Published On: 15 December 2020Categories: Cerpen

Oleh : Audya NN

 

“Siapa namamu Nduk, Cah Ayu?”

“Asmara, Nyai. Asmarandana.”

“Sebentar lagi, akan terjadi pertumpahan darah di Kalidrajat ini, sebentar lagi Penyamun Negeri melejitkan api di langit Kalidrajat ini, sebentar lagi ketika Batavia semarak bahagia, Kalidrajat menangis tanpa suara.”

Asmara terdiam, menatap mata abu-abu milik wanita asing, yaitu salah satu bangsa Belanda yang menduduki kotanya. Penyamun Negeri yang dimaksud wanita itu adalah bangsanya, penjajah berkulit putih yang membabat habis negeri Indonesia. 

“Nyai itu salah satu dari mereka. Kenapa mengatakan ini pada saya?” tanyanya. 

Kabeh manungso iku nduwe sisi apik lan sisi elek. Semua tergantung kita memilih yang mana.” Wanita itu tersenyum. “Kalau sebelum lahir aku iso milih lahir dadi Pribumi utowo Belanda, aku bakalan muni banter yen aku karep dadi Pribumi.” Meski berkulit pucat dan berpupil abu-abu, wanita itu memiliki aksen Jawa yang kental. 

Meski sudah tiga hari yang lalu semenjak bertemu dengan Nyai asing bangsa Belanda, Asmara masih mengingat dengan jelas setiap kata yang diucapkan Nyai itu padanya. Tentang Batavia yang bahagia, dan Kalidrajat yang menangis tanpa suara. 

Sedari tadi, remaja jelita yang berusia seumur jagung terpaku pada sepatu hitam mengkilat milik tamu yang berkunjung ke rumah kecil berdinding bambu yang dibangun bapaknya. Rumah kecil ini bahkan memiliki usia lebih tua darinya. 

Mr. Thomas Flitwick, Asmara tak tahu apa pangkat yang menempel di dada kiri orang itu, yang ia tahu, Mr. Thomas Flitwick adalah Penyamun Negeri yang terus membujuk Bapaknya agar meninggalkan rumah ini. Yang benar saja, lantas mereka harus tinggal di mana jika sepetak tanah ini harus diberikan pada Belanda untuk dibangun sebuah markas penjagaan baru?

“Dharmo, sudah berapa kali saya katakan, rumahmu ini benar-benar mengganggu proyek Belanda di Kalidrajat. Kalau kamu tidak pergi dari rumah ini tiga hari lagi, jangan salahkan saya jika rumahmu dan keluargamu sama ratanya dengan tanah.” Suara menggelegar dengan bahasa asing terdengar hingga di luar rumah. 

“Saya sudah bilang pada Mr. Thomas berbulan-bulan lalu, bahwa saya tidak peduli.” Jawaban Pak Dharmo disusul oleh erangan hebat. Nampaknya ia diserang oleh Mr. Thomas. 

Lagi-lagi Asmara hanya mampu terdiam. Pribumi pasrah, bahwa apa yang menjadi keputusan Belanda, harus dilaksanakan secepatnya. Jika tidak, kau harus menerima konsekuensinya. 

“Bilang pada Bapakmu, darah pribumi itu kotor, nggak cocok kalau jadi keras kepala!” Teriak Mr. Thomas yang sudah berada di belakang Asmara dengan tangan menarik rambut Asmara sehingga terjatuh ke belakang. 

“Kalau memang di dunia ini terdapat darah kotor, maka yang pantas menerima adalah Penyamun Negeri.”

***

“Bapak, bapak!” Asmara berlari menuju rumahnya, larinya semakin cepat ketika melihat sosok Pak Dharmo yang tengah memperbaiki sepeda kumbang di depan rumahnya. “Batavia merdeka, Bapak. Batavia merdeka. Proklamasi wonten radio, Pak. Indonesia merdeka!” Asmara melompat kegirangan. Pak Dharmo hanya menggeleng perlahan melihat tingkah anak gadisnya. 

“Yang merdeka itu cuma Batavia, bukan Kalidrajat!” 

Belum sempat Asmara menjawab ketidakpercayaan Bapaknya, dentuman dari tanah yang berasal dari kaki-kaki Pribumi yang berlarian terdengar. Disusul bunyi senjata api yang tanpa ampun menggelegar di langit Kalidrajat. 

Pak Dharmo meraih tangan anak gadisnya. Meninggalkan segala yang ia punya kecuali satu, putrinya. Pribumi Kalidrajat berbondong-bondong meninggalkan daerahnya hanya untuk menghindari Penyamun Negeri yang sebenarnya tidak memiliki hak apapun akan daerahnya.

Pribumi Kalidrajat terus berlari ke utara selat Kalidrajat, mencari tempat lapang di daerah alas Klothopati. Termasuk Pak Dharmo dan Asmara. Lelaki berusia 51 tahun dan gadis belia berusia 17 tahun, terpaksa meninggalkan rumahnya.

“Batavia tok sing merdeka, Kalidrajat ora!” Suara itu melayang di udara, disusul dengungan setuju dari pribumi lainnya. Asmara menatap Bapaknya yang sudah tua namun harus mengeluarkan banyak tenaga. 

Asmara berdiri, membuka mata selebar-lebarnya, akhirnya ia paham, ini kebenaran dari ucapan Nyai berpupil abu-abu beberapa hari lalu. Yang tua tak hanya Bapaknya. Yang seharusnya istirahat dan merasakan kemerdekaan tak hanya pak Dharmo dan dirinya, namun semua Pribumi di Alas Klothopati ini. 

Asmara menatap Bapaknya, kemudian mengalihkan pada pemuda-pemuda yang menjadi teman sekolahnya di sekolah Belanda Jaya yang dibangun para Belanda di hilir Kalidrajat. Pemuda Kalidrajat yang Penuh Rahasia, begitu sebutannya. Sebutan dari para Belanda untuk Asmara dan teman-temannya. Tak ada yang tahu mengapa mereka diberi sebutan itu oleh para Belanda kecuali mereka dan Belanda itu sendiri. 

Asmara berlari ke arah Rogodanu, memberinya sebuah tatapan yang akhirnya dimengeri anak laki-laki berusia 19 tahun itu. Mereka berdua berlari hingga ke ujung gerombolan para pribumi Kalidrajat. Tanpa mereka sadari, terdapat 21 pemuda Kalidrajat yang menghampiri tempat laki-laki dewasa Kalidrajat.

Tanpa dijelaskan lagi, mereka mengerti. Inilah saatnya melakukan strategi yang sudah lama mereka susun. Penyerangan terhadap Penyamun Negeri Kalidrajat. Banyak yang masih tak cukup nyali untuk menyerang para Belanda pemilik berbagai macam senjata api, dibanding mereka yang hanya berbekal bambu runcing, golok, dan beberapa senapan hasil curian dari gudang Belanda di balai desa. 

Tak ada yang menghalau mereka untuk berperang. Rencana penyerangan akan dilaksanakan pukul 23:00 malam. Itu artinya, 5 jam lagi. Pak Dharmo menghampiri Asmara dengan mata memerah, di tangan kirinya terdapat golok perunggu.

“Hiduplah sebagai mukjizat, matilah sebagai pahlawan, Anakku.” Hanya itu yang mampu diucapkan Pak Dharmo pada putri semata wayangnya. 

Asmara hanya mengangguk, kemudian memeluk Bapaknya. Ia berharap, ini bukan terakhir kalinya. Meski ia tahu, entah dirinya, atau Bapaknya yang akan menumpahkan darah di medan perang nanti. Asmara pergi meninggalkan Pak Dharmo, menyusul rombongan pemuda yang membicarakan kembali strategi penyerangan. 

“Kau yang paling muda, Asmara. Kau juga perempuan. Duduklah bersama ibu-ibu itu.” Entah siapa yang bicara, namun Asmara merasa muak. 

“Untuk apa emansipasi diciptakan? Saya maju untuk merebut apa yang menjadi hak saya. Saya yakin, usaha kita semua tidak akan sia-sia. Jika saya akan mati di tempat penyerangan nanti, setidaknya generasi-generasi Kalidrajat dapat hidup tanpa Penyamun Negeri.”

***

Klothopati begitu senyap. Hanya suara daun yang menandakan di sana ada kehidupan. Gemirisik seolah bersahut-sahutan, menenggelamkan langkah kaki tanpa alas yang menapak di atas tanah setengah basah. 

Adalah langkah pribumi Kalidrajat. Tidak semua, hanya para lelaki yang sudah sanggup berdiri di medan perang dan para pemudanya. Meski berat hati meninggalkan orang tua, istri dan anak-anaknya di tengah alas untuk berlindung, mereka tetap melangkah untuk merebut haknya dari Penyamun Negeri. 

Kalidrajat bukan daerah yang besar, pribuminya pun tidak lebih dari 500 kepala. Hanya saja, bukankah menyerah pada Penyamun Negeri adalah hal yang tak boleh dipilih? 

Asmara tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Ia hanya terus berdoa, bukan untuk dirinya, namun untuk Pak Dharmo, sosok laki-laki yang berjuang sendirian di bawah kaki Penyamun Negeri untuk menghidupi dirinya, putri semata wayangnya. 

Pak Dharmo berada jauh di depan. Asmara tidak takut akan hidup atau matinya, ia hanya takut kehilangan Bapaknya, keluarga yang ia miliki satu-satunya. 

Biadabnya Penyamun Negeri, manusia darah kotor yang tidak memiliki hati. Beberapa dari pribumi sudah berhasil mengepung markas yang berdiri kokoh dengan beton hasil curian puing-puing balai desa. Bisa berdiri dengan mencuri adalah hal yang begitu menyedihkan.

“Kau takut, Asmara?” tanya Rogodanu. 

“Tidak. Aku tidak pernah takut menghadapi para manusia pucat itu. Aku hanya takut kehilangan Bapakku, Rogodanu.”

Lantas hening. Mungkin Rogodanu juga memiliki ketakutan yang sama, kehilangan keluarganya. Mereka berdua diikuti 14 pemuda lainnya merayap ke arah tanggul yang di atasnya terdapat rel kereta api. Menurut informasi, Penyamun Negeri dari kota sebelah akan datang untuk membantu sekutunya di Kalidrajat menggunakan jalur kereta ini. Hanya perlu menunggu, menunggu waktu kedatangan sekumpulan Penyamun Negeri.

Asmara menutup matanya, ketika terlihat ledakan besar dari markas yang berjarak 700 meter dari tempatnya bersembunyi. Markas itu hancur ditelan ganasnya api. Suara tembakan dari Penyamun Negeri juga membumbung di angkasa, belum lagi erangan dari pribumi atas sakitnya kulit yang tertembus peluru juga teriakan merdeka yang menggetarkan siapa saja. 

“Apa kau punya mimpi?” Rogodanu tahu bahwa Asmara menangis dalam gelap. Yang terlihat hanyalah matanya yang sesekali terkena pantulan cahaya dari api yang menjilat-jilat bangunan markas.

“Ya, aku punya. Jika aku punya kesempatan untuk hidup, aku memimpikan hidup dalam damainya Negeri. Jika aku harus mati, aku ingin mati dalam keadaan menghancurkan Penyamun Negeri.”

Suara kereta api terdengar sayup-sayup. Mereka semua diam, namun dalam diamnya berusaha mengumpulkan seluruh keberanian dalam diri masing-masing. Menunggu aba-aba dari Rogodanu. Saat Rogodanu mengucapkan “SEKARANG!”  saat itulah mereka mendorong tanah tanggul sehingga rel ambruk dan kereta terguling ke hilir sungai. 

Semua sesuai rencana, kereta itu berhasil terguling disusul dengan erangan para Belanda dengan menggunakan bahasa asing. Namun tak menunggu waktu lama, atap-atap kereta mulai berlubang karena tembakan dari dalam dan kaca-kaca mulai dipecahkan untuk jalan keluar. Sayangnya, Penyamun Negeri yang datang jauh lebih banyak dari yang mereka bayangkan.

Para Pribumi yang bertugas di markas Penyamun Negeri, berbondong-bondong berlari menuju tanggul untuk membantu. Rupanya, mereka berhasil melumpuhkan Penyamun Negeri di markas. Itu dibuktikan dengan masing-masing dari mereka membawa senjata api yang siap menyerang musuh. 

Asmara tersenyum, ada Bapaknya di sana. Namun fokusnya kembali pada Penyamun Negeri yang mulai membombardir Pribumi. Banyak dari mereka yang lumpuh karena ledakan itu. Asmara berlari menusuk kaki kanan seorang Penyamun Negeri dengan bambu runcingnya yang akan menembakkan peluru pada dada Rogodanu. Tanpa disangka, Penyamun Negeri banyak lengahnya. Ketika mereka berupaya mengambil cadangan senjata di ekor kereta, para Pribumi lebih dulu menggaet bom yang dilempar di bagian ekor kereta. 

Kereta itu meledak, begitu pula dengan orang-orang disekitarnya. Beruntung, Asmara sempat berlari menjauh dari badan kereta. Di tangannya, terdapat satu benda bundar kecil yang ternyata sebuah bom entah seri berapa, Asmara tak begitu mengerti, yang mampu ia pahami hanya satu, ia menggenggam sebuah bom. 

“MERDEKA! MERDEKA!” Teriakan itu begitu nyaring menemani api yang menari-nari di udara. Asmara hampir menangis. Tangis haru, karena ini lah akhir dari semuanya. Habis sudah Penyamun Negeri di Kalidrajat. 

“Akhirnya …” bisiknya perlahan. 

“BERHENTI!” Teriakan yang diikuti tembakan di udara membuat gema merdeka berhenti. 

Lengan kanan Asmara sudah berada dalam pitingan Mr. Thomas Flitwick, Penyamun Negeri paling licik di Kalidrajat. Asmara lengah akan hal ini. 

“Padamkan api segera dan berhenti mengucap merdeka, atau anak pribumi kotor ini mati di tanganku!” Sebuah senapan sudah menempel di pelipis Asmara. 

Para Pribumi menggeram marah, Pak Dharmo pun jauh lebih dari kata marah. Pak Dharmo berlari menuju putrinya, namun seolah jarak yang tercipta tak kunjung habis. Jari telunjuk Mr. Thomas Flitwick sudah hampir menekan senapannya, karena Pribumi lebih memilih menyerang daripada menyerah. 

Jika aku harus mati, aku ingin mati dalam keadaan menghancurkan penyamun negeri.

Asmara lebih dulu menyisipkan bom di depan mulut senapan Mr. Thomas Flitwick, yang kemudian ledakan besar terjadi. Asmara mati, namun tidak sendiri, Mr. Thomas Flitwick ikut mati karena ledakan bom yang ia tembak bersama pelipis Asmara. 

Jika hidup tak bisa mewujudkan mimpi, maka mati dalam keadaan mengancurkan Penyamun Negeri jauh lebih baik. Malam itu, Asmara sang Pemimpi, mampu mewujudkan salah satu mimpinya. 

 

juara 2 lomba cipta cerpen kategori Pelajar

dalam rangka memperingati HUT RI ke-75