“Best Practice, Katanya terbaik, tapi tidak pernah dibandingkan?” ungkapan yang dilontarkan saat melatih guru menulis best practice. Tahukah anda, apa itu best practice? Jika diterjemahkan best practice berarti praktik terbaik.
Sebagai guru, saat kita menulis best practice artinya kita sedang dalam proses mengembangkan keprofesionalan kita sebagai guru. Kita juga berhak mendapatkan angka kredit, yang tergantung dari mana artikel best practice tersebut dimuat. Angka kredit 1 jika dimuat di jurnal tingkat provinsi yang tidak terakreditasi atau jurnal lokal (kabupaten/kota), angka kredit 1.5 jika dimuat di jurnal tingkat nasional tidak terakreditasi atau tingkat provinsi yang terakreditasi, dan angka kredit 2 jika dimuat di jurnal nasional dan/atau terakreditasi.
Sangat disayangkan, banyak guru yang belum mengambil peluang untuk naik jabatan dengan jalan menulis best practice. Banyak alasan kenapa guru belum menulis best practice, diantara-Nya; guru kesulitan dalam menemukan gagasan apa yang mau ditulis, guru belum tahu best practice itu apa dan bagaimana menulisnya, dan mereka lebih suka menulis PTK sebagai syarat naik pangkat.
Selain itu, terdapat beberapa kelemahan dari artikel best practice yang ditulis guru. Beberapa kelemahan tersebut yaitu: Pertama adalah Kurangnya referensi yang digunakan. Referensi yang biasa digunakan oleh guru adalah buku. Sedangkan buku referensi yang tersedia sangat terbatas. Kalo pun ada buku referensi tersebut berbahasa inggris. Tidak memahami cara mendapatkan referensi jurnal dan pro siding juga salah satu penyebab Kurangnya referensi pada artikel best practice. Padahal sekarang sudah ada Google Scholar sebagai salah satu pencari artikel karya ilmiah.
Kedua adalah belum membandingkan gagasan penulis dengan standar praktik. Penulis umumnya hanya menjelaskan secara panjang lebar gagasannya saja, tanpa mengaitkan gagasannya dengan standar aktivitas yang dilakukan. Standar aktivitas ini biasanya dikeluarkan oleh Lembaga sertifikasi seperti BSNP (Badan Standardisasi Nasional Pendidikan). Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa praktik Pendidikan tersebut terbaik jika praktik tersebut ternyata di bawah atau setara standar nasional pendidikan. Praktik terbaik idealnya ada di atas standar nasional Pendidikan.
Ketiga adalah belum membandingkan gagasan penulis dengan gagasan terbaik lainnya yang pernah ditulis. Muncul pertanyaan, bagaimana kita mau membandingkan jika kita tidak tahu ada orang lain yang menulis gagasan terbaik dibidang yang sama dengan yang kita tulis. Ini adalah kelemahan sistem, yaitu belum ada tempat bagi penulis best practice untuk mempublikasikan gagasannya. Sehingga jika kita pandang kelemahan ini menjadi peluang, maka kita punya gagasan untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan artikel best practice milik teman-teman guru. Sehingga nantinya artikel tersebut dapat dirujuk oleh penulis best practice lainnya.
Keempat adalah guru masih menyamakan best practice dengan penelitian tindakan kelas. Ini terjadi karena kata tindakan pada frase penelitian tindakan kelas disamakan dengan kata praktik pada frase praktik terbaik. Artinya praktik terbaik kita adalah tindakan saat menyelesaikan masalah pada penelitian tindakan kelas. Sehingga ini menjadi salah satu penyebab kebingungan. Ada dua hal yang sangat jelas berbeda, pertama adalah best practice merupakan praktik yang di atas standar yang telah ada, sedangkan tindakan pada PTK dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah, yang biasanya diposisinya di bawah standar. Best practice yang diminta adalah berupa gagasan ilmiah, walaupun terdapat best practice research tetapi yang diminta adalah gagasan ilmiah. Sedangkan PTK sudah jelas merupakan penelitian.
Sangat disayangkan jika sumber daya guru Indonesia yang sangat besar namun belum diwadahi khususnya dalam penulisan artikel best practice. Tulisan mereka menjadi sia-sia karena struktur panduan menulis best practice masih multi tafsir dan sistem publikasinya belum mendukung. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pengambil kebijakan sebaiknya merevisi dan memberikan panduan yang lebih detail untuk menulis artikel best practice. Selain itu dinas Pendidikan juga dapat bekerja sama dengan lembaga lain seperti perguruan tinggi yang mempunyai LTPK atau organisasi guru seperti PGRI untuk menangani masalah tersebut. Sedangkan LPTK atau oraganisasi guru juga perlu melihat permasalahan guru dalam menulis best practice sebagai salah satu program kerja mereka. Karena permasalahan pendidikan bersumber pada permasalahan guru, yang harus diselesaikan bersama.
(Oleh : Dr. Bagus Ardi Saputro, M.Pd. Dosen Universitas PGRI Semarang)