Oleh: Dr. Mampuono
(Tali Bambuapus Giri)
Dahulu kala, di sebuah hutan yang indah dan rimbun di kawasan Sampangan, hiduplah Si Tokek yang congkak lagi sombong. Si Tokek ini mengaku memiliki leluhur yang agung dan menjadi raja diraja tokek yang ditakuti di kawasan hutan Sampangan. Istana leluhurnya yang megah dibangun di gunung paling tinggi yang bernama Gunung Talang. Tidak semua hewan bisa leluasa mengunjungi gunung tersebut, kecuali mereka yang menjadi keturunan leluhurnya. Hanya mereka yang memiliki kekuatan fisik dan supranatural yang tinggi lah yang bisa menginjakkan kaki di gunung tersebut dengan selamat. Menurut cerita Si Tokek, di sana ada prajurit-prajurit tak kasat mata yang sakti mandraguna. Mereka menjaga supaya gunung tersebut tidak diinjak-injak sembarangan oleh orang-orang asing.
Si Tokek selalu mengulang-ulang cerita bahwa dirinya adalah keturunan para leluhur yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia mengumumkan bahwa dirinya adalah seseorang yang besar, maka ia layak untuk dihormati dan dilayani oleh hewan-hewan yang lain. Ia sering merendahkan hewan-hewan lain di hutan, bahkan ia tidak segan-segan untuk membully dan memukul mereka. Kegemarannya adalah tampil di tempat terbuka lalu dengan pongah memamerkan kekuatannya. Karena sifatnya yang sombong, banyak hewan di hutan yang tidak menyukainya.
Suatu sore ia mengancam dan membully seekor cicak karena tidak segera mendapatkan makanan yang digemarinya. “Hai Cicak, cepat ke sini! Ayo segera kumpulkan makanan yang enak-enak. Ajak kecoa dan jangkrik untuk membantumu. Kalau sudah semua harus segera disetorkan kepadaku. Kalau tidak awas!” katanya sambil membelalakkan mata dan mengepalkan tinju.
Cicak segera beringsut menjauh dari hadapan Si Tokek sambil bergegas mengajak jangkrik dan kecoa untuk pergi ke sebuah warung angkringan di dekat masjid di depan Rumah Davina. Nasi kucing Pak Untung di angkringan itu terkenal enak. Mereka segera mencari makanan pesanan si Tokek di sana. Barangkali masih ada remah-remah nasi ataupun mendoan yang bisa mereka kumpulkan dan dipersembahkan kepada si tokek.
Mereka sebenarnya takut pergi ke tempat itu karena bisa saja terjadi ancaman terhadap keselamatan mereka, namun apa daya perintah Si Tokek harus dipatuhi. Pernah suatu ketika cicak sengaja tidak menurut pada perintah Si Tokek. Akibatnya sungguh fatal. Ia dipukuli dan bahkan salah satu kakinya ada yang terkilir sehingga ia kesulitan ketika memanjat dinding yang cukup curam. Sampai-sampai ia kelaparan karena kakinya yang sakit menghalangi gerakannya untuk dapat menangkap nyamuk-nyamuk yang seharusnya dia makan.
Di hari yang lain ia mengusir para belalang dan jangkrik yang sedang mengadakan orkestra musik sambil melepas lelah karena sudah bekerja seharian. Dengan kasar Si Tokek menghardik dan mengusir hewan-hewan yang hobby bermain musik itu. “Pergi! Pergi pergi pergi…! Saya tidak suka ada yang berisik di sini. Saya mau beristirahat. Bubar bubarr!!!”
Tokek sebenarnya iri karena suaranya jelek dan serak seperti orang mau muntah. Suaranya terlalu jauh jika dibandingkan dengan keindahan perpaduan orkestra permainan jangkrik dan belalang. Namun hatinya yang tertutup oleh kesombongan tidak mau mengakui itu. Akibatnya para jangkrik dan belalang sering menjadi korban.
Semua hewan yang pernah dibully oleh Si Tokek memendam rasa benci dan ingin sekali membalas dendam. Tetapi apa daya, karena mereka kalah kuat dengan Si Tokek, mereka lebih memilih berdiam diri. Setiap kali Si Tokek memamerkan kekuatannya mereka beramai-ramai memujinya walaupun dalam hati mau muntah rasanya. Lalu kalau Si Tokek dengan semena-mena membully dan menyakiti mereka, hewan-hewan itu tidak bisa berbuat apa-apa karena kalau mereka melawan takutnya mereka akan diusir dari hutan. Dan itu bisa jadi lebih berbahaya bagi kehidupan mereka. Oleh karena itu walaupun mereka sakit hati, mereka berusaha menahan diri dan dibetah-betahkan untuk tetap tinggal bersama dengan Si Tokek.
Suatu malam, bulan sedang bersinar cukup terang sehingga suasana di hutan itu terlihat sangat indah. Bagi Si Tokek, ini adalah momen paling sempurna untuk menonjolkan dirinya dan semakin diakui kekuatannya. Ia segera mengumumkan bahwa semua hewan harus berkumpul karena ia ingin memamerkan kekuatannya. Ia merasa tubuhnya yang bertotol-totol seperti tato dengan otot-otot yang kekar, mata besar dan berpendar di kegelapan, mulut yang lebar dengan seputar rahang yang kuat adalah sebuah kebanggaan yang tidak ada tandingnya,
Disamping itu, kemampuannya untuk meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain dan melekatkan keempat telapak kakinya sambil jungkir balik tidak ada yang bisa menyaingi. Dan menurut Si Tokek, ia memiliki kesaktian yang tidak dimiliki oleh hewan lain. Ia menyebutnya sebagai kesaktian autotomi. Si tokek selalu mengatakan kepada hewan-hewan lain bahwa jika tubuhnya ada yang terpotong, makan bagian itu akan segera tumbuh lagi. Semua percaya karena pernah ada kejadian, suatu ketika ekor Si Tokek putus sama sekali. Namun, tidak lama kemudian tumbuh ekor baru di bagian yang terputus. Padahal sebenarnya Si Tokek sudah berbohong karena hanya bagian ekor lah yang bisa tumbuh lagi untuk beregenerasi.
Semua hewan sudah berkumpul sesuai dengan perintah Si Tokek. Lalu dengan congkak mulailah Si Tokek membual tentang kekuatan dan keluhuran keturunan yang ia miliki. Ketika Si Tokek sedang asik memamerkan kekuatannya di depan hewan-hewan lain, tiba-tiba dari arah cahaya bulan yang temaram muncul cahaya-cahaya lain yang terang benderang dan membuat formasi yang indah sekali. Perpaduan tujuh cahaya indah yang menari-nari di langit itu perlahan-lahan turun dan berhenti pada dahan dan daun-daun yang memayungi tempat di mana Si Tokek sedang memamerkan kekuatannya.
Pandangan semua mata hewan-hewan itu beralih kepada cahaya-cahaya tersebut. Terdengar seruan-seruan ketakjuban dan kekaguman yang memuji keindahan cahaya-cahaya tersebut. Ternyata cahaya-cahaya itu berasal dari kunang-kunang yang sedang mengunjungi hewan-hewan yang ada di hutan Sampangan karena ingin menjalin persahabatan dan bersilaturahmi. Sejak hadirnya kerlap-kerlip cahaya yang indah itu tidak ada lagi yang memperhatikan Si Tokek. Si Tokek diam-diam merasa iri dan ingin memiliki keindahan yang dimiliki oleh kunang-kunang tersebut.
Si Tokek itu lalu berbicara kepada tujuh kunang-kunang itu, “Hai kalian, kenapa kalian bersinar sedemikian rupa? Aku lebih kuat daripada kalian, namun tidak ada yang memujiku seperti yang kalian dapatkan. Aku ingin memiliki keindahan yang kalian miliki, dan aku yakin dengan kekuatanku, aku pasti bisa mendapatkannya!”
Namun, tujuh kunang-kunang itu malah menertawakan kesombongan Si Tokek tersebut dan berkata, “Tidak mungkin ada kekuatan yang bisa membuatmu memiliki keindahan yang kami miliki jika sifatmu seperti itu. Keindahan kami berasal dari hati yang tulus dan kebaikan yang kami lakukan kepada orang lain.”
Mendengar hal tersebut, Si Tokek itu merasa malu dan tersadar atas sifat sombongnya yang selama ini telah membuatnya tidak dicintai oleh hewan-hewan lain di hutan. Akhirnya, Si Tokek tersebut meminta maaf kepada tujuh kunang-kunang dan berjanji untuk mengubah perilakunya yang sombong. Semua hewan terkejut tetapi mereka bersyukur dan berterima kasih pada tujuh kunang-kunang karena mereka sudah menyadarkan si Tokek.
Sejak saat itu, Si Tokek itu mulai berubah menjadi lebih baik dan memperbaiki hubungannya dengan hewan-hewan lain di hutan. Ia belajar bahwa keindahan sejati tidak hanya datang dari kekuatan fisik, tetapi juga dari hati yang tulus dan perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain.
Kisah Si Tokek yang sombong dan tujuh kunang-kunang mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki sifat rendah hati dan hati yang tulus. Kita harus selalu menghargai kebaikan orang lain dan tidak merendahkan mereka hanya karena perbedaan kekuatan atau keindahan yang dimiliki.
(Ditulis dengan strategi Tali Bambuapus Giri (Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri) berbasis AI di Sampangan, Jumat,17 Februari 2023, dari pukul 13.30-14.30WIB).