By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Langit di pagi hari itu seperti kanvas biru muda yang ditorehkan oleh kuas halus sang seniman. Matahari tersenyum dari balik kabut, sinarnya yang lembut menyusup ke dalam jendela kelas 3A di SDIT Al Jabar, membawa kehangatan dan semangat baru. Devi Setyaning Cahyo berdiri di depan kelas, matanya menyapu setiap wajah mungil yang penuh harap, sementara suara-suara riuh anak-anak berusaha menenangkan diri. Ia menghela napas panjang, merasa di tengah-tengah aliran arus yang mengalir tenang, namun sesekali bergelombang.
“Anak-anak, ayo kita mulai pelajaran hari ini dengan doa belajar. Yuk, semuanya lipat tangan, tutup mata, dan kita ucapkan doa pembuka bersama-sama. Semoga Allah SWT meridhoi kegiatan kita hari ini,” ujar Devi dengan suara lembutnya yang menjadi pengantar bagi anak-anak untuk memulai hari.
Semburat senyum muncul di wajah-wajah mereka yang polos. Ada Ali yang selalu bersemangat mengangkat tangan, Zahra yang suka menulis catatan dengan rapi, dan Andin, gadis kecil pendiam yang sering menarik perhatian Devi karena sikapnya yang begitu tenang. Setiap dari mereka memiliki cerita sendiri. Ali, misalnya, sering kali terlihat sibuk mencari perhatian dengan kelucuannya yang berlebihan, sementara Zahra selalu siap dengan jawaban-jawaban cerdasnya, namun Andin berbeda. Ia bagai bunga yang belum mekar, masih tertutup rapat dalam kebisuannya, menunggu waktu yang tepat untuk bersinar.
“Apa kabar semuanya? Semoga pagi ini kalian semua dalam keadaan baik, ya,” Devi tersenyum lagi, mencoba menyelami hati anak-anak itu satu per satu.
Namun, tidak semua hari berlalu dengan mulus. Ada saat-saat ketika Devi merasa berada di persimpangan jalan, ketika kelelahan dan frustrasi menyergapnya. Salah satunya adalah saat berhadapan dengan Andin yang tampak semakin tertutup hari demi hari. Gadis kecil itu jarang berbicara, bahkan jarang tersenyum. Devi selalu berusaha mendekatinya, namun seperti berhadapan dengan dinding yang tak tertembus. Rasa kecewa kadang menyelinap di hatinya, namun ia tak ingin menyerah.
“Andin, apa kamu baik-baik saja? Kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, Ibu ada di sini, ya,” ujarnya suatu pagi ketika seluruh anak sibuk dengan tugas mereka. Andin hanya menunduk, bibirnya terkunci rapat, dan tanpa menoleh, ia menggeleng pelan.
Devi tahu betul bahwa setiap anak adalah teka-teki yang harus dipecahkan dengan hati. Setiap kepribadian mereka bak misteri yang terbungkus dalam lapisan-lapisan. Ada yang mudah terbuka, namun ada pula yang seolah melindungi dirinya dari dunia luar. Andin adalah yang terakhir itu—terbungkus rapat dalam keheningan.
Hari-hari berlalu, dan Devi tetap mencari cara untuk menembus dinding yang mengelilingi Andin. Di suatu sore yang teduh, saat matahari mulai turun di balik bukit dan bayangan panjang mulai muncul di pekarangan sekolah, Devi bertemu dengan ibunya Andin. Wajah ibu Andin kusut dan letih. Dari percakapan singkat itu, Devi mengetahui bahwa Andin kehilangan ayahnya beberapa bulan lalu. Seperti aliran air yang tiba-tiba berubah menjadi deras, pikiran Devi tenggelam dalam simpati. Kini, ia mengerti. Gadis kecil itu telah tenggelam dalam duka yang membelenggu dirinya, mengunci semua emosi dan perasaannya.
“Bagaimana Andin di rumah, Bu?” tanya Devi dengan hati-hati, suaranya serupa embun yang rapuh di ujung dedaunan pagi, siap jatuh dengan satu sentuhan. Ibu Andin tersenyum, namun senyum itu lebih mirip awan mendung yang menyembunyikan hujan. “Ia tidak banyak bicara, Bu Devi. Sejak bapaknya meninggal, dia lebih suka menyendiri. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” jawabnya, suaranya nyaris hilang ditelan kesedihan yang dalam.
Kata-kata itu menggema di kepala Devi seperti lonceng di malam yang sunyi, menggetarkan hatinya. Kesedihan Andin dan ibunya seperti ombak besar yang menghantam batu karang, mengikis ketenangannya sedikit demi sedikit. Malam itu, Devi duduk di kursi kamarnya, tetapi pikirannya melayang. Ia merenungi nasib Andin, seorang anak yang kehilangan separuh dunianya, terperangkap dalam kesendirian yang pekat. Hati Devi seperti diiris, merasakan kesedihan yang tak bisa ia usir. Rasa simpati kepada Andin dan ibunya berputar di dalam dadanya seperti angin yang tak pernah berhenti berdesir.
Keesokan harinya, Devi berdiri di depan jendela kelas, memandangi dedaunan yang gugur, seolah-olah daun-daun itu adalah mimpi Andin yang berjatuhan, satu per satu, hilang tersapu angin. “Apakah aku bisa membantu?” pikir Devi. Namun, pertanyaan itu seperti burung kecil yang terbang di tengah badai—tidak berdaya, terombang-ambing di antara keputusasaan dan harapan. Kesedihan Andin terasa nyata, seperti angin dingin yang menyelinap masuk melalui celah kehidupannya, menembus kulit, meresap sampai ke tulang.
Setiap langkah Devi di sekolah hari itu terasa berat, seolah-olah ia membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Rasa empatinya pada Andin membuat hatinya bagaikan kaca rapuh yang siap pecah kapan saja. Ia tak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Andin yang kehilangan ayahnya di usia yang masih begitu muda. Devi ingin melakukan sesuatu, apapun, untuk mengembalikan cahaya di mata Andin, tetapi ia merasa seperti terkurung dalam kebingungan dan rasa tak berdaya.
Di dalam dirinya, Devi merasakan konflik batin yang mendalam. Ia adalah guru, tapi kali ini perannya sebagai guru terasa tak cukup. Bagaimana ia bisa mendekati Andin yang terkurung dalam kesedihan yang tak terucapkan? Hatinya berbisik, “Kamu harus lebih dari sekadar guru untuknya, kamu harus menjadi pendengar, seorang teman.” Namun, ia juga takut, takut salah langkah dan semakin membuat Andin tenggelam dalam kesendiriannya. Dalam keheningan sore itu, Devi berdoa dalam hati, berharap Allah SWT memberinya kekuatan untuk menyentuh hati Andin dan membawanya keluar dari kegelapan yang menyelimutinya.
Hari demi hari, Devi mencoba mendekati Andin dengan cara-cara yang lebih halus. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang disukai Andin, memberinya perhatian lebih tanpa terkesan memaksa. Ia bahkan menugaskan Andin untuk membantu menata alat-alat di ruang kelas—tugas kecil yang mungkin dianggap sepele, namun baginya merupakan langkah awal untuk membuka hati gadis kecil itu.
“Aku hanya ingin kamu tahu, Andin, bahwa Ibu selalu ada di sini kalau kamu butuh teman bicara,” kata Devi suatu pagi sambil duduk di sebelah meja Andin. Kali ini, Andin mengangguk, sebuah respons kecil yang membuat hati Devi sedikit hangat.
Sementara itu, dinamika di kelas 3A terus berputar. Setiap hari, Devi melihat anak-anak ini tumbuh dengan caranya masing-masing. Ada Zahra yang semakin mahir dalam berhitung, Ali yang tak lagi terlalu gaduh, dan Andin yang meskipun perlahan, mulai menunjukkan sedikit senyum saat mereka bermain di halaman. Devi selalu berusaha untuk melihat yang terbaik dari setiap anak. Meski terkadang lelah, bahkan frustrasi, ia percaya bahwa setiap anak layak untuk diperjuangkan.
Suatu hari, di tengah kegiatan paguyuban orang tua murid, Devi menyampaikan perkembangan yang ia lihat pada masing-masing anak. “Anak-anak kita ini, meski masih kecil, mereka memiliki potensi yang luar biasa. Saya melihat semangat, keinginan, dan keceriaan dalam diri mereka yang kadang-kadang kita, sebagai orang dewasa, lupa untuk menghargainya.”
Para orang tua bergilir bertanya jawab tentang kondisi anak-anak mereka lebih jauh dan Devi menjelaskan perkembangan mereka dengan gamblang. Ketika sampai pada Andin, suara Devi melembut, hatinya masgul. Devi mulai menanyakan tentang kondisi keseharian Andin kepada ibu Andin di hadapan orang tua siswa yang hadir. Tidak dinyana suasana tiba-tiba berubah. “Bu Devi, kenapa ibu menanyakan masalah ini di depan banyak orang? Ini masalah pribadi anak saya!” suara ibu Andin mendadak tinggi, menarik perhatian orang tua lainnya. “Saya tidak suka cara ibu menginterogasi saya di hadapan semua orang. Andin sudah cukup menderita, dan sekarang saya merasa ibu mempermalukan kami!” Kemarahannya terlihat jelas, memerah di wajahnya. Rasa sakit dan frustrasi terpancar dari matanya.
Devi tertegun, tak menyangka pertanyaan yang dikiranya wajar justru memicu reaksi sebesar ini. “Saya hanya ingin memahami lebih baik agar bisa membantu Andin, Bu,” jawab Devi dengan nada menenangkan, meski dia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Namun, ibu Andin semakin tersulut. “Membantu?! Menanyakan hal-hal sensitif di depan semua orang? Apa ibu tidak pikir itu malah membuat Andin makin trauma? Sekarang dia semakin menutup diri di rumah, dan ibu membuat saya terlihat seperti ibu yang gagal!” Serangan kata-katanya semakin keras, menciptakan suasana canggung di antara para orang tua lainnya.
Beberapa orang tua mulai mengalihkan pandangan mereka, berbisik-bisik satu sama lain. Beberapa mencoba menenangkan ibu Andin. “Bu, mungkin maksud Bu Devi baik, jangan dibesar-besarkan,” seorang ayah murid berusaha mendamaikan. “Kita bisa bicara baik-baik, bu,” tambah salah seorang ibu. Namun, ibu Andin tidak menggubris, emosinya sudah menguasai. “Tidak! Saya tidak terima diperlakukan seperti ini! Anak saya sudah cukup menderita tanpa perlu dijadikan topik di depan orang lain!”
Di tengah ketegangan, kepala sekolah, Ibu Tantri, turun tangan dengan langkah penuh wibawa. “Bunda Andin, Bu Devi tidak berniat mempermalukan siapa pun,” katanya lembut namun tegas. “Saya mengerti bahwa Bunda sedang berada dalam situasi sulit, apalagi dengan kepergian suami Bunda yang pastinya sangat berat, baik untuk Bunda maupun Andin. Tapi mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin, karena kami semua peduli dengan kondisi Andin.” Suasana mulai mereda perlahan. Ibu Andin terlihat sedikit tersentak mendengar empati dari Ibu Tantri.
Dengan nafas berat, ibu Andin menunduk, emosinya mulai terkendali. Devi pun melangkah maju, mencoba menyambung percakapan dengan lebih hati-hati. “Saya tidak bermaksud menyakiti ibu atau Andin. Mungkin saya terlalu terbuka tadi, dan untuk itu saya minta maaf. Tapi percayalah, kami semua di sini hanya ingin membantu Andin agar bisa pulih dari trauma yang dialaminya. Kita bisa bicara secara pribadi setelah ini.”
Akhirnya, setelah beberapa saat hening, ibu Andin mengangguk pelan. Meski wajahnya masih memancarkan ketegangan, ia mulai membuka diri untuk berdiskusi lebih lanjut. Perlahan, suasana yang tegang mulai mencair, namun suasana hati ibu Andin masih seperti ombak di lautan—gelisah, penuh dengan arus yang tak terduga. Kepala sekolah, dengan bijak, menyarankan agar pertemuan lebih lanjut dilakukan secara privat untuk membahas solusi terbaik bagi Andin tanpa tekanan dari publik. “Mari kita duduk bersama nanti Bunda, hanya kita berdua dan Bu Devi,” ujarnya, lembut namun tegas. “Agar kita bisa fokus pada kebutuhan Andin tanpa gangguan.”
Keheningan yang menyelimuti ruangan perlahan memudar. Para orang tua yang tadinya menahan napas mulai menghembuskan lega. Beberapa dari mereka saling melirik, seolah terlibat dalam percakapan tanpa kata, memahami betapa berat beban yang dipikul ibu Andin. Sesaat, ibu Andin hanya terdiam, terlihat seperti seseorang yang baru saja melewati badai besar. Kata-kata kepala sekolah itu seperti lentera kecil yang menerangi jalan di kegelapan, memberikan sedikit harapan yang sebelumnya terasa sirna.
Setelah suasana mulai lebih tenang, Devi memberanikan diri untuk berbicara lagi. “Bu, saya mengerti ini tidak mudah. Tapi kita semua di sini ingin yang terbaik untuk Andin. Saya yakin, dengan dukungan ibu dan kerjasama kita, Andin bisa kembali ceria dan berkembang seperti anak-anak lainnya.” Kata-kata itu mengalir lembut, mencoba menyentuh hati ibu Andin yang masih berbalut luka. Ibu Andin tidak langsung menjawab. Matanya terlihat menatap jauh, seolah sedang menimbang setiap kata yang baru saja didengarnya.
Seketika, air mata ibu Andin mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha keras untuk menahannya. Bagi seorang ibu yang kehilangan suami—sosok yang selama ini menjadi sandaran hidup, baik secara emosional maupun finansial—dunia terasa semakin sempit. Ditambah lagi dengan trauma yang dialami Andin, yang membuat segalanya semakin rumit. “Saya hanya… saya merasa semuanya menjadi terlalu berat,” ucapnya, suaranya bergetar. “Saya tidak tahu harus bagaimana, Bu Devi. Saya kehilangan suami saya, dan sekarang Andin…” suaranya terhenti, tertelan oleh tangis yang tak bisa lagi ia bendung.
Devi memahami bahwa di balik kemarahan ibu Andin tadi, ada rasa takut, rasa putus asa, dan kesedihan yang tak terkatakan. Seperti tanah yang retak setelah sekian lama tidak diguyur hujan, ibu Andin sebenarnya sedang menunggu untuk disirami, disembuhkan. Dan sekarang, meski perlahan, air harapan mulai mengalir kembali. “Tidak apa-apa, Bu,” kata Devi pelan, mendekati ibu Andin. “Kita bisa melalui ini bersama.”
Kemudian, dengan hati-hati, Devi mulai menceritakan pengalaman dari anak-anak lain yang pernah mengalami trauma seperti Andin. Ia menceritakan bagaimana perlahan Andin mulai membuka diri, dan bagaimana dukungan dari keluarga serta sekolah sangat penting dalam proses ini. Mata ibu Andin terlihat berkaca-kaca mendengar penuturan itu. Harapan yang nyaris padam, kembali menyala, meski dalam pendar yang samar.
***
Di tengah-tengah kesibukan sekolah, Devi tidak pernah melupakan perannya sebagai seorang pendidik. Ia bukan hanya mengajarkan pelajaran akademik, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang harus dimiliki setiap anak. Ia tahu, tanggung jawabnya tidak hanya berhenti di dalam kelas, tetapi juga menyentuh jiwa setiap murid yang ia ajar.
Akhirnya, di penghujung tahun ajaran, kelas 3A mengadakan acara perpisahan kecil. Devi, dengan mata berkaca-kaca, menyampaikan pesan terakhirnya kepada anak-anak. “Kalian semua adalah bintang, dengan cahayanya masing-masing. Jangan pernah biarkan apa pun memadamkan sinar kalian. Teruslah bersinar, teruslah berjuang.”
Ketika Devi menutup acara dengan doa, ia merasakan tangan kecil Andin menggenggamnya erat. Gadis kecil itu tersenyum—senyum yang selama ini dinanti Devi, senyum yang penuh dengan harapan. Hati Devi meledak dengan kebahagiaan yang tak terkatakan. Tepat di saat itu, ia tahu, semua perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
Dan dalam hati, Devi mengucap syukur. Untuk setiap anak di kelas 3A, untuk setiap tawa dan air mata, untuk setiap pelajaran yang mereka berikan padanya. Sebab di balik semua itu, Devi mengerti bahwa ia tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar dari mereka. Kelas 3A bukan sekadar ruang belajar—ia adalah tempat di mana hati dipertemukan, dibuka, dan disembuhkan
==================================
Semarang, 29 September 2024, 16.00 WIB.
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ dalam perjalanan dari Villa Kedaton Maha Prabu BSB ke Sampangan.
Dari kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri.
Ispired by Devi Setyaning Cahyo, Guru SDIT Aljabar Sragen