Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun pamornya masih di bawah bahasa Inggris. Sebabnya cukup banyak. Salah satunya kurangnya pembiasaan berbahasa Jawa. Selain itu kompetensi guru- guru SD yang kurang memadai cukup punya andil juga. Namun hal itu bukan sepenuhnya kesalahan guru. Karena guru-guru SD ‘transferan’ tidak pernah menerima mata kuliah bahasa Jawa. Namun mengingat bahasa adalah identitas bangsa maka mau tidak mau harus diajarkan. Kita tidak menginginkan anak- anak kita di masa ‘NOW’ dan masa ‘NEXT” asing dengan budayanya sendiri.
Banyak cara bisa dilakukan oleh guru untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa Jawa. Selain terus meningkatkan kemampuannya melalui mengikuti seminar, diskusi-diskusi dengan teman sejawat dan banyak membaca buku/majalah berbahasa Jawa. Metode dramatic learning dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Jawa. Metode tersebut sesuai dengan jiwa anak yang senang bermain dan berimajinasi. Berikut contoh pembelajaran tersebut.
Pada kelas 5 semester 2, Kompetensi Dasar (KD) 3.1 Membaca cerita anak. Guru dapat menggunakan materi pembelajaran yang dipetik dari majalah. Misalnya dari majalah berbahasa Jawa tertentu yang memuat “wacan bocah”. Indikator Pencapaian Kompetensinya adalah siswa dapat menyebutkan tokoh dan wataknya dalam cerita tersebut; menjelaskan alur cerita; dan menyimpulkan isi cerita; serta terampil membaca teks cerita. Penguasaan KD ini bisa dibagi dalam tiga pertemuan dan setiap pertemuan yang hanya 2 Jam Pelajaran (JP) @35’. Penilaian dilakukan pada aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pertemuan pertama digunakan untuk menilai keterampilan membaca. Setiap siswa diberi teks bacaan cerita anak dan membaca secara bergantian. Sambil mengecek kesiapan anak menyimak bacaan, guru juga memperbaiki artikulasi atau pengucapan yang kurang tepat. Sekaligus guru menambah pengetahuan tentang kosa kata dan makna kata dari teks tersebut. Tentunya guru tidak lupa menyisipkan karakter yang harus dikuasai anak seperti percaya diri mengucapkan kalimat dengan baik dan benar, berani bertanya ataupun berani menyampaikan pendapat. Terakhir guru menilai keterampilan membaca, setiap anak membaca satu paragraf atau sekitar lima kalimat. Hal ini mengingat membaca teks bahasa Jawa lebih susah daripada membaca teks bahasa Indonesia. Dengan demikian pada hari itu guru sudah mendapat satu nilai keterampilan.
Pertemuan kedua, siswa diajak mengubah teks bacaan tersebut menjadi teks dialog. Di sini guru membimbing mengurutkan peristiwa (alur cerita) yang dialami para tokoh. Siswa diberi kebebasan dalam memilih kalimat (untuk menanamkan karakter integritas dan kreatif) sesuai watak para tokoh cerita. Kemudian menggunakan dramatic learning yaitu siswa yang sudah dibagi perkelompok membacakan/memerankan dialog tersebut. Gunakan properti/ peralatan yang ada/diadakan di sekolah .
Kelompok lain diberi lembar penilaian untuk menilai kelompok yang tampil, khususnya memberikan kesan-kesan. Sementara itu, guru dapat mengambil penilaian pengetahuan. Pada pertemuan ke dua ini, agar lebih menarik siswa boleh menyiapkan properti yang dibawa dari rumah. Mestinya pertemuan kedua ini suasana kelas jadi lebih hidup.
Hal ini sejalan dengan konsep dari Ferdinand Brunetiere dan Balthazar yang menyatakan bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan action perilaku. Pelibatan siswa sebagai pelakon akan memperkuat pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran, keseriusan dalam kehidupan dan bukan sekedar ‘permainan’ kata-kata. Juga dengan terlibat dalam drama siswa akan langsung berperan sehingga dapat memahami karakter tokoh dan memahami pembelajaran.
Pada pertemuan ketiga guru dapat langsung memberi uji kompetensi. Uji kompetensi ini dapat berupa keterampilan menulis (penggunaan tanda baca), menyimpulkan/meringkas isi cerita dan pengetahuan tentang kosa kata. Serta pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan teks bacaan cerita anak tersebut. Tidak perlu membuat jenis-jenis tes tertulis. Cukup dalam satu ringkasan atau kesimpulan yang dibuat siswa, guru dapat mengambil beberapa nilai keterampilan yang telah dikuasai siswa.
Dengan model pembelajaran dramatic learning pembelajaran menjadi lebih berarti dan bermakna. Konsep pembelajaran ini adalah berimajinasi yakni siswa dapat memerankan menjadi siapa saja. Latar bisa diubah karena setting tidak selamanya berada di kelas. Semua materi diterapkan dalam kehidupan nyata dan dihubungkan langsung dengan kehidupan anak sehari- hari. Akan lebih baik jika saat siswa memerankan di depan temannya, guru merekam setiap adegan. Kemudian pada kesempatan lain ditayangkan dan didiskusikan bersama dalam kelas. Hal ini dapat digunakan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Jika mungkin dapat juga digunakan guru untuk melakukan penelitian.
*) Sulistiandari, Kepala SDN Sendang Mulyo 01 Kec. Tembalang, Semarang
Ilustrasi: https://familydanceoff.com/pengertian-wayang-kulit/