Pernahkah engkau melihat kerupuk? Hampir semua orang akan menjawab “pernah”. Bahkan mungkin sering memakannya. Di setiap warung makan, hampir selalu kita jumpai kerupuk. Demikian halnya di ruang makan LPMP Jawa Tengah. Berpuluh-puluh kali saya makan di sana, berbagai menu selalu disajikan: sayur lodeh, sayur bening, sup, dan lain-lain. Lalu ada tempe goreng, semur daging, telur balado, perkedel, tahu bacem, dan lain-lain. Dan biasanya di bagian akhir dari deretan sayur dan lauk itu akan bertengger kerupuk. Ya, kerupuk memang tidak pernah absen dari menu makan-pagi, siang, dan malam—di LPMP.
Meskipun begitu, kehadiran kerupuk tidak pernah kita perhatikan, tidak pernah kita perhitungkan. Jika kita ditanya apa lauk makan hari ini, kita akan menjawabnya: sayur lodeh, sayur bening, sup, tempe goreng, semur daging, telur balado, perkedel, tahu bacem, dan lain-lain; tapi tak satu pun dari kita yang menjawab kerupuk. Itulah nasib kerupuk: selalu hadir, tetapi tidak pernah kita perhitungkan.
Saya selalu membayangkan setelah makan malam di LPMP, sayur dan lauk itu tentu tidak habis. Lalu ke mana perginya? Saya selalu membayangkan sisa sayur dan lauk itu akan dimasukkan ke kantong-kantong plastik dan dibawa pulang. Sebab, jika sayur dan lauk itu tidak dibawa pulang, mereka akan membusuk. Selain mubazir, membusuknya sisa makanan akan menimbulkan bau tidak sedap, yang berarti akan mengganggu ketenteraman penduduk. Ritual seperti ini tentu terjadi setiap malam di ruang makan LPMP, juga tentu di ruang makan tempat lain. Bagaimana nasib kerupuk? Apakah ia juga ikut dimasukkan ke kantong plastik dan dibawa pulang? Tidak. Ia tetap bertengger di tempatnya, dan esok harinya ia akan hadir kembali seperti hari-hari yang lain. Mengapa ia tidak ikut dibawa pulang? Karena ia tidak terancam oleh kebusukan. Paling-paling ia akan “mlempem”. Dan “mlempem”-nya kerupuk hanya akan berakibat bagi kerupuk itu sendiri. “Mlempem”-nya kerupuk tidak akan mengganggu ketenteraman penduduk.
Suatu ketika, kami—saya, istri, dan anak-anak–pergi makan malam. Istri saya memilih warung satai kambing. Anak-anak pun ikut tanpa komentar. Begitu pesanan sudah disajikan, kami pun mulai memakannya beramai-ramai. Ada yang nambah sambel begitu banyak, ada yang minta beberapa tusuk satai lebih digosongkan lagi, dan saya, seperti biasa, minta tambah kuah gulai. Di tengah hiruk pikuk ritual makan malam itu, anak ragil saya ternyata hanya memandangnya. Ia tidak suka satai kambing. Kami mencoba menawarinya gulai, ia tidak mau. Kami menawarinya tongseng, ia tetap tidak mau. Akhirnya saya katakan kepadanya: nanti setelah selesai di sini, kita cari tempat makan yang adik suka. Ia tetap diam saja. Kami mohon izin kepadanya untuk makan terlebih dahulu, ia tetap diam saja.
Di tengah-tengah kami makan, ia—yang kebetulan duduk di samping saya—dalam gerakan slow motion tiba-tiba mengambil piring, lalu meminta nasi putih kepada mamanya, lalu menaruh nasi putih itu ke atas piring di depannya, lalu ia duduk dengan anggunnya, lalu ia ambil botol kecap, lalu ia tuangkan kecap ke atas nasi putihnya dengan penuh penghayatan. Kami semua mengikuti gerakan-gerakan anak ragil saya itu dengan penuh tanda tanya. Lalu, masih dalam slow motion, ia berdiri, lalu berjalan menuju meja sebelah, lalu membuka kaleng kerupuk, dan dengan tangan yang begitu manisnya ia ambil dua buah kerupuk, lalu ia tutup kembali kaleng kerupuk itu, lalu ia berjalan ke meja makannya, lalu ia duduk kembali; dan kemudian dengan sangat indah ia makan nasi putih yang telah disiram kecap itu dengan kerupuk yang baru saja diambilnya. Pelan-pelan ia makan. Dan kami masing-masing mengikutinya dengan pandangan bertanya-tanya.
Malam itu, kerupuk telah menyelamatkan ritual makan malam kami.
Di kantor kita, sering ada orang-orang seperti kerupuk itu. Di kelas kita, sering ada anak-anak seperti kerupuk itu. Ia selalu hadir, tetapi tidak pernah kita perhitungkan, tidak pernah kita pedulikan, bahkan sering kita anggap “tidak ada”. Ia memang bukan siapa-siapa. Tapi ia selalu berada di dekat kita. Peliharalah orang–orang atau anak-anak seperti itu; karena suatu ketika, barangkali dalam keadaan mendesak; orang-orang atau anak-anak semacam itulah yang akan menyelamatkan kita.