreditasi A, yang artinya memenuhi SNP. Hal tersebut menghasilkan hasil yang berbeda, karena hasil pengukuran tergantung pada siapa yang mengukur, alat ukur yang digunakan, faktor situasi dan kondisi (environment) dan barang yang diukur. “Dalam satu kegiatan akreditasi saja, alat ukur yang digunakan sama, tapi dilaksanakan oleh orang yang berbeda, bisa menghasilkan nilai berbeda. Hal ini disebabkan oleh interpretasi terhadap alat uji atau instrumen akreditasi yang berbeda” ujarnya.
Menanggapi dikotomi tersebut, muncul pertanyaan bisakah instrumen PMP menggunakan instrumen akreditasi? Jawabnya adalah bisa, tetapi syaratnya harus terpenuhi, yaitu sifatnya. Sifat PMP dengan akreditasi berbeda. “Akreditasi merupakan evaluasi akhir yang dilaksanakan selama 4 tahunan atau bahkan lebih, tergantung sekolah diajukan atau tidak untuk diakreditasi. Sementara PMP merupakan evaluasi “on going process” atau evaluasi selama proses berlangsung, dilaksanakan setahun sekali dan semua sekolah melaksanakannya”, tambahnya.
Melalui PMP, sekolah mengetahui apa yang harus dilakukan oleh sekolah, yaitu kembali pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP adalah bahasa regulasi, bukan bahasa teknis. Untuk menjawab sekolah harus mengubah dari bahasa regulasi ke bahasa teknis. Pada standar apa saja sekolah harus melakukan apa dan apa saja yang harus dipenuhi sekolah. Pada empat standar yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian dan Standar Kelulusan untuk sekolah harus melakukan apa. Sedangkan empat standar lainnya yaitu Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan dan Standar Pembiayaan, sekolah harus memenuhi apa. Bisa diibaratkan PMP adalah medical general check up nya sekolah. Semua dicek dan dipetakan”, pungkasnya.
Di akhir sambutannya, Kepala LPMP Jawa tengah mengharapkan dalam kegiatan ini, bersama dengan tim LPMP Jawa Tengah, Koordinator Pengawas SMA/SMK menyusun rekomendasi rencana pemenuhan mutu pendidikan di provinsi dan Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD) menyusun rekomendasi rencana pemenuhan mutu di kabupaten/kota masing-masing. Sehingga keduanya mampu memberikan masukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan mendorong untuk menjadi sebuah kebijakan. Marilah kita jadikan budaya, dimana semua perencanaan pendidikan yang direncanakan harus berbasis data. Dan data yang digunakan adalah data yang valid, sehingga kebijakan yang diambil tepat. (JP)