oleh Eswen Ratu Firdaus
Mentari bersinar terang dengan begitu indahnya. Cahaya matahari memenuhi seisi bumi. Jam telah menunjukkan pukul 2 siang saat ini. Sedangkan seorang lelaki berhidung bangir berkulit tan masih sibuk berbincang dengan pakdenya di teras rumah.
“Berkunjung ke sini rasanya bikin kangen masa kecil, pakde. Apalagi kalau sambil menunggu masakannya bude, bikin kangen. Genta ingat betul dulu pernah jatuh saat perjalanan ke ladang belakang. Genta juga sering menangis kalau lihat kodok di sawah, pasti takut.” Ujar Genta saat mengenang masa kecilnya.
“Iya, Genta. Pakde juga masih ingat itu.”
Genta, siswa yang kini tengah bersekolah di bangku SMP sedang berlibur ke rumah pakdenya. Genta yang tinggal di kota sangat menyukai suasana desa pakdenya itu. Dingin, sejuk, dan menenangkan pikiran.
Genta teringat salah satu kenangan masa kecilnya, ketika ia bermain di sebuah hutan pohon pinus yang indah. “Oh iya, hutan yang punya view bagus itu sekarang masih ada, pakde? Atau justru sudah dijadikan destinasi wisata?”
Pertanyaan Genta membuat pakde berpikir sebentar, pakde rasa tidak ada destinasi wisata baru di sekitar rumahnya. “Hutan yang mana, dik? Pakde malah lupa. Atau hutan yang banyak pohon pinusnya itu?” tebak pakde ketika ia telah sedikit ingat pada ‘hutan’ yang dimaksud Genta.
“Iya, pakde! Yang udaranya sejuk banget, sama dulu ada ayunannya. Sekarang masih?” Pakde menghela nafas berat, mengingat bahwa hutan indah yang dimaksud Genta berada di tangan yang tidak tepat.
“Sekarang sudah rusak, Dik Genta. Pakde prihatin sekali sama keadaannya. Warga sekitar tidak terlalu memperhatikan dan tidak peduli dengan hutan pinus itu. Padahal kalau dipikirkan, hutan itu cukup bagus dan memiliki peluang untuk menjadi destinasi wisata yang cocok untuk anak muda.”
Genta hanya mengangguk paham. Benaknya ikut prihatin pada kondisi hutan kesayangannya. Siang itu ia memutuskan untuk mengunjungi hutan pinus di keesokan hari.
***
Keesokan harinya, Genta merealisasikan pemikirannya untuk berkunjung ke hutan pinus. Dan memang benar adanya. Hutan itu terlihat menyedihkan, gundul, gersang, sepertinya pohon-pohon disana ditebang untuk dijadikan lahan pertanian.
“Pakde, bagaimana ya caranya agar hutan ini kembali seperti dulu?” Genta bertanya kepada pakdenya yang kini berdiri tepat di sebelahnya.
“Susah, dik. Kita harus memulai dari awal. Menyadarkan warga sekitar bahwa hutan ini berharga. Kita harus mengajak mereka untuk menanam pohon kembali. Waktunya tidak singkat, dik. Kita juga harus memantau keadaan di sini.”
“Saya ingin hutan ini kembali seperti dulu, pakde. Saya sedih lihat keadaannya menjadi seperti ini. Saya bertekad menyembuhkan hutan ini, dia pasti butuh bantuan.”
“Semuanya dimulai dengan niat dan tekad, Genta. Pakde tahu kamu anak yang hebat, kamu pasti bisa. Pakde dukung kamu.” Pakde menepuk pundak Genta, ia yakin keponakannya itu mampu membawa sesuatu yang hebat. Pakde sungguh yakin, Genta mampu menjadikan hutan itu kembali pulih.
***
Berhari-hari Genta dan pakde berembuk bagaimana cara mereka memulai. Akhirnya mereka menemukan langkah pertama, yaitu menyadarkan masyarakat sekitar. Memang cukup sulit, terlewat sulit. Hingga mereka menemukan tokoh yang disegani masyarakat sekitar, Kyai Selamet. Kyai Selamet di sana merupakan salah satu tokoh yang sangat disegani dan berpengaruh bagi masyarakat sekitar.
Keduanya mengunjungi Kyai Selamet dan mengutarakan maksud kedatangan mereka. Kedatangan mereka disambut hangat oleh beliau. Tujuan mereka juga memberi tanggapan positif dari Kyai Selamet.
“Kalian memiliki tujuan yang sangat bagus untuk lingkungan sekitar. Saya senang melihat ada orang yang masih memiliki kesadaran dan kepedulian. Saya harap kerja sama ini dapat membuahkan hasil yang bagus, kita sama-sama berusaha.” Tanggapan Kyai Selamet membuat Genta dan pakde merasa senang. Namun perjuangan mereka tak hanya sampai di situ.
***
Amat banyak rintangan. Silat lidah terjadi antara warga dan Kyai Selamet. Walau begitu, Kyai Selamet akhirnya dapat meyakinkan warga untuk menumbuhkan kesadaran diri.
‘Kyai Selamet sangat keren. Beliau bisa meyakinkan dan menyadarkan warga bahwa lingkungan itu patut dijaga. Aku ingin menjadi seperti beliau.’ Batin Genta pada dirinya sendiri.
“Genta, ini Pak Bima sudah menemukan tempat jual bibit yang cukup terkenal. Mau ke sana besok atau lusa?” Pakde menghampiri Genta untuk ditanyai mengenai bibit pohon. Ternyata bekerja sama dengan warga sangat membantu untuk kelangsungan ide ini.
“Besok saja, pakde. Genta siap. Oh iya, donaturnya bagaimana, pakde?”
“Ini pakde sama Koko Kevin masih mencari, dik. Bersabar dulu, ya.”
Genta mengangguk tanda mengerti, kini ia harus fokus pada proyeknya.
***
Dua tahun telah berlalu semenjak Genta dan pakdenya memulai misi membawa lingkungan kembali pulih. Tak mereka kira bahwa warga menjadi sangat antusias dalam mengerjakan proyek ini. “Suatu saat nanti pasti pohonnya akan tumbuh besar, menjadi rindang dan teduh, dik. Pakde bangga memiliki keponakan seperti kamu. Bahkan kamu rela bolak balik dari rumah ke sini hanya untuk membantu warga. Semoga kerja keras kita berhasil.” Puji pakde kepada Genta.
Kini pohonnya telah setinggi satu setengah meter, sudah cukup bagus. Genta bersyukur memiliki kesadaran diri terhadap lingkungan. Ia juga sangat berterima kasih dengan orang dan pihak yang terlibat dalam usahanya ini.
“Dik Genta! Coba ke sini sebentar!” Terdengar suara Koko Kevin memanggil Genta. Genta yang berdiri di dekat pohon pinus langsung menghampirinya yang terduduk di bangku dekat sana.
“Ada apa, Ko?”
“Ini, tadi Koko bikin thread di Twitter tentang perjuangan kamu menanam pohon pinus kembali. Responnya bagus! Kamu dapat banyak pujian dari netizen.” Koko Kevin menyodorkan telepon genggamnya kepada Genta.
Jari Genta naik turun membaca komentar di thread milik Koko Kevin. “Terharu sekali. Semoga dengan adanya thread ini bisa menginspirasi banyak orang ya, Ko. Agar orang-orang juga semakin sadar.”
“Iya, Genta. Semoga saja, ya? Dulu Koko juga sempat tidak peduli. Untung saja ada Kyai Selamet yang mau menyadarkan kita. Koko tidak menyesal sama sekali.”
Genta tersenyum hangat pada Koko Kevin. “Tanpa Koko dan warga sekitar, Genta tidak akan bisa sampai sini, Ko. Kalian membantu Genta dan pakde, terima kasih.”
***
Tak lama semenjak kisah Genta sukses membuka hati manusia di media sosial, Genta mendapat undangan dari kepala daerah. Cukup mengejutkan bagi Genta. Undangan itu tak lain bertujuan untuk memberikan Genta sebuah penghargaan dan ucapan terima kasih dari kepala daerah. Keluarga Genta, sahabat Genta, orang-orang yang mengenal Genta merasa begitu bangga ketika mengetahui ia menerima penghargaan atas kerja kerasnya, atas karyanya.
Karya Genta tidak berupa benda, melainkan berupa jasa. Sebuah kesadaran, kepedulian, dan rasa empati terhadap yang lain merupakan karya Genta.
juara 1 lomba cipta cerpen kategori Pelajar
dalam rangka memperingati HUT RI ke-75