Published On: 21 September 2024Categories: Berita, Cerpen, Pojok Sastra

By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)

 

Di kota kecil bernama Widuri, angin lembut dari pesisir selalu membawa ketenangan, mengalir di antara pepohonan dan bangunan-bangunan tua yang berdiri tenang. Di tengah hiruk-pikuk keseharian, berdirilah sebuah bangunan sederhana yang menyimpan banyak harapan: PKBM “Mampu Merdeka.”

Tempat ini bukan sekadar ruang kelas biasa. Di sini, ilmu menjadi jembatan bagi mereka yang ingin memperbaiki nasib, bagi mereka yang terlewat kesempatan untuk belajar di usia sekolah. PKBM atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat adalah lembaga pendidikan nonformal yang melayani warga belajar dari berbagai latar belakang. Sebagian besar adalah pekerja yang mencari ilmu setelah berjuang seharian. Oleh karena itu, kegiatan belajar di PKBM ini dimulai dari sore hingga malam hari, saat lelah mulai menyapa tubuh, tapi tekad belajar terus membara.

Namun, ada yang lebih menarik daripada sekadar jadwal malam di PKBM ini. Di sudut kanan belakang kelas, kursi tua berkarat menjadi saksi bisu. Kursi yang terlihat tak bersalah ini menyimpan misteri yang menyelimuti tempat itu. Adi, Ani, dan teman-temannya, yang datang dengan hati penuh semangat, tak bisa menghindari rasa penasaran akan keanehan yang menyertai keberadaan kursi tersebut.

Bagi mereka, PKBM “Mampu Merdeka” adalah harapan untuk masa depan, tetapi kehadiran kursi itu seakan memberikan bumbu kisah yang tak terduga. Di tengah rutinitas belajar malam yang sunyi, cerita-cerita tentang nenek tua yang sering terlihat duduk di kursi itu semakin menambah nuansa misterius yang menyelimuti ruangan bekas SD Negeri tersebut.

Setiap Kamis malam Jumat, matahari tenggelam seiring kumandang adzan maghrib. Saat itu, banyak warga yang bergegas ke masjid, namun Adi dan teman-temannya justru duduk di sebuah ruang kelas tua yang kini menjadi PKBM. Ruangan itu dulunya adalah bekas SD Negeri yang terkesan biasa saja dari luar, namun dalamnya menyimpan cerita yang tak biasa.

Di sudut ruangan itu, berdiri sebuah kursi tua. Tidak ada yang mengingat kapan kursi itu pertama kali ada di sana, namun keberadaannya selalu membawa aura misterius. Anehnya, para warga belajar sering mengaku melihat sosok nenek tua duduk di atasnya, dengan tatapan kosong yang seolah ingin berkomunikasi, namun hanya melalui keheningan.

“Jangan bilang-bilang ya, tadi aku lihat lagi nenek itu,” bisik Ani suatu malam sambil memandang ke arah kursi tua di sudut ruangan.

Adi menatap Ani dengan wajah datar, mencoba menyembunyikan kekesalannya. “Sudahlah, Ani. Kalau kita terus fokus ke hal-hal mistis kayak gini, kita nggak akan pernah bisa maju,” ujarnya dengan nada mengecam.

Namun, siapa yang bisa menepis kenyataan? Sosok nenek itu terus muncul, khususnya di malam-malam tertentu. Bukan hanya sekadar mitos, nenek itu hadir seolah-olah adalah bagian dari “kurikulum” tersembunyi yang tak pernah ada dalam modul pelajaran resmi.

Di suatu malam, suara lirih tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan. Mereka saling menatap, mencoba mencari sumber suara. Namun, ruang kelas tetap hening, hanya ada kursi tua itu yang teronggok di sudut. Beberapa dari mereka mulai merinding. Ani mendekatkan kursi ke Adi, memegang lengannya erat-erat.

“Apa itu tadi? Kamu dengar juga, kan?” tanya Ani dengan suara bergetar.

Adi diam. Dalam batinnya, ada pergulatan. “Apakah aku juga mulai terpengaruh?” pikirnya. Padahal ia selalu berusaha mengabaikan segala yang berbau mistis.

“Ah, mungkin cuma hembusan angin,” gumamnya, meskipun dalam hati, ia tak sepenuhnya yakin.

Keesokan harinya, ruangan itu kembali difungsikan seperti biasa. Para pengajar datang, mengajar dengan normal, namun ada sesuatu yang selalu terasa di udara. Rasa diawasi, seakan ada sepasang mata tak kasat mata yang memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. Beberapa pengajar bahkan merasa seolah-olah sosok itu ada di antara mereka, duduk di sudut ruangan sambil diam mengamati.

“Ini bukan soal pendidikan lagi, ini sudah tentang keberanian kita menghadapi ketakutan,” ucap Adi suatu hari dengan nada serius.

Malam berikutnya, keadaan semakin aneh. Di tengah pembelajaran matematika, suara-suara aneh kembali terdengar. Suara itu bukan berasal dari para pengajar, melainkan dari sudut ruangan, dari kursi tua itu. Bisikan halus, samar-samar, namun cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri.

“Apa kamu dengar itu?” Ani memandang Adi dengan mata membelalak, napasnya tersengal.

“Sudah jangan mikir yang aneh-aneh. Fokus ke pelajaran,” balas Adi, meski nadanya sedikit bergetar.

Tapi semakin mereka berusaha mengabaikan, semakin jelas suara-suara itu terdengar. Beberapa warga belajar mulai gelisah. Mereka tahu, ruangan ini lebih dari sekadar tempat belajar. Ini adalah medan uji bagi mental mereka, untuk menghadapi sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka jelaskan.

“Apa mungkin ini ujian dari Tuhan?” pikir Adi dalam hati. Ia mencoba mengingat kata-kata dari salah satu gurunya dulu, “Tuhan takkan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya.”

Namun, siapa sangka bahwa ketakutan mereka lambat laun berubah menjadi bahan candaan. Kursi tua yang tadinya menakutkan, kini menjadi semacam “maskot” kelas. Setiap ada yang merasa gugup atau tegang, mereka akan mengarahkan pandangannya ke kursi itu dan tertawa.

“Kursi inspirasi,” ledek Adi dengan nada sinis. “Kita belajar di sini bersama hantu. Kalau kita bisa lulus dari sini, siapa tahu kita bisa lebih pintar dari Einstein.”

Ani tertawa. Mungkin bagi mereka, candaan adalah satu-satunya cara untuk melawan ketakutan yang menggerogoti. Di balik setiap tawa itu, ada rasa takut yang mendalam, namun setidaknya mereka tidak sendirian dalam menghadapinya.

“Aku hanya berharap kursi itu nggak minta kita untuk menyelesaikan soal matematika,” celetuk Ani sambil terkikik.

Suatu malam, ketakutan mencapai puncaknya. Lampu ruangan tiba-tiba mati saat mereka sedang belajar. Gelap gulita, hanya diterangi oleh sinar bulan yang merayap masuk melalui jendela. Kursi tua itu terlihat seperti siluet yang menakutkan di sudut ruangan.

“Astaghfirullah,” bisik salah satu warga belajar sambil memegang dada. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah akan melompat keluar dari tubuhnya.

Dalam keheningan itu, terdengar langkah kaki… di dalam ruangan.

“Kamu dengar itu?” tanya Adi dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ani mengangguk, wajahnya pucat. Mereka semua terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Apakah ini akhir dari keberanian mereka? Bisikan hati kecil mulai meronta, mengingatkan mereka pada cerita-cerita horor yang pernah mereka dengar tentang ruangan ini.

Namun, alih-alih lari, Adi berdiri. “Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan,” pikirnya. Dengan langkah mantap, dia mendekati kursi tua itu. Tangannya gemetar, namun dia tahu, inilah saatnya.

Ketika ia menyentuh kursi itu, dingin terasa menjalar ke sekujur tubuhnya. Tapi anehnya, tidak ada yang terjadi. Hanya kursi tua, terbuat dari kayu lapuk, seakan tidak pernah digunakan lagi selama bertahun-tahun. Adi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya.

“Mungkin, ini hanya ketakutan yang kita ciptakan sendiri,” gumamnya. “Kursi ini tidak punya kekuatan apapun.”

Seketika, lampu ruangan kembali menyala. Suasana berubah, seolah-olah ada yang melepaskan beban dari dada mereka semua. Adi berbalik, melihat teman-temannya yang masih terdiam dalam ketakutan.

“Kita harus hadapi ini,” katanya dengan suara tegas. “Bukan kursi ini yang menakutkan, tapi ketakutan kita sendiri.”

Ani menatapnya dengan penuh kekaguman. “Bagaimana kalau kursinya memang benar-benar ada ‘penunggu’-nya?” tanyanya ragu.

Adi tersenyum tipis. “Jika memang ada, maka kita akan belajar bersama. Toh, nggak ada salahnya berbagi ruang dengan hantu.”

Malam itu, mereka belajar sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar matematika atau bahasa Inggris. Mereka belajar tentang keberanian, tentang menghadapi ketakutan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Kursi tua itu, bagi mereka, kini menjadi simbol perjuangan melawan rasa takut, baik yang nyata maupun yang imajiner.

Dan seperti yang pernah dikatakan oleh seorang penulis besar, “Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemampuan untuk terus maju meskipun rasa takut itu ada.”

______________________________________________________

Srondol Kulon, Semarang, 19 September 2024 17.00 WIB. 

Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.

Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri

Inspired by:  Nisa, tutor  PKBM di kota Tegal