Oleh : Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S.Pd., S.Pd., M.Kom.)
Hujan telah lama pergi, meninggalkan tanah di kebunku dengan retakan-retakan halus, seolah bumi menguap, menghela napas panjang setelah sekian lama basah. Di tengah kekeringan yang pelan-pelan menggerogoti kebun dan ladang, blumbang di Dadah Wetan masih menyimpan sisa-sisa kehidupan.
Dadah Wetan itu hutan bambu yang terletak di sisi timur tanah warisan turun temurun ayahku, Bung Tomo. Setiap tahun selalu ada fenomena yang membuat orang tak habis pikir. Di sana, di balik guguran daun bambu hitam kecoklatan yang terendam air blumbang, belut-belut muncul seperti tamu tak diundang. Belut-belut besar dan keci itul tiba-tiba muncul entah dari mana. Sebuah misteri alam yang sulit dijelaskan, seolah bumi mengeluarkan rahasianya yang paling dalam hanya di tempat itu. Alam, dengan diamnya, memberi kejutan kecil di tengah sunyi.
Aku selalu memandang fenomena ini dengan takjub, seolah-olah Tuhan sedang memberikan hadiah khusus untukku, namun di sisi lain, beberapa tetanggaku melihatnya dengan mata yang berbeda. Mereka berkata ada yang ganjil, ada sesuatu yang tidak beres. Mereka percaya, di bawah genangan air itu, bersemayam belut tunggon—makhluk gaib yang konon bisa mendatangkan petaka bagi siapa pun yang mengusiknya. Terkadang, aku tertawa kecil mendengar cerita-cerita mereka. Belut tunggon? Benarkah alam menyembunyikan kekuatan sebesar itu di balik lumpur dan daun-daun bambu yang sudah lapuk?
Dulu, Glembos—anak tetangga sebelah—pernah diam-diam menangkap belut di situ. Ia tergiur dengan jumlah belut yang seolah tak ada habisnya. Namun, ibunya justru ketakutan setengah mati. “Belut itu bukan belut biasa,” katanya. “Itu anak-anak ratu belut yang tinggal di dunia gaib!” Aku tak tahu harus tertawa atau kasihan saat melihat Glembos dipaksa mengembalikan belut-belut itu ke blumbang, seolah kehidupan kecil mereka di dalam lumpur lebih penting daripada perut lapar anak tetangga. Sia-sialah semua jerih payahnya. Sedangkan aku, yang datang belakangan, dengan santai menguras blumbang itu dan berhasil mendapatkan lebih banyak belut tanpa harus bersusah payah. Ironi, bukan?
“Ah, dunia gaib,” gumamku sambil tersenyum sinis. Aku tak pernah benar-benar percaya pada hal-hal yang tak kasat mata itu. Dunia nyata adalah tempat di mana aku bisa memegang belut dengan tangan, merasakan licinnya tubuh mereka yang menggeliat di antara jari-jariku. Sementara itu, tetanggaku terus saja sibuk dengan cerita-cerita mereka tentang makhluk halus yang menghuni kebun dan hutan. Aku lebih memilih untuk mengabaikan semua itu. Bagiku, dunia gaib adalah ilusi yang diciptakan oleh ketakutan mereka sendiri.
Hari itu, setelah pulang dari sekolah di SMAN 3 Semarang, aku sudah bertekat untuk kembali ke blumbang di Dadah Wetan. Dengan peralatan sederhana, aku berencana untuk tawu, menangkap belut dan ikan dengan cara menguras blumbang. Siapa yang tahu? Mungkin, seperti hari-hari sebelumnya, Tuhan akan kembali memberiku hasil yang melimpah. Atau mungkin, tetanggaku akan kembali berbicara tentang belut tunggon yang semakin banyak dan semakin berbahaya.
Namun, aku hanya tersenyum tipis. Di balik bayangan hutan bambu yang menghitam, aku merasa seperti raja kecil yang bisa menguasai alam, tanpa harus memedulikan mitos dan cerita-cerita yang menggelikan itu. Bambu-bambu tua itu, yang mengering dan jatuh satu per satu, seolah sedang bersorak untukku, membisikkan sesuatu yang hanya aku yang bisa mendengarnya—bahwa mereka akan terus mendukungku, selama aku tetap berani melawan ketakutan yang tak masuk akal itu.
Gambar: Belut tunggon dalam bayangan pikiran tetangga-tetanggaku.
Memang tak dapat kupungkiri, terkadang bimbang itu hadir, mengendap di sela-sela pikiranku. Seperti bayangan yang mengintai di sudut-sudut sepi, ia datang saat aku sedang mengayuh sepeda jengki biru tua warisan Yu Mikuwati, kakakku, melewati jalan dari terminal Terboyo menuju kampung Widuri. Di tengah perjalanan itu, kisah-kisah tentang hal gaib yang sering kudengar dari para tetangga kembali menghantuiku. Mereka bercerita tentang gondoruwo, glundung pecengis, banaspati, hingga ulur-ulur bengkung, segala rupa makhluk yang katanya gentayangan di kebunku. Ah, cerita itu terasa lebih seperti dongeng penghantar tidur anak-anak ketakutan, meski sesekali, rasa ngeri itu diam-diam menyelusup.
Aku tak pernah melihat satu pun dari makhluk-makhluk itu, namun ada bagian dalam diriku yang tak bisa sepenuhnya menepis rasa was-was. “Apa benar ada sesuatu yang tak kasat mata di kebun itu?” batinku bergumul di sepanjang jalan yang melewati tanggul sungai Widuri. Namun, keyakinanku pada logika dan realitas tak mau dikalahkan oleh omong kosong yang tak terbukti. “Semua itu hanya karangan para pengecut,” gumamku lirih, mencoba menguatkan diri.
Dengan mantap, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana pergi ke blumbang di Dadah Wetan, melakukan tawu—seperti biasa. Sambil menuntun sepeda melewati gapura kampung, bangga melihat lukisan perang kemerdekaan yang kubuat tahun lalu di sana, aku menyapa Lik Miun yang baru pulang dari sawah. Dia membalas sapaku dengan anggukan cepat, lalu aku melanjutkan perjalanan ke rumah.
Setiba di rumah, aku tak mau berlama-lama. Setelah sejenak melepas lelah, kusiapkan peralatan tawu. Cangkul, sabit, irig—semua tertata rapi di dalam ember besar yang kubawa. Langit cerah seolah memberiku restu. Awan-awan putih menggantung seperti gumpalan kapas, dan aku yakin musim penghujan yang panjang telah memberi cukup waktu bagi ikan dan belut di blumbang untuk tumbuh besar. Senyum terukir di bibirku, membayangkan ikan-ikan yang segera mengisi wajan di dapur.
Aku berjalan dengan semangat, menyingkirkan ranting-ranting dan semak yang menghadang jalan menuju hutan bambu. Angin kemarau bertiup kencang, memaksa rumpun-rumpun bambu itu menari liar seperti tangan-tangan raksasa yang saling berayun. “Uuuu… Uuuu…” Tiba-tiba, suara aneh datang dari arah rumpun bambu yang bergerak-gerak di kiri-kanan jalanku. Aku berhenti sejenak. Meski tak percaya pada segala dongeng itu, suara aneh yang tak kukenal tetap saja membuat bulu kudukku meremang.
“Jangan-jangan itu ulur–ulur bengkung,” bisikku. Membayangkan tali stagen gaib yang dikatakan bisa menjerat dan mencekik siapa pun yang melintas. Aku merinding, tapi cepat-cepat kutepis bayangan buruk itu dengan zikir yang kurapal dalam hati. “Astagfirullah!” gumamku. Langkahku kupercepat, berharap segera tiba di blumbang tanpa insiden apapun.
“Ini semua hanya pikiran konyol,” aku menegur diriku sendiri. Dengan langkah yang lebih tegas, aku meneruskan perjalanan. Peralatan di pundak dan tangan bergoyang-goyang mengikuti irama langkahku. Di kepala, sudah terbayang senyum kakakku, Yumi, yang pasti akan gembira melihat hasil tawu hari ini.
Angin makin kencang, dan tiba-tiba, “Krosak!” suara benda jatuh terdengar tak jauh di depanku. Aku tersentak, menahan napas, mataku mengawasi sekeliling dengan waspada. “Apakah itu… glundung pecengis?” pikirku sejenak. Namun kemudian, kulihat hanya sebiji kelapa bolong dan blarak kering yang jatuh dari pohon pisang, mungkin dijatuhkan tupai. Aku tertawa kecil, mengutuk si tupai nakal dalam hati, lalu kembali melangkah.
Namun tak bisa kupungkiri, meski aku tahu itu hanya tupai, rasa galau yang sama kembali menjalari tubuhku. Pikiran tentang makhluk-makhluk gaib itu tak mau pergi, seakan kebun ini memang menyimpan sesuatu yang tak terlihat. Semakin dekat dengan pertelon wingit, tempat yang katanya sering muncul harimau putih siluman, hatiku mulai berdesir. “Hiiy… masa iya harimau siluman? Tidak mungkin! Itu pasti cuma cerita bohong!” bantahku, meski rasa was-was tetap menyelinap.
Dengan tekad bulat, aku melanjutkan perjalanan, menepis setiap bayangan buruk yang mencoba menghantui. Di kepalaku, hanya satu yang menjadi fokus—tawu di blumbang, menangkap ikan dan belut. Namun setiap kali angin berhembus, setiap kali bayangan gelap dari pohon-pohon raksasa melintas, perasaan tak nyaman itu selalu kembali. Pohon munggur tua yang kucintai, kini tampak lebih menyeramkan dengan cabang-cabang besar seperti lengan raksasa yang meliuk menutup langit. Mungkin benar, tempat ini pernah menjadi panggung bagi gondoruwo, banaspati, dan glundung pecengis yang dikisahkan tetanggaku. “Astagfirullah,” sekali lagi kupanjatkan doa, melindungi diri dari pikiran-pikiran buruk.
Saat akhirnya aku sampai di tepi blumbang, aku menarik napas lega. Tempat itu lebih terang, lebih damai, dan sepi dari kegelapan kebun tadi. Tanpa menunggu lama, aku mulai mempersiapkan segalanya. Di hadapanku, air blumbang yang mulai menyusut menampakkan dasar lumpur tempat ikan dan belut bersembunyi. Semua kegelisahan tadi lenyap, digantikan harapan bahwa hari ini aku akan pulang dengan ember penuh hasil tawu yang melimpah.
Gambar: Banyak ikan dan belut di dalam blumbang yang airnya mulai menyusut.
“Inilah yang kucari,” gumamku, membiarkan sejumput kegembiraan meresap dalam dada saat mataku memandang tumpukan daun bambu di dalam blumbang itu. Seolah ada kilatan bayangan di benakku, bahwa di balik lapisan dedaunan itu tersembunyi kekayaan alam berupa belut dan ikan yang melimpah. Pemandangan itu seakan memberi janji manis, menggodaku untuk segera bertindak. Tanpa banyak berpikir, aku mulai merancang strategi untuk mengeringkan blumbang itu dengan cara yang kupikir paling mudah, tak menyadari bahwa petualangan sesungguhnya baru saja dimulai.
Kucengkeram erat cangkulku, serasa senjata seorang pejuang yang akan menantang dunia. Langit sore yang mulai memerah tak mampu menembus lebatnya dedaunan bambu, menciptakan suasana dramatis di sekitarku. Di bawah bayangan pepohonan itu, aku mulai mencangkul bagian utara blumbang. Setiap ayunan cangkulku terasa berat, namun tanah basah yang empuk memudahkanku, seolah alam turut bekerja sama, memberiku dukungan tanpa syarat.
Dengan kedua tangan memegang joran, tangan kanan di depan, dan tangan kiri di belakang, aku terus menghujamkan cangkulku ke tanah. Hitam dan basah bercampur daun-daun bambu, semua menyatu di bawah bayang-bayang imajinasiku yang dipenuhi kegembiraan. Hari ini, tak ada tempat bagi cerita mistis yang biasanya berkeliaran di benakku. “Hari ini adalah hariku, kesempatan emas ini tak boleh kusia-siakan,” gumamku lagi, berusaha menyirnakan keraguan yang mungkin menumpuk di sudut hati.
Namun, bagai angin yang tak tampak namun terasa, keraguan selalu berbisik di telingaku. Ah, aku tak ingin peduli. Fokusku kini hanyalah pada misi ini—membangun bendungan, lapisan demi lapisan tanah kutata dengan kehati-hatian, seolah aku sedang menenun takdirku sendiri. Tak peduli cerita-cerita tentang tempat ini yang dianggap angker oleh tetanggaku, bagiku, blumbang ini bukanlah tempat terkutuk. Ini adalah medan pertempuran, tempat di mana aku bisa membuktikan siapa diriku sebenarnya.
Di tengah kegigihan, kilasan keraguan seakan mencoba mencabik semangatku. Namun, tak ada waktu untuk terpengaruh oleh ketakutan yang membayangi orang lain. “Aku takkan mundur hanya karena bayang-bayang takhayul!” batinku, menguatkan diri. Tiap cangkul yang kuayunkan, tiap gumpalan tanah yang kuangkat, semakin mempertegas keputusanku. Aku akan maju, walau harus melawan kegelapan yang tak terlihat oleh mata.
Dengan setiap gerakan cangkul, seolah aku merobek kabut ketakutan yang menyelimutiku. Tidak ada lagi rasa was-was, hanya keberanian yang membara di dalam dada. Aku menolak tunduk pada cerita-cerita kosong yang begitu sering disebarkan di kampungku. Bagiku, inilah saatnya membuktikan bahwa aku tak takut pada apa pun yang tak dapat disentuh atau dilihat.
Akhirnya, bendungan pertama mulai terbentuk. Lapisan-lapisan tanah kutata rapi di tepi utara blumbang, seolah merangkai benteng kokoh yang akan menahan laju air. Setiap gumpalan tanah seakan membawa pesan harapan, ditancapkannya batang bambu dengan kekuatan, memastikan bendungan itu tak akan roboh. Semangatku begitu menggelora, setiap tindakan terasa seperti bagian dari pertempuran yang harus kemenangannya kucapai.
Satu bendungan selesai, tetapi misiku belum berakhir. Langkahku berlanjut ke tengah blumbang, tempat bendungan kedua harus kubangun. Cangkulku kembali berayun, kali ini di sisi selatan. Bendungan ini tak harus sebesar yang pertama, namun tetap harus kuat untuk menghalangi ikan meloloskan diri. Lapisan tanah yang kutata seperti jalinan benang, setiap simpulnya kubuat erat, memastikan kekokohannya.
Di tengah-tengah bendungan kedua, kutempatkan irig dari anyaman bambu, penyaring yang akan menahan ikan-ikan agar tetap terjebak dalam blumbang ini. Setiap gerakanku kini menjadi lebih teliti, setiap tumpukan tanah dan setiap batang bambu kususun dengan kehati-hatian, seolah setiap detailnya adalah nyawa yang harus kujaga. Irig itu, bagai jaring tak kasat mata, kusiapkan untuk menangkap hasil yang akan kutuai.
Ah, blumbang ini tak lagi terasa angker di mataku. Kini, ia telah menjadi panggung bagiku, tempat di mana aku menaklukkan diri sendiri, medan di mana tekadku diuji. Bukan sekadar mencari ikan atau belut, tapi mencari siapa diriku sebenarnya di tengah gemericik air yang terkurung lumpur. Di sini, di blumbang yang sunyi, aku menemukan diriku.
Aku menggenggam cangkul, setiap hentakan ke tanah terasa seperti mengiris kabut keraguan yang dulu menyelimutiku. “Ayo, kamu pasti bisa,” bisikku pada diri sendiri, seolah angin kemarau yang menderu turut menyemangati langkahku. Setiap gundukan tanah yang kuangkat, setiap irig yang kubuat, menjadi simbol kecil dari usaha dan ketekunan yang tak kenal lelah. Seperti bidak catur yang terus maju, meski rintangan tak pernah benar-benar lenyap.
Setelah dua bendungan selesai kubuat, aku melangkah ke blumbang. Kaki terbenam dalam lumpur yang dingin hingga ke lutut. Rasanya seperti bumi sendiri yang menarikku masuk, tapi aku terus maju. Dengan ember hitam di tangan, aku mulai menguras air berlumpur itu. Setiap gerakan tanganku diiringi gemuruh air, BYUR! BYURR! Seolah blumbang ini sedang menertawaiku, mencoba menguji ketekunan yang kupunya. Namun, tekadku tak tergerus bersama air yang mulai berkurang. Aku yakin, apa yang kulakukan akan membuahkan hasil, meski keraguan terkadang menyelinap di sela-sela keringat yang menetes.
Air surut perlahan, memperlihatkan ikan-ikan yang berusaha melarikan diri, tapi irig yang kubuat menghalangi mereka. Ah, irig ini seperti garis batas antara harapan dan kekecewaan, di mana ikan-ikan itu terjebak di antara pilihan-pilihan takdir. Aku tersenyum lebar, puas dengan hasil kerjaku. “Semangat dan ketekunan tak pernah mengkhianati hasil,” gumamku dengan bangga.
Angin kemarau semakin keras, mengibarkan rambutku seperti layar kapal yang siap berlayar menuju kemenangan. Nafasku semakin memburu, tubuh ini lelah tapi tak peduli. “Ini adalah kesempatan besar bagiku,” desisku, memelihara api semangat yang terus berkobar di dadaku. Ember demi ember kutuangkan ke sisi utara, membuat blumbang ini semakin tandus, seolah ia menyerah pada kehendakku. Namun di dalam diriku, bayangan ketidakpastian selalu menunggu. “Apakah semua ini akan berhasil? Apakah air ini akan benar-benar habis?” pikirku dengan cemas. Tapi aku buru-buru menepis pikiran itu. “Ah kamu harus bisa Mampu,” kataku pada diri sndiri. “Ya, ya. Aku bisa, dan aku akan berhasil,” aku menjawab, berjanji pada diriku sendiri, memaksa keyakinan kembali mengalir di nadi-nadiku.
BYURR! BYURR! Suara air memecah kesunyian, seakan blumbang ini berteriak meminta ampun. Awalnya, suara itu mengusik ketenanganku, mengingatkanku pada cerita mistis yang sering kudengar. Tapi semakin lama, suara gemuruh itu menjadi irama yang mengiringi kerjaku, menenangkan pikiranku yang tadinya was-was.
Tenaga yang kubutuhkan semakin besar. Setiap ember yang kuangkat terasa berat, seperti beban hidup yang kadang sulit dijinjing. Lima kilogram air dalam satu ember, tapi beratnya terasa dua kali lipat saat lelah mulai merayap di ototku. Namun, aku tetap fokus. Meskipun tubuhku mulai lelah, pikiranku tetap bersemangat. “Aku bisa melakukannya,” kataku pada diri sendiri, berulang kali, setiap kali ember itu kulempar ke arah utara, seperti membuang rasa takut dan ragu yang berusaha menghantuiku.
Air semakin sedikit, dan ikan-ikan yang tadinya berlarian semakin terkumpul di satu tempat. Mereka terlihat panik, berenang mencari celah untuk melarikan diri, tapi bendungan kecil yang kubuat berhasil mengurung mereka. Aku merasa seperti pahlawan yang baru saja menaklukkan medan pertempuran. Di tengah semua ini, aku menyadari satu hal: kerja keras dan ketekunan adalah satu-satunya jalan menuju keberhasilan.
Saat air hampir habis, ikan-ikan itu terlihat semakin jelas di antara lumpur yang mengering. Mereka berusaha menembus penghalang yang kubuat, tapi tak ada tempat bagi mereka untuk lari. “Ini baru awal,” kataku dalam hati, menyadari bahwa perjuanganku belum selesai. Namun, semangatku tak pernah padam. Aku tahu, aku akan menaklukkan apa pun yang ada di hadapanku, walaupun merinding sejenak oleh angin sore yang semakin dingin.
Tak butuh waktu lama sebelum blumbang itu benar-benar kering. Lumpur yang tersisa mulai menunjukkan gerakan-gerakan ikan di sana. Melihat hasil tangkapanku, aku nyaris melompat kegirangan. “Luar biasa! Ini akan menjadi pesta besar malam ini!” pikirku sambil membayangkan ikan goreng dan pepes yang akan segera tersaji di meja makan. Yu Nyukupi, kakak perempuanku satunya, paling pintar membuat hidangan lauk dari jenis-jenis ikan tawar ini. Kegembiraanku tak bisa disembunyikan. Aku segera menghentikan pekerjaan menguras air dan mulai menangkap ikan-ikan yang masih berenang malas di genangan lumpur.
Dengan cepat, aku mengambil ember besar dan mulai memasukkan ikan-ikan itu ke dalamnya. Tangan-tanganku yang sudah terlatih tak perlu berpikir dua kali saat menangkap belut yang licin. Ah, belut itu seperti kenangan masa lalu yang sulit kupegang, selalu licin dan berusaha lepas. Tapi kali ini, aku sudah tahu cara menjepitnya. Tanganku merangkul mereka dengan cerdik, seperti seorang petarung yang tahu persis kapan harus menyerang.
Aku tertawa kecil, membayangkan diriku sebagai penguasa blumbang ini. “Tak ada yang bisa mengalahkanku hari ini,” pikirku, bangga pada diriku sendiri. Setiap belut yang kutangkap semakin memperkuat keyakinanku bahwa aku telah menguasai keterampilan yang dulu diajarkan kakakku.
Waktu terus berjalan, senja mulai menyelimuti langit. Cahaya bulan berusaha menerobos sisa-sisa cahaya matahari sore. Ember yang kubawa hampir penuh, tapi aku masih belum puas. Belut-belut ini tak sebesar yang kudapatkan tahun lalu, dan itu membuat hatiku sedikit kecewa.
Mataku tertuju pada sudut yang terlindung daun-daun bambu. Seolah diselimuti oleh misteri, di sanalah seekor belut besar tampak meliuk-liuk di antara lumpur. Tanpa pikir panjang, aku menyingsingkan daun-daun itu dan meluncur dengan semangat ke arahnya, siap menangkap apa pun yang tersembunyi di balik lumpur keruh itu. Aku tahu, inilah saatnya. Saat aku menaklukkan blumbang ini sepenuhnya.
“Belut besar!” seruku dalam hati dengan penuh semangat, membayangkan tangkapan gemuk yang sebentar lagi bakal menjadi milikku. Dengan gerakan secepat kilat, tanganku menyambar air keruh itu, dan dalam satu tarikan kuat, aku berhasil menangkap tubuh panjang yang licin itu. Namun, ada yang tak biasa. Tubuhnya terasa bersisik, lebih lunak dari yang biasa kutangkap, dan tiba-tiba saja ia membelit lenganku dengan kencang. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, rasa sakit menyergap seperti seribu jarum menusuk kulitku. Darah mulai mengucur.
“Astagfirullah! Ini ular!” jeritku panik saat kulihat taring tajamnya tertancap di punggung tanganku. Rasa sakitnya begitu tajam, menusuk-nusuk tanpa ampun. Refleks, aku mengayunkan tanganku dengan keras, mencoba melepaskan belitan ular itu. Ular itu terkejut, terlempar jauh, lalu melarikan diri ke dalam semak-semak bambu, meninggalkan aku dengan tangan yang berdenyut sakit dan wajah sepucat mayat. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak melompat keluar dari dadaku.
Dalam sekejap, duniaku terasa terhenti. Darah yang semula mengalir deras kini serasa membeku, sementara jantungku berdetak semakin cepat, seperti genderang yang memanggil ke medan perang. Rasa sakit dari gigitan itu menjalar ke seluruh tubuh, memicu adrenalin yang mengalir lebih cepat dari sungai. Aku berdiri terpaku, di antara ketakutan dan kebingungan, dengan tubuh gemetar, mencoba untuk tidak jatuh. Mungkinkah ular itu masih mengintai? Siap menerkam lagi dengan kejamnya?
Dengan nafas tersengal, aku menahan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhku. Darah terus mengalir, meninggalkan jejak merah yang memekik di kulitku. Gemetar, aku menekan luka itu, berharap bisa mengeluarkan racun yang mungkin telah merayap masuk ke aliran darahku. Dengan tergesa, aku menempelkan bibirku ke luka, menyedot darah yang bercampur harap dan putus asa. “Semoga racunnya keluar… semoga darah berhenti…” bisikku dalam hati, seakan berbicara dengan takdir yang bermain-main di ujung gigitan ular itu.
“Masyaallah! Ular apa ini?” pikirku, semakin didera kecemasan. Tangan yang menekan lukaku mulai terasa kebas, sementara pikiran buruk berkelebat cepat. Apa racun itu sudah mengalir ke seluruh tubuhku? Apa ini akhir hidupku di tengah hutan bambu yang sunyi ini? Namun di balik kecemasan itu, aku memaksa diriku untuk tetap tenang, menarik napas dalam-dalam seakan mencoba meredam badai yang mengamuk dalam dadaku.
“Astagfirullahal ‘adzim…” gumamku. Pikiran tetangga-tetangga yang menyebut tempat ini angker kembali menghantui. Apakah ular ini kiriman? Tapi aku segera menepisnya, meskipun bayang-bayang tentang tempat yang dianggap wingit itu terus menghantui. Tak ada waktu untuk terlarut dalam pikiran-pikiran mistis. Yang penting sekarang adalah bertahan hidup. Rasa sakit ini lebih nyata daripada dongeng-dongeng yang dikatakan orang-orang kampung.
Pelan-pelan, darah berhenti mengucur. Rasa sakit mulai berubah menjadi perih dan gatal yang menggelitik. Lega, meski tetap waspada, aku bersyukur ular itu mungkin tak berbisa. Bahaya mungkin telah berlalu, namun bekas lukanya masih berdenyut, mengingatkan bahwa hidup bisa berubah dalam hitungan detik. Aku memutuskan untuk berhenti dan pulang. Hari ini cukup sudah petualangannya.
Meskipun gigitan itu meninggalkan jejak ketakutan, aku menolak untuk tenggelam dalam kecemasan. “Nahas datang tanpa diundang,” kataku dalam hati, mencoba memahami kejahatan yang kadang mengintai di balik ketenangan. “Allah yang mengatur segalanya. Alhamdulillah, aku masih hidup.” Aku menatap langit yang mulai memerah, menandakan hari akan segera berakhir. Hari ini, hidup memberiku pelajaran pahit. Tapi seperti apa pun rasanya, aku harus tetap bersyukur.
“Mungkin benar, daerah ini memang wingit,” batinku, berusaha menepis keraguan yang merayap seperti ular licin dalam pikiranku. Ketakutan itu seperti kabut pagi yang menggantung, tak kentara namun menusuk. Aku ingat pesan guruku, bahwa dalam menghadapi segala kekeruhan, lebih baik bersikap tenang, seperti air sungai yang diam. Biar keruhnya mengendap dulu.
Setelah aku berhasil menghentikan pendarahan di tanganku, rasa lega perlahan-lahan mulai menyusup ke dada. “Alhamdulillah, ular itu tak membawa racun mematikan,” bisikku dalam hati, seolah membebaskan diriku dari jerat bayangan buruk yang tadi seolah mencekikku. Namun, jiwaku masih dilingkupi sisa-sisa ketegangan. Tekanan psikologis yang kurasakan tak akan mudah hilang hanya dengan luka yang kering.
Meski begitu, aku tak ingin membiarkan kejadian ini menghancurkan semangatku. “Aku harus tetap berdiri tegak, tak boleh menyerah,” tekadku menggelegak dalam hati. Walau gigitan ular itu menyergapku tanpa ampun, aku masih punya hasil tangkapan yang cukup untuk dibawa pulang. Ikan dan belut yang kuperoleh masih bisa menjadi rezeki bagi keluargaku.
“Kelak aku akan lebih hati-hati saat menawu,” gumamku lirih, menenangkan batin yang masih berkecamuk. Tapi setidaknya, aku tetap bersyukur. “Ya Allah, ini sudah cukup baik bagiku. Alhamdulillah,” ulangku dalam hati, mencoba melihat sisi baik dari semua ini.
Walau rasa was-was masih menghantui, aku kembali memunguti ikan dan belut yang tersisa di ember besar. Aku tak ingin pulang dengan tangan kosong, apalagi setelah apa yang terjadi. Kegelapan mulai menyelimuti hari, menambah nuansa seram yang makin terasa menusuk, tapi aku tetap bergerak. Langkahku tertatih, sementara debaran jantungku belum sepenuhnya pulih. Aku tahu aku harus segera pergi dari tempat ini, secepat mungkin.
Aku mengemasi hasil tangkapanku dan bergegas pulang, meninggalkan beberapa ekor yang belum tertangkap. Ah, biarlah, esok aku akan kembali lagi jika masih ada kesempatan. Setidaknya, ikan dan belut yang kudapat akan segera kuantarkan kepada Yumi, kakakku, untuk diolah jadi hidangan malam ini. Dibantu Yupi, ikan-ikan itu akan disulap menjadi gorengan dan pepes yang lezat. Malam nanti keluargaku akan makan dengan senyum di wajah mereka, sementara aku menyembunyikan kisah ular itu di balik senyumku yang juga dipaksakan.
Saat senja mulai melukis langit dengan warna jingga, hatiku perlahan lebih tenang. Di antara bayang-bayang rumpun bambu yang semakin gelap, ada rasa lega yang menjalari tubuhku, seperti angin sejuk yang menyapu debu di jalanan. Meskipun luka di tanganku masih terasa perih dan gatal, aku tahu bahwa bekasnya di hati akan memakan waktu lebih lama untuk sembuh. Tapi tak mengapa. Ini hanyalah satu cobaan kecil yang harus kuhadapi.
“Hari ini mungkin tak sesuai rencana, tapi aku bersyukur semuanya berakhir dengan baik,” gumamku, mencoba menjaga semangat tetap menyala. Bagiku, setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh, untuk belajar. Dan dalam setiap pelajaran, aku akan semakin siap menghadapi apa pun yang datang menghadangku di masa depan.
Ketika langit berubah menjadi gelap, semangatku masih tetap berkilau, meski tubuhku terasa lelah. Biarlah hanya aku yang tahu apa yang terjadi di Dadah Wetan tadi. Tak perlu keluargaku khawatir. Mungkin suatu hari nanti aku akan menuliskannya—kisah kecil ini—dalam autobiografiku, sekadar mengingatkan diriku bahwa masa-masa sulit pun bisa menjadi cerita indah jika kita tahu cara meresapinya.
***
Banyumanik, 25 Maret 2024 Pukul 16.00 WIB. Draf di tulis dengan metode Menemu Baling (Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga) dalam perjalanan menuju kantor tadi pagi pukul 07.00 WIB lalu disempurnakan dengan strategi Tali Bambuapus Giri (Implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital Mandiri berbasis AI) .
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapis Giri
Autobiografi, Mengenang Kisah Masa Kecil Dr. MRT
Daftar Istilah
blumbang = empang
Dadah Wetan = Kebun Timur
glundung pecengis = hantu kepala meringis
irig = penyaring dari bambu
joran = gagang cangkul
Lik = panggilan untuk paman
tawu = menguras air
ulur-ulur bengkung = hantu berupa tali stagen
Yu = panggilan untuk kakak perempuan