By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Hari itu masih pagi. Matahari baru saja bangkit dari tidurnya yang lelap, memandikan kampung Widuri dengan cahaya keemasan. Jam menunjukkan pukul 7:30 ketika aku dan teman-temanku, anak-anak kampung Widuri, berangkat bersama-sama menuju SD Gebangsari. Tahun itu adalah tahun 1978, dan kami baru saja naik ke kelas 2. Kami mendapat giliran belajar siang hari, di mana kelas kami dimulai pukul 9:30 dan berakhir pada pukul 12:00. Karena masih ada cukup waktu sebelum jam masuk, kami sering menggunakan waktu itu untuk menikmati perjalanan yang berjarak sekitar satu setengah kilometer menuju sekolah.
Kampung Widuri adalah sebuah desa yang seperti terbangun dari mimpi indah, memanjakan mata dengan pemandangan yang selalu hijau dan hawa yang sejuk. Seolah-olah dedaunan yang menari-nari dihembus angin membisiki kabar baik tentang kesuburan tanahnya. Jalan tanah yang memanjang dari ujung Barat ke Timur, seperti pita cokelat yang mengular lembut di tengah bentangan hijau. Di sepanjang jalan, bunga sepatu tumbuh berderet rapi di kiri dan kanan, seperti pagar hidup yang berbisik pada angin untuk menjaga ketenangan kampung ini. Kehadiran bunga-bunga tersebut, dengan kelopaknya yang merah cerah, menambah keindahan alami yang menawan, seakan menyambut setiap langkah dengan senyuman.
Saat musim bunga tiba, bunga sepatu di Kampung Widuri mekar dengan anggun, seperti ribuan lentera merah yang menyala terang di sepanjang jalan. Kelopaknya terbuka lebar, memamerkan serbuk sarinya yang menjulur keluar dengan keindahan tiada tara, seperti jemari halus yang menggoda. Aroma manisnya menyebar ke seluruh penjuru, memanggil kupu-kupu berbagai warna untuk datang berdansa di atasnya. Kupu-kupu dengan sayap beraneka warna terbang beriringan, melayang-layang dengan gemulai, seperti para penari yang terpesona oleh musik alam. Mereka hinggap dengan lembut, menyedot madu sepuasnya, terbuai oleh keindahan dan kemewahan bunga sepatu yang seolah menjadi bidadari bagi para pengunjung kecil ini.
Di tengah-tengah kampung, rumah-rumah penduduk berdiri sederhana namun penuh kehangatan, seakan dinding-dinding papan dan anyaman bambu yang mengelilinginya turut menjaga rahasia dan cerita dari waktu ke waktu. Atap-atap rumah yang terbuat dari genting tanah dan daun ilalang seperti melambai-lambai pada awan yang melintas, mengucapkan salam ramah dari Kampung Widuri. Rumah-rumah itu jarang, dipisahkan oleh kebun-kebun luas yang dipenuhi pohon kelapa dan siwalan, seperti penjaga setia yang memayungi desa dari teriknya matahari. Hutan-hutan bambu di sekitarnya berdiri gagah, memainkan simfoni alam dengan suara gesekan batang dan gemerisik daun, menciptakan musik alam yang abadi.
Di ladang-ladang yang subur, tanaman palawija tumbuh dengan riangnya, menunjukkan keberlimpahan hasil bumi kampung ini. Ketela rambat, ketela pohon, talas, gembili, uwi, hingga ganyong dan jagung, seolah berlomba-lomba menunjukkan warna dan bentuk terbaik mereka. Bayam, kacang panjang, dan kecipir seperti para penari yang gemulai, melambai pada setiap yang lewat. Di sela-sela tanaman, pisang berdiri anggun dengan daun-daunnya yang lebar, seperti payung hijau raksasa yang memberikan keteduhan. Semua tumbuhan itu bekerja sama, memberikan kekayaan hasil bumi yang kemudian dijual oleh warga kampung ke kota, menjadi saksi bisu tentang kesederhanaan namun penuh berkah yang dimiliki Kampung Widuri.
Di ujung sebelah barat Kampung Widuri, sebuah gapura bambu berdiri megah, seperti gerbang kerajaan yang dibangun dengan tangan-tangan penuh cinta dan kebersamaan. Gapura ini bukan sekadar pintu masuk, melainkan lambang kebanggaan kampung yang tercipta dari kekompakan dan gotong-royong warga. Setiap tahun menjelang peringatan 17 Agustus, gapura ini dibangun kembali dengan semangat baru, seperti sebuah karya seni yang selalu memperbarui dirinya. Bambu-bambu yang terjalin rapi dan kokoh seakan bernyanyi bersama angin, merayakan kebebasan dengan suara gesekan halusnya. Gapura ini menyambut setiap orang yang datang dengan keramahan yang menggetarkan hati, seolah berkata, “Selamat datang di Kampung Widuri, kampung penuh keindahan dan harmoni.”
Keluar dari ujung kampung, jalan tanah yang panjang ini langsung terhubung dengan sebuah tanggul, yaitu Tanggul Sungai Widuri. Tanggul ini seperti lengan kokoh yang melindungi kampung dari derasnya arus sungai, sekaligus menjadi jalur favorit kami menuju sekolah. Di sepanjang tanggul ini, kami sering berlari dan bermain, berkejaran dengan bayangan kami sendiri, seakan tanggul ini adalah sahabat setia yang mengantar kami menjemput ilmu. Di musim penghujan sungai di sebelahnya mengalir tenang, seolah berbisik lembut di telinga kami, mengisahkan cerita-cerita masa lalu tentang kampung yang selalu hidup dalam damai. Di atas tanggul ini, pagi terasa begitu hangat, seperti dipeluk oleh alam yang selalu mencintai.
Di musim kemarau, air sungai hampir mengering sepenuhnya, meninggalkan jejak-jejak pasir dan kerikil dan retakan-retakan tanah bekas lumpur yang mengering yang terhampar seperti permadani alam. Tumbuhan liar tumbuh merimbun di sepanjang tepian sungai, daun-daunnya menggantung seperti tangan-tangan kecil yang menyambut kedatangan kami. Di sana-sini, kami sering kali melihat gerakan-gerakan halus dari binatang-binatang kecil yang sedang bersembunyi. Kami selalu siaga, seolah sedang berada dalam perburuan harta karun. Jika ada benda yang bergerak, kami akan mengepungnya dengan cepat.
Yit Kayun, Nur Kaji, dan Kasmuni adalah sahabat-sahabat setiaku. Bersama-sama kami sering mencari ular hijau yang disebut ular gadung di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Ular gadung adalah ular kecil, panjangnya sekitar satu sampai satu setengah meter dengan diameter tubuh yang hanya satu hingga dua sentimeter saja. Ular ini tidak berbisa, tapi cukup menantang untuk ditangkap. Kami membawa tas rajut berwarna-warni yang disebut tas gumbal untuk menyimpan buku-buku pelajaran kami yang tipis. Tas ini juga sangat berguna ketika kami harus menangkap ular gadung yang bergerak cepat.
Pagi itu, seperti biasa, kami berempat berangkat bersama. Kami berjalan melewati kampung Widuri yang damai, dengan rumah-rumahnya yang terbuat dari papan atau anyaman bambu dan atap genteng ataupun daun ilalng. Di kampung ini, waktu seakan berjalan lebih lambat. Udara pagi begitu sejuk, membawa aroma segar dari pepohonan dan rumput yang masih basah oleh embun. Penduduk kampung tersenyum ramah ketika kami lewat, senyum mereka sehangat matahari pagi yang menyapa lembut dedaunan.
Ketika kami sampai di tanggul sungai Widuri, petualangan kami pun dimulai. Sungai itu seperti sahabat lama yang selalu menyambut kami dengan cerita-ceritanya. Ia berbisik melalui riak-riak kecil yang tersisa di musim kemarau, seolah ingin memberitahukan sesuatu yang tersembunyi di balik semak-semak dan rumput liar di sekitarnya. Kami melewati warung Yi Muri yang terkenal dengan nasi keringnya yang sangat lezat. Orang-orang dari desa tetangga sudah ramai berkumpul di sana untuk sarapan pagi.
Kami berjalan santai melewati warung itu, lalu melewati warung berikutnya milik Lik Ngariibun. Jalan setelah warung ini adalah tempat favorit kami, banyak tumbuhan dengan daun-daunnya melengkung ke arah sungai. Kami tahu, ini adalah tempat yang sering dikunjungi ular gadung. Seolah-olah semak-semak dan daun-daun itu menjadi pelindung yang ramah bagi mereka.
“Lihat, ada yang bergerak!” seru Yit Kayun tiba-tiba. Matanya tajam, menatap sesuatu di antara semak-semak.
Aku dan Nur Kaji segera menunduk, memperhatikan dengan seksama. Di dekat gapura menuju rumah Pak Lurah, ada ular gadung yang bergerak perlahan. Dengan cepat, aku turun ke sungai, diikuti oleh teman-temanku. Aku mencari ranting kayu untuk menangkap ular itu. Rupanya, nasib ular itu sedang tidak baik. Dalam sekali gerakan, aku sudah berhasil menangkap kepalanya dengan jemariku. Teman-temanku bersorak gembira.
Ketika aku mengangkat ular itu ke atas, kami semua bersorak kegirangan. Rasanya seperti baru saja menemukan harta karun. Ular itu berkelok-kelok di tanganku, mencoba meloloskan diri. Tetapi aku sudah siap. Aku menggenggamnya erat dengan satu tangan sementara tangan lainnya kuletakkan di bawahnya untuk menopangnya. Kasmuni menepuk-nepuk bahuku, wajahnya penuh kegembiraan. “Luar biasa! Kita punya teman baru,” katanya dengan senyum lebar.
“Kita bisa pelihara ini, kan?” tanya Nur Kaji penuh harap. Matanya berbinar seperti bintang, menyiratkan kegembiraan. “Atau, kita bisa bikin dia jadi mainan. Pasti seru!”
Kami tertawa. Ular itu bergerak-gerak liar, namun ketakutannya justru membuat kami semakin bersemangat. Seperti pahlawan yang baru saja menang dalam pertempuran, kami melangkah penuh kemenangan menuju sekolah, membawa ‘tangkapan’ kami dengan bangga. Udara pagi terasa lebih segar, langkah kaki kami lebih ringan, dan tawa kami menggema di antara dedaunan yang rimbun.
Saat memasuki halaman sekolah, kami disambut sorakan anak-anak yang sudah lebih dulu tiba. Mereka segera mengerubungi kami, memandangi ular gadung di tanganku dengan tatapan campuran antara kagum dan takut. Bagi mereka, melihat kami membawa ular hidup seperti melihat atraksi sirkus yang luar biasa. Beberapa anak perempuan menjerit kecil, mundur dengan tangan menutupi mulut mereka. “Jangan dekat-dekat! Bahaya!” seru salah satu dari mereka dengan nada panik.
Namun, kami tahu ular itu tidak berbahaya. Jenis ular ini memang bukan jenis yang berbisa. Kami mencoba meyakinkan mereka, tapi suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk kegaduhan. Yit Kayun, dengan wajah nakalnya, meminta ular itu dariku. “Ayo, sini! Biar kutunjukkan bagaimana caranya membuat anak perempuan lari terbirit-birit!” katanya dengan tawa licik.
“Tidak sulit, asalkan tahu caranya,” jawabku sambil tersenyum lebar. Yit Kayun kemudian meminjam ular itu, bermaksud menakut-nakuti anak-anak perempuan di kelas kami.
Dan di situlah segalanya berubah. Anak-anak perempuan berteriak ketakutan, suara mereka menggema hingga keluar kelas. Pak Wakijan, kepala sekolah kami yang terkenal galak, muncul dengan cepat di pintu. “Apa ini? Siapa yang menakut-nakuti teman-temannya dengan ular?” bentaknya, suaranya mengguncang hati kami.
Kami semua terdiam. Jantungku berdegup kencang. Yit Kayun, yang biasanya berani, kini terlihat pucat. Dia menatap ular di tangannya, lalu menatap Pak Wakijan dengan pandangan bersalah. Akhirnya, kami berempat dihukum untuk lari keliling lapangan sepuluh kali dan menulis seratus kali di atas kertas: “Saya tidak akan bermain ular lagi dan menakut-nakuti teman perempuan kami.”
Yang paling khawatir adalah Yit Kayun. Ayahnya seorang pegawai yang sangat disiplin. Setiap kesalahan kecil bisa berujung hukuman berat di rumah. Sementara aku, Nur Kaji, dan Kasmuni sedikit lebih tenang. Orang tua kami mungkin buta huruf atau hanya bisa membaca aksara Arab, sehingga hukuman menulis seratus kali tidak akan terlalu bermasalah.
Namun, konflik batin mulai melanda Yit Kayun. Sepanjang hari, dia tampak gelisah. Saat istirahat, dia duduk sendirian di pojok kelas, merenung. Matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Aku harus jujur pada Ayah,” gumamnya pelan. “Aku harus bertanggung jawab atas apa yang kulakukan. Aku tidak ingin berbohong lagi.”
Kami bertiga saling pandang. Ada keheningan yang menggantung di udara, seperti daun yang enggan jatuh dari dahan. “Tapi, kalau kamu jujur, kamu akan dihukum lebih berat lagi, Kayun,” kata Nur Kaji akhirnya.
“Aku tahu,” jawab Yit Kayun. “Tapi aku tidak mau lagi hidup dengan rasa takut dan berbohong. Lebih baik aku menghadapi semuanya sekarang daripada harus terus-menerus merasa bersalah.”
Kami semua terdiam, merenungkan kata-kata Yit Kayun. Kami tahu dia benar, tapi tetap saja rasanya menakutkan. Apalagi menghadapi Ayahnya yang terkenal keras.
Siang harinya, ketika sekolah usai, kami pulang bersama-sama. Di sepanjang perjalanan, Yit Kayun terlihat semakin gelisah. Langit mulai berubah warna, dan bayang-bayang pohon tampak memanjang seperti tangan-tangan raksasa yang hendak meraih kami. Sungai di sepanjang tanggul Widuri kini tampak lebih sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan yang mengiringi langkah kami.
Ketika kami sampai di rumah masing-masing, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yit Kayun. Apakah dia benar-benar akan berterus terang pada Ayahnya? Malam itu, ketika aku berbaring di atas tikar, angin berhembus lembut melalui celah-celah dinding bambu, membelai kulitku yang dingin. Suara jangkrik terdengar seperti sebuah simfoni yang dimainkan di bawah rembulan. Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tetapi bayangan Yit Kayun terus saja menghantui pikiranku.
Pagi berikutnya, ketika aku tiba di sekolah, aku langsung mencari Yit Kayun. Tapi dia tidak ada di sana. Hati kecilku mulai cemas. “Mungkin dia terlambat,” pikirku, mencoba meyakinkan diri. Namun, waktu terus berlalu, dan Yit Kayun tetap tidak muncul. Jam pelajaran pertama pun dimulai tanpa kehadirannya. Guru mengabsen dan bertanya-tanya tentang ketidakhadirannya, tetapi tak ada satu pun dari kami yang tahu ke mana dia pergi.
Di waktu istirahat, aku, Nur Kaji, dan Kasmuni berkumpul di bawah pohon jambu biji di halaman belakang sekolah. Kami duduk melingkar, memandang ke arah gerbang sekolah, berharap Yit Kayun akan muncul kapan saja. Namun, wajahnya tak juga terlihat. Kekhawatiran kami semakin memuncak. “Kalian pikir, dia benar-benar jujur pada Ayahnya?” tanya Nur Kaji dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Kurasa iya. Tapi aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.”
Sore harinya, ketika sekolah usai, aku dan teman-temanku memutuskan untuk mengunjungi rumah Yit Kayun. Rumahnya Yit Kayun cukup jauh dari sekolah, sekitar setengah kilometer dari rumahku. Kami berjalan cepat, jantung kami berdegup kencang seolah berlomba dengan langkah kaki kami. Ketika sampai di depan rumahnya, aku merasa ragu untuk mengetuk pintu. Rumah itu tampak sunyi, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Akhirnya, aku mengumpulkan keberanian dan mengetuk pintu kayu itu pelan. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik paruh baya dengan wajah sendu, Ibunya Yit Kayun, membuka pintu. Matanya tampak lelah dan bengkak, seolah baru saja menangis. “Lik, kami mencari Yit Kayun. Apakah dia ada di rumah?” tanyaku dengan hati-hati.
Lik Paimah, kami biasa memanggilnya begitu, menghela napas panjang. “Yit Kayun sedang tidak enak badan. Dia beristirahat di kamarnya.” Kami semua saling pandang. Ada keheningan yang panjang, hingga akhirnya dia melanjutkan, “Tadi malam, dia mengaku pada Ayahnya tentang insiden di sekolah. Ayahnya sangat marah… dan memberikan hukuman berat.”
Aku merasa dadaku sesak mendengar itu. “Apakah kami bisa menemuinya, Lik?” tanyaku lagi.
Ibunya Yit Kayun mengangguk pelan dan mempersilakan kami masuk. Dengan langkah hati-hati, kami mengikuti wanita tua itu menuju kamar Yit Kayun di bagian belakang rumah. Ketika pintu kamar terbuka, kami melihat Yit Kayun berbaring di atas ranjang kecilnya, wajahnya pucat dan lelah. Ada bekas tangisan di matanya, dan tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya.
“Kayun…” panggilku pelan, mendekati ranjangnya.
Yit Kayun membuka matanya perlahan. Ketika melihat kami, seulas senyum tipis terbit di wajahnya yang pucat. “Aku tahu kalian akan datang,” katanya dengan suara serak. “Maaf, aku tidak bisa ikut ke sekolah hari ini.”
Kami duduk di tepi ranjangnya, dan dia mulai bercerita. Dia menceritakan bagaimana dia mengumpulkan keberanian untuk jujur pada Ayahnya tentang insiden ular kemarin. Ayahnya sangat marah, tidak hanya karena kejadian itu, tetapi juga karena dia merasa Yit Kayun telah mempermalukan keluarganya. “Aku tahu aku harus jujur, meskipun aku tahu konsekuensinya,” lanjut Yit Kayun. “Dan sekarang, aku merasa lebih baik. Setidaknya aku tidak perlu lagi berbohong atau hidup dalam ketakutan.”
Kami semua terdiam, merasakan beban yang dipikul Yit Kayun. Meskipun dihukum, dia merasa lega karena telah melakukan hal yang benar. Keberanian dan kejujurannya menginspirasi kami semua. Kami tahu, meskipun dia sedang sakit dan lelah, di dalam hatinya dia telah memenangkan pertempuran yang jauh lebih besar daripada sekadar menangkap ular gadung di sungai Widuri.
Saat kami pamit pulang, aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku belajar sesuatu dari Yit Kayun hari itu—tentang keberanian, kejujuran, dan menghadapi ketakutan dengan kepala tegak. Sungai Widuri, dengan segala kenangannya, kini terasa lebih berarti. Bukan hanya tentang petualangan dan permainan, tapi juga tentang pelajaran hidup yang tak akan pernah terlupakan. Dan di sana, di bawah langit kampung yang biru dan cerah, kami berjanji untuk selalu setia satu sama lain, dan untuk selalu berani menghadapi hidup, apa pun yang terjadi.
==================================
Sampangan, Semarang, 28 Agustus 2024 17.00 WIB.
Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._
Mengenang masa kecil bersama almarhum Yit Kayun dkk., sahabat setia di kampung.
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri