Orang bilang, kita telah memasuki revolusi industri 4.0. Banyak yang menyebutnya dengan istilah four point ow revolution, bukan four point zero. Apapun sebutannya, revolusi 4.0 telah memberikan dampak luar biasa terhadap kehidupan manusia. Apakah revolusi 4.0?
Sebelumnya, mari kita lihat definisi revolusi-revolusi yang sudah berjalan. Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan dan penggunaan mesin uap. Revolusi industri 2.0 ditandai dengan penggunaan mesin produksi massal dengan listrik atau bahan bakar minyak. Sedangkan revolusi industri 3.0 ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dan mesin otomasi.
Pada Revolusi 4.0 ini, kehidupan manusia sangat tergantung dengan teknologi terkini, yaitu internet. Hampir semua hal, baik industri, ekonomi, pendidikan hingga kehidupan pribadi bergantung kepada internet.
Tercatat dari survey Teknopreneur 89,35% manusia pada zaman ini menggunakan internet adalah untuk chatting (ngobrol). Media sosial menjadi hal pokok yang hampir pasti digunakan setiap harinya oleh manusia.
Di dunia pendidikan, hasil survey Teknopreneur memperlihatkan bahwa 50,35% internet digunakan untuk membaca artikel, 49,67% untuk melihat video tutorial dan sisanya untuk kegiatan lain.
Sekolah-sekolah dan institusi pendidikan, tidak mau kalah, pun mencoba memanfaatkan teknologi internet. Tapi tahukah Anda, banyak “pitfall” (jebakan) yang memungkinkan kurang maksimalnya penggunaan teknologi berbasis internet untuk pendidikan? American Institute of Research (2019), menyampaikan beberapa jebakan itu.
Pertama, kadang sekolah atau institusi pendidikan terjebak seolah-olah harus menggunakan infrastruktur/aplikasi yang berbayar, padahal tersedia open resource yang free juga handal. Kalau hanya untuk survey yang bersifat sementara, tentu penggunaan google docs sudah cukup, misalnya.
Yang kedua, sebuah institusi kadang terjebak untuk segera meluncurkan teknologi sebelum perangkat lunak berfungsi dengan penuh. Resiko dari ketergesa-gesaan ini adalah, aplikasi yang diluncurkan tidak berfungsi dengan baik di lapangan, ditambah dengan komplain-komplain dari pengguna yang mungkin cukup merepotkan.
Yang paling berbahaya adalah jika sebuah sekolah atau institusi pendidikan salah dalam menggunakan teknologi yang ternyata tidak memenuhi kebutuhan pembelajaran. Misalnya, para guru harus berhati-hati ketika mengajar di kelas dengan menggunakan aplikasi youtube. Jangan sampai tiba-tiba muncul gambar yang kurang sopan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung.
*) Dedy Gunawan, LPMP Jawa Tengah.