Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Oleh: Utami Panca Dewi
Juni memandang semangkuk Jamu Jun di depannya. Bukannya langsung menikmati, gadis itu malah menatap cairan kecokelatan ber-topping putih itu dengan tatapan kosong.
“Kowe nopo to Nduk, sejak pulang dari Bandung kok melamun saja kerjamu? Iku Jamu Jun kesenenganmu mung tok penthelengi?” tanya Ibu
“Eh… Ibuk. Ini loh Buk, aku tu lagi mengingat-ingat, bahan-bahan utama untuk membuat Jamu Jun. Ada tepung beras, tepung ketan, gula, bubuk merica, adas manis, pekak, sereh, jahe, kayu manis dan apa lagi ya Buk? Gulanya pakai gula Jawa atau gula aren Buk?” Juni bertutur dengan ceria untuk menutupi perasaannya yang sedang tak menentu.
“Pakai gula Jawa, lebih enak, Nduk! Wah sangar ik…kamu ternyata paham juga rempah-rempah yang digunakan untuk membuat Jamu Jun? Lah berarti kamu memang ditakdirkan menjadi jodohnya Pak Haji Slamet, Pengusaha Jamu Jun tetangga kita,” sahut Ibu sambil tersenyum-senyum. Tak punya empati sama sekali dengan perasaan Juni.
“Pak De Slamet beneran mau melamarku to Buk?” tanya gadis itu dengan muka pucat.
“La kamu kira cuma main-main? Iki rembug tuwa lo Nduk!” jawab Ibu.
“Ibuk sama Bapak tu kenapa sih, pakai maksa untuk cepet-cepet nikah. Lagi pula, kalau nyariin jodoh tu mbok yang mudaan dikit to Buuuk.. Buk,” protes gadis itu.
“Eee… kamu belum paham juga to, siapa Pak De Slamet itu? Meskipun duda tua, dia itu orang terkaya se-Gayamsari loh Nduk. Kamu kalau sudah jadi istrinya dia, ndak usah mikir nyari kerja wis to. Kerjaanmu tiap hari paling-paling cuma nge-mall, keluar masuk pasar, keluar masuk toko perhiasan“
“Aku jadi sales ya Buk? Atau jadi espege?” tanya Juni sinis. Ia terlanjur kesal dengan sifat orang tuanya yang ternyata matre itu.
“Asem ik cah iki! Ya jadi istri pengusaha to Nduk, jadi istrinya pengusaha Jamu Jun. Lagi pula, kamu jangan lupa ya, dengan jasa-jasa beliau. Siapa yang meminjami uang Bapakmu saat kamu diterima kuliah di Bandung? Siapa yang membawa Bapakmu ke rumah sakit pas kecelakaan dulu itu dan membiayai pengobatannya? Ya Pak De Slamet. Kita tu sudah banyak ditolong oleh beliau Nduk, jadi… ”
“Pokoknya aku ndak mauuuu…. Aku emoh Buuuuk!!!!” jerit gadis itu.
***
Juni sebetulnya pernah punya pacar, teman kuliahnya di Bandung. Namanya Asep, asli dari Tasik. Tapi Ibu dan Bapak tak memberikan restu. Akhirnya hubungan itu pun berakhir.
Juni justru diam-diam pernah naksir anaknya Pak De Slamet. Namanya Mas Bagus. Tapi selama ini Mas Bagus hanya menganggapnya sebagai teman atau adik. Laki-laki itu sungguh beda. Setelah lulus kuliah, ia justru memilih mengembangkan usaha bapaknya yang jadi pengusaha Jamu Jun. Kini Mas Bagus sudah punya puluhan outlet di mall-mall kota Semarang yang khusus menjajakan minuman khas Semarang itu. Tekatnya untuk melestarikan warisan kuliner Semarang benar-benar patut diacungi jempol..
“Apa rencanamu setelah lulus kuliah? Nikah sama orang Sunda itu?” goda Mas Bagus.
“Mas Bagus bisa aja. Sebeh sama semeh-ku ndak setuju kalau aku dapat orang Sunda. Aku baru saja putus og . La Mas Bagus sendiri, pacarnya siapa hayo?” Juni gantian menggoda.
“Ndak punya Jun. Mana ada cewek yang mau jadi pacarnya bakul jamu?” tanyanya.
“La Mas Bagus sendiri lebih suka nikah sama orang mana? Maksudku, orang Semarang apa luar Semarang?” Juni mencoba menyelami hati Mas Bagus.
“Bagiku, asal daerah ndak penting Jun. Yang jelas aku ndak suka sama perempuan yang banyak tingkah. Sebab berumah tangga itu untuk seumur hidup, Jun!” ucap lelaki itu.
Ya Alloh Mas, kamu ndak tahu to, kalau yang sedang duduk di depanmu ini pasti mau banget kalau kamu lamar jadi calon istri? Kita sekarang duduk berhadap-hadapan, tapi kayaknya jarak kita jauuuh banget Mas. Jerit Juni dalam hati
“Kalau udah terlanjur nikah tapi ternyata dia banyak tingkah, piye jal?” timpal Juni.
“Yo jo ngasi. Makanya harus hati-hati dalam memilih jodoh. Dan satu lagi Jun. Aku pengennya bapakku menikah dulu, supaya Bapak ada yang mengurus!” tukas Mas Bagus.
Dan sekarang, kalimat terakhir Mas Bagus itu terngiang-ngiang di telinga Juni.
***
“Jun… Kamu sudah masak belum Nduk? Bapak lapar!” teriak Bapak dari meja makan.
“Iya… iya Pak. Bapak mau makan pakai lauk apa?” tanya Juni sambil mendekat.
“Siapa bilang Bapak mau ke makam? Bapak itu mau sarapan!” protes orang tua itu.
“Lah aku nanya, lauknya mau pakai apa? Ceplok telor? Atau sama gudeg?” taya Juni.
“Budeg? Sembarangan mengatai Bapak budeg,” teriak Bapak agak emosi.
“Ya Alloh… memang harus sabar ya, punya bapak yang sudah agak berkurang pendengarannya. Sudah bukan agak lagi, tapi paraaah!! ” gumam Juni geregetan.
“Yang marah siapa? Bapak tu cuma pengen sarapan!” sahut bapaknya.
“Aku janji wes Pak! Nanti Bapak mau tak konsulkan ke dokter THT. Tapi kalau aku sudah kerja dan punya uang sendiri!” Juni menimpali sambil mengambilkan nasi.
“Jadi kamu sudah kerja ya? Sudah punya uang sendiri? Wah, sangar ik! ” jawab Bapak sambil menerima piring berisi nasi serta lauknya.
“Giliran bicara tentang uang, langsung telinganya nyambung!” gerutu Juni.
“Ya Alloh Juuun.. Jun. Cuma mengambilkan nasi untuk Bapak saja kamu ndak ikhlas? Bagaimana nanti kamu melayani Pak De Slamet, kalau sudah jadi istrinya?” bentak Ibu yang ternyata sudah pulang dari pasar dan sempat mencuri dengar pembicaraan suami dan anaknya.
“Luweh, aku rak urus. Yang mau nikah sama Pak De Slamet yo siapa to Buuuk…Buk?” ucap Juni sambil berjalan masuk ke dalam kamar.
***
Rumah Juni ramai sekali. Tetangga-tetangga banyak yang berdatangan untuk membantu membereskan rumah dan memasak makanan di dapur. Hari ini Juni mau dilamar sama Pak Haji Slamet. Namun Juni malah belum mandi sama sekali.
“Jabang bayik Juni! Ha mbok cepet mandi, lalu ganti baju? Malah ngelamun sendirian di sini?” teriak Ibu Emosi. Tangan Juni segera ditarik paksa sama ibunya, masuk ke dalam kamar menemui Sang Juru Rias.
Pukul 10 pagi, tamu yang ditunggu-tunggu pun datang. Pak Haji Slamet beserta keluarga besarnya. Mereka pun membawa bermacam-macam seserahan layaknya orang yang mau melaksanakan hajat lamaran.
Diam-diam Juni mengintip dari balik jendela. Hatinya seperti tersayat saat menyaksikan Mas Bagus. Begitu gagah, memakai baju adat Semarangan berupa beskap hitam bersulamkan benang emas. Iket di kepalanya serta jarik batik lumintu dengan corak Warak Ngendog semakin menambah ganteng penampilan lelaki itu.
Ya Alloh Mas Bagus, sebentar lagi aku akan jadi ibu tirimu, tentunya aku ndak boleh lagi memanggilmu ‘Mas’… Keluh Juni dalam hati sambil menyusut air mata.
Sekarang, perwakilan dari pihak mempelai pria mulai berbicara, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya, Hamsino, selaku wakil dari keluarga Pak Haji Slamet, sengaja datang ke mari, niatan yang pertama adalah ingin bersilaturahmi. Yang kedua adalah ingin menyatukan dua keluarga, yakni keluarga Pak Muh dan Pak Haji Slamet.”
”Waalaikum salam warahmatullohi wabarakatuh. Tentunya kami, keluarga Pak Muhadi justru merasa mendapatkan kehormatan karena keluarga Pak Haji Slamet sudi berkunjung ke rumah kami. Tetapi kami belum begitu paham tentang niatan menyatukan dua keluarga. Mohon kami diberikan kejelasan seterang-terangnya,” jawab Om Trisno, wakil dari Bapaknya Juni.
“Saya dengar Pak Muh sama Bu Lela punya anak gadis ya. Nah saya selaku perwakilan dari keluarga Pak Haji Slamet, ingin melamarnya untuk menjadi istri dari putra beliau satu-satunya, yakni Bagus Aditya!” terang Pak Hamsino.
Hah? Jadi aku dilamar untuk dijodohkan dengan Mas Bagus? Aku salah dengar ndak ya? Teriak Juni di dalam hati. Mendadak jantungnya berdegup lebih kencang, seperti suara bedug masjid Agung yang dipukul saat pembukaan acara Dug Deran jelang bulan Ramadhan.
“Juniar Khairani, kamu keluarlah sebentar Nduk, ini ada lelaki yang mau melamarmu. Kamu mau menerima lamarannya atau tidak?” Ibu meneriakkan namanya.
Juni yang sudah memutuskan untuk tidak keluar saat namanya dipanggil, mendadak berubah pikiran. Tergesa-gesa, Juni pun keluar dari dalam kamar.
“Jadi yang mau melamarku siapa Buk?” bisik Juni malu-malu.
“La kamu tadi tidak mendengar to, saat Pak Ham berbicara? Yang melamarmu adalah Nak Bagus, puteranya Pak Haji Slamet,” ucap Ibu menerangkan kembali.
Juni terdiam sejenak sebelum kemudian menunduk seraya tersenyum malu-malu.
“Nah, diamnya anak gadis itu, pertanda bahwa ia telah setuju,” ucap Om Trisno.
Serentak semua hadirin mengucapkan Hamdallah. Lalu acara memasang cincin pun berjalan dengan lancar disambung dengan doa yang dipimpin oleh Om Trisno. Setelah semua acara selesai, para tetamu dipersilakan untuk makan siang. Mas Bagus yang membawa piring berjalan mendekati tempat duduk Juni. Ya ampuun… Juni jadi grogi.
“Gimana? Kamu ndak malu to jadi istrinya bakul Jamu? Atau malah seneng ya, karena tiap hari bisa menikmati Jamu Jun secara gratis?” goda Mas Bagus.
“Nggambus ah. Mas Bagus tu curang! Nganyelke! Kok ndak bilang-bilang to kalau mau melamarku?”
“He,, he… Kan aku pengen kasih surprise ke kamu,” ucap lelaki itu.
“Halah… surprise kok bikin jantungan. Lah kata Bapak, yang mau melamarku tu Pak De Slamet? Aku kan yo jadi shock to?” tanya Juni pura-pura kesal.
“Bapakmu tu mungkin yang salah dengar. Setelah mengalami musibah kecelakaan, Bapak jadi agak berkurang pendengarannya kan? Makanya beliau ndak mendengar waktu bapakku bilang bahwa niat melamarnya itu untuk dijadikan mantu, bukan untuk dijadikan istri….” jawab Mas Bagus santai.
“Oh gitu….” jawab Juni dengan muka merah, “Tapi Mas Bagus pernah bilang, bahwa belum akan melamar orang, sebelum Pak De Slamet berumah tangga?” Juni memberanikan diri menatap mata calon suaminya.
“Ya… kamu ketinggalan berita banget. Bapakku, sudah melamar Hajjah Sumiyem….Nah itu orangnya, yang pakai jilbab merah,” jawab Mas Bagus sambil menunjuk perempuan di sebelah Pak Haji Slamet.
Juni menatap perempuan lima puluhan yang sedang mengangguk dan tersenyum kepadanya dengan manis.
“Jadi kamu sudah siap belum menjadi istrinya bakul Jamu Jun? Jangan-jangan masih kepengen nikah sama si Asep Kurasep?” tanya Mas Bagus tiba-tiba sambil mengedipkan sebelah matanya.
Juni melotot gemas. Kalau saja ada semangkuk Jamu Jun, ingin rasanya Juni mengguyur kepala calon suaminya dengan cairan kental kecokelatan itu, saking gemasnya. Hari itu, perasaan Juni benar-benar berubah, dari berduka menjadi bahagia. Dan rasa hatinya pun persis seperti rasa minuman Jamu Jun khas Semarang: wangi, hangat dan manis.
Catatan beberapa dialeg khas Semarang dan artinya:
1) Kowe nopo to Nduk… : Kamu kenapa to Nak …
2) Iku Jamu Jun kesenenganmu mung tok penthelengi? : Itu Jamu Jun kesukaanmu cuma kamu pelototi?
3) Wah… sangar ik : Wah… hebat ih
4) Iki rembug tuwa lo Nduk!: Ini hasil musyawarah orang tua loh Nak.
5) Wes to: sudah
6) Asem ik cah iki! : Astaga, anak ini! (umpatan khas)
7) Emoh: tidak mau
8) Sebeh dan semehku: bapak dan ibuku
9) Og: kok
10) Piye jal; Bagaimana coba?
11) Yo jo ngasi: Ya jangan sampai
12) Budeg: tuli
13) Luweh, aku rak urus: Terserah, aku tidak peduli
14) Jabang bayik: astaga (umpatan khas)
15) Mbok: coba
16) Nggambus ah: bohong ah
17) Nganyelke: menjengkelkan
juara 3 lomba cipta cerpen kategori tenaga kependidikan
dalam rangka memperingati HUT RI ke-75