Published On: 12 April 2023Categories: Cerpen, Pojok Sastra

Oleh Dr. Mampuono, M.Kom. (Strategi Tali Bambuapus Giri)

#seri_menemubaling_on_the_way

#seri_kisah_masa_kecil

Sore itu hujan deras baru saja tuntas. Sisa gerimis yang jatuh dari langit membuatku yang sudah membersihkan tubuh jadi enggan ke mana-mana. Air yang tergenang di sana-sini, menciptakan riak-riak kecil setiap kali tetes-tetes gerimis jatuh di atasnya. Lingkaran -lingkaran yang muncul lalu hilang di permukaan genangan itu bergerak berirama seperti diberi aba-aba.

Angin dingin bercampur uap gerimis menggoyang-goyangkan daun pisang klutuk yang tumbuh di samping rumah. Rumpunnya ngrembuyung karena tanaman itu beranak-pinak di samping kiwan di mana padasan keluarga kami diletakkan. Persediaan air yang berlimpah rupanya menyuplai unsur hara yang cukup sehingga batang dan daunnya tumbuh melebihi besarnya pisang kepok. Klaras yang bergelantungan di sekitar pohon pisang itu bahkan menjadi tempat hunian favorit para codot yang biasanya tidur bergantung dengan kepala terbalik di balik daun Gebang yang menjulang di ketinggian. Mereka kalau siang tidur, sementara jika gelap terjelang akan segera keluyuran, mencari buah matang maupun setengah matang.

Sekitar lima belas meter dari dapuran pisang klutuk itu berdiri rumah kami. Di rumah papan bercat biru tosca yang lama-lama berubah menjadi hijau muda karena pengaruh debu dan panas itu aku tinggal sejak lahir. Kami dulu bersembilan menghuni bangunan yang usianya setua kakakku nomor empat, Mikuwati. Lalu Pak’e meninggal, dan kakak-kakakku satu persatu menikah, kemudian membangun hunian mereka sendiri-sendiri. Tinggallah kami hanya berlima di rumah tua itu. Aku, Mak’e, Yu Pi, Yu Mi, dan Ganjar.

Hembusan angin basah menerobos keras papan kayu munggur yang bercelah di sisi kanan rumah. Suaranya berderit mengganggu pendengaran. Hawanya menusuk tulang dan hembusannya membuat berdiri tegak bulu di sekujur badan. Brrr… Dingin.

Di atas tikar lusuh dan bertelekan bantal tanpa sarung berwarna pink dan putih yang juga sudah lusuh, aku duduk santai. Sambil menonton TV kurapatkan sarung palekat peninggalan Pak’e menutupi seluruh tubuhku. Kuremas-remas kedua daun telingaku yang terasa dingin agar menjadi hangat .

Beberapa potong pisang kepok awu goreng masih tersisa di atas bakul plastik berwarna merah di hadapanku. Mbak Siti baru saja mengantarkan kiriman dari Mursidah, anak sulungnya yang tinggal di dusun Kudan, Bangetayu Wetan, tadi pagi. Sambil menatap kosong layar TV buatan Jepang yang warna permukaan boxnya sudah banyak mengelupas itu mulutku aktif mengunyah pisang goreng. Anganku melayang jauh ke depan. Aku membayangkan tinggal di rumah sendiri yang terbuat dari bangunan yang kokoh bertembok tebal sehingga terasa hangat di dalamnya. Aku tidak akan lagi kedinginan kalau angin bertiup keras seperti sore ini. Aku membayangkan betapa nyamannya aku tinggal di rumah itu, merasakan keamanan yang luar biasa dan ketenangan di setiap sudutnya.

Rumah itu dilengkapi dengan segala fasilitas lengkap dan modern, yang membuatku tak pernah ingin keluar dari rumah. Dapur dengan peralatan masak canggih dan kulkas besar paling modern, serta sistem pengaturan suhu ruangan yang mudah dioperasikan seperti yang ada di majalah-majalah yang aku pinjam dari tetanggaku. Di ruang tamu, terdapat televisi layar datar besar yang memancarkan cahaya jernih dan gambar yang begitu nyata sehingga aku merasa seperti sedang berada di dalam acara yang sedang aku tonton. Di setiap kamar tidur terdapat spring bed paling mentul-mentul dengan toilet di dalam. Kamar-kamar yang konon seperti di hotel-hotel yang belum pernah aku kunjungi tapi aku bisa melihat kemegahannya di televisi.

Rumah itu memiliki desain yang modern dan fungsional dengan perpaduan warna kayu alami dan metalik yang memberikan kesan elegan dan mewah. Jendela-jendela besar dengan bingkai ukiran gaya Jepara memungkinkan sinar matahari dan udara segar masuk ke dalam rumah, menciptakan suasana yang sejuk dan segar. Jika ingin berenang aku hanya tinggal ke atas sebentar karena di atap rumah ada kolam renang mungil yang airnya bening. Aku tak perlu lagi ke stadion atau malah ke kali di dekat sawah untuk bisa berenang.

Namun, semua fasilitas yang ada di dalam rumah itu tak bisa mengalahkan kenyamanan dan ketenangan yang terasa begitu kuat saat aku berada di dalamnya. Seperti sebuah benteng yang tak bisa ditembus, rumah masa depan ini memberikan rasa aman yang membuatku tenteram dan bahagia, sehingga aku tak pernah ingin meninggalkannya. Aku, Mak’e, mbakyu dan adikku akan kerasan dan nyaman tinggal di dalamnya. Lalu kalau malam Jumat aku bisa mengundang sahabat sahabat untuk pengajian bersama.

Dalam bayangan yang membekas di ingatanku, rumah masa depan itu merupakan tempat perlindungan yang paling sempurna. Sebuah rumah kokoh di atas bukit yang tak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat perlindungan dari segala hal yang mungkin mengancam keselamatan dan ketenangan hidupku.

“Om Mampu. Mas Luth di mana?” sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunanku . Mbak Yayah kakak iparku tergopoh-gopoh datang dari rumahnya di seberang jalan dan bertanya kebingungan. Aku mengernyitkan dahi tidak mengerti.

“Lho bukannya tadi di rumah?” tanyaku keheranan.

“Tadi kan ikut Om Mampu nyari rebung…” sedikit ragu Mba Yayah menjawab.

‘Waduh. Blais!” Aku jadi panik sendiri. “Serius Mba?” tanyaku tidak yakin.

“Ya iyalah. Aku juga bingung sejak tadi mencari-cari dia. Jangan-jangan… Aduh gimana ini?” Mbak Yayah tidak melanjutkan ucapannya. Wajahnya malah mau mewek.

Mendengar itu, dadaku tiba-tiba sesak. Debaran jantungku sangat terasa lebih cepat menghentak. Aku khawatir kalau sampai terjadi apa-apa pada keponakanku yang glitis itu. Sarung aku lempar dan segera aku berganti kostum. Bersiap-siap mencari Mas Luth, hatiku dag dig dug.

“Apa yang terjadi? Apa kita harus mencarinya sekarang ?” tanyaku kepada Mba Yayah dengan nada panik.

“Iya, harus segera. Siapa tahu dia terluka atau tersesat di hutan,” jawab Mba Yayah sambil menangis.

“Tolong ya Allah, lindungi Mas Luth,” aku berdoa dalam hati.

Aku mencoba mengingat ingat. Tadi siang, pada saat aku mau berangkat ke hutan bambu, Lutfi yang biasa dipanggil Mas Luth, memang bermain ke rumah. Keponakanku yang berusia dua setengah tahun itu memang suka bermain air. Hari habis hujan sehingga sambil berjalan ke rumah simbahnya yang ada di depan rumah dia bisa keceh.

Saat aku mengambil boding lengkap dengan keranjang dan caping, aku melihat Mas Luth masih bermain-main di ruang tamu. Aku kemudian bergerak melalui samping rumah menuju ke hutan bambu. Letaknya kira-kira hanya 100 meter dari belakang rumahku. Hujan gerimis yang kadang-kadang turun kadang-kadang berhenti sejak siang tadi kebetulan turun lebih deras lagi.

Awan hitam bersemu putih mendaulat lazuardi, menutupi langit, menggantikan sinar matahari yang seharusnya masih terang membahana. Angin bertiup kencang, meniup daun-daun pohon pisang, siwalan dan bambu hingga membuat suara bersahut-sahutan. Aku terhenyak ketika tiba-tiba, petir menyambar langit dan suara gemuruhnya menggema di seluruh penjuru. Hujan turun semakin deras, mengguyur bumi dan menjadikan tanah yang akan aku lalui basah dan licin. Aku berhenti sebentar, mencari tempat berlindung di sisi belakang rumah dari badai yang tiba-tiba datang. Hatiku maju mundur antara pergi dan tidak pergi memanen rebung yang lama kunanti.

Angkasa kembali menderu. Jerit angin bersiutan yang datang dan pergi, membelah remang udara, membawa suasana seolah senja telah tiba. Hari masih jauh dari tepi, mendung yang semakin gelaplah yang mengubah semuanya. Hanya gemuruh langit yang terdengar seakan mengumandangkan kesedihan. Aku masih berdiri menanti di keremangan yang menyelimuti.

“GLARR!” suara guntur sekonyong-konyong menyambar lagi. Kali ini lebih dekat. Aku tersentak ngeri. Suara yang memekakkan telinga menyambar lagi itu didahului oleh kilat terang benderang yang membuatku ciut nyali. Belum tuntas rasa kagetku tiba-tiba, terdengar lagi sebuah suara mengagetkan.

“KOSAK! BROLL…!” Suara itu diikuti oleh jatuhnya sebuah benda besar yang diikuti benda-benda hitam sebesar kepala bersusulan. Bunyi yang ditimbulkan ribut bergedebugan. Aku menyaksikan jatuhnya benda-benda itu dengan terpana.

“Alhamdulillah. Untung aku berhenti di sini.” gumamku bersyukur di dalam hati. Aku tidak bisa membayangkan jika sebelumnya aku memilih terus berjalan. Kropak dan siwalan tua yang berjatuhan karena getaran suara guntur itu pasti meluncur tepat di atas kepalaku.

Aku masih berdiri terpaku di tempatku, menatap kropak yang hancur berkeping dan butiran-butiran siwalan tua yang jatuh menggelinding. Aku bergidik, hampir saja aku menjadi korban jika tetap melangkah maju. Hujan petir yang semakin deras dan suara gemuruh guntur semakin menggelegar bersahutan di telingaku membuatku berpikir ulang dan menimbang-nimbang.

Aku menjadi ragu dan bimbang. Apakah aku harus melanjutkan perjalanan dan mengambil risiko terluka atau bahkan celaka oleh benda-benda yang tiba-tiba meluncur dari ketinggian? Atau sebaiknya aku mundur saja dan kembali ke rumah dengan tangan hampa. Pulang tanpa mengumpulkan rebung yang menjadi tambahan penghasilan keluargaku?

Namun, aku tahu bahwa aku harus mengambil keputusan sekarang. Aku harus berani menghadapi ketakutanku dan memilih jalur yang benar. Aku tidak boleh menyerah pada rasa takutku dan membiarkan keputusan sulit ini menguasai diriku.

Suara gemericik air hujan semakin keras dan semakin memperumit keadaan. Tapi aku harus berani memutuskan. Aku harus berani mengambil risiko dan percaya pada diriku sendiri. Aku harus berani maju meneruskan panen rebung ini, dan menghadapi semua tantangan dan bahaya yang mungkin terjadi. Aku mengangguk tegas untuk mengusir keraguanku. .

“Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku tahu bahwa hidup ini penuh dengan tantangan dan bahaya. Aku harus berani mengambil risiko untuk mencapai apa yang aku inginkan. Aku harus melanjutkan langkah dan mengumpulkan rebung yang menjadi tambahan penghasilan untuk menyenangkan Mak’e. Mak’e selama ini membanting tulang demi menghidupi keluarga dan aku sebagai anak harus berbakti dengan turut meringankan bebannya,” kataku dalam hati.

Dengan tekad yang bulat, aku melangkah maju lagi. Hujan petir semakin deras dan angin semakin kencang, tetapi aku tidak menyerah dan kalah oleh pikiranku sendiri. Aku mengambil langkah hati-hati dan melihat ke atas untuk memastikan tidak ada benda-benda yang jatuh dari atas.

Meski hujan petir masih berlangsung, dengan melangkah maju aku tidak merasa takut lagi. Aku merasa bahwa aku sudah menghadapi tantangan yang paling sulit, ngalahke ayang-ayange dewe (menundukkan bayang bayang ketakutan diri). Dan aku siap untuk menghadapi tantangan berikutnya

Mendung telah tersibak. Terang kembali beranjak. Hujan yang membadai telah berdamai. Namun, suasananya masih terasa sedih dan murung. Hati-hati aku melewati puing-puing kropak yang hancur berserakan di mana-mana. Kusingkirkan duri-durinya dari jalan setapak dan kubuang kesemak-semak.

Nabi pernah mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang masuk surga karena ia menyingkirkan duri yang berada di suatu jalan, yang dilakukan dengan tujuan agar tidak mengganggu orang lain. Aku tersenyum lega karena merasa ada kebaikan yang aku lakukan di tengah kegundahan. “Dan suatu ketika semoga ada surga yang menanti seorang lelaki sepertiku,” bisikku pada diri sendiri sambil tersenyum.

Aku merasa saat meneruskan langkah ke arah hutan bambu, tidak ada satu pun yang mengikutiku. Karena hujan dan jatuhnya kropak dan siwalan tua membuatku waspada, aku bergerak agak cepat namun hati-hati. Tujuanku adalah dapuran bambu di dekat pohon munggur besar yang bersebelahan dengan pohon gebang yang juga besar. Rebung yang ada di situ sudah dua minggu belum aku panen. Aku khawatir jika terlalu lama dibiarkan rebung-rebung jenis bambu peting itu akan tumbuh terlalu besar dan tinggi. Jika sudah begitu rebung yang cocok untuk bahan lumpia atau sayur lodeh itu menjadi tidak bisa dipanen lagi. Dagingnya akan mengeras dan kasar serta rasanya sudah tidak enak lagi.

Setelah mengalami beberapa peristiwa sebelumnya yang cukup mencekam pikiranku hanya terpusat pada jalan di depanku dan tunas tunas bambu yang berwarna hitam dan besar-besar itu. Jika Mas Lut mengikutiku, tentu dia menangis, memanggil manggil, atau setidaknya bersuara bahwa dia dalam kesulitan atau pun ketakutan. Namun aku tidak mendengar suara apapun.

Jadi sore itu aku bergerak dari satu dapuran bambu ke dapuran bambu yang lain sehingga keranjang penuh. Setelah dirasa cukup aku segera pulang. Sesampai di rumah, rasa aman masih belum terasa. Aku kembali bergidik ketika aku membayangkan kengerian yang hampir kualami. Meski begitu, aku mencoba untuk memulihkan diri dan lebih baik tidak menceritakan hal-hal yang kurang mengenakkan kepada anggota keluargaku. Kemudian aku bersih-bersih badan, lalu istirahat sambil menenangkan pikiranku dan menikmati acara televisi.

“Terus bagaimana Mpu? Lutfi tidak ada. Sudah dicari kemana-mana tetap tidak ketemu.” Aku tersentak. Kang To, kakak tertuaku, ayah dari Mas Luth sudah berada di ambang pintu. Dia bertanya penuh kekawatiran akan keselamatan Mas Luth.

“Sumur!” kataku cepat. Aku segera berlari menuju sumur yang ada di tepi kebun di sebelah kanan rumah. Semua orang mengikutiku. Aku harus memastikan bahwa Mas Luth harus bisa ditemukan, dimanapun dia berada. Pahitnya, jika yang bisa ditemukan hanya jasadnya saja, segala cara harus dilakukan. Ini termasuk mengecek keberadaannya di dasar sumur.

Kepalaku pulongokkan ke dalam lubang sumur, tetapi permukaannya tenang saja. Yang terlihat hanya gerakan air berupa lingkaran susul menyusul akibat jatuhnya gerimis

“Aku akan menyelam ke dasar sumur!” kataku meyakinkan kedua orang tua Mas Luth.

“Tapi sumurnya penuh Mpu. Kamu yakin bisa menyelam sampai ke dasarnya?” Ada kekhawatiran yang mendalam pada nada suara Kang To.

“Harus!” kataku mantap. “Aku tahu caranya menyelam pada kedalaman 5 meter secara cepat,” sambung ku sambil melepas kaos oblong warna orange bertuliskan huruf timbul JISEWELAS. Kaos kebanggan sejak duduk di bangku kelas 1-11 di SMA 3 Semarang itu sudah lusuh karena terlalu sering dipakai tuannya. Aku menyampirkannya di pagar bambu penutup kamar mandi yang mengelilingi sumur.

Aku segera melangkahkan kaki, naik ke bibir sumur yang tingginya sekitar 1 meter lalu melangkah masuk ke dalamnya. Satu persatu kakiku aku pijakan pada cekungan di dinding sumur. Cekungan cekungan itu memang dibuat untuk berpijak jika orang akan menuruni sumur.

Sumur itu memiliki diameter sekitar 1,25 meter. Postur tubuhku yang lumayan tinggi tidak menjadikan halangan untuk bisa merentangkan kaki untuk berpijak pada cekungan-cekungan di dinding sumur yang berseberangan. Musim penghujan yang sedang basah basahnya menjadikan permukaan air sumur hanya tinggal setengah meter dari permukaan tanah. Perlu strategi khusus agar dalam sekali menyelam aku bisa mencapai dasar sumur dengan kedalaman 5 meter.

“Hati-hati Mpu” kedua orang tua mas Luth berpesan penuh kekhawatiran. Aku mengangguk sambil menahan nafas. Kuhirup sebanyak-banyaknya udara bersih. Dadaku menggembung karena paru-paruku terisi penuh. Dengan mengandalkan dorongan kedua tanganku pada dinding sumur aku segera meluncur ke dasarnya. Aku harus bisa turun ke dasar sumur dan kembali lagi ke permukaan dengan waktu maksimal dua menit. Itu adalah daya tahanku untuk tetap bisa menahan nafas. Jika tidak aku sendiri yang akan celaka.

Dorongan kedua tanganku yang dibantu dengan gravitasi bumi membuatku dalam waktu singkat sudah sampai di dasar sumur. Aku segera bergerak cepat untuk mencapai semua bagian di dasar sumur.

Ada rasa ngeri ketika jemari tangan dan kakiku berusaha menggapai semua celah dan lubang di permukaan dasar sumur yang berlumpur. Di kedalaman 5 meter yang penuh tekanan fisik dan mental itu aku masih belum menemukan Mas Luth. Nafasku hampir habis. Tiba-tiba aku merasakan kepanikan yang semakin memburuk.

“Apakah benar-benar ia berada di dalam sumur ini? Atau mungkin saja ia berada di tempat lain dan aku tidak tahu?’ pikirku sambil terus bergerak dan menahan dada yang hampir meledak.

Aku merasa sangat khawatir dan bersalah karena belum bisa menemukan tubuhnya. Keluarganya pasti sedang menunggu berita dariku dan aku tidak bisa memberikan kepastian apa-apa. “Bagaimana jika aku gagal dalam misi ini? Apa yang harus aku katakan pada mereka?” pikirku semakin panik.

Tapi kemudian, aku mencoba untuk meredakan pikiran dan mencari ketenangan. Mungkin saja Mas Luth masih berada di suatu tempat dan bisa diselamatkan. Aku harus tetap berusaha dan tidak menyerah, dan percaya bahwa ada harapan bagi Mas Luth.

‘Ya Allah, semoga kami semua diberi kekuatan dan bantuan untuk menemukan Mas Luth dan membawanya pulang ke keluarganya,” doaku sambil bertahan di kedalaman.

Nihil! Tidak ada satu benda pun di dasar sumur. Itu artinya mas Luth tidak tenggelam di dalam sumur.

Aku meluncur ke atas dengan perasaan lega. Begitu kepalaku terbebas dari air aku segera berteriak. “Mas Luth tidak tenggelam!”

Semua orang lega. Namun hanya sesaat. Hilangnya Mas Luth masih menjadi teka-teki yang sulit terpecahkan. Mbak Yayah dan Kang To bertambah sedih dan kebingungan. Mereka terus menerus berzikir dan berdoa agar masalah tersebut segera terselesaikan.

Mas Luth adalah anak pertama mereka. Anak laki-laki pemberani itu tumbuh dengan sehat dan sedang aktif-aktifnya. Meskipun cenderung pendiam, Mas Luth adalah buah hati kesayangan yang kehadirannya selalu memunculkan kebahagiaan di hati kedua orang tuanya.

Tiba-tiba Masrukhi, tetangga yang sedang pulang kerja, menghampiri kerumunan kami. Ia penasaran mengapa kami terlihat kebingungan.

“Mas Luth hilang Om,” kata Kang To dengan sedih. “Kami tidak habis pikir kenapa dia bisa hilang tiba-tiba. Sudah dicari kemana-mana. Bahkan Mampu sampai menyelam ke dasar sumur. Tetapi belum ketemu juga.”

“Lho… lho Mas Luth hilang? Apa mungkin dia digondol genderuwo?” kata Masrukhi yang sangat percaya takhayul.

“Itulah yang kami risaukan. Sepertinya memang agak ganjil, ada anak kecil yang pergi begitu saja. Apalagi suasananya gelap karena mendung dan hujan badiai seharian, ” Kang To menimpali, galau.

“Apa kita buat tetabuhan saja?” usul Masrukhi.

“Jangan dulu. Kita coba cari informasi dari kampung sekitar,” jawabku menyela.

Baru saja kami mau berpencar untuk mencari informasi tiba-tiba datang Yu Jumini. Tergopoh-gopoh dia bertanya, “Lik To! Lik To! Ada apa dengan Mas Luth?”

“Mas Luth hilang Yu,” kata Masrukhi.

“Haa…? Beneran hilang?” Semua diam tertunduk. Aku memandangnya sambil mengangguk kecil.

“Tapi tadi waktu lewat kampung Widuri Selatan, saya dengar kabar angin katanya ada anak kecil tercebur ke dalam blumbang.”

“Yang betul Yu?” mbak Yayah yang sejak tadi tergugu seperti mendapat harapan baru.

“Iya. Blumbang itu berada di belakang rumah Lik Min,” sambung Yu Jumini.

“Lik min yang mana?” tanya Kang To.

“Lik Min Platok,” sahut Yu Jumini cepat.

“Lantas bagaimana kondisi anak kecil itu?” Mba Yayah tak sabar ingin tahu. Meskipun kampung itu sangat jauh dan mustahil Mas Luth bisa sampai sana, namun harapan tetap terbetik di dalam hatinya sebagai seorang ibu.

“Saat hujan masih berlangsung, pemilik rumah yang mendengar sesuatu. Seperti ada yang tercebur. Lalu mereka mendengar ada tangis anak kecil. Segera mereka mendatangi blumbang,” Yu Jumini bercerita terbata-bata.

“Lalu bagaimana Yu?” seruku tak kuasa menahan rasa ingin tahu.

“Anak itu tenggelam! Yang terlihat hanya rambutnya saja..” wajah Yu Jumini tegang.

“Haah…” semua orang berseru. Aku sampai menelan ludah beberapa kali karena tegang.

“Lik Min cepat-cepat menolong anak itu. Diangkatnya kepala anak itu dengan cara menjambak rambutnya.” Kami melongo.

“Ia lakukan itu karena semula ia tidak yakin itu kepala bocah beneran.” Yu Jumini menjelaskan. Sesaat ia berhenti bercerita. Semua menunggu dengan deg-degan.

“Dibantu istrinya, Yu Gemi, Lik Min segera menjungkir balikkan tubuh bocah itu. Air pun tumpah dari mulut dan hidungnya. Bocah itu rupanya sudah minum air blumbang banyak sekali.” Yu Jumini geleng-geleng kepala. Wajahnya membayangkan kengerian. Kami ikut bergidik ngeri.

“Lantas bocah itu selamat gak Yu? Kasihan sekali” ujar Masrukhi.

Yu Jumini menghela nafas. Wajahnya prihatin sekali. “Bocah itu tidak bergerak. Lama sekali.”

Kami diam, tegang menunggu lanjutan cerita Yu Gemi.

“Lik Min dan Yu Gemi sempat hampir menyerah. Tidak ada tanda kehidupan. Namun Yu Gemi yakin anak itu masih hidup. Meski sangat lemah, detak jantungnya masih ada.” Yu Jumini melanjutkan. Semua menghela nafas lega.

“Bocah itu katanya pingsan lama. Tetapi alhamdulillah sekarang selamat. Tadinya ia menangis terus. Namun sekarang sudah tenang. Sampai sekarang mereka tidak tahu anak kecil Itu anak siapa. Aku sendiri hanya mendengar cerita dari orang-orang.” Yu Jumini memungkasi ceritanya.

“Rasanya itu tidak mungkin Mas Luth. Tempatnya jauh sekali. Apalagi untuk sampai ke sana harus menerobos hutan-hutan,” kata Kang To.

“Tapi tidak ada salahnya kita mencoba melihatnya Pak,” kata Mbak Yayah kepada Kang To.

“Betul kata Mba Yayah,” yang lain menimpali.

“Kalau begitu mari kita coba pastikan,” kata Kang To mengambil keputusan.

Segera diambilnya motor dari dalam rumah lalu distarter. Sore sudah menjelang magrib ketika

Kang To dan Mbak Yayah bergegas menuju ke rumah Lik Min Platok.

Ternyata benar, anak kecil yang jatuh ke blumbang itu Mas Luth. Entah bagaimana caranya Mas Luth bisa sampai ke tempat itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu. Dia sendiri masih kecil dan belum bisa berbicara ketika itu. Memori di otaknya tidak sanggup mereka ulang kejadian yang menimpanya sewaktu kecil itu.

___________________________________

Draf Cerpen diitulis di langit dengan metode menemu baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga, dalam perjalanan udara dari Semarang ke Jakarta Di Garuda.

DAFTAR ISTILAH

blumbang = empang, boding = sejenis golok

dapuran
= rumpun

glitis
= sangat aktif

klaras
= daun pisang kering

kiwan
= tempat air

kropak
= daun siwalan atau daun lontar kering

mentul
mentul = empuk

menyampirkan
= meletakkan bahan dari kain di atas sesuatu sehingga menggantung

ngembuyung
= tumbuh subur

padasan
= Wadah dari tanah liat dengan pancuran untuk wudlu

pisang
klutuk = pisang yang hanya diambil daunnya, buahnya terlalu banyak biji.

pisang
kepok awu = jenis pisangdengan batang besar dan buah mengelembung