By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Langit cerah di tahun 2006 menjadi saksi bisu saat mimpi itu mulai tumbuh dalam benakku—mimpi tentang sebuah rumah. Tidak sekadar rumah, melainkan tempat berlindung yang penuh kehangatan, tempat di mana cinta keluarga akan abadi seperti bara yang tak pernah padam. Saat itu, baru saja aku menikah, menjejakkan langkah dalam kehidupan baru bersama Bimo, pria yang kukasihi. Rasanya hidup ini bagaikan buku baru dengan lembaran putih yang siap ditulisi harapan.
“Suatu hari kita akan punya rumah yang indah, ya?” tanyaku penuh semangat kepada Bimo saat malam berangin di teras rumah kontrakan kecil kami. Ia tersenyum tipis, wajahnya yang teduh selalu memberiku rasa aman.
“Pasti. Kita akan wujudkan itu bersama-sama,” balasnya yakin. Kalimat sederhana itu bagai janji yang diukir di langit.
Hari demi hari berlalu, dan di setiap detiknya, mimpi itu tumbuh semakin kuat. Membangun rumah menjadi seperti mantra yang kuucapkan dalam hati setiap kali menatap langit pagi atau malam. Tahun berganti menjadi dekade, hingga akhirnya, pada tahun 2022, impian itu mulai mengambil bentuk.
“Ini bukan hanya tentang batu bata dan semen, tapi tentang kita,” ucapku pada suatu sore di hadapan fondasi rumah kami yang baru saja dibangun. Tanggal 7 Maret 2022 itu seperti pahatan sejarah bagi keluarga kecil kami. Aku berdiri di sana, memandangi tanah seluas 8×11 meter yang akan menjadi pondasi dari mimpi kami. Rasanya, hatiku meletup seperti mercon yang tak sabar dinyalakan.
Namun, perjalanan ini bukan tanpa duri. Setiap kali tukang meleset dari harapan, atau anggaran melebihi batas, aku merasa seperti berdiri di tepi jurang. Ada saat-saat ketika aku ingin menyerah. Tapi, keyakinan Bimo selalu menarikku kembali dari tepi.
“Membangun rumah bukan tentang uang saja, tapi tentang kesabaran dan cinta,” katanya lembut suatu malam ketika aku hampir melempar kalkulator yang menunjukkan anggaran terus membengkak.
“Cinta? Lebih tepatnya adalah dompet yang terkuras tanpa ampun,” gumamku sinis, menahan tawa getir. Tetapi, di lubuk hatiku, aku tahu ia benar. Tanpa cinta, semua ini akan terasa hampa.
Bulan demi bulan bergulir. Tukang datang dan pergi seperti angin musim penghujan yang tak menentu. Kadang mereka bekerja dengan semangat membara, di hari lain, kecepatan mereka seperti kura-kura yang malas. Setiap batu bata yang disusun terasa seperti sebuah langkah menuju puncak gunung. Ketika rumah mulai berdiri tegak, rasanya seperti melihat anak sendiri tumbuh besar—perlahan tapi pasti, berubah dari sesuatu yang kecil dan rapuh menjadi kokoh dan menjulang.
“Rumah kita… Akhirnya jadi,” Bimo berbisik di telingaku saat kami memandangnya dari jauh pada bulan Juli 2023. Aku tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seperti hujan yang akhirnya tumpah setelah berbulan-bulan tertahan di langit.
Rumah itu berdiri dengan bangga, namun masih ada beberapa bagian yang perlu disentuh. Garasi belum diplester, dindingnya masih kasar. Tapi itu tak mengurangi kehangatan yang kurasakan. Setiap sudutnya bercerita tentang perjuangan, tentang malam-malam tanpa tidur, tentang kalkulator yang seolah menjadi musuh bebuyutanku.
Saat aku pertama kali melangkah masuk, aroma cat baru menyambutku seperti sahabat lama. Ruang tamu yang mungil, dapur yang sederhana, semuanya menjadi saksi bisu dari mimpi yang kini menjadi nyata. Anak-anakku berlari-lari, riang, seolah rumah ini sudah lama menunggu kehadiran mereka.
Namun, di balik kebahagiaan ini, masih ada banyak tantangan yang menanti. Perabotan rumah yang belum lengkap, rasa lelah yang menumpuk, dan tentunya, biaya tambahan yang selalu datang tanpa diundang.
“Apa kita pernah bisa berhenti mengeluarkan uang untuk ini?” tanyaku frustasi suatu pagi sambil menatap daftar belanja yang tak kunjung habis.
Bimo hanya tersenyum, “Rumah ini seperti bayi. Butuh perhatian dan cinta terus-menerus.”
Aku mendengus, “Kalau begitu, kita mungkin perlu mengadopsi bank.”
Meski sering kali aku merasa marah dan lelah, hatiku tak pernah benar-benar menyerah. Setiap kali aku menatap dinding-dinding rumah ini, aku merasa diberkati. Seperti yang pernah dikatakan Paulo Coelho, “Mimpi adalah cara Tuhan memberi kita petunjuk untuk menemukan jati diri kita.” Dan inilah jati diriku—seorang wanita yang pantang menyerah demi kebahagiaan keluarga.
Tetapi di balik semua semangat dan tekadku, kenyataan sering kali datang menghantam seperti gelombang besar. Pengeluaran yang tak terduga terus bermunculan, seakan-akan rumah ini menuntut lebih dari yang bisa kami berikan. Setiap hari, aku berusaha keras menjaga harapan agar tetap menyala, namun tak bisa dipungkiri, beban finansial mulai merongrong, menumpuk seperti batu besar yang perlahan menekan dadaku. Aku tahu, kebahagiaan keluarga adalah tujuanku, tetapi di saat-saat seperti ini, aku tak bisa mengabaikan ketakutan yang mengintai dari sudut-sudut pikiranku.
Malam itu, gelap terasa lebih pekat dari biasanya. Aku duduk sendirian di ruang tamu rumah baru, hanya ditemani oleh suara detak jam dinding yang seakan memperlambat setiap detiknya. Lampu-lampu yang memancarkan cahaya lembut tak mampu menenangkan hatiku yang berkecamuk. Di balik tampilan rumah impian ini, ada lubang menganga dalam anggaran kami yang semakin dalam dan dalam—seperti jurang yang menanti jatuhnya korban.
“Apakah semua ini layak?” gumamku, meninju batin sendiri dengan perasaan sinis yang merayap. “Apakah ini hanya ambisi bodoh yang kutimbun dengan utang dan janji palsu?” Kegelisahan itu mulai merambat ke setiap sudut pikiranku. Rasanya seperti tenggelam di lautan yang tak pernah kuundang.
Suara pintu terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Bimo, masuk dengan langkah berat, membawa wajah yang tak kalah suram dariku. Kami saling berpandangan sekilas, tapi tidak ada kata yang keluar. Sudah beberapa hari ini suasana di antara kami seperti kawah yang siap meletus. Tentu saja, situasi ini bukan lagi tentang rumah—ini sudah lebih dari sekadar tembok dan atap.
“Bimo,” kataku, akhirnya memecah kebisuan yang menyesakkan. “Kita harus bicara tentang anggaran. Semuanya sudah melampaui batas.”
Dia menatapku, seolah tak percaya aku masih membahas hal ini. “Bukankah kita sudah sepakat? Ini untuk keluarga kita. Untuk masa depan,” katanya, suaranya penuh ketegangan, tetapi dengan nada yang dingin.
Aku mendengus. “Sepakat? Sepakat dengan siapa? Denganmu atau dengan ego besarmu? Lihat saja, Bimo, kita sedang menuju kebangkrutan, dan kamu masih bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja?”
Ledakan itu tak dapat dihentikan. Seperti api yang disulut, kata-kataku menghantamnya, dan aku tahu ia akan membalas. “Apa kau pikir ini semua mudah bagiku?” katanya, suaranya mulai meninggi. “Aku yang setiap hari di lapangan, mengurus tukang-tukang, mendengar keluhan mereka, sementara kamu duduk di sini dan hanya menghitung uang?”
Kilatan di matanya menohok perasaanku. “Oh, tentu, aku lupa. Kamu si pahlawan besar yang berjuang sendirian. Tapi bagaimana dengan keputusan yang kamu buat sendiri tanpa melibatkanku? Seperti ketika kamu menyewa kontraktor tambahan tanpa memberitahuku, atau ketika kamu menambah biaya renovasi yang tidak perlu itu?”
Bimo tertawa pendek, wajahnya datar. “Renovasi yang tidak perlu? Ini semua untuk kenyamanan kita, untuk anak-anak kita! Apa kau tidak mengerti? Atau mungkin kau terlalu sibuk menghitung saldo di rekening kita hingga lupa untuk bersyukur?”
Aku merasakan panas di tenggorokanku. “Bersyukur? Bersyukur untuk apa, Bimo? Untuk rumah yang hampir membuat kita miskin? Atau untuk fakta bahwa kita sekarang hidup dengan utang yang menumpuk dan masa depan yang tak pasti?”
Dia melangkah mendekat, wajahnya merah padam. “Jadi, semua ini salahku? Kalau begitu, mengapa tidak kau katakan dari awal saja bahwa kau tidak menginginkan rumah ini? Mungkin lebih baik kita tinggal di kontrakan sempit selamanya, bukankah itu yang lebih baik untukmu?”
Ledakan verbal kami semakin keras, semakin tajam. Seperti dua gunung api yang meletus bersamaan, tak ada yang berniat untuk mundur. Setiap kata yang keluar dari mulut kami adalah pisau yang menoreh luka baru, mengungkit semua kesalahan masa lalu yang seharusnya sudah terkubur. Setiap keputusan, setiap penundaan, bahkan hal-hal kecil seperti warna cat tembok, dijadikan senjata dalam perang ini.
Hingga akhirnya, kami sampai pada titik tanpa jalan kembali. Aku berteriak, “Kau benar-benar tidak peduli pada keluargamu, Bimo! Kamu hanya peduli pada egomu sendiri!”
Bimo, dengan suara yang bergetar karena amarah yang ditahannya, menjawab, “Dan kau, sejujurnya, hanya peduli pada uang! Mungkin kau tidak pernah peduli pada impian ini—atau pada kita!”
Itu adalah pukulan terakhir. Kami berdua terdiam, napas tersengal, seperti dua pejuang yang kelelahan setelah pertempuran panjang.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari pintu. “Papa, Mama, kenapa kalian berteriak?”
Anak kami, Dinda, berdiri di ambang pintu dengan mata penuh kebingungan dan kesedihan. Ia baru berusia tujuh tahun, terlalu kecil untuk memahami semua ini, tapi cukup besar untuk merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Tatapan polosnya seketika menghentikan badai di dalam diri kami.
Seperti disambar petir, aku dan Bimo terdiam. Mata kami bertemu, dan untuk pertama kalinya sejak awal pertengkaran, kami saling melihat dengan penuh rasa bersalah. Kenyataan bahwa anak kami menjadi saksi dari kehancuran ini begitu menyakitkan, dan seketika, rasa malu menyelimuti kami.
Namun, gengsi masih terlalu tinggi. Tidak ada kata maaf yang keluar, tidak ada pelukan perbaikan. Kami hanya diam, berusaha menenangkan diri, sementara Dinda menatap kami dengan air mata yang menggenang di matanya. Dan malam itu, kami tahu, ini bukan tentang rumah lagi.
Malam itu, keheningan yang melingkupi setelah ledakan emosi kami justru terasa semakin menyesakkan. Bimo dan aku tak saling bicara, masing-masing terperangkap dalam pikiran yang penuh amarah dan kebingungan. Dinda, yang berdiri di ambang pintu dengan wajah ketakutan, membuat segalanya terasa semakin buruk. Bagaimana bisa kami, sebagai orang tuanya, memperlihatkan pertikaian seperti ini di depannya? Anak yang selama ini kami anggap sebagai alasan untuk membangun rumah ini, kini menjadi saksi dari kehancuran hubungan kami.
“Dinda, masuk ke kamar, Nak, Adik ditemani tidur yach,” ucap Bimo akhirnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, namun tetap terdengar tegang.
Dinda menunduk, matanya masih berkaca-kaca. “Papa dan Mama baik-baik saja, kan?” tanya dia pelan, seolah ragu akan jawabannya sendiri.
Aku merasakan tusukan di dada saat mendengar pertanyaannya. Bagaimana mungkin kami bisa membuat anak sekecil itu khawatir dengan pertengkaran yang bahkan tak seharusnya terjadi? Namun gengsi dan kemarahan masih terlalu mendominasi, mencegahku untuk merespon dengan kasih sayang yang seharusnya.
“Ya, Sayang, semuanya baik-baik saja. Sekarang tidurlah,” jawabku, meski aku tahu kata-kataku terdengar hampa.
Setelah Dinda masuk ke kamar dan berbaring di samping Ito, adiknya yang masih berusia lima tahun, keheningan yang membekukan kembali menyelimuti ruangan. Bimo duduk di sofa, wajahnya tertunduk dalam-dalam. Aku berdiri di dekat meja, menatapnya tanpa tahu harus berkata apa. Rasa bersalah mulai merayap, namun rasa sakit yang masih membekas akibat kata-kata yang dilontarkannya tadi membuatku menahan diri. Seandainya saja dia bisa meminta maaf lebih dulu.
“Kita sudah keterlaluan,” gumam Bimo tiba-tiba, suaranya hampir tak terdengar. Aku mendongak, terkejut bahwa dia akhirnya bicara.
“Ya,” jawabku singkat, mencoba menahan gejolak emosi yang masih tersisa. Tapi dalam hatiku, aku tahu dia benar. Semua ini sudah di luar kendali.
Namun, alih-alih mendekati penyelesaian, suasana masih begitu tegang. Kami sama-sama tahu bahwa kami salah, tapi siapa yang mau mengakui itu lebih dulu? Ego kami begitu tinggi hingga permintaan maaf terasa seperti kekalahan. Tidak ada yang ingin mengalah, meskipun jelas bahwa kami berdua sudah terlalu lelah untuk terus bertengkar.
Waktu berlalu dalam kebisuan yang menyiksa, hingga akhirnya pintu kamar anak terbuka lagi. Kali ini, tidak hanya Dinda yang keluar, tapi juga ibu Bimo, yang tinggal bersama kami sementara waktu untuk membantu kami pindah rumah. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tahu ada sesuatu yang salah.
“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan lembut, namun tegas. “Kalian berdua sudah dewasa. Apakah masalah ini benar-benar harus sebesar ini?”
Aku menatap ibu mertua dengan rasa malu yang begitu mendalam. Dia tahu persis bahwa ada ketegangan di antara kami. Meski dia tidak pernah mencampuri urusan kami, kali ini, dia tampaknya merasa perlu turun tangan.
“Kalian bertengkar hanya karena uang? Karena rumah?” lanjutnya. “Apakah itu semua lebih penting daripada keluarga?”
Bimo menghela napas berat, lalu berdiri dari sofa. “Ini bukan hanya tentang uang, Bu. Ini tentang tanggung jawab. Tentang bagaimana kami merencanakan masa depan ini.”
“Tapi masa depan itu untuk siapa? Untuk rumah ini atau untuk keluarga kalian?” sergah ibunya, sinis namun tetap berusaha menenangkan. “Kalian lupa untuk apa semua ini dimulai. Rumah bisa dibangun ulang, tapi luka di hati anak kalian, itu tak semudah memperbaiki dinding yang retak.”
Kata-kata ibunya memukulku dengan keras. Tiba-tiba, semua kekesalan dan amarah yang tadi mendidih terasa begitu kecil dibandingkan dengan luka yang mungkin kami torehkan pada Dinda dan mungkin Ito seandainya ia ikut bangun. Apa gunanya memenangkan argumen ini jika pada akhirnya keluarga kami yang akan hancur?
Aku dan Bimo saling memandang untuk pertama kalinya sejak pertengkaran itu, dan dalam tatapannya, aku melihat penyesalan yang sama yang kurasakan. Tanpa perlu kata-kata, kami tahu bahwa kami telah salah—sangat salah.
“Tapi bagaimana kita bisa memperbaikinya?” gumamku, kali ini suaraku dipenuhi ketulusan. “Semua ini sudah terlalu jauh.”
Ibu Bimo tersenyum tipis. “Tidak ada yang terlalu jauh jika kalian mau mencoba. Minta maaf. Tidak ada salahnya mengakui kesalahan. Dinda dan Ito butuh kalian, dan kalian butuh satu sama lain.”
Bimo menunduk, lalu beralih menatapku. “Maafkan aku,” ucapnya dengan lirih, tapi aku tahu kata-kata itu datang dari hati. “Aku terlalu terbawa emosi tadi.”
Aku mengangguk pelan, merasakan hatiku yang perlahan-lahan mencair. “Aku juga minta maaf. Aku terlalu keras kepala.”
Dan seperti itu, badai yang sempat mengancam kehancuran hubungan kami mulai mereda. Permintaan maaf yang sederhana itu, meski terasa sulit, menjadi jembatan untuk memperbaiki segala hal. Ibu Bimo tersenyum lega, sementara Dinda, yang mendengar dari balik pintu, muncul dengan wajah sumringah, seolah mengetahui bahwa orang tuanya akhirnya kembali seperti semula.
Setelah malam itu, segalanya mulai berubah. Kami mulai menata ulang hubungan kami, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai keluarga yang utuh. Aku dan Bimo sadar, bahwa rumah ini memang bukan sekadar bangunan dari bata dan semen. Rumah ini adalah simbol perjalanan kami—sebuah perjalanan yang penuh dengan suka, duka, dan pengorbanan. Setiap sudutnya mengingatkan kami pada kerja keras dan cinta yang kami curahkan.
“Rumah ini akan menjadi tempat di mana anak-anak kita tumbuh, di mana kita membangun kenangan bersama,” ucap Bimo suatu malam setelah kami menyelesaikan pembicaraan yang berat. Kata-katanya terasa menenangkan, seperti balsem bagi hatiku yang sebelumnya terluka.
Meski garasi masih kasar dan beberapa bagian rumah belum selesai, aku bisa merasakan damai yang sebelumnya hilang. Rasanya seperti luka-luka lama mulai sembuh, dan aku bisa kembali melihat masa depan yang dulu sempat buram karena pertengkaran kami. Rumah ini bukan hanya tentang ruang fisik, tetapi tentang keluarga kami—tempat kami belajar untuk memaafkan, tempat kami bertumbuh bersama.
Sore itu, aku melihat Dinda dan adiknya berlarian di halaman. Tawa mereka bergema seperti musik indah yang memenuhi udara. Aku berdiri di pintu, mengamati mereka dengan senyum di wajah. Melihat anak-anak kami begitu bahagia, aku menyadari bahwa semua perjuangan ini tidak sia-sia. Apa pun yang terjadi di masa lalu, aku tahu, kami telah menemukan kekuatan dalam kebersamaan.
Sesekali, Bimo berdiri di sebelahku, mengamati hal yang sama. Kami tidak saling bicara, tetapi dalam kebisuan itu, kami sama-sama tahu apa yang dirasakan satu sama lain. Hubungan kami, meskipun tidak sempurna, telah menemukan jalan kembali menuju harmoni.
“Maafkan aku untuk semua yang terjadi,” gumam Bimo pada suatu malam saat kami duduk di ruang tamu yang akhirnya selesai direnovasi.
Aku tersenyum kecil. “Aku juga minta maaf. Semua ini lebih besar dari yang seharusnya.”
Dan seperti itu, tanpa banyak kata, kami mulai membangun ulang kepercayaan dan komunikasi yang dulu sempat retak.
Rumah ini, bagiku, adalah bara. Bara yang menyala lembut di tengah dinginnya dunia luar. Bara yang menjaga kehangatan cinta kami tetap hidup, meski kadang diterpa badai masalah. Setiap kali aku duduk di ruang tamu, mendengarkan tawa anak-anak kami, aku tahu, inilah kebahagiaan yang selama ini kucari.
Bara itu tidak akan pernah padam, sama seperti mimpi yang kami bangun bersama—sebuah rumah yang penuh cinta, tempat kami tumbuh, dan tempat kami kembali. Kini, aku yakin, apapun yang terjadi di masa depan, kami akan selalu punya tempat untuk pulang: rumah kami, yang tidak hanya berdiri kokoh secara fisik, tapi juga berdiri sebagai lambang cinta dan kerja keras kami.
Dan ketika suatu hari kami duduk bersama, menatap matahari yang terbenam di balik rumah, kami tahu bahwa perjalanan ini—meski berat—telah membawa kami ke tempat yang tepat. Tempat di mana kami menemukan kembali makna cinta, kesabaran, dan kebersamaan. Rumah ini, dengan segala kesederhanaannya, adalah surga kecil kami, tempat di mana segala sesuatu dimulai dan akan selalu berakhir dengan manis.
==================================
Sampangan, Semarang, 13 September 2024 05.00 WIB.
Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri – _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI yang merupakan pengembangan dari metode Menemu Baling (Menulis dengan Mulut dan Membaca dengan Telinga).
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri, Inspired by: Erna Wulansari, S.Pd, guru SMAN 2 Bae Kudus