Published On: 12 March 2023Categories: Cerpen, Pojok Sastra

BELUT TUNGGON

By: Dr. Mampuono (Tali Bambuapus Giri)

#menemu baling on the way
#seri kisah masa kecil

“​Glembos! Kembalikan belut-belut itu ke tempatnya Nang. Ketahuilah, itu bukan belut sembarangan!” wanti-wanti Lik Matrekan kepada anak lelakinya yang paling kecil. Ia tidak menyangka anaknya sebegitu beraninya bertindak tanpa sepengetahuannya.

Glembos bergeming. “Tidak! Aku sudah setengah harian bersusah payah menangkap belut-belut ini, mengapa harus aku lepaskan?” kata Glembos dalam hati. Ia tidak berani membantah bapaknya secara langsung.

“Dengar baik-baik, Glembos!” suara Lik Matrekan agak meninggi. Ia merasa nasehatnya tidak ditanggapi. “Belut-belut itu bukan milikmu, dan tidak seharusnya kamu mengambilnya tanpa izin. Kembalikan mereka ke tempatnya sekarang juga, atau kamu dan kita semua akan merasakan kutukan yang lebih mengerikan dari yang pernah kamu pikirkan!” lanjutnya.

Glembos menatap bapaknya dengan tatapan tidak mengerti, lalu ia menggeleng kecil. “Pak’e. Ini belut biasa. Hanya saja jumlahnya memang buanyak. Tapi aku tak percaya binatang ini bisa mengutuk” katanya dalam hati. “Lagian aku tidak takut pada belut ini. Tunggon apanya, nungguin piring paling. Apalagi jumlahnya ratusan,” pikirnya. Otaknya membayangkan potongan-potongan belut goreng krispi yang super lezat dengan sambal terasi kesukaannya menghiasi nasi putih di atas piring seng miliknya selama seminggu. Tidak terasa kelenjar air liurnya mengalir deras sampai hampir menetes.

“Glembos! Malah melamun!”

Glembos tersentak.

Pak’e memperingatkanmu, Glembos.”

“Jangan sampai kamu menyesal nanti. Kutukan ini bukanlah main-main. Itu bisa membuat hidupmu jadi sangat menderita.”

Namun, Glembos tetaplah Glembos yang mokongan (keras kepala). Ia tetap bergeming. “Aku sudah cukup dewasa dan kuat untuk menghadapi segala macam ancaman. Aku tidak percaya bahwa belut-belut itu akan berbahaya. Hm… jangan-jangan Pak’e yang takut nih. Makanya main ancam. Hehehe.. .” Glembos bergunjing sendirian di dalam hati sambil senyum-senyum.

“Hai Glembos, apa yang kamu lakukan? Malah cengar cengir sendiri. Ayo sana gih. Cepat kembalikan,” kata Lik Matrekan mencoba bersabar. Kelihatan sekali kalau Lik Matrekan sebenarnya hampir kehilangan kesabaran. Wajah tuanya tampak merah padam saat menghadapi anak dari istri keduanya yang tidak segera menuruti apa yang ia perintahkan.

Pak’e. Aku hanya ingin menggoreng belut-belut ini untuk makan siang. Kita kan tidak ada lauk,” akhirnya Glembos mengungkapkan keinginannya dengan muka polos. Aslinya modus.

“Tapi Nang. Kamu mengambilnya dari kebun di seberang jalan yang terkenal wingit itu kan? Blumbang di kebon Mbah Tomo. Yang di sebelahnya ada kebon Yi Tasliman yang sama-sama wingit. Itu bukan milikmu! Itu ada yang punya.” nasehat Lik Matrekan dengan nada mulai jengkel melihat kekerasan kepala Glembos.

“Aku hanya ingin mencoba resep yang kemarin diceritakan Nyi Karminah,” jawab Glembos, masih dengan wajah polos. Pura-pura tidak mendengar perubahan nada suara Bapaknya yang semakin tinggi.

“Kamu tahu, tempat kamu menangkap belut itu bukan tempat sembarangan. Semua binatang yang hidup disitu adalah piaraan penunggunya. Itu binatang tunggon!” terang Lik Matrekan mencoba masih bersabar.

“Blumbang itu ada yang bahurekso. Dan belut-belut itu adalah belut piaraan yang bahurekso. Artinya itu belut tunggon! Barang siapa yang berani mengganggunya akan celaka.” ulangnya. Kata-katanya penuh penekanan. Lik Matrekan menatap lurus mata anaknya. Mukanya serius, alisnya diangkat dan matanya dibelalakkan. Khawatir Glembos tidak mau menuruti perintahnya.

Glembos masih berusaha bergeming. Ia masih belum sepenuhnya percaya. Matanya melirik kekiri dan kekanan, mencoba mencerna kata-kata bapaknya. Sesekali ditatapnya wajah bapaknya. Mulai ada rasa ngeri juga yang muncul di hatinya.

Melihat anaknya mulai “kena” Lik Matrekan melanjutkan. “Glembos. Belut tunggon adalah makhluk gaib yang sangat kuat. Mereka tidak segan-segan membalas dendam pada siapa saja yang mengganggu mereka. Biasanya serangan dimulai dari mimpi-mimpi buruk yang mengerikan.”

“Ingat, Nyi Siyah yang dulu sering blasakan di daerah itu?” Lik Matrekan mencoba mengingatkan Glembos pada sosok tetangganya yang tinggal di kampung sebelah. Glembos mengangguk lebih jelas kali ini. Ia memang dulu sering melihat Nyi Siyah mencari kayu bakar dan memang suka mencari klowong, blarak, blukang, dan carang untuk kayu bakar atau sesekali jika beruntung dia bisa menemukan kelapa tua yang jatuh di tempat itu.

“Suatu hari, tiba-tiba dia kesurupan. Kedua kakinya bengkak besar sampai tidak bisa berjalan. Ternyata ia selalu mendapat mimpi buruk. Ia didatangi sosok tinggi besar berwarna hitam. Sosok yang matanya berwarna merah sebesar tampah itu meminta barangnya dikembalikan. Dan ketika ayam hutan yang dikurung di rumah Nyi Siyah dibebaskan, ia berangsur sembuh.”

Glembos mengangguk kecil. Lik Matrekan tersenyum dan mendekati Glembos. Dipegangnya pundak anaknya yang agak istimewa itu. “Glembos. Jangan pernah meremehkan ancaman makhluk gaib, Nang. Jangan sampai kamu dan keluarga kita menyesal nanti.”

“Tapi masa sih itu belut tunggon Pak? Kemarau lalu Lik Mampu, Nur Kaji, Di Katul, Yit Kayun. Tik Sanul dan kawan-kawan menangkap belut di tempat itu. Mereka memasaknya dan tidak apa-apa.” Glembos yang pada dasarnya keras kepala masih berusaha membantah keyakinan Bapaknya. Bunyi perutnya yang lapar dan bumbu-bumbu yang dia sudah siapkan membuatnya sayang untuk melepaskan belut-belut itu.

Senyum Lik Matrekan lenyap. “Masih ngeyel! Itu karena ada pemilik kebun, Lik Mampu. Tunggu apalagi?! Cepat kembalikan sekarang. Atau kamu minta diberi hukuman?” bentak Lik Matrekan. Tangannya mendorong pundak Glembos dengan cukup keras. Matanya melotot tanda kesabarannya habis. Mau tak mau Glembos menuruti perintahnya.

Baru beberapa saat sebelumnya hati Glembos berbunga-bunga karena hasil tangkapan yang luar biasa. Ia berpikir bapaknya pasti akan memujinya. Sambil bersiul-siul dia bergegas membawa ember besar di tangan kanannya . Ia tidak peduli baju dan celananya kotor oleh air bercampur lumpur. Dan yang ia bawa pulang itu ternyata isinya tidak biasa, belut-belut berukuran tanggung hampir satu ember besar penuh! Seumur-umur baru kali ini ia mendapatkannya. Namun begitu bapaknya lautan dan melihatnya, ternyata ia harus mengembalikannya. Alasannya sungguh tidak masuk akal menurutnya. Namun ciut juga nyalinya melihat kesungguhan bapaknya.

Glembos memang mengambil belut-belut itu dari kebunku yang sepi dan jarang dijamah orang, termasuk keluargaku. Bagian kebun yang ada di pojok sebelah timur laut itu memang dianggap orang wingit. Di dekat situ ada pertigaan menuju tanah kuburan. Orang masih sering membuang sesaji di situ. Jadi wajar jika Lik Matrekan merasa ngeri dan menyuruh Glembos mengembalikannya.

Binatang-binatang berkulit licin dan panjang itu tampak meliuk-liuk di dalam ember. Jumlahnya ratusan. Saling belit satu dengan yang lain, membuat siapa pun yang melihat, terutama jika wanita, bergidik kegelian.

Sebenarnya Glembos sudah menyiapkan pisau yang tajam untuk menyembelih binatang itu satu-persatu. Abu dapur untuk mengatasi kulitnya yang licin dan minyak jelantah hampir setengah wajan untuk menggoreng juga sudah disiapkan. Bawang putih, biji ketumbar dan dua ruas kunyit serta garam malah sudah dihaluskan di cobek. Pendeknya, daging belut goreng yang gurih siap jadi lauk makan siang. Namun demi mendengar ancaman itu Glembos jadi bergidik ngeri. Jangan-jangan jika dia memakan belut-belut itu perutnya akan membesar, lalu meledak. Glembos jadi ketakutan sendiri.

Glembos memang tidak sekolah walaupun usianya sudah sebelas tahun lebih. Pekerjaannya sehari-hari hanya luntang-lantung bermain-main di kebun. Kakak-kakaknya sebenarnya sudah menyarankan untuk sekolah boto mburup. Itu adalah istilah yang mereka gunakan karena lidah desa mereka kewalahan menyebut kata buta huruf. Maksudnya masuk program penyetaraan Kejar Paket A. Sayangnya Glembos ini memang anak yang semau gue dan keras kepala. Saran dari kakak-kakaknya itu tidak ada yang ia gubris. Bapaknya yang sibuk menjadi buruh tani dan ibunya sibuk berjualan blanjan tak sempat mengurusnya hingga kasep seperti itu.

Dulu, seorang perangkat desa yang peduli ada yang pernah mendatangi orang tuanya dan menyarankan supaya Glembos didaftarkan sekolah. Namun dasar Glembos, sekali masuk sekolah, lain kali dia langsung membolos. Alasannya karena gurunya galak, padahal ia yang terlalu ingin bebas dan susah diatur. Bapaknya yang galak berkali-kali memaksanya masuk sekolah. Tetapi sekali masuk, begitu istirahat ia langsung cabut. Sampai akhirnya dia tidak pernah berangkat sekolah lagi dan memilih lontang-lantung semaunya sendiri. Akhirnya Glembos menjadi satu-satunya anak yang tidak sekolah di kampungku.

“Melamun lagi?! Cepat kembalikan. Atau kamu ingin merasakan lagi pedasnya pucuk mlandingan ? Kali ini kalau kamu membantah, tidak cuma pucuk mlandingan yang bertindak. Nanti akan ditambah dengan semut rangrang!” ancam Lik Matrekan sadis.

Mendengar ancaman bapaknya semakin menjadi-jadi, Glembos menjadi gentar. Namun, sebenarnya ia juga merasa sedikit kecewa. Ia sudah menyiapkan semua bahan dan peralatan untuk memasak belut goreng yang gurih, dan sekarang semua itu jadi percuma. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri mengapa semuanya terjadi.

Dalam kebimbangannya, Glembos berpikir bahwa ia bisa saja membuat kesalahan besar kalau apa yang dikatakan bapaknya benar. Dalam hatinya, ia berdoa agar tidak ada kutukan yang menimpanya dan keluarganya karena tindakan cerobohnya. Pikirannya langsung terbayang betapa mengerikan akibat yang akan dialami jika benar itu belut tunggon. Bisa jadi nanti perutnya akan meledak jika memakan belut-belut itu. Hiyy…! Ketakutan merasuki dirinya, hatinya semakin ciut..

Dengan perasaan dag-dig-dug ia beringsut mengangkat ember penuh belut itu. Rasanya memang berat melepas kembali tangkapan yang ia usahakan sampai setengah harian. Namun, mau bagaimana lagi? Kalau tidak dilepas, seperti kata Bapaknya, bisa-bisa nyawa taruhannya. Hiy ..! Bulu kuduknya berdiri semua karena ngeri.

Glembos merasa ciut nyali. Ancaman kutukan belut-belut yang ia tangkap sebelumnya, boleh jadi belum tentu kebenarannya. Tapi, jika harus menghadapi hukuman dari bapaknya, Glembos benar-benar tidak berkutik. Pernah kulit betisnya bilur-bilur merah hitam dan dua minggu baru hilang. Bilur-bilur itu muncul karena sabetan pucuk ranting mlandingan. Itu akibat dia membangkang untuk tidak bermain di waktu magrib karena pamali. Cara menghukum bapaknya memang terhitung sadis.

“Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau dihukum lagi!” gumam Glembos sambil memandangi belut-belut di dalam ember hitam yang ada di hadapannya. Ia bisa merasakan getaran keras dan berulang dari belut-belut itu. Dalam pandangan matanya sepertinya mereka meronta-ronta dan berteriak-teriak meminta dipulangkan.

Dengan cepat, Glembos membawa ember itu ke kebunku, berlari secepat mungkin lalu menghilang di sela hutan bambu yang rapat. Begitu sampai, dia segera memasukkan belut-belut dari ember itu ke dalam air di blumbang yang di dalamnya ada ikan betik, sepat, dan udang.

“Kalian bebas sekarang,” bisik Glembos pada belut-belut itu setelah melepaskan mereka ke dalam air. Belut-belut itu langsung berenang dengan cepat. Sebelum menelusup ke lumpur dan tumpukan daun bambu yang tebal di dalam air, belut-belut itu berenang dengan ujung kepala di atas air dan badannya meliuk-liuk di dalam air, seolah-olah mereka ingin menunjukkan rasa terima kasih pada Glembos. Glembos tersenyum puas, merasa lega karena telah berhasil membebaskan belut-belut itu dan dengan sendirinya diri dan keluarganya akan bebas dari kutukan.

Setelah tuntas semuanya, Glembos pergi bermain entah kemana, merasa seperti seorang pahlawan yang berhasil menyelamatkan makhluk hidup yang terancam hidupnya. Walaupun, dia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya karena berani mengganggu piaraan yang bahurekso menurut bapaknya, namun satu hal yang pasti, Glembos bebas dari hukuman sang “bahurekso” di rumahnya, yaitu bapaknya.

***

Sore itu aku sendirian menuju ke blumbangblumbang yang ada di kebunku. Sambil membawa dua ember plastik hitam, irig (semacam penyaring dari anyaman bambu), dan parang, dengan santai aku berjalan. Aku melangkah sambil menyenandungkan lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G Ade. Aku hafal benar syair lagu Itu karena setiap pagi diputar oleh kakakku, Kang So.

Musim kemarau panjang sedang terik-teriknya. Panas yang terus-menerus berlangsung beberapa bulan membuat banyak blumbang yang ada di kebunku mulai surut airnya. Masa-masa seperti itu aku manfaatkan untuk mencari ikan dengan cara menguras blumbang. Cara itu kami sebut sebagai tawu.

Tawu itu dilakukan dengan cara memisah blumbang menjadi dua bagian. Pemisahan dilakukan di bagian salah satu ujung blumbang. Pemisahnya adalah tanah lumpur yang dibuat seperti pematang. Di tengah-tengah pematang diletakkan alat penyaring. Biasanya berupa irig bambu.

Di ujung blumbang itu air dibuang ke tempat lain. Caranya dengan mengurasnya menggunakan ember. Melalui penyaring itu air dari bagian satunya akan mengalir. Karena air terus menerus mengalir melalui irig tidak ada penghuni blumbang yang bisa menyeberang ke bagian yang sedang dikuras. Selain itu, bagian itupun lama-lama menjadi kering. Dengan begitu penghuni di dalamnya akan kelihatan dan bisa ditangkap satu persatu.

Aku biasa melakukan kegiatan tawu itu sepulang sekolah. Kadang-kadang dengan banyak teman, kadang-kadang sendirian. Seperti juga pada siang hari itu. Aku mencari blumbang yang paling sedikit airnya untuk ditawu.

Di kebunku yang ada di ujung timur laut, yang berbatasan dengan jalan menuju kuburan, ada satu tempat yang dari tahun ke tahun selalu dihuni oleh banyak belut. Tempat itu hanyalah sebuah selokan kecil. Bahkan tidak pantas kalau disebut sebagai blumbang. Dalamnya hanya sekitar setengah meter dan bentuknya memanjang. Lebarnya satu meter dan panjangnya tidak sampai 20 meter. Ke sanalah aku siang itu menuju.

Untuk sampai ke tempat itu orang harus berjalan melewati sebuah pertelon (pertigaan). Pertelon itu terkenal angker. Banyak cerita-cerita yang dihubungkan dengan kehadiran pocong, banaspati, harimau putih, ataupun gundul pecengis di tempat itu. Pendeknya semua warga kampung akan berpikir dua kali untuk berlama-lama di daerah tersebut. Siang saja mereka takut, apalagi malam hari.

Walaupun aku tidak pernah melihat hantu, bulu kudukku sering berdiri jika lewat pertelon itu. Biasanya aku dan teman-teman lari secepat-cepatnya di malam hari sepulang mengaji. Saat itu listrik belum ada sehingga tempat tersebut gelap gulita. Bunyi kemresek sedikit saja akan membuat ciut nyali kami semua.

Pada hari-hari tertentu, terutama setiap malam Jumat dan malam Selasa Kliwon, orang banyak membuang bunga mawar dan meletakkan sesaji di tempat itu. Walaupun secara KTP sebagian besar warga kampungku adalah muslim, tetapi mereka lebih banyak percaya kepada hal-hal yang berbau animisme dan dinamisme.

Sesampai di blumbang itu aku terkejut. Ternyata tempat itu sudah bersih dan tampak sekali kalau sudah ada yang mendahuluiku tawu di situ.

“Asem tenan! Berani benar ada bocah yang sudah mengambil ikan di tempatku.” Aku merutuk panjang pendek dalam hati. Bagiku kehilangan calon lauk makan malam adalah “sesuatu”. Aku kesal sekali.

Tetapi tunggu dulu. Setelah mengamati lebih jauh, air sisa di dalam blumbang ternyata masih terus bergerak-gerak. Itu artinya di dalamnya masih banyak penghuninya. Aku bertanya-tanya, walaupun blumbang sudah ditawu, sepertinya masih banyak ikannya. Lantas buat apa blumbang itu ditawu?

Karena airnya sudah tinggal sedikit aku mencoba untuk gogoh. Gogoh adalah mencari ikan di bawah permukaan air hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Aku turun ke dalam air dan segera memeriksa setiap lubang dan cekungan yang masih ada airnya. Kujulurkan tanganku ke dalam air dan meraba-raba. Ternyata tempat-tempat itu masih banyak penghuninya.

“Aha! Rejeki nomplok ini!” pikirku bahagia. “Hahaha. Allah maha baik. Karunia langit telah turun kepadaku!” teriakku dalam hati dengan kegembiraan yang meluap-luap. Tak terbayangkan betapa beruntungnya aku pada saat itu. Sebab, malamnya aku tak akan makan kering tempe buatan Yu Mikuwati seperti malam-malam biasanya. Melainkan, aku akan menikmati lauk yang jauh lebih bergizi dan lezat. Walaupun kering tempe Yu Mikuwati juga lezat. Tapi beda lah lezatnya dengan belut goreng hasil tawu. Dan siapa yang akan menyangka, semuanya bermula dari lubang-lubang kecil di dalam blumbang.

Ketika tanganku meraba-raba lubang-lubang itu, aku tak menyangka bahwa sebuah keajaiban benar-benar sedang menanti. Dan betapa dahsyatnya keajaiban itu! Ketika aku mengangkat tanganku dari dalam lubang, tangan itu sudah penuh dengan belut-belut yang besar dan kecil! Belut-belut itu memang terasa licin di tangan, tetapi sepertinya jinak. Tidak liar. Dalam kegembiraan dan kekaguman, dengan mata berbinar-binar aku segera memasukkan belut-belut itu ke dalam ember.

Belut-belut itu memiliki ukuran yang sangat beragam, dari yang sebesar jempol kaki hingga seukuran tubuh cacing tanah. Dan mengapa ada begitu banyak belut di dalam blumbang itu? Aku tidak tahu pasti. Namun setiap kali air di sana mulai kering, aku selalu menemukan banyak ikan dan belut di tempat itu. Hanya saja yang aku tidak habis pikir, kali ini jumlahnya sangat banyak dan agak jinak.

Tawu Lik Mampu…” suara itu bergema di telingaku. Suara itu membuatku sesaat teralihkan dari kegembiraanku. Aku segera menyadari bahwa itu adalah panggilan untukku, yang biasa dipanggil Lik oleh teman sebaya karena orang tuaku termasuk dituakan di kampung. Suara panggilan itu berasal dari seorang teman kampung, namanya Tikno. Panggilan akrabnya Tikno Sanul. Ia berdiri enggan di tepi empang, di antara pohon-pohon pring ampel yang beruas pendek-pendek dan warnanya hijau kekuningan.

Dari cara Tikno datang menghampiriku, aku seperti merasakan sesuatu yang berbeda dalam gerak-gerik dan nada suaranya. Ada ketegangan yang tersirat di dalamnya, seakan-akan ada sesuatu yang tidak beres. Tapi kutepis jauh jauh perasaan itu. Tanpa memperdulikan ekspresinya aku berteriak dengan gembira, “Tikno. Banyak sekali nih belutnya. Hahaha.” Dengan gembira Aku menunjukkan kedua tangan kanan-kiriku yang penuh belut menggeliat-geliat bercampur lumpur.

“Bantu turun sini gih. Nanti bagi-bagi hasil,” teriakku dengan gembira. Aku meminta bantuannya untuk menangkap lebih banyak belut, tetapi Tikno tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dan herannya ia tidak terlihat senang dengan ide itu. Padahal tawu adalah hobi besarnya. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat dan berkata, “Nggak mau ah. Takut. Katanya itu belut tunggon.”

Aku merasa terkejut dan heran. “Belut tunggon? Apa itu? Siapa bilang?!” sergahku beruntun dengan suara yang keras dan tegas. “Setiap tahun kan kita mencari belut di sini.”

“Tapi kali ini belutnya terlalu banyak. Itu tidak wajar. Itu belut tunggon. Hiy!” Tikno bergidik ngeri, menggambarkan ketakutannya dengan jelas. Aku semakin bingung dan penasaran. Apa yang sedang terjadi di sini?

Setelah kubujuk rayu dan meyakinkannya, akhirnya Tikno mau ikut turun ke air untuk membantu menangkap belut. Sambil menangkap belut-belut dari lubang-lubang di blumbang kami mengobrol dan bercanda ria. Darinya aku mendapat berita bahwa sebenarnya blumbang itu sudah dikuras oleh Glembos. Namun karena belutnya terlalu banyak, Lik Matrekan, bapaknya Glembos, takut itu belut tunggon. Oleh karenanya Glembos dipaksa untuk mengembalikan belut itu ke tempatnya.

Ketika aku mendengar cerita itu, hatiku berdebar-debar dan terbersit rasa takut. Apakah benar ada belut tunggon di sana? Dan apakah kami mengganggunya dengan menangkap belut-belut itu? Aku merasa ragu dan takut, tetapi pada saat yang sama, aku juga merasa penasaran. Apakah benar ada makhluk halus yang memelihara belut-belut itu? Dan apakah kami benar-benar berada dalam bahaya? Pertanyaan besar itu menghantui pikiranku dan membuatku semakin penasaran dengan misteri di balik belut-belut itu.

Kami terus mencari belut-belut itu sambil merenungkan cerita yang Tikno sampaikan. Aku merasa harap-harap cemas dan was-was ketika mendengar bahwa belut tunggon mungkin benar-benar ada di sana. Apalagi, jika belut-belut yang kami tangkap benar-benar merupakan piaraan bahurekso, itu bisa berarti kami telah mengganggu keberadaan mereka.

Namun, ketika kami berhasil menangkap beberapa belut lagi, tiba-tiba ada suara aneh yang terdengar dari balik semak-semak. Aku dan Tikno saling pandang, takut dan penasaran. Apa itu suara pemilik belut tunggon atau bahkan jin-jin yang melindunginya? Atau itu sebenarnya suara pergesekan antar batang bambu ampel atau batang bambu peting yang tumbuh berdekatan karena angin?

Aku jadi bimbang. Melihat kebimbanganku, Tikno yang agak penakut dan paling percaya takhayul itu menghentikan aktivitasnya. Dia segera mendejatiku dan berbicara setengah berbisik.

“Aku sudah bilang, jangan pernah mengganggu belut tunggon itu, Lik!” kata Tikno dengan suara serak-serak basah yang penuh dengan kekhawatiran. “Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi. Belut itu bukan sekedar belut biasa, mereka adalah piaraan bahurekso sini!”

“Apa yang kamu bicarakan, Tikno? Aku tidak percaya dengan cerita-cerita seperti itu,” sahutku menguatkan diri.

“Tapi, ini bukanlah cerita belaka, Lik. Ini adalah fakta yang sudah terbukti,” jawab Tikno dengan sungguh-sungguh. “Aku pernah mendengar kisah orang-orang yang telah mengalami kecelakaan karena mengganggu binatang tunggon. Mereka mengalami gangguan jin dan akhirnya jadi gila.”

Aku terdiam. Pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan. Apakah benar aku berada di dalam bahaya? Apakah aku harus melepaskan semua belut yang sudah aku tangkap? Namun, aku juga merasa ragu dengan cerita-cerita itu. Bagaimana bisa aku melepaskan lauk yang sudah aku dapatkan dengan susah payah?

“Aku takut, Lik. Aku tidak mau ada apa-apa terjadi pada kita,” ujar Tikno dengan suara penuh kekhawatiran. “Kita sebaiknya pulang saja sekarang.”

Melihat reaksiku yang berusaha biasa-biasa saja, Tikno menatapku tajam, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu yang lebih.

Hening sesat lalu ia melanjutkan. “Tapi, kamu harus percaya Lik. Aku sendiri sudah merasakan kehadiran bahurekso itu ketika sekali mencoba untuk menangkap ikan kutuk di blumbang belakang rumah mbah Karsum itu. Aku merasa ada sesuatu yang mengintip dari balik bayangan pepohonan, dan udara terasa semakin dingin.”

Meski tidak terlalu yakin akan kebenaran cerita Tikno, jujur aku merasa bulu kudukku merinding mendengar cerita lnya. Tiba-tiba, hawa dingin menyeruak dan menyelubungi seluruh tubuhku. Aku mencoba menggelengkan kepala dan berusaha meredakan ketakutan di dalam diriku. Namun, takdir sepertinya sudah terlalu jelas. Saat itu, aku memutuskan untuk tetap mengambil risiko dan menangkap lebih banyak belut-belut itu, tanpa memikirkan konsekuensinya karena sebenarnya semua masih belum pasti.

Aku masih merasa bingung dan bimbang dengan cerita yang disampaikan Tikno, tapi suara berkecipak dari dalam ember membuatku kembali teringat pada belut-belut yang sudah aku tangkap. Binatang-binatang yang tubuhnya panjang dan licin itu masih ada di sana, menunggu untuk diolah dan dimakan. Dan aku merasa tidak ingin melewatkan kesempatan ini.

Dari jauh terdengar suara loudspeaker mengumandangkan Surat Ar-Rahman. Kang Jumbadi yang biasanya menyetel tape dan amplifier di Mushola Mbah Mungsal sehingga laudspeaker yang dipasang di ujung bambu peting besar yang tinggi itu berbunyi. Kang Jumbadi tadi siang baru saja mengambil accu yang sudah tiga hari disetrumkan di daerah Gebanganom. Jadi suara loudspeaker itu terdengar keras karena accu masih full. Suara itu juga membuatku sadar bahwa waktu sudah larut. Kami harus segera pulang sebelum gelap.

“Baiklah, kita pulang saja sekarang,” kataku akhirnya dengan sedikit kecewa karena sebenarnya masih banyak tangkapan yang bisa kami bawa.

“Supaya aman, aku akan menyimpan belut-belut itu dan mencoba mengolahnya besok pagi.”

“Aku harus mengakui, keputusanmu untuk pulang sangat bijak, Lik,” ucap Tikno seraya menatapku dengan pandangan serius. “Kita tidak boleh mengambil risiko dengan hal-hal yang tak kita ketahui sepenuhnya.”

Kulihat cahaya matahari sore yang redup memantulkan warna pucat di wajahnya, menambah kesan misteri dan horor dari percakapan kami. Aku mengangguk, namun hatiku masih berdebar-debar. Aku tidak sabar untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelitik pikiranku.

Aku tidak mau larut dalam ketegangan dan situasi horor lebih lanjut. Kupukul lengan tikno supaya tidak terlalu serius. Ia mengaduh sambil meringis.

“Ah sudahlah! Gaya bicaramu sok serius, kayak seorang ahli saja,” gurauku meredakan ketegangan. “Ingat lho, kamu ini pernah ketinggalan kelas sekali. Aku sih naik terus.. * kataku menepuk dada. Tikno hanya nyengir kuda. Sebagai anak desa Gebangsari di kampung Widuri, kami hanya bisa menonton TV hitam putih sesekali. Jadi memang jarang kesempatan untuk menonton bagaimana para ahli tampil di TV.

Tiba-tiba, angin kencang bertiup dan suara desisan yang mencurigakan menghiasi keheningan sore itu. Aku merinding dan mencoba menahan napas. Apakah ini suara jin yang Tikno ceritakan tadi? Aku tak bisa mempercayainya, namun suara itu semakin dekat dan semakin keras.

Tikno mengangguk, dan kami segera berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu dengan hati yang berdebar-debar. Aku tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Namun, satu hal yang pasti, cerita tentang belut tunggon dan jin-jin itu masih terus menghantui pikiranku.

“Ayo, kita cepat pulang, Lik,” bisik Tikno dengan suara serak-serak basah. Pandangannya nanar. Namun, sebelum kami sempat beranjak dari tempat itu, tiba-tiba belut-belut yang kami tangkap tadi mulai bergerak liar dan mengeluarkan suara aneh. Aku merasa kaget dan takut, sementara Tikno sudah bergegas meninggalkan aku. Ember segera kusambar dan berlari menyusul Tikno..

“Apa yang terjadi?” tanyaku gemetar setelah berhasil menyamai langkah Tikno. Tikno hanya menggelengkan kepala, tampaknya ia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun, ketika kami beranjak dari tempat itu, tiba-tiba suasana menjadi lebih gelap dan angin berhembus kencang. Suara-suara aneh semakin terdengar berasal dari arah di mana kami berlari tadi, dan aku merasa seakan-akan ada yang mengejar kami dari belakang.

“Tikno! Ada apa ini?” teriakku ketakutan. Tikno hanya menggenggam tanganku erat-erat, tampaknya ia juga merasakan ketakutan yang sama.

“Ayo cepat lari, Lik! Kita harus keluar dari sini secepat mungkin!” ujarnya.

Kami berlari secepat mungkin sambil merasa diteror oleh suara-suara aneh yang semakin kuat. Ketika akhirnya kami sampai di luar hutan bambu, kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan menenangkan diri.

“Apa itu tadi, Tikno?” tanyaku, masih gemetar. Tikno hanya menggelengkan kepala, tampaknya ia juga tidak tahu. Wajahnya seperti mayat. Namun, ketika kami melihat ke arah hutan bambu kami tidak melihat apapun, padahal tadi suara-suara itu begitu jelas, dan kami yakin itu bukanlah sesuatu yang biasa.

Kami pulang dengan hati yang berdebar-debar, masih teringat dengan semua kejadian yang kami alami di hutan belakang itu. Apakah benar ada belut tunggon dan bahurekso di sana? Ataukah itu hanya sebuah cerita yang dibuat-buat belaka? Hingga saat ini, misteri itu masih menghantui pikiran kami.

______________________________

Ditulis dengan metode menemu baling menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga dalam perjalanan dari Tegal menuju ke Slawi, diedit dan direvisi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri Berbais AI di Sampangan.

Daftar Istilah:

  • bahurekso = penguasa gaib
  • blanjan = sembako
  • blarak = daun kelapa kering
  • blasakan = menerobos tempat yang jarang dijamah
  • blukang = pangkal dahan kelapa
  • boto mburup = batu bata menyala
  • blumbang = empang
  • carang = dahan dan ranting bambu
  • irig = Penyaring dari anyaman bambu dengan lobang agak besar
  • kasep = terlanjur
  • klowong = buah kelapa kering yang sudah dilubangi tupai
  • lautan = beristirahat dari kerja
  • lik = panggilan untuk paman atau pak cilik
  • menyetel = menghidupkan
  • mlandingan = petai cina
  • mokongan = keras kepala
  • ngeyel = membantah
  • Nyi = panggilan untuk nenek
  • Pak’e = panggilan untuk ayahrambanan= pakan kambing atau ternak sejenis
  • tampah = nyiru
  • tawu = Mencari ikan dengan mengeringkan airnya
  • tunggon = penunggu
  • Yi = panggilan untuk kakek