By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Langit malam di Desa Gebangtuwo tergantung seperti kain kusut, menggelayut rendah, hitam kelam, menyimpan segala kesunyian dan kepasrahan dari seisi desa. Di bawah remang-remang lampu minyak, ada satu sudut desa yang lebih hidup dari biasanya—lebih hidup dari mushala atau masjid, bahkan lebih hidup dari dapur ibu-ibu yang biasanya sibuk memasak untuk makan malam.
Suara kaki sandal beradu dengan tanah basah menggema pelan, seperti membisikkan berita yang ditunggu banyak orang. Suara langkah itu datang dari Murdin, seorang pemuda yang dulu polos, tetapi kini lebih matang dalam perhitungan. Di tangan Murdin, secarik kertas kecil, lusuh oleh keringat, tetapi penuh harapan—seperti nyawa kedua bagi orang-orang yang berkumpul malam itu. Kertas itu adalah kupon SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang bagi sebagian besar penduduk desa lebih suci daripada janji-janji pemimpin desa di depan masjid.
Malam Jumat, kios-kios agen SDSB penuh oleh masyarakat. Mereka datang bukan hanya untuk membeli kupon, tapi untuk bermimpi. Tak ada yang lebih ramai di desa ini, bahkan mushola sekalipun kalah pamor. “Eh, Bos Murdin, dapet berapa untung hari ini?” tanya Mbah Jo, pria tua beruban yang duduk sambil menghisap kretek di sudut.
Murdin tersenyum kecut, matanya sedikit menyipit. “Untung? Hah, kalau dihitung-hitung, lumayan lah, Pak. Tapi yang penting kan bukan untung saya, tapi untung mereka. Siapa tahu malam ini ada yang jadi miliarder.” Murdin tertawa kecil, tapi dalam hati ia tahu betul, kupon-kupon itu hanya memberikan mimpi palsu. Ia menyimpan sinisme di balik tawanya, sinisme yang tumbuh dari pengalaman bertahun-tahun melihat mereka yang berharap menjadi jutawan, tetapi keesokan harinya, hidup mereka tak berubah, bahkan lebih buruk.
Setiap Jumat malam, Murdin menjual kupon-kupon itu dengan tangan bergetar, bukan karena takut, melainkan karena ia menyadari, bahwa di tiap kupon itu ada janji kosong yang akan menghancurkan lebih banyak harapan dari pada yang diberikan.
“Malam ini, pasti saya menang!” teriak Sudir, seorang tukang becak, dengan nada penuh optimisme yang hampir meluap-luap. Sorot matanya berbinar-binar, wajahnya dipenuhi bayangan harapan, begitu pula tangan-tangannya yang kasar. “Tuhan pasti kasih saya rezeki malam ini, Yono!” lanjutnya kepada tetangganya yang tengah duduk di sampingnya.
Yono tertawa kecil, setengah sinis. “Semoga saja, Dir, tapi jangan lupa… besok pagi, anakmu masih cacingan. Istrimu masih nggak mau bicara sama kamu karena nggak ada uang buat beli beras.” Ia melirik ke arah Sudir yang sedang memandangi kuponnya dengan penuh harapan. Murdin terdiam di sudut kios, memperhatikan obrolan mereka.
Malam terus beranjak, dan suasana di depan radio semakin ramai. Orang-orang berkumpul sambil merokok, bercanda, dan minum kopi. Di mata mereka, terpancar kegembiraan yang terbungkus dalam ilusi. Tak ada tekanan, tak ada kemiskinan. Dunia yang ada di sekeliling mereka hanyalah mimpi indah yang dipancarkan oleh suara radio.
“Ini, saat-saat ini, adalah saat ketika kita benar-benar hidup!” seru salah satu dari mereka dengan semangat. “Tidak ada beban, tidak ada kesulitan. Malam ini kita bebas, bebas dari segala yang mencekik hidup kita setiap hari!” Ia memejamkan mata sejenak, merasakan angin malam yang berhembus pelan, seolah membawa ketenangan sementara yang begitu rapuh.
Namun, waktu terus bergerak. Radio akhirnya mengumumkan nomor pemenang, dan seperti biasa, tidak ada satu pun dari mereka yang menang. Senyum-senyum tadi berubah menjadi wajah-wajah muram, penuh kepasrahan. Mereka kembali ke rumah, di mana anak-anak mereka yang malnutrisi duduk di lantai tanah, tanpa baju, rambut merah kusut tak bersisir. Istri mereka, tak lagi menyajikan kopi, hanya berdiri di dapur dengan wajah masam dan penuh guratan penderitaan.
Sudir menatap kupon lusuh di tangannya, kupon yang tadinya ia yakini akan mengubah hidupnya. Kini, ia meremasnya dengan marah dan melemparkannya ke tanah. “Dasar bodoh! Aku bodoh! Kenapa aku selalu percaya ini akan berhasil?” teriaknya, matanya berkaca-kaca. Yono di sebelahnya menepuk pundaknya pelan, tak berkata apa-apa. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa meredakan kekecewaan yang teramat dalam itu.
Di tengah keheningan malam yang mulai sepi, Murdin berjalan pulang. Langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya. Ia sudah lama berhenti berharap pada kupon-kupon itu, bahkan sejak ia mulai menjualnya. Namun, setiap malam Jumat, ia tetap melihat pemandangan yang sama—orang-orang penuh harapan yang hanya berakhir dengan keputusasaan.
“Kehidupan ini seperti permainan,” gumam Murdin dalam hati, “hanya saja, tidak ada yang pernah benar-benar menang.”
Sesampainya di rumah, Murdin duduk di kursi kayu tua, menghadap jendela. Di luar, bulan sabit melambai lembut, seolah mengejeknya. “Aku hanya seorang penjual mimpi,” bisiknya lirih, sebelum akhirnya ia terlelap, terseret dalam mimpi yang entah lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan yang ia hadapi setiap hari.
Hari-hari seperti ini terus bergulir. Setiap malam Jumat, desa kembali penuh harapan, namun setiap Jumat pagi, desa kembali diselimuti keputusasaan. Hingga pada suatu hari, terdengar kabar bahwa salah satu dari mereka benar-benar menang undian. Sudir, tukang becak yang setiap Jumat malam optimis, tiba-tiba menjadi miliarder.
Desa geger, orang-orang berbondong-bondong ke rumah Sudir, ingin melihat dengan mata kepala sendiri perubahan nasib yang selama ini hanya menjadi impian mereka.
Namun, saat mereka sampai di rumahnya, yang mereka temukan hanyalah Sudir yang termenung di depan rumahnya. Wajahnya pucat, matanya kosong. “Apa yang terjadi, Sudir?” tanya Murdin, yang ikut datang bersama kerumunan.
Sudir tidak menjawab. Ia hanya menatap tanah di depannya, kupon pemenang yang masih ada di genggamannya. “Aku menang,” bisiknya. “Tapi, aku kalah.”
“Semua ini hanya permainan,” gumam Murdin menyaksikan semua itu. “Dan kita semua hanyalah pion-pion yang digerakkan oleh tangan yang tak terlihat.”
“Ya. Kekuatan besar yang tak terlihat,” Murdin kembali menggumam pelan, mengingat malam-malam yang serupa, saat segala harapan melayang di antara suara berderak dari radio tua, menanti sebuah keajaiban yang entah datang dari mana. Namun kali ini, ada yang berbeda. Keheningan itu lebih menusuk, lebih menyakitkan daripada biasanya.
Sudir masih duduk di sana, diam dalam kebisuan yang mencekam, sementara orang-orang di sekitarnya berbisik-bisik, bingung. Mereka tidak mengerti mengapa, setelah menjadi miliarder, Sudir terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan seluruh dunia. Mata-mata mereka yang sebelumnya bersinar penuh iri, kini berubah menjadi cemas. Seolah ada sesuatu yang keliru dengan nasib baik yang tiba-tiba menimpa Sudir.
“Kenapa kau kalah, Dir?” Murdin akhirnya memberanikan diri bertanya. Ada nada penasaran, juga sinisme dalam pertanyaannya. Sebagai penjual kupon, Murdin tahu betul bahwa kehidupan ini jarang memberi hadiah tanpa menuntut sesuatu sebagai balasan.
Sudir menoleh pelan, bibirnya gemetar, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak kuasa. “Kalian tidak mengerti,” ujarnya pelan, hampir berbisik. “Uang itu… bukan milikku. Sejak ku terima, rasanya ada yang aneh. Anak-anakku tidak lagi tersenyum melihatku. Istriku bahkan tidak bicara padaku. Segalanya terasa… kosong. Seolah-olah, yang ku beli bukan keberuntungan, tapi kutukan.”
Kata-kata Sudir menggantung di udara seperti kabut yang menyesakkan dada. Beberapa orang di kerumunan mulai mundur perlahan, wajah mereka berubah pucat. Mereka yang sebelumnya begitu ingin berada di posisi Sudir, kini justru merasa takut.
“Jadi, kau bilang… menang itu bukan kebahagiaan?” tanya Yono, berdiri kaku di samping Sudir.
Sudir tertawa, tapi tawa itu terdengar pahit, seperti tangisan yang tertahan terlalu lama. “Kebahagiaan? Apa yang kalian tahu tentang kebahagiaan?” Tatapannya beralih ke arah Murdin. “Apa kau pikir uang akan menyelesaikan segalanya? Anak-anakku masih sakit, Yono. Rumahku tetap bocor saat hujan datang. Dan istriku… istriku tidak lagi memandangku dengan cinta. Yang ia lihat hanyalah setumpuk uang yang tak punya arti.”
“Uang itu… lebih berat dari yang bisa kubayangkan,” tambah Sudir lagi, matanya berkaca-kaca. “Setiap orang datang kepadaku, meminta bagian. Keluarga jauh, teman lama, bahkan orang-orang yang tidak pernah ku kenal. Mereka menganggapku sebagai tambang emas berjalan. Tapi tidak ada yang peduli, Yono. Tidak ada yang peduli tentang aku, tentang apa yang kurasakan. Semua hanya peduli pada uang.”
Sejenak, keheningan menelan mereka semua. Murdin menggenggam kupon-kupon di kantongnya erat-erat, merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mimpi menjadi jutawan yang selama ini ia jual terasa seperti mimpi buruk yang sedang dipanggil dengan sengaja.
“Jadi, apa kau akan meninggalkan uang itu, Dir?” tanya Murdin, setengah berharap Sudir akan membuangnya dan mengembalikan semuanya seperti semula.
Namun, Sudir hanya menggeleng pelan. “Tidak, Murdin. Uang itu sudah terlanjur menjadi bagian dari hidupku. Tapi aku tahu satu hal sekarang, sesuatu yang seharusnya kita semua tahu sejak awal.”
“Apa itu?” tanya seseorang dari kerumunan, suaranya bergetar.
“Bahwa tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini,” jawab Sudir dengan senyum getir di bibirnya. “Semua harus dibayar, entah dengan uang, atau dengan jiwa. Dan malam ini, aku membayar dengan keduanya.”
Kalimat itu membuat udara di sekitar mereka semakin berat. Orang-orang mulai meninggalkan Sudir satu per satu, berjalan pulang dengan pikiran yang bercampur aduk antara ketakutan dan kebingungan. Mereka yang tadinya iri kini merasa lega, seolah-olah keajaiban yang mereka inginkan selama ini ternyata hanyalah ilusi.
Murdin berdiri sendirian di depan Sudir, menatap lelaki itu dengan perasaan yang tak ia pahami sepenuhnya. Ia ingin marah, ingin menertawakan Sudir, atau mungkin menyesal karena pernah terlibat dalam permainan konyol ini. Tapi yang ia rasakan justru lebih dari itu—sebuah kekosongan yang menganga di dalam dadanya.
“Kenapa dunia ini selalu menipu kita, Dir?” tanya Murdin akhirnya, setelah lama terdiam.
Sudir tidak menjawab. Ia hanya memandangi langit malam yang gelap, seolah mencari sesuatu di balik kegelapan itu. “Karena kita terlalu bodoh untuk melihat kebenaran,” katanya pelan. “Dan mungkin… karena kita tidak pernah berhenti berharap pada hal yang salah.”
Murdin mengangguk pelan, meskipun tidak sepenuhnya mengerti. Dalam diam, ia melangkah pergi, meninggalkan Sudir yang masih duduk di sana, sendirian, dalam kemenangannya yang hampa.
Malam itu, Murdin berjalan lebih lambat dari biasanya, membiarkan angin malam membawa segala pikirannya yang berkecamuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ia juga telah tertipu oleh harapan yang selama ini ia jual pada orang lain. “Apa gunanya semua ini?” batinnya bergemuruh. “Apa hidup ini hanya tentang menunggu sesuatu yang tak pernah datang?”
Di tengah malam yang sunyi, suara langkah kakinya terdengar semakin jauh, seperti melarikan diri dari kenyataan yang telah terlalu lama diabaikan.
==================================
Sampangan Semarang, 6 Oktober 2024 17.00 WIB.
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ yang merupakan pengembangan dari metode Menemu Baling _menulis dengan mulut membaca dengan telinga.
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri.
Terinspirasi oleh cerita dari Udin Wardoyo dan Rachmat Basuki, teman kuliah di Jurusan Kimia IKIP Semarang semasa SDSB belum dibubarkan.