Oleh: Dr. Mampuono
(Tali Bambuapus Giri)
Delisa merenung sendirian di teras rumahnya, mengingat kembali masa-masa terakhir Ella sebelum meninggal. Saat itu, Ella memintanya untuk berjanji menjaga Tasya, anak semata wayangnya dengan Hasbi. Melihat kondisi Ella dan demi rasa sayangnya kepada kakak dan keponakan semata wayangnya, Delisa akhirnya dengan tulus berjanji memenuhi permintaan itu. Tetapi benarkah suatu ketika ia benar benar akan meninggalkan mimpi-mimpinya dan memilih untuk turun ranjang?
Delisa tidak bisa lupa bagaimana Ella selalu menjadi figur kakak perempuan yang baik dan penyayang bagi dirinya. Mereka sering menghabiskan waktunya bersama sejak ia masih kecil, dan Ella selalu membawanya jalan-jalan dan memberi nasihat. Usia mereka yang terpaut lima tahun membuat Ella menjadi mentor kehidupan yang mengesankan bagi Delisa.
“Del, jangan pernah menyerah pada mimpi-mimpimu, apapun yang terjadi,” kata Ella pada suatu hari saat mereka duduk di taman rumah mereka.
“Kenapa, Kak?” tanya Delisa.
“Karena tanpa mimpi, hidupmu tidak akan memiliki arah. Tanpa mimpi, kamu tidak akan pernah merasa bahagia atau merasa hidupmu bermakna. Jangan biarkan orang lain merusak mimpi-mimpimu, Del. Pertahankan dan jalankanlah dengan baik,” kata Ella.
Delisa mengangguk, dan sejak saat itu, ia selalu mengingat kata-kata kakaknya. Namun, semua itu berubah saat Ella meninggal. Hasbi menjadi sangat tertekan dan selalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga Tasya merasa kesepian dan terabaikan. Dia merasa kebahagiaan Tasya adalah satu-satunya yang bisa membuatnya merasa tenang.
Suatu hari, saat sedang merapikan taman yang dulu Ella dan dia rawat bersama, Delisa teringat akan segala kenangan bersama kakaknya. Dia terus merawat taman itu dan akhirnya kembali indah seperti dulu.
Sore itu, saat Hasbi pulang kerja, dia melihat Delisa duduk di teras, memandangi taman yang indah di hadapannya. Hasbi memandangi istrinya itu dengan perasaan sedih. Dia tahu Delisa merasa kesepian setelah Ella meninggal. Namun, Hasbi sendiri juga merasa kehilangan. Ella bukan hanya kakak perempuan, tetapi juga orang yang paling ia cintai.
“Hai, sayang. Kau baik-baik saja?” tanya Hasbi.
Delisa mengangguk. “Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya merindukan Ella. Dia sangat baik padaku,” ujarnya.
Hasbi menggenggam tangan istrinya. “Aku juga merindukannya. Tapi kau tahu, sayang, Ella selalu ingin kita semua bahagia. Jangan biarkan kepergiannya merusak hidup kita. Nanti di alam sana dia juga akan sedih kalau tahu kita tidak bahagia. Kita harus tetap berjuang untuk kebahagiaan kita dan Tasya,” kata Hasbi.
Delisa tersenyum. Dia tahu Hasbi benar. Tasya adalah anak mereka berdua, dan mereka harus berjuang bersama untuk kebahagiaan Tasya.
“Aku tahu, Mas Hasbi. Insya Allah aku akan mencoba yang terbaik,” ujarnya.
Hasbi mencium kening Delisa. “Aku percaya pada kamu, sayang. Insya Allah kita akan melewati ini bersama-sama,” kata Hasbi dengan penuh kasih sayang.
Delisa merasa hangat di dalam hatinya. Dia tahu mereka akan melewati masa sulit ini bersama-sama, namun ia tidak yakin apakah ia dapat menghadapi kenyataan kehilangan kakaknya dan menaklukkan kekerasan hati Tasya. “Terima kasih, Mas Hasbi,” ujarnya sambil menggenggam tangan suaminya erat-erat.
Hasbi menatap mata Delisa dan jari jemarinya membelai kepala Delisa dan membenahi anak-anak rambut yang terurai keluar dari hijabnya. “Kita akan melewati ini bersama-sama,” ulangnya dengan lembut.
Delisa merasa lega mendapat dukungan dari Hasbi. Namun di dalam hatinya, ia merasa sedih dan hampa karena kehilangan sosok kakak yang sangat ia sayangi. Ia merindukan kebersamaan mereka saat mereka berbelanja di Taman Sari, atau saat mereka bersama-sama menikmati waktu di taman rumah.
“Sudah lama sekali kita tidak pergi ke Taman Sari, ya?” Delisa berkata dengan suara pelan.
Hasbi tersenyum dan mengusap punggung Delisa. “Kita bisa pergi lagi nanti kalau kamu ingin. Dan kita akan merawat taman kita bersama-sama seperti dulu.”
Delisa tersenyum kecil mendengar kata-kata Hasbi, tapi ia masih merasa sedih dan hampa karena kehilangan kakaknya. “Aku merindukan Ella,” katanya dengan suara serak.
Hasbi menggenggam tangan Delisa erat-erat. “Aku juga merindukannya. Tapi kita harus tetap kuat dan berjuang bersama-sama, untuk Tasya dan untuk masa depan kita bersama.”
Delisa mengangguk dan mengusap air matanya. Ia tahu bahwa Hasbi benar, mereka harus kuat dan bersatu menghadapi masa sulit ini. Dan mereka harus menjaga Tasya, anak mereka, agar ia dapat tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia.
—
Tasya merasa sangat sedih dan kehilangan setelah kepergian mamanya. Gadis kecil itu sejak lahir selalu dekat dengan mamanya. Kehilangan orang yang paling dekat dan disayanginya membuatnya merasa hampa dan tak ada yang bisa menggantikan sosok mamanya yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian padanya. Meski Delisa, tantenya yang sangat dekat dengan mamanya, berusaha memberikan dukungan dan merawat Tasya sebaik mungkin, namun Tasya merasa tak mampu menerima kehadirannya sebagai mama baru pengganti mamanya.
Sebaliknya Delisa juga merasa tidak bisa berbuat banyak melihat keadaan Tasya. Ia merasa sedih karena tidak bisa membantu Tasya mengatasi kesedihannya. Setiap kali ia mencoba mendekati Tasya, gadis itu akan menolaknya dengan keras. Delisa merasa tersiksa melihat kondisi Tasya yang semakin hari semakin terpuruk.
Bagi Delisa, menerima pinangan Hasbi, kakak iparnya sekaligus suami dari almarhumah Ella,, itu bukanlah hal yang mudah. Lalu sampai ia memutuskan untuk meninggalkan masa lajangnya dan memilih menikah dengan seorang duda, itu juga di luar apa yang diimpikannya ketika menginjak masa-masa remaja. Apalagi semuanya terjadi di bawah bayang-banyang ketidaksetujuan anak semata wayang mereka. Tasya adalah keponakan yang sangat ia sayangi, tetapi ia tidak tahu mengapa ia begitu keras menolaknya. Semuanya menjadi tidak mudah.
Malam itu setelah pulang dari membezuk Ella yang terbaring di salah satu bangsal di paviliun Garuda RSU di kotanya Delisa merenung di kamarnya. Berbaring di atas tempat tidur, matanya berkaca-kaca. Ia merasa sangat tidak berdaya melihat kakaknya menderita. Hasbi sudah melakukan semua yang ia bisa, tetapi penyakit ini terasa seperti monster yang tak terkendali. Delisa mengingat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Ella padanya.
“Jagalah keluargaku, Del. Jagalah Tasya dan jangan biarkan dia kehilangan arah. Aku mohon keikhlasanmu, jika ada apa-apa setelah ini hanya padamu harapanku tertumpu. Karena di dunia ini, keluarga adalah segalanya.” Jemari Ella yang lemah berusaha meremas jemarinya kuat-kuat. Ada yang tergenang di mata redupnya.
Delisa mengangguk pelan, menegaskan janjinya dalam hati. Bening menitik di sudut-sudut matanya. Ia berusaha keras untuk menjadi kuat, untuk menjadi benteng bagi keluarga kakaknya yang sekaligus juga sebagai keluarganya. Namun, dalam hatinya, ia masih merasa sangat sedih dan tak berdaya.
Selepas pesta kecil pernikahannya dengan Hasbi, siang itu Delisa berusaha menemui Tasya, namun anak kecil itu enggan untuk berbicara dengannya dan lebih memilih untuk menarik diri ke kamarnya. Delisa merasa sedih melihat reaksi Tasya, tapi ia juga mengerti bahwa tidak mudah bagi Tasya untuk menerima kehadirannya sebagai mama tiri.
Delisa memahami bahwa Tasya sangat sedih karena kehilangan mamanya, Ella, akibat kanker payudara yang dideritanya selama lima tahun. Tasya merasa kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya, sekaligus merasa kesepian tanpa kehadiran mamanya. Meskipun Ella pernah berusaha menjelaskan pada Tasya bahwa Delisa, tantenya, suatu ketika mungkin akan menjadi mama barunya, namun Tasya tetap tidak bisa menerima kenyataan itu.
Suatu ketika Delisa mendapatkan kesempatan yang bagus untuk berbicara dengan Tasya. Usianya genap enam tahun dan Tasya memberikan hadiah ulang tahun paling ia sukai. Sebuah boneka Barbie berpakaian gemerlap yang berukuran besar yang ia beli di toko online khusus sudah ada di pelukan Tasya. Pandangan matanya menatap lama pada foto keluarga di dinding dan wajahnya terlihat penuh syukur saat melihat senyum mamanya di foto itu. Delisa berpikir ini adalah saat yang tepat untuk memberikan penjelasan dan mengambil hati Tasya, karena ia sedang bahagia. Didekatinya Tasya dan ia berlutut di sampingnya sambil memandang objek yang sama.
“Tasya, sayang, tante Delisa mencintai mamamu dengan sepenuh hati. Tante tahu kamu sangat merindukannya, Tante juga sama. Dan, Tante tidak akan pernah bisa menggantikan tempatnya.”
Tasya perlahan menengok ke samping. Wajahnya berubah. Lalu dengan polos bertanya, “ Tapi kenapa Tante Delisa harus menikahi papa Hasbi? Tante tidak merasa bahwa Tante mencuri papaku dariku?”
Delisa dalam hati terkejut namun berusaha menenangkan diri. Suaranya terdengar sedikit bergetar. “Tante tidak bermaksud seperti itu, sayang. Kamu harus mengerti, bahwa Tante akhirnya mau menikah dengan papa Hasbi itu karena sayang sama mama Ella dan kamu.”
“Tapi itu tidak adil, Tante. Mama sudah pergi, dan Tante datang menggantikannya. Tasya tidak ingin mama digantikan oleh siapa pun,” protes Tasya.
Delisa berusaha bersabar dan memaklumi keadaan. Hatinya sebenarnya ingin menangis. “Tasya, sayang, Tante bukan datang untuk menggantikan mamamu. Tante datang untuk mencintaimu, merawatmu dan menjadi keluargamu. Tante ingin Tasya merasa aman dan bahagia bersama-sama.”
“Tapi bagaimana kalau Tasya selamanya tidak bisa menerima Tante?” tantang Tasya dengan berani.
Bening hampir saja jatuh dari kelopak mata Delisa. “Tante akan sabar, sayang. Tante tahu Tasya membutuhkan waktu untuk menerima kehadiran Tante. Tante akan selalu ada untuk Tasya, ketika Tasya butuhkan,” katanya menyabarkan hati.
“Tidak, Mamaku cuma satu. Mamaku adalah mama Ella. Tidak ada yang lain!” Tangis Tasya meledak. Ia berlari dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Dilemparkannya boneka Barbie yang tadi dipeluknya.
Selama ini Delisa telah berusaha keras, namun, pandangan Tasya pada Delisa tetap tidak berubah. Delisa merasa sedih dan bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk meraih hati Tasya. Hasbi, merasa prihatin dengan situasi tersebut dan mencoba membantu Delisa.
“Sayang, aku khawatir dengan Tasya. Dia masih kecil dan pasti sangat merindukan mamanya. Kita harus berusaha untuk membuatnya merasa nyaman bersama kita,” katanya.
“Aku sudah mencoba semuanya, tapi tetap saja Tasya membenciku. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.” kata Delisa sedih.
“Aku coba membujuk dia sebentar ya,” kata Hasbi sambil berlalu ke kamar Tasya. Delisa mengangguk kecil.
Delisa melanjutkan duduk sendirian di ruang tamu, sesaat dia terhibur oleh acara di TV digital yang sejak tadi menayangkan infotainment. Ada seorang youtuber makan daging babi dengan sebelumnya membaca basmalah. Sontak ini menimbulkan keributan di kalangan netizen. Namun hiburan itu hanya singkat saja mengalihkan perhatiannya. Pikirannya kembali murung. Jelas sekali wajahnya terlihat sedih dan penuh kekhawatiran. Ia memandangi lantai dengan kosong, sambil memikirkan perasaannya yang kacau.
“Dia masih terus membenciku, meskipun aku sudah mencoba segalanya,” ucap Delisa dalam hatinya. “Aku tahu Tasya sangat merindukan mamanya, tapi aku juga ingin dia menerima kehadiran ku sebagai mama sambungnya.”
Delisa merasakan hatinya terkoyak-koyak. Ia merasa sulit untuk memenuhi harapan Tasya, yang terus menolak kehadirannya. Delisa tahu bahwa ia harus sabar dan mengerti, tapi bagaimana caranya jika hati Tasya masih keras dan sulit menerima kehadirannya?
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Delisa dalam hatinya. “Aku harus menemukan cara untuk membuat Tasya merasa nyaman dan merasa bahwa aku benar-benar mencintainya sebagai anakku sendiri.”
“Delisa,” sebuah suara tiba tiba membuyarkan lamunan Delisa.
“Eh, mas Hasbi,” sambut Delisa berusaha sumringah.
Hasbi membalas senyumnya namun tetap paham perasaan hati Delisa sesungguhnya. “Kita harus terus sabar dan berusaha, Del. Aku percaya suatu hari insya Allah Tasya akan mulai merasa nyaman bersama kita,” katanya.
Beberapa bulan kemudian, saat menjelang tahun ajaran baru Delisa mendapat ide untuk membelikan Tasya tas sekolah yang cantik. Delisa memilih warna pink sebagai warna dominan pada tas tersebut, karena ia tahu Tasya suka dengan warna tersebut.
“Tasya, Tante punya hadiah untukmu. Tante membelikanmu tas sekolah yang cantik. Kamu mau lihat?” kata Delisa.
“Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak butuh hadiah dari Tante!” kata Tasya menolak.
Delisa berusaha membujuk. “Tapi ini cantik, Tasya. Kamu pasti suka,” rayunya.
Tasya bersikukuh menolak. “Tidak mau! Tas pemberian mama lebih bagus!” katanya sambil berlari masuk ke kamar.
Delisa merasa sedih dan kecewa. Namun, Hasbi memberikan dukungan dan semangat pada Delisa.
“Del, jangan menyerah. Kita harus terus mencoba. Aku yakin suatu hari Tasya akan mulai menerima kehadiranmu,” katanya memberi semangat.
Minggu pagi itu Delisa sedang asyik merapikan taman yang sudah lama tidak terawat di halaman rumahnya. Tiba-tiba, ia teringat saat dulu sering diajak bersama keluarga kakaknya, Ella, Hasbi, dan Tasya, pergi membeli bunga-bunga baru di Taman Sari. Delisa tersenyum melihat keindahan taman yang berhasil dirapikannya.
Namun, di balik senyum itu, Delisa merasakan kepedihan yang dalam. Ia mengingat Ella yang meninggal akibat kanker yang dideritanya. Delisa merasa sedih dan merindukan sosok Ella yang selalu menemaninya berjalan-jalan dan mengajaknya membeli bunga-bunga dan merawat taman.
Tiba-tiba, Tasya datang dan berlari-lari di taman. Delisa tersenyum dan memanggilnya untuk membantu merapikan taman. Namun, Tasya menolak dan mengatakan bahwa ia ingin bermain air.
Delisa merasa sedih karena Tasya masih belum menyukainya dan selalu menjaga jarak. Ia berpikir, “Aku sudah mencoba semuanya, tapi tetap saja Tasya membenciku. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.”
Hasbi datang dan melihat Delisa sedang duduk sendiri di taman. Ia merasakan kepedihan yang sama dengan Delisa, ingatannya membawanya pada kenangan indah bersama istrinya, Ella. Hasbi menghampiri Delisa dan memeluknya.
“Tasya akan menjadi baik-baik saja,” kata Hasbi, mencoba menenangkan Delisa. “Ia akan menyukaimu jika kamu tetap sabar dan menjaganya dengan baik.”
Delisa tersenyum dan mengangguk. Ia tahu bahwa Hasbi benar, bahwa ia harus sabar dan tetap berusaha agar Tasya bisa menerima kehadirannya. Mereka berdua kembali melanjutkan merapikan taman dengan penuh kasih sayang, merawat kenangan indah bersama Ella dan memenuhi janji untuk menjaga Tasya.
Sore itu Hasbi duduk sendirian di teras rumahnya, memandangi taman yang indah di hadapannya. Taman itu pernah cukup lama tidak terawat, terutama sejak isterinya, Ella, mulai sakit sakitan karena kanker. Sekarang taman itu kembali indah dengan sentuhan tangan Delisa. Dulu saat Ella, masih segar bugar, dia sering minta di temani membeli bunga-bunga jenis baru di bilangan Taman Sari di Jalan Dr. Sutomo yang rindang itu. Kadang-kadang Delisa juga bergabung jika jam mengajarnya sedang kosong. Sambil menata dan merawat taman bersama mereka biasa bersenda gurau menemani Tasya bermain air. Sampai akhirnya Ella sakit-sakitan dan sering berpesan kepada Hasbi supaya berjanji menjaga Tasya sehingga tumbuh besar dan menjadi anak yang sehat dan berbakti kepada agama, kedua orang tua, nusa dan bangsa.
Hasbi merasa sedih setiap kali teringat tentang Ella, istrinya yang telah meninggal. Mereka telah bersama selama 10 tahun dan dia sangat merindukannya. Dia tahu Ella pasti bahagia melihat taman yang dulu mereka rawat bersama sekarang kembali hidup dan indah berkat sentuhan Delisa.
Namun, hatinya masih terasa berat. Dia tidak tahu bagaimana harus menangani Tasya yang semakin sulit menerima kehadiran Delisa di rumah mereka. Hasbi tahu bahwa Tasya merasa kehilangan Ella seperti dirinya, tetapi dia juga tidak tahu bagaimana cara membuat Tasya mengerti bahwa Delisa mencintai mereka dan ingin merawat mereka dengan baik.
Hasbi menatap taman yang indah dengan harapan menemukan jawaban. Dia terus berpikir dan mengingat pesan terakhir Ella untuknya. “Jaga Tasya dengan baik, Mas Hasbi. Dia adalah anugerah terbesarku untukmu. Pastikan dia tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia.”
Kini setelah kepergian Ella dan posisinya digantikan oleh Delisa, dalam hatinya, ia merasa begitu sulit menghadapi dua cintanya. Ia mencintai Tasya, anak kandungnya yang masih kecil, dengan begitu tulus dan mendalam. Namun, di sisi lain, ia juga merasa nyaman dengan kehadiran Delisa, yang memberinya cinta dan perhatian yang ia butuhkan.
“Bagaimana bisa aku memenangkan kedua cintaku ini?” gumam Hasbi dalam hatinya.
Tak lama kemudian, Delisa datang dan duduk di sebelahnya. Ia bisa merasakan cinta yang tulus dari wanita yang ia nikahi setelah kehilangan kakaknya. Ia turun ranjang demi agar Tasya kehidupannya lebih baik sekaligus juga memenuhi amanah Ella.
“Mas Hasbi, apa yang kamu pikirkan?” tanya Delisa dengan lembut.
Hasbi menghela napas. “Aku merasa sulit, Del. Aku mencintai Tasya, anakku sendiri, tapi aku juga mencintaimu. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memenangkan kedua cintaku ini.”
Delisa meletakkan tangannya di atas tangan Hasbi. “Mas Hasbi, aku mengerti perasaanmu. Tapi, Tasya adalah anakmu, dan aku akan membantumu mencintainya dengan tulus dan memberikan yang terbaik untuknya. Kamu tidak perlu memilih antara aku dan Tasya, karena aku akan selalu mendukungmu dan mencintaimu bersama Tasya.”
Hasbi tersenyum lebar mendengar kata-kata Delisa. Ia merasa begitu lega karena akhirnya menemukan seseorang yang bisa memahami perasaannya.
“Terima kasih, Del. Aku beruntung memiliki kamu di sampingku,” ucap Hasbi sambil memeluk Delisa erat.
Delisa tersenyum dan membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa meskipun tidak mudah, ia akan selalu berjuang bersama Hasbi untuk memenangkan kedua cintanya.
Jumat itu Tasya tiba-tiba mengalami demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit. Delisa dan Hasbi dengan cemas menunggu di samping Tasya yang masih sering mengigau sambil menyebut-nyebut nama mamanya.
“Maaf untuk menginformasikan bahwa hasil tes darah Tasya menunjukkan ia terkena demam berdarah dengue yang akut. Kondisinya cukup parah,” kata dokter yang merawatnya.
“Masaya Allah! Apa yang harus kami lakukan dokter?” kata Delisa.
Dokter itu berkata, “Bapak Ibu tenang saja. Kami akan merawatnya di sini dan memberikan perawatan yang intensif. Selain itu, pastikan Tasya istirahat yang cukup dan minum banyak air putih.”
“Daerah Sampangan tempat Bapak Ibu tinggal memang sering ada kejadian seperti ini,” kata dokter itu lagi.
“Berapa lama dia harus dirawat di sini, dok?” tanya Hasbi.
“Kami harus memantau kondisinya selama beberapa hari ke depan. Biasanya, pasien dengan demam berdarah dengue memerlukan perawatan selama kurang lebih seminggu di rumah sakit,” jawab dokter itu.
“Alhamdulillah kalau begitu dok. Kami akan melakukan apa saja untuk membantu kesembuhannya, dokter. Terima kasih atas perawatan yang diberikan,” kata Delisa berterima kasih.
“Sama-sama, saya akan memberikan instruksi lebih lanjut mengenai perawatan yang harus dilakukan. Jangan ragu-ragu segera menghubungi kami jika Tasya mengalami gejala yang memburuk,” kata dokter itu lagi.
Delisa terbaring lemah dengan bantuan pernafasan dan suntikan cairan infus di pergelangan tangan kirinya. Perawat dan dokter secara rutin memeriksa kondisinya. Dalam waktu tiga hari kondisinya mulai membaik. Delisa karena rasa sayangnya pada Tasya yang dianggapnya sebagai anak kandung sendiri sering menungunya sampai tertidur di sampingnya. Saat Tasya bangun dan mengetahui di sebelahnya adalah Delisa, dengan sopan Tasya meminta Delisa untuk tidak tidur di dekatnya. Tasya tahu bahwa Delisa meluangkan lebih banyak waktu untuk menunggunya daripada papanya karena harus menyelesaikan tugas kantornya. Jadi ia berusaha memperbaiki sikapnya. Walaupun tentu saja hatinya masih menolak kehadiran tante yang menggantikan mamanya tersebut.
Delisa merasa sedih melihat Tasya masih saja menolak kehadirannya. Ia mengerti bahwa Tasya masih sangat merindukan mamanya yang telah meninggal dan kesedihan tersebut membuat Tasya tidak bisa menerima kehadiran Delisa sebagai mama sambungnya, walaupun dalam kondisi sakit sekalipun.
“Maafkan Tante. Tante hanya ingin kamu merasa nyaman dengan kehadiran tante di sini,” ujar Delisa suatu ketika sambil meletakkan tangan lembutnya di atas tangan Tasya.
Tasya diam dan menatap langit-langit. Hatinya masih belum ikhlas tidak ingin menerima Delisa sebagai mama sambungnya. “Maaf tante, hatiku masih untuk mama. Aku merindukannya,” ujar Tasya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Delisa memahami perasaan Tasya dan berkata, “Tante mengerti sayang. Tante juga tahu bahwa kamu sangat merindukan mamamu. Tapi mamamu pasti ingin kamu bahagia dan punya orang yang sayang kepadamu seperti tante. Bisa tidak kamu memberikan kesempatan kepada tante untuk menjadi temanmu?”
Tasya masih diam dan menatap langit-langit. Delisa merasa sedih melihat Tasya yang masih sulit menerima kehadirannya. Ia berusaha memahami perasaan Tasya dan memberinya waktu untuk merenungkan kata-katanya.
Beberapa saat kemudian, Tasya mengangkat kepalanya dan menatap Delisa. “Maaf tante, aku belum bisa. Aku masih kesulitan menerima kenyataan bahwa mamaku sudah tiada. Aku butuh waktu untuk meresapi semuanya,” ujar Tasya dengan suara lembut.
Delisa tersenyum dan memeluk Tasya. “Tidak apa-apa sayang, tante mengerti. Tante akan selalu ada untukmu dan akan menunggu sampai kamu siap,” ujar Delisa sambil mengelus rambut Tasya.
Tasya merasa nyaman di dalam pelukan Delisa dan merasa terharu dengan sikap baiknya. Ia tahu bahwa Delisa adalah orang yang baik dan berharap suatu saat bisa menerima kehadirannya sebagai mama sambungnya.
Setelah empat hari merawat Tasya, kondisinya semakin parah. Demamnya tidak kunjung turun, dan ia mengalami pendarahan di beberapa bagian tubuhnya. Delisa dan Hasbi terus bersiaga menjaganya di rumah sakit internasional yang ada di bilangan Kalibanteng Semarang itu. Kondisinya berangsur lebih membaik, mereka tetap bergantian mengawasinya agar Tasya lebih nyaman dan tidak merasa kesepian sehingga cepat mendapat kesembuhan.
Suatu malam, Hasbi harus meninggalkan rumah sakit untuk menyelesaikan tugas kantor yang mendesak. Delisa pun kembali menjaga Tasya sendirian. Saat itu Tasya kembali demam dan tengah mengigau memanggil-manggil nama mamanya. Delisa merasa sedih melihat keadaan Tasya yang seperti itu.
Tiba-tiba, Tasya terbangun dan memeluk Delisa serta memanggilnya sebagai mamanya. Delisa kaget namun ia berhasil menenangkan Tasya yang kemudian akhirnya tertidur dengan tenang. Delisa merasa bahagia dan terharu mendengar panggilan Tasya kepadanya sebagai mama.
Keesokan harinya, ketika Hasbi kembali ke rumah sakit, Delisa menceritakan kejadian malam sebelumnya. Hasbi merasa terharu dan bersyukur bahwa Tasya akhirnya bisa menerima kehadiran Delisa sebagai mama sambungnya.
Beberapa hari kemudian, Tasya semakin pulih dan dapat pulang dari rumah sakit. Di rumah, Tasya mulai membuka hatinya untuk menerima kehadiran Delisa. Ia bahkan berterima kasih kepada Delisa atas perawatan dan kasih sayangnya selama di rumah sakit.
Dari situlah hubungan antara Delisa dan Tasya mulai membaik. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dan Tasya bahkan mulai menganggap Delisa sebagai mamanya sendiri. Hasbi pun merasa bahagia melihat kedekatan istri dan anaknya yang semakin erat setiap harinya. Harapannya untuk membangun sebuah keluarga baru yang samawa, walaupun harus turun ranjang mulai menjadi kenyataan.
***
(Terinspirasi dari berita viral di Tiktok kemarin yang berjudul “Viral di TikTok, Kisah Pengantin Wanita Nikahi Kakak Ipar, Sang Ponakan Jadi Anak”. Ditulis, diedit, dan diberi ilustrasi berbasis AI di Sampangan pada hari Sabtu, 25 Maret 2023 dari pukul 09.00 WIB -15.00 WIB. Penulis, Dr. Mampuono, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC, Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas, dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital mandiri berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga.)