By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Pernikahan kami baru saja menginjak satu tahun. Masih terasa segar dan penuh kebahagiaan. Setiap pagi, matahari terbit seolah menyinari hubungan kami dengan hangatnya. Tak ada yang kurang, kecuali satu hal yang mulai dibicarakan orang di luar sana—anak.
Tahun pertama berlalu, kami masih menikmati kehidupan bersama. Aku, Dewi, dan suamiku, Andi, terus melangkah di jalan rumah tangga yang, meski tak sempurna, tetap indah dengan segala keterbatasannya. Tak terasa, waktu mengalir begitu cepat. Tahun kedua pun tak berbeda. Kami menikmati hari-hari tanpa keluhan. Hidup terasa tenang dan cukup.
Namun, saat tahun ketiga tiba, pelan-pelan mulai muncul bisikan-bisikan dari sekitar. Seperti angin yang berhembus halus tapi menusuk. Pertanyaan-pertanyaan dari keluarga, tetangga, dan teman-teman mulai mengarah pada satu hal yang belum terjawab. Anak. Mereka mulai bertanya, “Kapan mau punya anak, Dewi?” atau “Sudah berusaha belum?” Aku tersenyum kecut, menelan pahit setiap kali mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Andi lebih santai. “Santai saja, Dewi. Jangan dipikirkan.”
Tapi, bisikan itu semakin menjadi-jadi. Mereka seperti suara burung gagak yang berteriak di telinga, menambah tekanan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Di malam-malam yang sunyi, aku mulai berpikir. Apakah ada yang salah? Apakah ini waktunya untuk lebih serius menanggapi masalah ini?
Tahun keempat, Andi dan aku akhirnya sepakat untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan. Perasaan cemas menghantui, namun harapan selalu lebih besar. Kami mulai dengan program yang disarankan dokter. Setiap bulan, kami rutin melakukan pemeriksaan. Setiap kali hasilnya keluar, aku menatap lembaran hasil tes dengan degup jantung yang tak karuan, berharap ada keajaiban yang akan tertulis di sana. Namun, hasilnya selalu sama—negatif.
Tahun kelima, keenam, ketujuh, semuanya berlalu dengan bayangan yang sama. Setiap kali kami berharap, setiap kali pula harapan itu pupus. Seolah-olah Tuhan sedang menguji kesabaran kami tanpa henti. Aku sering merenung di malam-malam sunyi, ketika Andi sudah terlelap. Perutku terasa kosong, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang.
Andi, dengan tenang, selalu menenangkan, “Dewi, kita sudah berusaha. Apa pun hasilnya, kita harus tetap bersyukur.” Aku tersenyum kecil, meski dalam hatiku bergejolak. Bukan karena aku tak bersyukur, tapi rasa kecewa kadang datang tak terduga. Seperti hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tanpa tanda-tanda sebelumnya.
Tahun kedelapan, kami mencoba program baru yang lebih intensif. Dokter mengatakan, “Saya yakin, kali ini kalian akan berhasil.” Kata-katanya seperti sinar harapan yang menyala di tengah kegelapan. Aku dan Andi pun menjalani program tersebut dengan penuh harap, mengulang ritual-ritual medis yang tampak tak berujung. Hingga suatu pagi yang biasa, ketika matahari perlahan merangkak naik, aku menatap alat uji kehamilan dengan degupan yang sama seperti sebelumnya.
Dan di sanalah garis dua itu muncul.
Mataku terbelalak, tak percaya. Aku menggenggam alat itu erat, seolah tak ingin melepaskannya. Seluruh dunia seolah berputar lebih cepat di sekitarku. Aku berlari dengan napas tersengal-sengal, memanggil Andi yang sedang duduk tenang di ruang tamu. “Andi! Lihat ini!” seruku, menunjuk dua garis yang begitu jelas. Andi tersenyum lebar, pelukan kami begitu erat seperti tak ingin melepaskan satu sama lain. Air mata kebahagiaan mengalir deras dari kedua mata kami. Momen ini adalah puncak dari penantian bertahun-tahun. Seolah, semua perjuangan kami akhirnya menemukan titik terang. Namun, sebagaimana pepatah lama mengatakan, setiap kebahagiaan selalu mengundang bayangan gelap di belakangnya.
Empat bulan kemudian, rasa sakit yang tiba-tiba menyergap tubuhku seperti petir di tengah langit yang cerah. Janin yang selama ini menjadi pusat kebahagiaanku mulai menunjukkan tanda-tanda tak baik. Seperti badai yang menghantam kapal kecil di lautan lepas, tubuhku terombang-ambing dalam derita yang tak pernah kubayangkan. Andi berusaha menenangkan, tapi perasaan itu tak bisa lagi dibendung. Aku jatuh terduduk di sudut kamar, memeluk perutku yang kini kosong, hampa, dan sunyi. Perasaan kehilangan begitu mendalam, seperti ada bagian dari jiwaku yang dicabut tanpa ampun.
Dokter mencoba menghiburku, “Ini hanyalah ujian. Jangan khawatir, Dewi. Masih ada harapan.” Kata-kata itu terdengar hampa, meski aku tahu ia benar. Tuhan memang menguji kami, dan aku harus tetap kuat. Tapi, malam-malam yang kulewati setelah kejadian itu terasa begitu panjang dan sunyi. Seperti tidak ada ujungnya. Rasa sakit bukan hanya fisik, tapi lebih menghantam jiwa, mengoyak harapan yang sudah kami bangun selama ini.
Hari demi hari berlalu, namun setiap malam aku merasa dunia ini semakin sempit. Andi mencoba menghiburku, tapi kali ini, kata-katanya tak cukup untuk menghalau rasa pahit yang terus menerpa. “Apa kita salah? Apa ini balasan untuk sesuatu yang pernah kita lakukan?” gumamku di suatu malam. Andi hanya menggeleng. “Jangan berpikir begitu, Dewi. Ini bukan salah siapa-siapa.”
Namun, kata-kata itu tidak mengurangi perasaan hampa yang kian hari kian membesar. Tak lama, bisikan-bisikan dari luar mulai menghampiri lagi, layaknya serangan tak kasat mata yang perlahan menusuk. “Mungkin kalian terlalu tegang,” kata salah satu teman. “Atau, mungkin ada yang salah dengan tubuhmu, Dewi,” komentar yang lain tanpa berpikir dua kali. Seperti api kecil yang tertiup angin, bisikan-bisikan ini mulai menyalakan bara dalam diriku. “Kenapa kita yang terus disalahkan? Kenapa selalu aku yang dipertanyakan?” pikiranku mulai tak karuan. Dani mulai menunjukkan ekspresi yang sama lelahnya. Dia, yang biasanya tenang, kini mulai terbakar dengan kesedihan yang ia coba sembunyikan.
Suatu malam, di tengah diam yang panjang, aku tak bisa lagi menahan amarah. “Andi, kenapa kita harus melalui ini lagi? Kenapa semua orang terus-menerus bertanya dan menyalahkan aku?” suaraku bergetar. Andi, yang sedang duduk membaca koran, meletakkannya dengan kasar di meja. “Kamu pikir ini cuma masalahmu saja? Apa kamu pikir aku tidak merasa apa-apa?” jawabnya dengan suara lebih tinggi dari biasanya. Kata-katanya seperti pecahan kaca yang menghujam telingaku. “Aku tidak bilang begitu!” seruku, tapi dalam hatiku, aku tahu, semua ini telah meracuni kami.
Konflik ini mulai meruncing. Tuduhan-tuduhan yang tersimpan selama ini mulai keluar. “Mungkin ini karena kamu terlalu stres,” Andi berkata dengan nada sinis. “Oh, jadi ini salahku? Karena aku yang terlalu tegang, begitu?” jawabku dengan sarkasme yang tajam. “Kamu sendiri! Kamu yang tak pernah mencoba lebih keras!” Andi akhirnya meledak, matanya merah penuh kemarahan. Kata-katanya menusuk seperti belati, menghancurkan setiap pertahanan yang kubangun selama ini.
“Aku mencoba, Andi! Aku menjalani setiap program, setiap obat, dan setiap pemeriksaan! Tapi kamu hanya duduk di sana, seolah-olah ini bukan urusanmu!” aku berteriak, air mata mengalir deras di pipiku. Saling tuduh dan saling menyalahkan mulai tak terhindarkan. “Kamu yang keras kepala! Kamu yang selalu ingin lebih, lebih, lebih! Apa kamu tidak lihat, kita sudah di ujung jalan?” Andi balas berteriak. Malam itu, suara kami menghancurkan keheningan rumah, seperti badai yang menghantam tanpa ampun.
Di tengah perang kata-kata ini, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ibuku masuk dengan wajah lelah tapi penuh tekad. “Cukup! Apa kalian tidak sadar apa yang kalian lakukan?” katanya dengan suara yang penuh wibawa. Kami terdiam, napas kami terengah-engah setelah saling serang selama hampir satu jam. “Apa ini cara kalian bersyukur atas anugerah yang sudah kalian terima?” lanjutnya, tatapannya menusuk kami berdua. “Kalian sudah diberikan kesempatan, tapi malah saling menyalahkan. Ini bukan salah siapa pun. Kalian seharusnya bekerja sama, bukan menghancurkan satu sama lain.”
Kata-katanya membuat kami terdiam. Seperti air dingin yang dituangkan ke atas bara api, emosi kami mulai mereda, namun kebanggaan dan gengsi masih menghalangi langkah untuk meminta maaf. Aku menatap Andi, dan dia menatapku kembali, tapi tak ada satu kata pun yang terucap. Dalam diam, kami tahu, kami salah. Kami terlalu larut dalam emosi hingga lupa bahwa kami ada di tim yang sama.
“Ibu benar,” akhirnya Andi berkata pelan. “Ini bukan salah siapa-siapa. Maafkan aku, Dewi.” Suaranya terdengar berat, namun tulus. Aku terdiam, air mata kembali mengalir, kali ini bukan karena amarah, tapi karena penyesalan. “Maafkan aku juga, Andi. Aku hanya terlalu takut kehilangan lagi,” jawabku dengan suara serak.
Dan di situlah kami mulai berdamai. Perlahan, semua luka mulai sembuh, dan kami kembali fokus pada apa yang paling penting—harapan yang tak boleh kami tinggalkan, meskipun badai terus datang menerpa. Bulan-bulan terus berlalu dan Andi selalu ada di sisiku, menjadi sandaran yang tak tergoyahkan. “Kita akan mencobanya lagi, Dewi. Kali ini pasti akan berhasil,” katanya dengan keyakinan penuh.
Dan benar saja, enam bulan setelah keguguran, aku kembali mendapatkan garis dua itu. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia dan takut. Apakah kali ini akan berbeda? Apakah Tuhan akan memberikan kesempatan untuk merasakan menjadi seorang ibu? Harapanku kembali menyala, meski masih ada bayang-bayang ketakutan yang menggantung.
Namun, kali ini, Tuhan memberikan hadiah yang lebih besar. Saat pemeriksaan, dokter tersenyum lebar. “Dewi, Andi, kalian tidak hanya akan memiliki satu anak, tapi dua. Kalian akan mendapatkan bayi kembar.”
Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dua anak? Dalam satu waktu? Air mata kebahagiaan kembali mengalir deras. Tuhan akhirnya mengabulkan doa-doa kami. Semua rasa sakit, semua kesedihan, seolah terbayar dengan kabar luar biasa ini.
Hari-hari kehamilan terasa begitu berbeda kali ini. Setiap tendangan kecil di perutku adalah pengingat bahwa ada dua kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Kehidupan yang selama bertahun-tahun kami dambakan, akhirnya akan terwujud.
Ketika saatnya tiba, aku melahirkan dua bayi yang sehat. Tangisan pertama mereka mengisi ruangan rumah sakit dengan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku memeluk mereka erat, tak ingin melepaskan. Andi, di sampingku, tersenyum penuh haru. Kami akhirnya menjadi sebuah keluarga yang lengkap. Harapan yang dulu hanya berupa bayangan, kini menjadi kenyataan yang begitu indah.
Setelah semua yang kami lalui, aku menyadari bahwa Tuhan memang selalu memiliki rencana terbaik. Mungkin, perjalanan kami menuju kebahagiaan ini tidaklah mudah, penuh liku dan ujian, tetapi pada akhirnya semua itu menjadikan kami lebih kuat, lebih bersyukur, dan lebih menghargai setiap momen yang kami miliki.
Dan kini, dengan dua anak di pelukan, aku tahu bahwa garis dua itu adalah awal dari sebuah kisah cinta yang baru.
==================================
Srondol Kulon, Semarang, 18 September 2024 08.00 WIB.
Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri
Inspired by: Kisah nyata Adhiyati Lestari, tutor PKBM Budi Luhur kota Tegal