Sang Marbot
Berita itu bagai air bah yang tak bisa dibendung lajunya. Melimbah meruah. Ahmadun, anak semata wayang Mang Kholid, marbot masjid Al Falah, tiba-tiba muncul di kampung. Kabarnya, anak muda yang sudah tiga tahun mondok di sebuah pesantren yang cukup terkenal di Pulau Jawa ini telah dipulangkan. Semua orang berghibah.
“Dia ketahuan merokok …”
“Yang aku dengar, dia kabur dari pondok dan ketahuan mabuk-mabukan.”
“Kabarnya dia ditangkap massa di rumah seorang janda.”
Semua berita itu sungguh tak enak di telinga. Semua bertutur tentang kesalahan dan aib sang anak muda yang tak lagi bisa ditolerir. Orang-orang mengelus dada prihatin. Sebagian lagi mencibir. Sebagian lagi bertanya-tanya, apa salah Mang Kholid, sehingga anaknya menjadi seorang pendosa?
Sebagai seorang marbot, Mang Kholid bisa dibilang istimewa. Dia sangat rajin bebersih masjid, mengepel lantai, dan membereskan mushaf bila tak rapi usai dipakai. Bahkan istrinya pun selalu rajin mencuci mukena inventaris masjid, sehingga tak ada satu pun mukena yang baunya tercium apek, atau muncul tritipan, bintik-bintik hitam yang acap muncul pada kain yang lembab dan kirang mendapat sinar matahari.
Setiap hari Jumat, Mang Kholid juga menyelenggarakan hari krida sendiri; membersihkan masjid, mencabuti rumput, dan membersihkan setiap inci lumut yang bisa saja tumbuh di sela-sela bak mandi atau tempat berwudhu.
Hampir tak ada cela dari marbot yang sudah puluhan tahun dipercaya untuk menjaga masjid Al Falah itu. Apalagi selain marbot, lelaki ramah limapuluhan tahun itu juga dikenal sebagai seorang muazin yang bersuara merdu. Setiap datang salat Subuh dan empat waktu lainnya, hampir selalu saja suaranya terdengar. Dan bila sehari saja Mang Kholid absen, maka para jamaah sudah bertanya-tanya, ada apakah dengan Mang Kholid? Apakah dia sedang sakit, atau sedang pulang ke kampung halmaannya yang memang berjarak ratusan kilo dari tempatnya mengabdi saat ini.
Betapa dicintainya dia, sehingga saat sehari saja suara merdunya menghilang dari TOA, maka orang-orang merindukannya.
Lalu, apa salah Mang Kholid, sehingga Allah menghukumnya begitu rupa?
Serupa lebah, gossip miring tentang Mang Kholid memang segera saja berseliweran pasca dipulangkannya anak lelaki satu-satunya itu dari pondok. Mang Kholid mempunyai kesalahan besar sehingga Allah menghukumnya dengan begitu berat. Melemparkan seonggok tahi di wajahnya, lewat polah anaknya Ahmadun, bujang yang digadang-gadang keluar dari pondok akan menjadi seorang hafiz, dan akan mengangkat derajat keluarga mereka.
Lalu orang-orang mulai menelisik masa lalu Mang Kholid. Menggoreng apapun dari sedikit cerita yang diterima oleh telinga-telinga yang tetiba menjadi sangat peka, dan kemudian menganalisisnya tanpa mengedepankan tabayun. Meski mereka berdalih atas nama logika.
Semua suara sumbang itu berseliweran. Mang Kholid bukannya tak mendengar. Telinganya masih cukup normal untuk mendengar suara-suara itu yang kadangkala tak hanya dilontarkan di belakang, namun langsung di depan mukanya. Mata dan mata hatinyapun bisa membaca. Namun Mang Kholid hanya diam, meski dadanya teramat sesak.
Mang Kholid sadar, sebagai manusia biasa, tak mungkin baginya menjelaskan pada seluruh dunia atas apa yang terjadi pada dirinya, dan membungkam seluruh dengungan itu.
Hanya pada Ahmadun, anak yang mestinya dia bisa menghujaninya dengan seribu cambukan atas kenakalannya, andai saja lelaki bermata teduh itu mau melakukannya, dia berpesan dengan sepenuh kesabaran yang tersisa.
“Ayahmu ini, Anakku, selalu percaya bahwa setiap anak terlahir fitrah. Tetapi ada saat dia terjatuh dan berkubang lumpur. Tapi andai dia mau membersihkannya, maka dia akan kembali fitrah, meski tak berarti dia sempurna.”
Lalu lelaki itu memeluk anaknya yang menerima pelukannya dengan air mata menderas. Anak muda yang sedang pekat dalam pemberontakan itu merasakan ketulusan ayahnya yang mencintainya tanpa syarat, meski dia telah menorehkan luka yang begitu dalam. Dan dia telah menyiramkan kotoran busuk pada lelaki sederhana yang selama ini Namanya begitu bersih di kalangan jamaah.
Lalu laki-laki muda itu, yang telah merajam nama baik ayahnya dengan ulahnya, mulai bangkit kesadarannya. Dia menyesal telah melukai hati malaikat ayahnya, dan menodai senyum bidadari sang bunda.
“Ayah, maafkan aku.”
Tak ada sepotong pun janji yang terucap dari bibir lelaki muda yang menenggelamkan dirinya dalam pelukan sang ayah, yang pundaknya bergetar tak kalah hebat dari dirinya. Kecuali sepotong permintaan maaf. Hingga tanpa sadar, tubuh tua yang telah merapuh itu perlahan pelukannya mengendor dan semakin mengendor. Hingga kemudian terlepas dari tubuh anaknya, menggelosor jatuh, andai tangan muda sang anak tak menangkapnya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Dari tanah, akan kembali ke tanah.
Ahmadun si anak muda meraung. Tapi dia bisa apa? Allah telah memanggil sang bapak pulang. Seribu sesal yang menggelayut di dadanya menyesakkannya.
Dan episode pun berlanjut. Ahmadun ‘si anak nakal, bengal, anak durhaka,’ begitulah orang-orang menyebutnya, mengingat pesan terakhir sang ayah, saat tangan tuanya memeluknya dalam derai air mata. “Setiap anak terlahir fitrah. Tetapi ada saat dia terjatuh dan berkubang lumpur. Tapi andai dia mau membersihkannya, maka dia akan kembali fitrah, meski tak berarti dia sempurna.”
Ya, dirinya tak sempurna. Dia pernah terjatuh dalam kubangan lumpur yang dalam. Tapi dia harus bangkit untuk membersihkannya.
“Kyai, andai diijinkan, bolehkan saya menggantikan bapak sebagai marbot di masjid?”
Di hari ketujuh usai kematian bapaknya, Ahmadun menyampaikan permohonannya pada takmir masjid usai gelaran doa Bersama.
“Kamu sanggup?” Pak Yongki, takmir muda yang memiliki pengaruh kuat di masjid, setengah tak percaya dengan permintaan Ahmadun.
“Insya Allah, saya akan mengambi, alih semua tigas bapak,” ujarnya ,amy. (Tirta)