By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Hari sudah menjelang zuhur. Matahari menggantung di langit, seolah enggan beranjak, menyiramkan cahayanya yang berkilauan di halaman SD Gebangsari yang lengang. Tiada terdengar tawa ataupun sorak-sorai, hanya sunyi yang menyelinap di setiap sudut. Semua kelas tengah tenggelam dalam pelajaran, dijaga oleh guru-guru yang setia menemani. Tak terkecuali kelasku, kelas V SD Gebangsari.
Duduk dalam keheningan yang nyaris melumpuhkan, hatiku dan kawan-kawanku berdebar-debar. Kami seperti kawanan burung yang terjebak di dalam sangkar, menanti lonceng sekolah dipukul keras oleh Pak Karyadi, pertanda kebebasan yang dinanti-nanti. Pulang, seperti merdeka dari penjara besar penuh kekangan.
Di jam terakhir ini, Bu Ngatiyah sedang mengajarkan sejarah perang kemerdekaan. Seharusnya, sejarah itu memantik semangat kami seperti api unggun yang berkobar. Namun, pikiran kami sudah tak lagi berada di dalam kelas. Imajinasi kami terbang, melesat jauh, melampaui tembok-tembok sekolah ini. Kami saling berpandangan, gelisah dan tak sabar. Mataku, seperti bara yang tertahan, menatap Nur Kaji, Yit Kayun, dan Kasmuni satu per satu. Kami mengangguk penuh arti. Senyum tersungging di bibir kami, mengandung janji petualangan yang menanti di luar sana.
Suasana kelas terjebak dalam hening yang dipenuhi suara Bu Ngatiyah yang mengisi udara, seakan-akan setiap kata yang keluar dari bibirnya membelah sunyi. Intonasinya yang khas, penuh tekanan, memerintah kami untuk tetap terjaga. Namun, pikiran kami sudah melayang jauh. Di mataku, kebun-kebun kering di Dadah Kidul dan Dadah Wetan yang diwarisi turun temurun oleh ayahku, Bung Tomo, sudah menanti menjadi medan pertempuran.
“Kapan ya bel pulangnya berbunyi?” bisikku, mataku berbinar seperti bintang yang tak sabar turun dari langit. “Aku tak sabar ingin segera pulang dan bermain tembak-tembakan dengan kalian semua.”
“Benar sekali! Aku juga sudah tak tahan menunggu,” balas Nur Kaji di sebelahku, wajahnya memancarkan antusiasme yang tak bisa dibendung.
“Mpu,” panggil Yit Kayun dari belakang. “Kita akan menunjukkan semangat juang seperti para pahlawan yang kita kagumi, kan?” Suaranya penuh keyakinan, seolah ia telah siap untuk bertarung dalam medan pertempuran sesungguhnya.
Aku mengangguk dengan tekad yang membara. “Tentu saja! Kita akan memenangkan pertempuran ini dengan keberanian dan strategi yang tepat,” sahut Kasmuni, matanya menyala dengan keseriusan yang mendalam.
Kami berbisik, membahas taktik, senjata-senjata khayalan yang akan kami ciptakan. Sementara itu, Bu Ngatiyah masih menulis di papan tulis, membelakangi kelas. Kami mungkin berada di dalam ruang kelas, tapi jiwa kami telah melayang bebas ke dunia pertempuran yang penuh imajinasi.
“Hai! Mampuono ya itu yang ngobrol sendiri?” Suara Bu Ngatiyah tiba-tiba memecah lamunan, seperti petir yang membelah langit. Nada tinggi suaranya membuat kami terhenyak. “Lanjutkan menulis apa yang Ibu tulis!” lanjutnya tanpa menoleh, tetap fokus di papan tulis.
Rasmadi, si ketua kelas yang bertubuh besar, mengacungkan telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat diam. Yit Kayun dan Kasmuni langsung menunduk, berusaha menghilang. Aku dan Nur Kaji hanya bisa tersenyum kecut. Kami tak sanggup membayangkan jika Bu Ngatiyah benar-benar murka. Kelas kembali senyap, namun pikiran kami masih mengembara, menanti petualangan yang sudah terpatri dalam hati.
Gambar: Bu Ngatiyah berjalan di depan kami keluar dari ruang kelas V SD Gebangsari (Produced by Dr. MRT with AI Art Generator ).
“KLONTENG! KLONTENG! KLONTENG!” Lonceng pulang akhirnya memecah keheningan seperti petir yang menggulung langit. Pak Karyadi, sang pengantin baru, seolah menghantam lonceng itu dengan semangat yang tak kalah dari pejuang empat lima. Semua siswa SD Gebangsari tahu, hari Sabtu adalah saatnya Pak Karyadi harus bergegas pulang ke Bugen, desa tetangga yang jauh, di mana Mbak Ning, istri cantiknya yang dijuluki bunga desa, sedang menunggu dengan sabar. Semangatnya bagaikan peluru yang melesat tak terbendung, membawa senyum tipis di wajah para siswa.
“Siap grak!” Suara bariton Rasmadi, sang ketua kelas yang baru menginjak remaja, bergema laksana komando tentara. Tangannya yang besar mengisyaratkan kami untuk bersiap, duduk tegak dengan kedua lengan menelungkup di meja saling bertindihan. “Berdoa mulai!“ Kami semua serempak menelungkupkan kepala, berdoa seperti tentara kecil yang merencanakan pertempuran suci. Setelah sejenak sunyi, Rasmadi menutupnya dengan “Berdoa selesai!” seolah-olah seluruh alam turut memberi hormat.
“Slaaamat siang, Buuu!” seru kami serentak, menggetarkan kelas. Suara Rasmadi menggema, suara Sukini dan Rasmi melengking seperti biola yang melodius menimpali, sementara Bu Ngatiyah tersenyum lebar, seakan libur yang akan ia nikmati bersama keluarga di Karang Kumpul sudah menggelitik hatinya. Wajahnya berseri, seolah tak sabar bertemu gajah, macan, dan jerapah di bonbin Tegal Wareng bersama anak-anaknya yang masih kecil.
Di dalam kelas, bangku-bangku berderit keras, menyerupai kapal tua yang dihantam ombak ketika kami semua serentak bangkit seperti air bah yang tak terbendung. Anak-anak desa yang sebagian bertelanjang kaki berebut keluar, tak peduli apakah mereka menginjak sepatu teman dari perumahan Genuk Indah atau tidak. Ambang pintu kayu berderak, seolah berjuang menahan lautan kecil kami.
Dengan tas gombal mencangklong di bahu, aku mengejar Kasmuni dan Yit Kayun yang sudah melesat keluar, sementara Nur Kaji tertinggal jauh di belakang, napasnya terengah-engah, tangan memegang perut. Ia kebanyakan makan blanggem di warung Lik Marni, yang membuat perutnya suduken saat berlari. Melihat itu, aku segera memperlambat lariku di jalan berdebu yang terasa panas seperti bara api.
“Oii! Tunggu Nur Kaji, Yit, Kas!” Aku berteriak pada teman-temanku yang sudah jauh di depan. Debu jalan berhamburan, mengepul seperti awan yang diaduk langit. Untungnya, mereka sudah berhenti di pertigaan, menunggu kami dengan wajah penuh cemas dan tawa. Heri, Ganjar, Di Katul, dan Sutikno, teman-teman kecil dari Kampung Widuri, sudah berkumpul di sana, menanti dengan sabar seperti prajurit yang bersiap di garis depan.
“Akhirnya sampai juga!” Aku dan Nur Kaji akhirnya bergabung, dan kami segera duduk di pinggir jembatan glugu yang kokoh, tempat yang biasa menjadi markas rahasia kami. Mata kami bersinar terang, semangat seperti obor di malam gelap yang tak kunjung padam.
“Bulan Agustus telah tiba, lur! Waktunya kita tunjukkan keberanian!” Aku berseru, suaraku membelah angin. Sorot mataku penuh gairah, seperti prajurit yang siap turun ke medan laga.
“Betul sekali, Mampu! Ladang-ladang di Dadah Kidul dan Dadah Wetan milik Bapakmu luas, sangat cocok untuk pertempuran kita,” sambut Yit Kayun, menyambut ideku dengan antusiasme yang seolah-olah tak pernah habis. Ia sudah memikirkan strategi, seakan-akan kami benar-benar akan berperang.
Nur Kaji menambahkan, “Bulan Agustus ini bulan kemerdekaan! Semangat pahlawan harus kita hirup, teman-teman! Kita harus berjuang seperti mereka yang merebut kemerdekaan dari penjajah!” Ucapannya penuh semangat, membuat kami semua tersenyum bangga.
Namun, meski semangat kami berkobar seperti api yang membara, aku mengingatkan, “Tapi, jangan lupa, kita harus bermain dengan bijak. Jangan sampai merusak lingkungan atau mencelakai diri. Setuju?” Suaraku tegas, tapi lembut, seperti angin yang menenangkan padang.
Semua teman mengangguk setuju, sepakat bahwa pertempuran kami hanya boleh berisi keceriaan, tanpa meninggalkan jejak kehancuran.
Tiba-tiba Heri, yang selama ini diam, memberi ide baru, “Bagaimana kalau kita bermain di hutan bambu milik Mbah Qosim? Tempatnya lebih luas dan menantang!” Seruan Heri membuat kami terdiam sejenak. Angin lepas tengah hari yang semula hangat tiba-tiba terasa dingin.
Ganjar dan Sutikno segera menyetujui, “Ya, setuju! Tempat itu penuh persembunyian yang sulit ditemukan,” kata Ganjar dengan senyum licik, sementara Sutikno menimpali dengan suara bersemangat.
Namun, kekhawatiran muncul dari Nur Kaji dan Di Katul, kakak beradik yang biasanya paling hati-hati. “Mbah Qosim tidak suka kalau ada orang masuk ke hutannya,” ujar Nur Kaji dengan nada ragu, diikuti anggukan Di Katul. “Kita pernah kena marah karena bermain dekat empangnya,” tambah Di Katul, mengingat pengalaman pahit mereka.
Kasmuni, yang biasanya pemberani, justru paling ketakutan. “Aku tidak setuju! Hutan bambu itu wingit, angker. Aku pernah dengar banyak cerita seram tentang genderuwo yang menghuni tempat itu!” katanya dengan wajah pucat. Suaranya terdengar seperti desiran angin di malam sunyi, penuh ketakutan.
Suasana tiba-tiba berubah tegang, bayang-bayang hutan bambu itu seperti mengintai dari kejauhan. Kami semua terdiam, merenungi rencana baru ini. Sesaat, keberanian kami yang seperti api sempat padam, tergantikan oleh rasa takut yang mencekam.
Heri hendak melontarkan protes, namun sebelum suara protesnya sempat melompat dari bibirnya, Di Katul menyela cepat, “Ya, kita harus menghormati Mbah Qosim. Lebih baik kita tetap di kebun Dadah Wetan dan Dadah Kidul-nya Lik Mampu saja.” Di Katul dan Nur Kaji memanggilku “Lik” karena dalam garis keluarga, aku seolah satu bukit usia lebih tinggi dari mereka, berbeda generasi.
Mendengar bantahan keras dari Kasmuni, serta penjelasan Nur Kaji dan Di Katul, kami semua terdiam sejenak, membiarkan udara mengisi sela-sela keheningan kami. Pikiran kami melayang, menimbang-nimbang. Akhirnya, keputusan jatuh—ide semula adalah yang paling bijak.
“Baiklah,” kataku sambil menatap wajah-wajah penuh semangat di depanku. “Kita akan tetap bermain di kebun Dadah Wetan dan Dadah Kidul. Di kebunku. Apakah kalian semua setuju?” tanyaku, memastikan keputusan ini dirasakan sebagai keputusan bersama.
Anggukan setuju mengalir seperti riak kecil di sungai, meski Heri tampak sedikit kecewa. Namun, ia tetap menyetujui dengan semangat yang dipaksakan, “Tidak apa-apa. Lain kali kita coba hutan bambu itu ya.” Suaranya seperti lidah api kecil yang masih menyala meski angin sudah berhembus.
Dengan demikian, rencana kami kembali ke bentuk aslinya. Kebun Dadah Wetan dan Dadah Kidul akan menjadi medan perang khayalan kami, tempat di mana segala impian dan petualangan akan berlari liar, bermain tembak-tembakan, bersembunyi di balik dedaunan lebat yang telah kami kenal seolah rumah kedua.
Kami pun bergegas pulang, langkah kami cepat dan penuh antusiasme. Sore selepas Ashar, kebun itu akan berubah menjadi dunia lain—dunia di mana kami bukan lagi anak-anak, melainkan pahlawan perang yang gagah berani, berjuang di bawah langit senja yang mendukung setiap langkah kami.
Setelah Ashar, anggota geng Kampung Widuri mulai berdatangan di rumahku. Mereka datang dengan semangat yang berkobar, seperti barisan prajurit yang siap maju ke medan laga. Senyum dan tawa mereka mengisi udara sore, seolah-olah sinar matahari pun menari bersama kami.
Bulan Agustus membawa suasana cerah, seolah langit meminjamkan kekuatannya kepada kami. Cahaya matahari membanjiri kebun pisang klutuk dan hutan bambu di Dadah Kidul serta Dadah Wetan. Rumput yang mulai menguning akibat musim kemarau seolah sedang bersiap menjadi ladang pertempuran bagi kami. Pohon pisang yang rimbun seperti benteng perlindungan, menawarkan tempat sempurna untuk bersembunyi dari musuh yang tak kasat mata.
Bulan Agustus juga menyulut semangat patriotik dalam diri kami. Setiap tahun, ketika karnaval kemerdekaan digelar, suasana desa di Kelurahan Gebangsari selalu hidup dengan rasa cinta tanah air. Gapura-gapura megah, dihias dengan lukisan pertempuran, berdiri kokoh seolah ingin mengingatkan kami tentang perjuangan pahlawan. Bahkan sebelum aku menjadi siswa SMP yang suka melukis, warga kampung kami sering kali memanggil pelukis profesional untuk menghias gapura.
Bagi kami, permainan tembak-tembakan ini bukan sekadar permainan. Ini adalah perwujudan rasa hormat kami pada para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Setiap tembakan imajiner yang kami lepaskan, kami rasakan sebagai teriakan perjuangan, meneruskan semangat Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, Jenderal Sudirman, dan para pahlawan lainnya.
Sore itu, matahari seperti tersenyum hangat kepada kami, mengiringi langkah-langkah kami dengan sinarnya yang lembut namun bertenaga. Kami berkumpul di bawah pohon pisang klutuk di samping rumahku, bayangan dedaunan seolah menyelimuti kami dalam naungan perlindungan. Kami bersiap membuat senjata dan alat perang terbaik dari dari gedebog pisang.
Heri, yang datang terlambat, ternyata tidak sendirian. Dia muncul dengan iring-iringan, membawa serta empat anak dari kampung sebelah, seperti rombongan pejuang yang baru turun dari bukit. Angin sore seolah menyambut mereka, membelai rambut dan wajah penuh semangat. Mereka semula sedang bermain di rumah Heri, yang terletak di ujung Kampung Widuri, berbatasan langsung dengan Kampung Duri Wétan. Mungkin, terpikat oleh aroma petualangan yang melayang di udara, Heri mengajak mereka untuk bergabung dalam permainan kami. Keempat anak itu menunggu di jalan di depan rumah, seperti prajurit yang siap untuk dipanggil ke medan laga.
Heri segera menghampiri kami, matanya berbinar seperti bara api yang terus menyala, penuh antusias. “Teman-teman, kenapa kita tidak tambahkan beberapa orang lagi dari Kampung Duri Wetan untuk permainan tembak-tembakan ini? Bayangkan betapa lebih serunya!” Suaranya seperti angin badai yang membawa kegembiraan.
Kasmuni, yang biasanya lebih bijak dan hati-hati, tampak sedikit ragu. “Tapi, Heri, kita sudah cukup banyak orang di sini. Apakah perlu menambah lagi?” tanyanya, suaranya seperti aliran air yang mencoba meredam gelombang semangat yang meluap.
Namun, Heri tak mau menyerah begitu saja. “Tentu saja perlu!” serunya, penuh semangat, “Bayangkan, semakin banyak pemain, semakin seru pertarungannya! Kadang kita kekurangan orang, sampai-sampai harus membuat aturan bahwa masing-masing punya nyawa lebih dari satu. Ini akan jadi lebih menantang, lebih hidup!”
Suasana pun menjadi sedikit tegang, seperti awan yang menahan hujan. Kasmuni masih bergeming, “Tapi… tapi…”
Nur Kaji, yang biasanya lebih pendiam, kali ini tak mau ketinggalan. Suaranya lembut namun tegas, seperti bisikan angin di balik pohon bambu. “Aku setuju dengan Heri. Semakin banyak pemain, semakin seru permainan kita.”
Di Katul, yang selalu bijak seperti pohon tua yang menaungi, ikut angkat bicara. “Benar juga, Kasmuni. Lagipula, mereka sudah datang ke rumah Lik Mampu. Rasanya tak sopan jika kita menolak.” Di Katul mengingatkan bahwa keempat anak yang datang itu masih ada hubungan famili denganku. Aku sendiri merasa bimbang—di satu sisi, aku tak ingin menolak niat baik mereka, namun di sisi lain, suara mayoritas harus dipertimbangkan.
Sutikno, yang selalu khawatir soal detil teknis, melontarkan keberatan, “Tapi… apakah kita bisa mengatur jumlah pemain yang lebih banyak? Apakah kita siap?” Suaranya mengalun pelan, seperti daun kering yang terbawa angin, penuh kecemasan.
Aku, mencoba menjembatani ketegangan ini, tersenyum. “Kita bisa mencobanya, Tik. Seperti kata Heri dan Nur Kaji, semakin banyak pemain, semakin meriah. Namun, ingatlah, yang penting adalah menjaga semangat sportivitas dan nilai-nilai kepahlawanan dalam permainan ini. Jangan sampai semangat persaudaraan kita luntur hanya karena sebuah permainan.” Suaraku mencoba menenangkan, seperti air yang membasahi tanah gersang.
Kasmuni, setelah merenung sejenak, akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku setuju. Tapi mari kita tetap menjaga semangat persaudaraan dan sportivitas kita, ya?”
Heri tersenyum lebar, kemenangan kecil baginya. “Tentu saja, Kasmuni! Ini akan menjadi permainan yang tak terlupakan!”
Dengan keputusan itu, kami menyambut keempat anak tambahan dari Kampung Duri Wetan: Ihsan, Baidowi, Solikin, dan Ekwan. Seperti tentara yang siap maju ke medan perang, kami berkumpul dengan semangat yang membara. Permainan tembak-tembakan yang semula hanya direncanakan untuk delapan orang, kini berkembang menjadi petualangan besar dengan dua belas pemain, siap merasakan denyut pertempuran imajiner yang lebih seru dan penuh tantangan.
Gedebog pisang yang tertumpuk di sudut kebun, bak harta karun yang tersembunyi, menjadi bahan baku senjata kami. Pisau dan parang di tangan kami seperti alat magis yang mampu mengubah batang-batang pisang itu menjadi senapan mematikan. Sapu lidi di samping rumah, yang biasa menyapu halaman, kini harus menyerahkan sebagian tubuhnya. Lidi-lidi yang kami potong menjadi paku-paku kecil, bagaikan anak panah yang siap melesat.
Tak lupa, tali dari pelepah pisang dan bambu, seperti urat-urat yang mengikat senapan kami menjadi kokoh. Di sekitar kami, gedebog pisang dari kebun Mak’e yang biasanya dipakai untuk membungkus daun pisang terhampar seperti lautan tak berujung, siap menjadi perisai dan senjata. Setiap hari, Mak’e menderesi daun pisang untuk dijual di Pasar Waru di Kaligawe, meninggalkan gedebog yang kini jadi harta karun kami. Beruntung, kami tak perlu jauh-jauh mencari bahan baku, semua sudah tersedia di depan mata.
Dengan tawa yang memenuhi udara, kami mulai mencipta senapan kami, seperti seorang pengrajin yang sedang merajut impian dari potongan-potongan realitas. Permainan ini tak hanya sekadar permainan—ini adalah refleksi dari perjuangan, persaudaraan, dan semangat yang tak pernah padam. Angin sore meniupkan semangat ke hati kami, siap mengantar kami ke petualangan yang akan kami kenang seumur hidup.
Gambar: Kami membuat peralatan perang dari gedebog pisang (Produced by Dr. MRT with AI Art Generator ).
Aku dengan penuh semangat segera memberi komando, seperti seorang jenderal di medan perang, memimpin persiapan permainan. “Ayo, kita mulai membuat senjata kita. Kalian buat saja senapan mesin paling canggih yang bisa kalian bayangkan!” ajakku dengan suara lantang, seolah memberi aba-aba kepada pasukan yang siap bertempur. Pisau dan parang menjadi sekutu setia kami, alat-alat yang siap memahat gedebog pisang menjadi senjata imajiner paling mematikan.
Aku bekerja cepat, tanganku bergerak lincah seperti dirasuki semangat pejuang kemerdekaan yang tak pernah padam. Dalam pikiranku, senapan mesin yang kugagas bukan sekadar mainan. “Brend,” gumamku, senapan legendaris yang sering kulihat di layar TV. Gagang senapan sederhana namun kokoh, badannya lengkap dengan magazine dan kekker, yang di mataku berfungsi layaknya teleskop sungguhan. Entah sudah berapa bujur gedebog pisang yang kupotong dan kubangun menjadi senjata. Setiap rangkaian lidi dan tali seolah berteriak, “Ayo, teruskan perjuangan ini!” Gerakanku yang cepat tampak memercikkan semangat pada yang lain, membuat mereka ikut tersulut untuk segera bergerak.
Yit Kayun, mengikuti dengan penuh antusiasme, mulai memotong-motong pelepah pisang. Tangannya begitu gesit, seolah-olah pisau itu menari di bawah perintahnya. Sementara itu, aku duduk dengan tenang, membiarkan pikiranku melayang pada taktik pertahanan yang harus kupikirkan. “Pertahanan terbaik adalah menyerang,” bisikku pada diriku sendiri. “Serang, dan pertahankan posisi dengan cerdik.” Dalam benakku, aku sudah menyusun strategi perang yang tak terelakkan.
Di sudut lain, Nur Kaji, anak yang paling bongsor di geng kami, bekerja dalam diam. Diamnya adalah lambang keseriusan. Setiap potongan pelepah pisang yang dipahat olehnya tampak seperti ukiran senjata sungguhan. Dalam keheningannya, Nur Kaji membangun senapan mesin ala Rambo, senjata tangguh yang seolah lahir dari film-film aksi Hollywood yang penuh ledakan. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya ketenangan yang kokoh.
Sebaliknya, Sutikno, seperti biasa, terlihat gelisah. Kecemasannya menggantung di udara. “Lik Mampu, senjataku gak jadi-jadi,” katanya dengan wajah penuh khawatir. “Bagaimana kalau senjataku gak sehebat punya teman-teman?” Ucapannya seperti membawa awan gelap ke tengah kegembiraan kami.
Aku menepuk bahunya lembut, mencoba mengusir keraguan itu. “Coba buat dulu, Tik. Ingat, kamu selalu suka mencoba hal-hal baru. Lakukan sebisamu. Kalau kesulitan, nanti kita bantu,” kataku bijak. Senyum kecil terbit di wajah Sutikno, meski kekhawatiran masih tampak di sudut matanya. “Baik, Lik Mampu,” jawabnya lebih cerah, seakan secercah harapan menyelinap ke dalam hatinya.
Di Katul, si santai yang selalu punya cara menenangkan suasana, berkata, “Tenang saja, Tik. Kreativitas adalah senjata terbesar kita. Itu lebih kuat daripada apa pun.” Kata-kata Di Katul seperti angin sepoi-sepoi yang menenangkan ombak resah. Senjata yang ia buat terlihat sangat sederhana, hanya beberapa pelepah pisang yang disusun menjadi senapan angin. Namun, bagi Di Katul, senjata itu penuh filosofi. “Senjataku ini adalah lambang kedamaian dan ketangguhan batin,” ucapnya dengan nada bijak yang membuat teman-teman enggan mengejek.
“Senjataku sudah selesai!” teriak Nur Kaji penuh semangat, suaranya menggema seperti teriakan kemenangan. “Punyaku dan punya Solikin juga sudah jadi,” lapor Ekwan, tak mau kalah. Heri, dengan gaya bak seorang prajurit yang disiplin, menghormat padaku sambil berkata, “Komandan, senjata milik saya, Ihsan, dan Baidowi sudah siap. Laporan selesai!”
Aku menanggapi dengan gaya yang sama tegasnya. “Laporan diterima, kembali ke tempat!” balasku, sambil menghormat. Adegan ini mengundang gelak tawa dari semua calon prajurit kecil kami. Di tengah tawa yang ceria, semangat persaudaraan terasa begitu kental, mengalir seperti sungai yang membawa arus kesenangan.
Sudah setengah jam berlalu, dan hasil karya Nur Kaji sungguh mengesankan. Senapan mesin gedebog pisang itu tampak gagah di tangannya. Bocah berusia sebelas tahun yang mengenakan baju lusuh dan ikat kepala merah itu kini tampak seperti pejuang sejati di medan laga, siap bertarung dengan senjata yang ia ciptakan sendiri. Senapan itu, meski hanya dari pelepah pisang, seolah memiliki jiwa, berdiri tegak di tangan Nur Kaji, menyimbolkan keberanian dan semangat pantang menyerah.
Gambar: Nur Kaji dengan senapan mesin gedebognya Terlihat gagah.
“Diuw!” seru Nur Kaji, setengah berbisik, seolah-olah senjata dari gedebog pisangnya benar-benar berubah menjadi pistol berperedam yang mematikan. Dia membidik teman-temannya dengan penuh percaya diri, seperti seorang jenderal di medan perang yang siap menaklukkan musuh. Senapan gedebog pisangnya, walau hanya sebatas permainan anak-anak, dalam imajinasi kami seolah berubah menjadi senjata yang sesungguhnya, berkilat seperti baja di bawah sinar matahari. Yang lain tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.
Seruan itu, “Diuw!”, bukan sekadar suara biasa. Bagi kami, itu adalah mantra yang akan melumpuhkan musuh dalam permainan tembak-tembakan. Seperti petir yang memecah langit, setiap seruan itu membuat kami terdiam, merasakan getarannya di hati kami. Siapa yang kena seruan itu harus menyerahkan senjatanya. Layaknya bermain petak umpet atau polisi dan pencuri, di sinilah hukum alam berlaku: siapa yang terlihat duluan, dialah yang harus jatuh sebagai korban.
Di Katul yang melihat hasil karya Nur Kaji langsung merengek seperti anak burung yang meminta makanan dari induknya. “Kang, punyaku dibuat kayak punyamu dong,” pintanya dengan suara manja yang penuh harap. Namun, Nur Kaji, seperti sebuah pohon yang tak goyah diterpa angin, menolak dengan keras, “Halah, buat sendiri dong. Punyamu yang jelek kan sudah jadi. Katamu kreativitas lebih penting dari senjata fisik. Angel ki!” Ucapannya seperti batu yang dilemparkan ke air, menciptakan riak ketidakpuasan di wajah Di Katul.
Namun, Di Katul tak kehabisan akal. Dengan senyuman licik, ia melayangkan ancaman yang lebih pedas daripada cabai, “Oh yawis, nanti kalau dapat jatah ganyong godog dari Make kamu gak bakalan aku kasih lagi.” Ancaman itu bagaikan badai yang mengguncang benteng pertahanan Nur Kaji. Tak ingin kehilangan hak istimewanya, Nur Kaji pun mengalah. “Yawis-yawis, aku bantu,” katanya, menyerah di bawah tekanan.
Tawa pecah seperti gelembung sabun di udara. Semua tertawa terbahak-bahak melihat drama keluarga itu. Sementara itu, aku dengan tekun menyelesaikan senapanku. Meski tak secanggih milik Nur Kaji, senjataku juga tak bisa diremehkan. Ini bukan sekadar senapan gedebog pisang biasa, tetapi simbol perjuangan kami di arena permainan yang sebentar lagi akan bergemuruh.
Kami semua akhirnya berhasil menyelesaikan senjata kami tepat waktu. Senjata-senjata itu, yang terbuat dari pelepah pisang dan potongan-potongan lidi, mungkin tampak sederhana, tetapi dalam imajinasi kami, mereka adalah senjata canggih yang siap menghadapi pertempuran sengit.
Tibalah saatnya untuk menentukan tim. Kami berkumpul, berdiri berhadapan seperti para gladiator yang siap bertarung, menggunakan metode pingsut untuk mengundi siapa yang akan berada di tim mana. Suasana tiba-tiba tegang, seperti udara yang menahan napas sebelum badai datang. Pingsut, permainan sederhana yang kini berubah menjadi arena pertempuran mental.
Heri yang penuh semangat, seperti bara api yang terus menyala, maju pertama kali. “Ayo, kita tunjukkan kemampuan terbaik kita!” serunya, dengan mata yang menyala seperti nyala api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Kasmuni tersenyum penuh percaya diri, seolah-olah dia sudah tahu bagaimana hasilnya akan berjalan. “Tetap fokus dan tenang, lur,” bisiknya pada Ekwan, yang hanya membalas dengan senyum lebar seperti bulan yang cerah di malam hari.
Kini giliranku dan Yit Kayun. Kami berdua saling berhadapan, dengan tatapan penuh tantangan. “Kita akan lihat siapa yang akan menang kali ini,” kata Yit Kayun, sementara aku hanya tersenyum kalem, seperti samudra yang tenang namun penuh kedalaman.
Pertandingan pingsut berlangsung cepat, jari-jemari kami seperti kilat yang menyambar. Setelah beberapa kali seri, akhirnya aku harus menelan kekalahan. Dengan skor 1-2, aku terpaksa bergabung dengan tim Nur Kaji, Di Katul, Heri, Kasmuni, dan Ihsan. Sementara tim yang menang—Yit Kayun, Baidhowi, Solikin, Sutikno, Ekwan, dan Ganjar—menamai diri mereka Macan Loreng, sedangkan kami, yang kalah, sepakat menyebut diri kami Rajawali.
Kekalahan di pingsut mungkin membuat hatiku sedikit perih, namun melihat Yit Kayun bergabung dengan pemain handal seperti Ekwan membuatku bangga. Ini bukan sekadar permainan, tetapi pertempuran harga diri, dan aku tahu, pertempuran ini akan menjadi epik.
Nur Kaji dan Kasmuni menyambutku dengan senyum lebar, “Kita satu tim, ya? Mari kita tunjukkan kekuatan kita!” katanya, dan Heri, yang biasanya agak sulit sejalan dengan Kasmuni, kali ini mengakui pentingnya kerja sama. “Kompak, kuncinya kita menang,” serunya sambil menjabat tangan Kasmuni dengan jabat tangan komando, penuh semangat yang seperti api yang tak pernah padam.
Di sisi lain, Sutikno, yang biasanya adalah asisten kepercayaanku, terlihat sedikit cemas. Mungkin dia takut menjadi lawanku kali ini. Sementara Ganjar, adikku yang selalu ingin lepas dari bayanganku, justru terlihat penuh semangat. “Aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri!” teriaknya penuh tantangan.
Dan begitulah, perang besar kami akan segera dimulai. Tim Macan Loreng melawan Rajawali. Ini bukan sekadar permainan, ini adalah peperangan jiwa dan raga, di mana imajinasi menjadi nyata, dan kami semua adalah prajurit di medan perang yang kami ciptakan sendiri.
Gambar: Senapan mesinku juga tidak jelek jelek amat (Produced by Dr. MRT with AI Art Generator ).
Dengan tim yang sudah terbentuk, kami siap melanjutkan persiapan permainan. Meskipun berada di kubu yang berlawanan, semangat persaudaraan dan sportivitas tetap kami jaga. Kami segera berkumpul dengan tim masing-masing untuk mengatur strategi. Aku mengajak Tim Rajawali berkumpul di bawah pohon beringin di dekat jalan di depan rumahku, sedangkan Tim Macan Loreng di bawah komando Yit Kayun tetap berada di samping rumah. Mereka berembug dan mengatur strategi di sana.
Di bawah naungan pohon beringin yang rindang, kami, Tim Rajawali, berkumpul dengan semangat. Aku memimpin pertemuan dan berdiri di tengah-tengah teman-anggota tim Rajawali . Mereka semua menatapku dengan harap dalam menunggu arahan untuk memulai strategi permainan perang.
“Saudara-saudara, dengarkan baik-baik, saya mau bicara,” ucapku dengan suara mantap dan sedikit bergaya kayak komandan beneran. Yang lain cengar-cengir geli sendiri melihat gayaku.”Kita memiliki tugas yang berat di depan kita. Wilayah yang akan kita serang luasnya sekitar dua hektar. Di sana penuh dengan berbagai jenis pohon seperti pisang, kelapa, siwalan, jati, randu alas, dan munggur raksasa. Jangan lupakan hutan bambu yang mengintimidasi. Dan ada sungai-sungai kecil yang sudah kering, bisa menjadi tempat persembunyian musuh, ” kataku panjang lebar.
Kasmuni, teman karibku, menatapku penuh perhatian. “Apa yang akan kita lakukan? Sepertinya cukup rumit untuk menundukkan medan,” katanya.
“Ayo kita bagi tim menjadi beberapa kelompok kecil,” jawabku, “Setiap kelompok bertanggung jawab menangani area dengan luas tertentu. Cari posisi strategis untuk melakukan serangan.”
Nur Kaji, yang selalu tenang, mengajukan pertanyaan, “Bagaimana dengan risiko terjebak di hutan yang lebat?”
“Kita harus berhati-hati dan berwaspada,” ujarku, “Gunakan pengetahuan kita tentang medan untuk menghindari jebakan. Kita harus bergerak dengan cerdas dan cermat.”
Heri, dengan cermatnya, bertanya, “Bagaimana dengan metode penyerangan, langsung atau dengan penyergapan? Pilih mana?”
“Akan kita pertimbangkan keduanya,” jawabku, “Kita harus fleksibel dan siap mengubah strategi sesuai kondisi. Tetap fokus dengan satu komando, kita pasti bisa menghadapi musuh ini dengan baik.”
“Tinggal beberapa menit lagi sebelum kita mulai pertempuran. Ayo, semua siapkan diri dan semangatkan hati kita untuk menemukan strategi terbaik!” seruku, membangkitkan semangat juang tim Rajawali.
Di tim Rajawali aku berusaha menjaring aspirasi lima anggota tim yang lain tentang strategi terbaik memenangkan perang. “Baik, mari kita bicarakan strategi kita untuk menyergap Tim Macan Loreng. Kita harus waspada dan bekerja sama sebaik mungkin. Ingat, harus satu komando.”
Kasmuni mengangguk setuju, “Benar, kita harus bergerak cepat dan mengambil posisi yang strategis.”
Nur Kaji menambahkan, “Kita juga perlu memperhitungkan kemungkinan perlawanan yang tangguh dari mereka.”
Di Katul, dengan reaksinya yang cepat, mengangguk setuju. “Kita harus menyerang dengan tiba-tiba dan cepat!” serunya menyahut perkataan kakaknya, menambahkan semangat dalam persiapan kami.
Tidak lupa, Heri, yang selalu penuh dengan usulan, kembali memberikan kontribusinya. “Bagaimana kalau kita menggunakan formasi serangan seperti yang kita lihat dalam film Pahlawan? Saya pikir itu bisa menjadi strategi yang hebat!” celetuknya, mencoba memberikan ide segar bagi tim Rajawali.
“Hmm.. Usulan menarik. Apa strategi yang kamu maksud Her?” tanyaku. “Ya misalnya strategi gerilya seperti kisah Jenderal Sudirman,” kata Heri tidak yakin.
“Baik, makasih Her. Oya, adakah yang pernah tahu strategi perang Supit Udang?” tanyaku kepada lima pasukanku.
“Oh saya tahu Kang Mampu,” kata Ihsan cepat. Wajahnya sumringah merasa bisa turut terlibat dalam diskusi.
“Coba kamu terangkan,” perintahku pada adik sepupuku itu.
“Serangan Supit Udang adalah salah satu taktik perang gerilya yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia,” kata Ihsan.
“Taktik ini melibatkan serangan mendadak secara cepat dan tiba-tiba dari arah yang tak terduga terhadap posisi musuh,” lanjut Ihsan.
“Nah, setelah serangan mendadak itu kemudian pasukan segera mundur sebelum musuh memiliki kesempatan untuk merespons dengan efektif. Taktik ini sering kali dilakukan dalam kondisi yang sulit dan terbatasnya sumber daya,” terang Ihsan panjang lebar.
“Bagus bagus. Kamu pintar Ihsan. Semuanya sudah jelas ya?” kataku. “Jadi setuju ya kita gunakan strategi Supit Udang?” kataku meminta persetujuan tim Rajawali. Semua mengangguk.
Dengan berbagai karakter dan pandangan yang berbeda, kami memadukan gagasan melanjutkan persiapan strategi paling jitu dengan penuh semangat. Meskipun memiliki perbedaan, kami menyadari bahwa tujuan tim adalah sama, meraih kemenangan atas tim Macan Loreng.
Sementara itu, di samping rumah, Tim Macan Loreng juga berkumpul di bawah pimpinan Yit Kayun yang cukup mendominasi. Namun, suasana di antara mereka tidak begitu harmonis. Ekwan, pemain handal di tim itu, terlihat agak gelisah.
Ekwan dengan nada ragu berkata, “Yit, aku rasa strategi kita masih belum cukup matang. Apakah kita sebaiknya mempertimbangkan ulang?”
Yit Kayun menatap Ekwan dengan tatapan tajam, “Kita sudah menyusun rencana dengan baik, Ekwan. Kita harus percaya pada pemimpin kita.”
Ganjar mencoba menenangkan situasi, “Ya, kita percayai kepadamu Yit. Kita harus kompak untuk menang.”
Sutikno mengangguk setuju, “Benar! Kita harus siap menghadapi mereka dengan taktik yang matang.”
Solikhin, yang selalu tenang, berbicara, “Mari kita fokus pada kelemahan mereka dan memanfaatkan situasi sebaik mungkin.”
Gambar: Aku memimpin Tim Rajawali mengatur strategi perang (Produced by Dr. MRT with AI Art Generator ).
Di tengah kebersamaan yang tegang dan penuh adrenalin, Tim Macan Loreng mencoba menyatukan pikiran mereka, meski diwarnai ketidaksepakatan kecil. Seperti kawanan harimau yang menanti saat tepat untuk menerkam mangsa, mereka merangkai strategi yang terasa seperti jaring laba-laba, menjebak mangsa di setiap sudutnya. Ganjar, si penenang badai, berbicara lembut namun tegas. “Kesempatan datang pada mereka yang sabar. Kita tidak perlu terburu-buru, karena waktu akan mengalir dengan sendirinya,” katanya, menyejukkan semangat yang berkobar dalam hati timnya.
Di bawah naungan pohon pisang yang seperti payung alam, tim berdiskusi dengan semangat tak terpadamkan. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka bagai percikan api yang menyalakan bara strategi perang. “Kita akan memanfaatkan gerumbul pisang klutuk itu sebagai tempat penyergapan,” kata Yit Kayun, suaranya terdengar kokoh, seolah angin pun harus mendengarnya.
Ekwan, dengan wajah yang dilingkupi oleh cahaya keseriusan, menambahkan, “Jangan lupa, musuh itu licik. Kita harus mempelajari setiap gerak-gerik mereka seperti elang yang mengintai dari angkasa.”
Sementara itu, di sisi lain, Tim Rajawali, yang tak kalah penuh dengan semangat, memilih strategi Supit Udang, yang bagi mereka, seperti menebarkan jaring tak terlihat di kebunku. Aku, yang mengenal seluk-beluk tanah ini seperti punggung tanganku, yakin bahwa kemenangan ada di pihak kami. Buku-buku sejarah yang pernah kubaca terpatri dalam benakku. Setiap taktik, dari gerilya hingga serangan mendadak, terasa seperti mantra yang siap kuucapkan di tengah pertempuran ini.
Saat strategi disusun dengan keseriusan yang terasa mendebarkan, tiba-tiba suara sorakan pecah dari kejauhan. Tim Macan Loreng, dengan langkah tegap seperti pasukan di medan perang, mendekati kami. Teriakan yel-yel mereka menggetarkan udara. “Macan Loreng gagah mentereng, Rajawali keli nyemplung kali!” seru mereka, menantang kami dengan tawa yang penuh kemenangan. Mereka seolah berubah menjadi bayang-bayang malam yang menakutkan, berarak-arak dengan senjata kayu dan wajah dicoreng arang, menciptakan aura serangan yang tak bisa diabaikan.
Namun, Tim Rajawali bukanlah sekadar elang biasa. Kami adalah elang-elang yang terbang tinggi, menanti saat tepat untuk menyergap mangsa. Dengan balasan yel-yel yang menggema di antara pepohonan, kami berteriak, “Macan loreng gembeng, Rajawali pemberani!” Suara kami seperti angin badai yang siap menerjang keangkuhan musuh.
Pertarungan ejekan semakin panas. Heri, dengan keberaniannya yang meluap-luap, tiba-tiba bangkit dan berteriak, “Tunggu saja! Kami akan menghancurkan kalian!” Yit Kayun, si harimau panas, mencoba meraih senapan Heri, namun Nur Kaji, dengan ketangkasan yang menyerupai kilat, menghadang gerakannya. Ketegangan pun memuncak sejenak, sebelum Yit Kayun ditarik oleh Ekwan kembali ke timnya. Mereka mundur ke gerumbul-gerumbul pisang seperti pasukan yang siap bersembunyi, menunggu saat untuk menerkam.
Dalam ketegangan yang menggantung di udara, kami, Tim Rajawali, mulai mempersiapkan diri. Sepuluh menit lagi kami harus bergerak, memburu musuh yang sudah menghilang di balik rimbunan Dadah Wetan. Di balik naungan pohon beringin, kami menyusun rencana dengan semangat yang berkobar. “Sudah siap untuk strategi Supit Udang?” tanyaku, menyulut nyala api di mata setiap anggota tim.
“Siap, Ndan!” Mereka menjawab serempak, suaranya seperti gemuruh perang yang merambat ke setiap sudut hati kami. Nur Kaji, dengan tawa yang menggelegar, berseru, “Kita akan hancurkan londo-londo pesek itu!” Kata-katanya membuat kami tertawa, tapi juga menyalakan semangat yang lebih dari sebelumnya.
Peta medan pertempuran kami buat dengan batu dan rumput. Setiap garis yang digoreskan di tanah terasa seperti takdir yang akan mengarahkan kami menuju kemenangan. Aku membisikkan instruksi kepada Di Katul, yang kemudian bergerak cepat seperti bayangan yang menyelinap dalam gelap. Tiga menit kemudian, dia kembali, nafasnya tersengal, namun wajahnya dipenuhi senyum penuh kemenangan. “Bersih, Ndan! Mereka lengah, pos-posnya di sini, di sini, dan di sini,” katanya sambil memberi tanda pada peta.
Aku mengangguk puas. Semangat tim semakin tinggi. Kami tahu, pertempuran ini bukan lagi sekadar permainan, melainkan perwujudan semangat para pahlawan yang menginspirasi kami sejak dahulu. Nur Kaji, Heri, dan Di Katul mengambil posisi, bersiap menggempur dari depan. Sementara aku, Kasmuni, dan Ihsan akan memutar melalui hutan bambu di Dadah Kidul, menyerang dari belakang dengan langkah yang tak terdengar.
Kami tahu, ini adalah momen untuk menunjukkan keberanian dan ketangguhan. Di bawah bayang-bayang pohon beringin yang melambai seperti tangan para pahlawan yang mendukung kami, kami bersumpah untuk memenangkan pertempuran ini dengan segala daya yang kami miliki. Setiap langkah, setiap gerakan, seakan menggemakan sejarah perjuangan yang pernah terukir di tanah air ini. “Rajawali takkan jatuh, dan kami akan terbang lebih tinggi,” pikirku dalam hati, dengan semangat yang berkobar di dalam dada.
Gambar: Tim Macan Loreng siap beraksi (Produced by Dr. MRT with AI Art Generator).
***
Kami segera bergerak mengendap-endap, setiap regu menuju sasaran masing-masing. Pasukan dari depan, dipimpin oleh Nur Kaji, bersama Heri dan Di Katul, bersiap untuk mengecoh dan memprovokasi musuh agar muncul dan mendekat. Sementara itu, aku memimpin Kasmuni dan Ihsan, bersiap melakukan penyergapan kejutan kepada pasukan Macan Loreng dari belakang. Kami melangkah dalam diam, mengikuti rute melingkar yang berbelit-belit, jauh ke arah selatan, melalui hutan bambu yang lebat dan kuburan di Dadah Kidul.
Hari semakin sore, cahaya langit perlahan meredup, menandakan senja yang menggantung di cakrawala. Gerakan kami yang mengendap-endap di antara dapuran hutan bambu bagaikan bayangan-bayangan ninja, tersamarkan oleh bayang kelam pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi, seakan menjadi pelindung kami dari sorotan mata musuh. Dengan langkah hati-hati, kami menyusup lebih dalam ke dalam hutan bambu, menghindari suara yang dapat mencurigakan. Setiap langkah kami diatur sedemikian cermat, melintasi lorong-lorong sempit yang dibentuk oleh rumpun bambu yang seakan menari dalam hembusan angin.
Setelah beberapa saat berlalu, kami sampai di posisi yang telah ditentukan sesuai peta yang kami tandai saat membahas strategi. Posisi itu terletak di kawasan hutan bambu sebelah tenggara Dadah Wetan. Dari sini, kami mengawasi gerakan pasukan Macan Loreng yang terbagi menjadi beberapa regu, siap menerkam dari gerumbul pisang.
“Aman! Saatnya bertindak,” bisikku kepada Kasmuni dan Ihsan setelah memastikan tidak ada gerak-gerik musuh di sekitar. Keduanya mengangguk dengan serius, penuh semangat.
Kami pun melanjutkan gerakan kami dengan hati-hati, menyusup ke arah utara dan memutar balik ke arah barat, mendekati lingkar luar hutan bambu yang paling dekat dengan gerumbul-gerumbul pohon pisang. Merunduk dan menyembunyikan napas, kami bersiap menyergap musuh secara tiba-tiba. Suasana benar-benar menegangkan; dada kami berdebar sangat keras, jantung rasanya seperti mau meloncat keluar dari rib cage kami.
Tidak lama kemudian, suara pancingan berupa teriakan yang dikeluarkan pasukan Nur Kaji, yang bergerak dalam senyap dari barat ke arah timur, terdengar riuh. Jeritan dan teriakan sesekali memecah keheningan sore yang semakin kelam. Dan kami tahu, saatnya telah tiba untuk melancarkan serangan.
Dari posisi depan, suara-suara perang terus bergema. Kami mendengar jeritan dan teriakan, serta bunyi-bunyi yang menandakan pertempuran telah dimulai. Itu adalah tanda bahwa pasukan dari depan berhasil memancing musuh keluar dari persembunyian mereka.
Kami bertiga—aku, Kasmuni, dan Ihsan—semakin mendekat ke posisi musuh di garis belakang dengan hati-hati. Suasana tegang menyelimuti langkah-langkah kami, namun semangat untuk memenangkan pertempuran terus membara di dalam dada.
Tiba-tiba, kami mendengar suara gemerisik langkah kaki di depan kami. Musuh telah keluar dari persembunyian mereka, dan saat yang dinanti-nantikan telah tiba. Dengan isyarat dariku, pasukan kami bersiap untuk melancarkan serangan.
“Tiba saatnya untuk menunjukkan kekuatan kita!” bisikku kepada Kasmuni dan Ihsan, suaraku penuh semangat yang menggebu.
Tanpa ragu, kami meloncat keluar dari persembunyian, menyergap musuh dari belakang secara tiba-tiba. Aku memimpin serangan dengan penuh determinasi, sementara Kasmuni dan Ihsan mengikuti langkahku dengan cepat dan tanpa ragu.
“Tahan posisi! Jangan biarkan teman-teman terpancing dan mendekat!” teriak Yit Kayun, mencoba mempertahankan pasukannya dari jauh. Suaranya menggema, menembus ketegangan yang menyelimuti. Kami sempat terkejut, khawatir posisi kami ketahuan. Hati-hati kami mencoba menebak arah suaranya, waswas ia mungkin sedang memanjat pohon, merusak rencana strategi Supit Udang kami. Namun, suara itu menghilang, tak ada komando yang menyusul.
Teriakan komando Yit Kayun rupanya terlambat. Pasukannya sudah terlanjur muncul dari gerumbul-gerumbul pisang satu persatu, menganggap tim Rajawali terlalu mudah ditaklukkan. Kesalahan fatal mereka adalah meremehkan kekuatan tim lawan, padahal di sana ada Ekwan yang berpengalaman. Begitu pasukan garda paling belakang tim Macan Loreng muncul, mereka disambut serangan mendadak dari belakang yang sangat mengejutkan. Serangan ini benar-benar tak terduga, membuat mereka kewalahan. Pasukan Macan Loreng terkejut dan panik, berusaha mempertahankan diri, namun sia-sia.
“Diew! Diew!” seruan tajam menirukan suara pistol berperedam terdengar dari belakang saat pasukan Rajawali menyerang dengan ganas. Kasmuni dan Ihsan berhasil menundukkan Tikno dan Ganjar, sementara aku berhasil membuat Ekwan, sang wakil jenderal pasukan Macan Loreng, tak berkutik.
“Menyerah, kalian sudah kalah!” teriakku dengan penuh keberanian. “Ayo kumpulkan senjatanya dan berdiam diri di situ,” kataku sambil menunjuk sungai kecil yang kering sebagai tempat berkumpul.
Di arah depan, dua anggota pasukan Tim Rajawali memilih untuk mengorbankan diri demi meraih kemenangan. Mereka rela dikalahkan oleh pasangan Baidhowi dan Solikin. Namun, begitu mereka menundukkan kedua anggota pasukan Rajawali itu, Nur Kaji mendadak menyerang dari belakang kepada kedua anggota pasukan Macan Loreng yang tersisa di garda depan.
“Diew! Diew!” seruan mengejutkan menirukan suara pistol berperedam dari Nur Kaji, membuyarkan konsentrasi mereka. Kedua anggota pasukan Macan Loreng itu tertembak di tempat, menyerah kalah, dan menyerahkan senapan mesin mereka.
Sementara itu, Jenderal Yit Kayun setelah memberikan aba-aba dari jauh tak lagi terdengar suaranya. Nur Kaji yang berusaha memburunya ternyata kehilangan jejak dan akhirnya kembali kepada pasukan musuh yang sudah dikalahkannya.
Nur Kaji, diiringi oleh Heri dan Di Katul, menggiring Solikin dan Baidowi yang sudah kalah untuk dikumpulkan di sungai kering di tengah Dadah Wetan, bersama Ekwan, Ganjar, dan Sutikno. Mereka dipusatkan di satu tempat untuk memancing kedatangan Jenderal Yit Kayun. Kami membagi tugas karena sebentar lagi, kemenangan mutlak akan kami raih. Kasmuni dan Ihsan berjaga-jaga di tempat tersembunyi dekat sungai kering, sementara aku dan Nur Kaji bergerak menyebar untuk mencari keberadaan komandan pasukan Macan Loreng itu.
Hari semakin gelap, dan pencarian yang aku lakukan bersama Nur Kaji belum juga membuahkan hasil. Kami berkeliling hampir 30 menit tanpa menemukan tanda-tanda keberadaan Yit Kayun. Aku dan Nur Kaji sepakat untuk kembali ke sungai kering, tempat di mana suasana seperti dicengkeram kesunyian yang tak terbayangkan. Semua peserta permainan perang tembak-tembakan aku kumpulkan. Kemenangan mutlak yang pernah kami idamkan kini bagaikan bayangan samar, tertutup kabut ketidakpastian. Harapan kami untuk meraih juara terpaksa diurungkan demi masalah yang lebih mendesak: hilangnya Yit Kayun.
“Teman-teman dari tim Macan Loreng, ada yang tahu posisi terakhir Yit Kayun?” tanyaku, suaraku bergetar di antara raut wajah yang seakan dipahat dari batu—dingin dan tak berdaya. Suasana menyempit, seperti hutan yang menyerap cahaya senja, membawa ketegangan yang tak tertahankan.
“Waduh, saya kurang tahu itu,” jawab Ekwan, matanya melirik penuh rasa bersalah, seakan menyimpan sesuatu. “Tadinya saya dampingi, tapi dia lebih memilih memisahkan diri. Jadi bukan salahku kan?” Suaranya bernada menyalahkan seperti pisau, menusuk rasa percaya diri kami yang rapuh. Dalam sekejap, aroma amarah dan ketidakpuasan mulai meletup.
“Adakah yang lain yang mengetahui posisinya?” seruku, nada suaraku penuh tekanan, nyaris meledak. “Jangan khawatir, permainan sudah kita akhiri. Yang penting kita harus menemukan dia! Jangan sampai terjadi apa-apa padanya!”
Semua wajah menunjukkan ekspresi yang hanya bisa ditafsirkan dengan dua kata: tidak tahu. Pandangan mereka bagaikan langit tersaput mendung namun tidak memberikan harapan akan hujan. Ketidakpastian merayap di antara kami, membangkitkan kecemasan yang semakin merajalela.
“Gawat!” bisikku dalam hati, jantungku berdebar seperti genderang perang yang mengiringi kami menuju kekacauan. Suasana berubah menjadi konfrontatif. Aku menelan ludah, menyadari bahwa jika ada yang salah, aku pasti yang pertama disalahkan. Beban di pundakku semakin berat, seolah semua mata menuntut tanggung jawab dariku. Tapi aku tahu, tak ada ruang untuk ragu, keputusan harus diambil, dan kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. “Jika saja kalian tidak egois, Yit Kayun mungkin masih di sini!” teriak Kasmuni, menuding rekan satu tim Yit Kayun, suaranya bergetar penuh amarah. “Kalian terlalu percaya diri! Kita semua bisa jadi korban jika tidak segera bertindak!”
“Tapi aku tidak merasakan tanda-tanda apa pun!” Ekwan berusaha membela diri, wajahnya memerah. “Kita semua terjebak dalam permainan ini! Ini bukan salahku!”
“Jadi, apa? Kita hanya akan duduk di sini dan menunggu hingga sesuatu terjadi? Lantas kalian dengan gampangnya menyalahkan kami?! Mikir dong!” Ihsan menyela, suaranya penuh kemarahan dan frustasi. Wajahnya merah padam.
Pertikaian mulai memanas, adu argumen berlangsung semakin alot. Setiap kata seakan menjadi peluru yang meluncur tajam, mengguncang jati diri kami. Hati kami bergejolak, dan dalam ketegangan itu, hampir terjadi adu fisik. Namun, di tengah kekacauan, suara Nur Kaji menyentak kami dari kebisingan.
“Berhenti! Ini bukan waktunya saling menyalahkan!” Ia berusaha menengahi, matanya berapi-api. “Kita harus bersatu, bukan saling berantem!”
Dalam kesunyian yang menegangkan, sebuah pemikiran melintas di benakku. “Apakah mungkin Yit Kayun digondol wewe atau diculik hantu?” kataku lirih.
Sontak kami membisu. Kengerian yang menggigit menyeruak, seperti bayangan gelap yang mengintai di balik pepohonan, menyelimuti pikiran-pikiran kami. Semua kecemasan ini berpadu, menciptakan suasana mencekam.
Kami semua terdiam, menatap satu sama lain. Dalam momen hening itu, kesadaran menyergap kami—bahwa di luar sana, mungkin Yit Kayun terjebak dalam kegelapan yang tak terbayangkan. Ketakutan, harapan, dan kesedihan berpadu dalam sebuah simfoni emosi kami yang membara, sementara waktu terus berputar.
“Harus ada yang berani mengambil risiko,” kata Nur Kaji, suaranya kini tegas. “Kita harus segera mencari Yit Kayun sebelum semuanya terlambat!”
Dengan keputusan bulat, kami bersiap untuk menerjang kegelapan, menelusuri jejak yang mungkin mengarah ke nasib tak terduga.
“Bagaimana jika kita cari dalam tim?” Kasmuni menyodorkan usul, suaranya mirip bisikan angin, namun penuh tekad. “Kita mencarinya berombongan saja, terutama di hutan-hutan bambu. Kalau perlu sampai di kuburan!” tambahnya, menambahkan nuansa sinis yang seakan menertawakan ketidakberdayaan kami.
Tanpa bersuara, semuanya mengangguk-angguk, tanda setuju.
“Kalau begitu kita bagi menjadi dua tim,” kataku, memecah keheningan yang menyesakkan. “Tim pertama adalah mantan pasukan Macan Loreng dan tim kedua adalah mantan pasukan Rajawali. Tim pertama bergerak di seluruh area Dadah Wetan, sedangkan tim kedua bergerak di seluruh area Dadah Kidul,” sambungku dengan nada tegas, meski dalam hati berkecamuk keraguan.
Segera, seluruh anggota kedua tim bergerak tanpa kecuali, seperti kawanan serigala yang mengejar mangsanya. Hari sudah semakin gelap, cahaya senja merangkak pergi, dan kami harus bergerak cepat. Maka mulailah kami memanggil nama Yit Kayun sambil berkeliling di dua area tersebut, suara kami berkumandang, penuh harapan dan cemas.
Sambil berjalan, kami memukul-mukul barang yang ada—bambu, kalèng, atau tempurung biji siwalan yang sudah kering—sehingga menimbulkan suara berisik, seolah-olah berdoa kepada semesta agar jika Yit Kayun digondol wewe atau disembunyikan makhluk halus, semoga kami bisa membebaskannya. Kami seperti pemuda yang kehilangan arah di tengah malam, berharap sinar rembulan menyinari jalan kami, meski kegelapan semakin menebal, dan ketegangan menggantung di udara, siap meledak kapan saja.
“TOK!TOK! TOK!”
“TEK! TEK1 TEK!”
“DENG! DENG! DENG!”
“DUNG BRENG! DUNG BRENG!”
“Yit Kayun… Kamu dimana?” sambil bergerak kami terus-menerus membuat bunyi-bunyian dan berteriak memanggil-manggil Yit Kayun berulang-ulang. Waktu berjalan semakin lama semakin membuat kami takut. Matahari sudah separuh terbenam dan suasana di kedua area itu sudah hampir gelap sama sekali. Kami semakin panik karena Yit Kayun belum juga terlihat tanda-tanda kemunculannya. Sutikno yang dididik keras dan disiplin oleh bapaknya meminta izin untuk pulang duluan. Aku tidak bisa mencegahnya.
Tim pertama yang menelusuri seluruh area Dadah Wetan terus bergerak ke barat dan sudah sampai di rumahku. Namun hasilnya nihil. Tim kedua yang berputar di kuburan di ujung paling selatan Dadah Kidul kembali ke utara melalui Jalan Setapak di ujung timur yang melintasi kebun Yi Tasliman.
“Ada Apa De Mampu kok rame-rame dari arah kuburan?” sebuah suara dari rerimbunan pohon maribang tiba-tiba menegurku. Kami terperanjat dan seketika semuanya diam. Rupanya Lik Ti, anak perempuan dari Yi Tasliman sedang menderesi daun pisang klutuk untuk dijual besok. Dia tertarik mendengar keributan benda-benda yang dipukul dan nama Yit Kayun yang kami panggil-panggil sepanjang jalan dari kuburan.
“Yit Kayun hilang Lik!” spontan Kasmuni menjawab. “ Iya mungkin dibawa lampor atau wewe gombel Lik!” sambung Di Katul menimpali.
“Kami mencarinya kemana-mana sejak jam lima tadi masih belum nongol batang hidungnya. Padahal tadi bermain-main bersama kami Lik” kataku hati-hati sambil menghindari tatapan mata Lik Ti.
YIt Kayun adalah keponakan Lik Ti Jadi kalau ada apa-apa bisa-bisa yang disalahkan kami semua. Makanya aku tidak berani berlama-lama menatap wajahnya.
“Lho, yang tadi bermain-main di jalan di bawah dapuran bambu kebonmu itu siapa?” tanya Lik Ti.
“Maksud jenengan Lik Ti?” tanyaku penasaran.
“Iya tadi aku lihat Yit Kayun sedang celingukan sendirian di situ. Di bawah pohon-pohon bambu,” jawab Lik Ti. “Nah, lalu sepertinya Bapaknya datang berjalan kaki dari arah kuburan. Mungkin dari tillik kuburan Nyi Sarpi, Mbah putrinya Yit Kayun. Begitu sore-sore dia melihat Yit Kayun masih bermain-main di luar dan belum mandi seperti biasanya langsung saja kupingnya dijewer dan ditarik dibawa pulang.”
“Owalaaaahhh….. “ semunya berseru seperti di komando.
“Ayo ini sudah magrib. Segera kita balapan pulang,kalau tidak ingin mengalami nasib sama kayak Yit Kayun,“ seruku sambil berlari secepatnya. Bayangan Bapak Bapak kami yang membawa pecut untuk menertibkan kami karena jam segitu belum mandi dan berangkat mengaji terlintas sesaat. Kami bergidik ngeri.
“Bubar… Bubaaar!” yang lain segera menimpali dan mengambil langkah seribu untuk membubarkan diri. Kami juga takut ayah-ayah kami akan menjewer kami kalau tidak segera pulang.
TAMAT
__________________________:
Sampangan, Minggu 30 Maret 2024 pukul 16.00 WIB Ditulis dengan strategi tali Bambu Apus Giri ( Implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital Mandiri berbasis AI)
Dari kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri
Autobiografi, Kenangan masa kecil di kampung WIduri bersama teman sekampung.
Daftar Istilah:
- Dadah = kebun
- Kang = pangilan untuk kakak di Jawa
- Kidul = selatan
- Lik = panggilan untuk paman di Jawa
- Londo = orang Belanda
- Maribang = bunga sepatu
- Menderesi = memisahkan lembaran daun pisang dari gagangnya
- Tas gombal = tas benang rajut warna warni
- Tilik = menengok/menziarahi
- Wetan = timur
- Wewe = kuntilanak
- Yawis = ya sudah