Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Oleh : Abigail Agata Chrisanta Dysa Juliana
Sekalipun orang tua tidak mendukungmu, jika kamu mau terus berusaha dan berdoa, yakinlah kesuksesan menunggumu.
Namaku Lia, aku tau aku tidak banyak dikenal. Namun, berkat kegigihanku aku berhasil membuat beberapa novel. Peminatnya pun sudah cukup banyak.
Hari itu, aku bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku menyelesaikan sarapanku. Memakai sepatu dan berpamitan.
“Bu, Lia pamit dulu” kataku kepada ibuku.
“Iya, hati-hati” jawab ibu.
Aku berjalan menuju sekolahku. Jarak rumah dari sekolah tidak begitu jauh, itulah sebabnya aku memutuskan untuk jalan kaki. Aku memandangi jalanan. Pikiranku memikirkan cerita yang tengah ku tulis. Kini aku sampai di kelasku. Tasku kuletakkan di kursi.
“Pagi Cia” sapaku kepada sahabatku, Cia.
“Pagi, oh ya, kamu tau? Ada lomba kecil-kecilan di Instagram” jawabnya.
“Lomba? Lomba apa?” Tanyaku penasaran.
“Membuat cerita, kamu kan pandai membuat cerita, nggak mau ikut?”
Cia tau aku suka menulis cerita.
“Nanti aku pikirkan dulu” jawabku ragu.
Bel berbunyi, tanda pelajaran akan segera dimulai. Para murid melaksanakan kegiatan KBM dengan baik. Waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah waktunya para murid untuk pulang.
“Li, gimana? Kamu jadi ikut?” Cia kembali bertanya kepadaku.
Aku masih belum menjawab. Aku ragu untuk berkata ‘iya’.
“Ayolah Li, aku tau ini bukan perlombaan yang besar, hadiahnya juga kecil, tapi apa salahnya mencoba?” Kata Cia meyakinkanku.
“Eum.. baiklah, akan ku coba” finalku lalu tersenyum.
Aku pulang kerumah. Aku meletakkan tas di meja belajar. Merebahkan tubuhku di kasur. Memikirkan jalan ceritanya. Itulah yang kulakukan sekarang ini.
Jalan cerita telah kutemukan. Aku beranjak dari kasurku dan duduk di kursi belajarku. Buku tempat cerita-cerita hasil karyaku kukeluarkan. Mulai kutulis ceritaku di lembar yang tersisa.
“Lia, nggak makan?” Ibu masuk secara tiba-tiba.
Ibu berjalan ke arahku. Buku yang tadi ada di atas meja, segera ku masukkan laci.
“Apa yang kamu sembunyikan?” Ibu mengintrogasi ku.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan ibu. Lidahku kelu, mulutku beku. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Kamu menulis lagi? Sudah berapa kali ibu bilang?! Kamu tidak usah menulis cerita lagi! Untuk apa?! Itu tidak ada gunanya!” Bentak ibu kepadaku.
“Tapi Bu, ini bakatku, ini hobiku” jawabku.
Aku berusaha keras untuk menahan air mataku agar tidak jatuh.
“Kamu berani melawan ibu?! Bawa kemari bukunya!” Ibu berusaha mengambil buku itu dari laci.
“Jangan Bu! Tolong biarkan aku menjalani hobiku! Aku tidak akan meminta biaya dari ibu!” Kataku sambil berusaha mencegah ibu.
“Itu percuma! Bawa sini! Pokoknya kamu tidak boleh menulis lagi!” Ibu berhasil mengambil buku itu dan merobeknya.
“Bu! Apa yang kau lakukan? Mengapa Bu? Aku tau ibu masih belum bisa melupakannya! Aku tau ibu masih trauma! Aku tau ibu takut kehilanganku sama seperti ibu kehilangan kakak! Tapi aku dan kakak berbeda!” Kataku membela diri.
“Tidak. Kalian sama saja. Sifatmu dan kakakmu sama. Keras kepala. Kamu tau? Apa yang kamu lakukan itu sia-sia. Tidak ada gunanya. Lebih baik kamu belajar agar masuk universitas yang bagus. Itu sampah” kata ibu sambil menunjuk robekan bukuku.
Kakakku meninggal karena depresi. Dia depresi karena semua karyanya dihancurkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Dia juga depresi karena selalu diejek dan diolok-olok oleh banyak orang karena dianggap selalu mencuri karya orang lain dan karyanya buruk.
Sakit. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Seperti disayat beribu pisau, hatiku hancur seketika. Aku merasa ibuku sendiri tidak percaya padaku.
Aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku mengambil tasku dan pergi ke rumah Cia.
Sekarang aku sudah berada di kamar Cia. Cia dan aku duduk di kasur Cia. Cia bersedia untuk mendengarku
“Katakanlah” kata Cia.
“Sepertinya aku tidak bisa mengikuti lomba itu” kataku.
“Ibumu lagi?” Kata Cia mantap. Tak heran jika ia langsung bisa menebak.
“Li, apa aku boleh marah? Aku tau Restu orang tua itu hal yang paling penting untuk memulai suatu kegiatan. Tapi, terkadang keputusan orang tua dan restu orang tua bisa menjadi yang kedua” katanya.
Aku meneteskan air mataku. Semua rasa yang kupendam selama ini kukeluarkan di sini. Aku menangis terisak. Entah mengapa rasanya bisa sesakit ini. Entah mengapa aku selalu merasa hobiku tidak pernah direstui oleh ibuku, padahal itu bukanlah hal yang negatif kan?
Cia mengusap punggung ku lembut. Dia selalu menguatkan aku.
“Tetaplah berkarya. Apakah kamu tau? Ada banyak orang yang sama sepertimu. Awalnya mereka dilarang keras oleh orang tua mereka. Karya dan pekerjaan mereka dianggap remeh. Tapi mereka tetap bekerja keras dan berdoa. Dan lihat, mereka bisa sukses. Aku yakin, jika kamu mau berdoa dan bekerja keras kamu bisa sukses. Tunjukkan kepada ibumu bahwa yang dia katakan itu salah. Siapa yang tau jika karyamu bisa dibawa sampai keluar negri? Siapa yang tau jika karyamu bisa dijadikan film terkenal? Bukan hanya ibumu, tapi negara ini bisa bangga denganmu. Jadi, tetaplah berkarya” Cia tersenyum kepadaku.
Aku tersenyum “terimakasih, kamu selalu ada di sisiku, terimakasih” kataku lalu memeluknya.
Setelah aku menenangkan diriku, aku memutuskan untuk pulang. Cia menyarankan untuk menulis cerita dirumahnya. Aku tau ini mungkin salah. Tapi aku juga percaya dengan kata Cia.
Aku melanjutkan hobiku. Aku juga mengikuti lomba itu. Aku menulis di rumah Cia. Dan siapa sangka? Aku berhasil menjadi pemenang. Ibu bangga padaku. Ibu juga berjanji untuk tidak melarangku lagi. Aku sangat bahagia.
Semua hasilku saat ini adalah buah dari kerja kerasku. Aku bersyukur bisa mengembangkan bakat dan hobiku. Aku ingin terus berkarya untuk Indonesia. Aku ingin mengharumkan nama Indonesia.
juara 3 lomba cipta cerpen kategori Pelajar
dalam rangka memperingati HUT RI ke-75