Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
Lulud Prijambodo Ario Nugroho *)
Tulisan ini merupakan sebuah kilas balik tentang asal mula dikembangkannya model Pembelajaran BaKuLiKan. Awalnya, penerapan kurikulum berbasis kompetensi memerlukan sebuah model pembelajaran yang mudah diterapkan dan dapat diadaptasi oleh guru dengan cepat. Khususnya pada pembelajaran fisika. Salah satu tujuan pembelajaran fisika adalah melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan analisis berfikir induktif dengan menggunakan beragam peristiwa alam dan menyelesaikanan masalah baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu, dilatih pula tentang keterampilan 4 C (Critis, Creatif, Collaboratif dan Comunicatif) dan sikap percaya diri. Uraian tujuan pembelajaran di atas merupakan salah satu ciri-ciri pribadi yang kreatif.
Dengan latar belakang masalah tersebut, dikembangkanlah suatu model pembelajaran BaKuLiKan sebagai suatu alternatif pembelajaran fisika. Kekuatan utama model pembelajaran BaKuLiKan adalah pada strategi pembelajarannya. Masalah utama pengembangan ini adalah belum diketahuinya kontribusi model pembelajaran fisika BaKuLiKan untuk meningkatkan kreativitas dalam hal ini dicobakan pada siswa tingkat SMP. Tujuan pengembangan ini adalah untuk menguji keterterapan model BaKuLiKan dalam pembelajaran fisika. Adapun indikator keterterapan tersebut adalah (1) model mudah diterapkan oleh guru dan (2) peningkatan kreativitas siswa dalam pelajaran fisika.
Hasil pengembangan ini diharapkan bermanfaat untuk (1) memperkaya khasanah pembelajaran fisika bagi siswa SMP, (2) memberikan suatu alternatif model pembelajaran fisika bagi siswa-siswa di SMP dan (3) memberikan informasi ilmiah mengenai model pembelajaran fisika di SMP.
PEMBAHASAN
a. Kreativitas dan Aktualisasi diri
Salah satu konsep yang penting dalam bidang kreativitas adalah hubungan antara kreativitas dan aktualisasi diri. Menurut psikologi humanistik seperti Abraham dan Carl Rogers, aktualisasi diri ialah apabila seseorang menggunakan semua bakat dan talentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mengaktualisasikan atau mewujudkan potensinya. Pribadi yang dapat menerima dirinya, selalu tumbuh, berfungsi sepenuhnya, berfikir demokratis dan sebagainya. Menurut Maslow dalam Munandar, aktualisasi diri merupakan karakteristik fundamental, suatu potensialitas yang ada pada semua manusia saat dilahirkan, akan tetapi sering hilang, terhambat atau terpendam dalam proses pembudayaan.
Rogers (Munandar, 1999) menekankan bahwa sumber sumber dari kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme. Clark Moustakis (Munandar, 1999), psikolog humanistik lain yang terkemuka, menyatakan kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, alam dan dengan orang lain.Adapun Damm (Munandar, 1999) menyimpulkan bahwa baik kreativitas maupun intelegensi berkorelasi dengan aktualisasi diri dan tingkat aktualisasi diri yang tertinggi dicapai oleh siswa sekolah menengah yang sama–sama kreatif dan kritis.
b. Kreativitas Dengan Pendekatan Empat P
Definisi tentang kreativitas begitu banyak namun tidak ada satu definisipun yang diterima secara universal. Salah satu definisi yang disajikan berikut ini adalah kreativitas berdasarkan empat P sebagaimana yang tertulis dalam Munandar (1999).
- Definisi person (Pribadi)
Definisi tentang kreativitas diberikan dalam three-facet model of creativity oleh Sternberg (1988), yaitu “kreativitas” merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis : intelegensi, gaya kognitif dan kepribadian/ motivasi. Bersama–sama ketiga segi dari alam pikiran ini membantu memahami apa yang melatarbelakangi individu yang kreatif.
Intelegensi meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, ketrampilan pengambilan keputusan dan keseimbangan serta integrasi intelektual secara umum.
Gaya kognitif atau intelektual dari pribadi yang kreatif menunjukkan kelonggaran dari keterikatan pada konvensi menciptakan aturan sendiri., melakukan hal–hal dengan caranya sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu terstruktur, senang menulis, merancang, tertarik pada jabatan yang kreatif seperti pengarang, scientis, artis atau arsitek.
Dimensi kepribadian/ motivasi meliputi ciri–ciri seperti fleksibilitas, toleransi terhadap kedwiartian, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan, dan pengambilan resiko yang moderat. Sepuluh ciri pribadi yang kreatif antara lain; imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berfikir, ingin tahu, senang bertualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil resiko serta berani dalam pendirian dan keyakinan.
2. Definisi proses
Definisi proses yang terkenal adalah definisi Torrance (Munandar, 1999) tentang kreativitas yang pada dasarnya menyerupai langkah–langkah dalam metode ilmiah yaitu ; … the process of 1) sensing difficulties, problem, gaps in information, missing elements, something asked; 2) making guesses and formulating hypotheses; 3) evaluating and testing the guesses and hypotheses; 4) possibly revising and retesting them and finally; 5) communicating the result. Definisi Torrance ini meliputi seluruh proses kreatif dan ilmiah mulai dari menemukan masalah sampai dengan menyampaikan hasil.
Adapun langkah–langkah kreatif menurut Wallas (Munandar, 1999) yang sampai sekarang masih banyak diterapkan dalam pengembangan kreativitas, meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.
Pada tahap pertama, seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berfikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang lain dan sebagainya.
Pada tahap kedua, kegiatan mencari dan menghimpun data/ informasi tidak dilanjutkan. Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu seakan–akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak memikirkan masalahnya secara sadar tetapi “mengeramnya” dalam alam pra-sadar. Sebagaimana nyata dari analisis biografi maupun dari laporan–laporan tokoh–tokoh seniman dan ilmuwan, tahap ini penting artinya dalam proses timbulnya inspirasi yang merupakan titik mula dari suatu penemuan atau kreasi baru berasal dari daerah pra-sadar atau timbul dalam keadaan ketidaksadaran penuh.
Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya insight atau Aha-Erlebnis, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru, serta proses–proses psikologis yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau gagasan baru.
Tahap versifikasi atau tahap evaluasi adalah tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Di sini diperlukan pemikiran kritis dan konvergen. Dengan perkataan lain proses Divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti oleh proses Konvergensi (pemikiran kritis).
3. Definisi produk
Definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan orisinalitas, seperti definisi dari Barron (Munandar, 1999) yang menyatakan bahwa “kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/ menciptakan sesuatu yang baru”. Begitu pula menurut Haefele (Munandar,1999) “kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi–kombinasi baru yang mempunyai makna sosial”. Definisi Haefele ini menunjukkan bahwa tidak keseluruhan poduk itu harus baru, tetapi kombinasinya. Unsur–unsurnya bisa saja sudah ada lama sebelumnya. Sebagai contoh, kursi dan roda sudah ada lama berabad–abad, tetapi gagasan pertama untuk menggabung kursi dan roda menjadi kursi roda merupakan gagasan yang kreatif.
4. Definisi “press”
Kategori keempat dari definisi dan pendekatan terhadap kreativitas menekankan faktor “press” atau dorongan, baik dorongan internal (dari diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta dan bersibuk diri untuk kreatif) maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis.
Definisi Simpson (Munandar, 1999) merujuk pada aspek dorongan internal, yaitu kemampuan kreatif dirumuskan sebagai, “the initiatives that one manifests by his power to break away from the usual sequence of thought”. Mengenai “press” dari lingkungan, ada lingkungan yang tidak menghargai imajinasi dan fantasi, dan menekankan kreativitas dan inovasi.
Dalam pengembangan, ini pengertian kreativitas yang digunakan adalah pengertian kreativitas proses. Untuk mengukurnya, pengembang menggunakan skala penilaian anak berbakat yang disusun oleh Renzulli pada subskala kreativitas. Menurut Renzulli dalam Munandar tentang subskala kreativitas ada 10 dimensi, yaitu seperti tertulis di bawah ini.
- Rasa ingin tahu;
- Sering mengajukan pertanyaan;
- Memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah;
- Bebas dalam menyatakan pendapat;
- Mempunyai rasa keindahan;
- Menonjol dalam salah satu bidang seni;
- Mampu melihat masalah dalam berbagai sudut pandang;
- Mempunyai rasa humor;
- Mempunyai daya imaginasi;
- Orisinal dalam ungkapan gagasan dan dalam pemecahan masalah.
Skala penilaian Renzulli ini, dalam penggunaannya dilakukan modifikasi. Skala yang dimodifikasi adalah pada skala no e dan f. Untuk no. e dimodifikasi menjadi “Langkah penyelesaian soal buatan sendiri” dan untuk no.f menjadi “Menuliskan data yang diketahui dalam menyelesaikan soal”. Skala tersebut diubah dengan menggunakan asumsi antara lain:
- Kreativitas dapat dikembang dalam bidang tertentu saja. Dalam hal ini diharapkan kreativitas meningkat dalam pembelajaran fisika. (Munandar, 1999);
- Skala no. e dan f modifikasi merupakan proses dalam penyelesaian soal yang sering terjadi dalam pembelajaran fisika dan mudah diamati.
c. Membangkitkan Kreativitas
Guru mempunyai dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak tetapi juga pada sikap anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu alamiah anak, merusak motivasi, harga diri dan kreativitas anak. Bahkan guru–guru yang sangat baik (atau mungkin sangat buruk) dapat mempengaruhi anak lebih kuat daripada orang tua. Mengapa ? Karena guru lebih banyak kesempatan untuk merangsang atau menumbuhkan kreativitas anak daripada orang tua. Guru mempunyai tugas mengevaluasi pekerjaan, sikap dan perilaku anak.
Walaupun demikian, tetap harus kita akui bahwa pada kenyataannya guru tidak dapat mengajarkan kreativitas. Tetapi ia dapat memungkinkan kreativitas muncul, memupuknya dan merangsang pertumbuhannya.
d. Strategi Mengajar
Dalam kegiatan mengajar sehari–hari, guru dapat menggunakan sejumlah strategi pembelajaran untuk dapat meningkatkan kreativitas. Dalam hal ini, pengembang mencoba membuat suatu prosedur pembelajaran khusus untuk meningkatkan kreativitas siswa. Prosedur tersebut adalah membaca-diskusi-melihat dan melakukan. Dalam model BaKuLiKan proses pembelajaran IPA fisika berusaha dipolakan menjadi empat langkah yaitu membaca (Ba), diskusi (Ku), melihat (Li), melakukan (Kan). Pada proses pembelajaran siswa selalu melakukan langkah seperti gambar 1 di bawah ini :
Mengapa, membaca menjadi langkah awal sebelum proses berikutnya dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pengembangan memunculkan beberapa asumsi, yaitu:
- Proses belajar mengajar adalah kegiatan yang direncanakan (Sukmadinata, 2001);
- Belajar adalah proses memaknai suatu peristiwa, sehingga memiliki retensi ingatan yang cukup lama (sukmadinata, 2001);
- Belajar adalah proses adaptif yang berlangsung secara progresif (Syah, 2003);
- Proses belajar berlangsung secara koorperatif, yaitu kegiatan belajar dengan cara siswa saling bertukar informasi (Panitz, 2003);
- Proses belajar berlangsung secara kolaboratif, yaitu kegiatan belajar dengan cara guru dan murid melakukan penelaahan materi bersama (Nur,2002) ;
- Poses belajar berpusat pada siswa (Panitz, 2003);
- Proses belajar IPA adalah proses belajar inkuiri (Nur, 2002);
- Proses belajar IPA bervisi SETS (Binadja,2000).
Berdasarkan asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dapat berlangsung dengan nyaman, jika siswa sudah memiliki pengetahuan awal dan memiliki keterampilan terjait dengan pengumpulan data, mengolah data, sampai dengan membuat simpulan simpulan berdasarkan data tersebut. Keterampilan tersebut, selama ini dikenal sebagai keterampilan literasi.
Uji model dilakukan dengan menggunakan sampel yang sama pada beberapa kali penerapan, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel berasal dari responden homogen, Adapun karena jumlah sampel sedikit, maka dapat dipastikan bahwa data yang terkumpul tidak normal dan tidak linear, sehingga untuk menghitung peningkatan kreativitas digunakanlah uji Wilcoxon.
Berdasarkan hasil uji model, maka dapat disimpulkan bahwa guru dapat menerapkan model pembelajaran ini dengan mudah. Adapun peningkatan kreativitas, data terkumpul dihitung dengan menggunakan uji wilcocon. Mengapa uji Wilcoxon, karena data terkumpul bukan lah data linear, meskipun berasal dari sampel homogen. Hasilnya adalah bahwa model dapat meningkatkan kreativitas peserta didik.
PENUTUP
Pengembangan model Bakulikan dapat dikatakan tercapai tujuan utama, yaitu model dapat diterapkan oleh guru dengan mudah. Kemudahan ini, memungkinkan peluang bahwa guru akan menyukai model ini dan diterapkan pada proses pembelajaran. Adapun hasil kedua adalah, model ini dapat digunakan untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Peningkatan kreativitas, diukur dengan menggunakan uji wilcoxon.
Sekadar saran, supaya hasil belajar menggunakan model ini dapat maksimal kreativitasnya, adalah perlunya pembiasaan dan pengembangan keterampilan literasi guru dan peserta didik. Berdasarkan pengamatan, semakin tinggi keterampilan literasi guru, semakin kreatif pula guru dalam menerapkan model pembelajaran ini, hasilnya tentu saja peningkatan kreativitas siswa.
Daftar Pustaka
Binadja, Ahmad. 2002. Penelitian Bervisi SETS.makalah disampaikan dalam seminar Nasional Berorientasi Ketrampilan Hidup dengan Kurikulum Berbasis KompetensiI. Semarang. Unnes.
Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
—–. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan ( Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat ). Jakarta : PT Gramedia pustaka Utama.
Nur, Muhammad. 2001. Pembelajaran Koorperatif dalam Kelas IPA. Surabaya: UNESA.
Panitz, Theodore. Collaborative Versus Cooperative Learning A Comparison of Two Concepts Ts Which Will Help Us Understand The Underlying nature Of Interactive Learning. http://home.capecod.net/~tpanitz/tedsartcles/coopdefinition.htm.
Puskur, Balitbang. 2002. Kurikulum Hasil Belajar. Kompetensi Dasar Mata pelajaran Fisika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Puakur, Balitbang Depdiknas.
Seto.2004. Bermain dan Kreativitas.(Upaya Mengembangkan Kreativitas AnakMelalui Kegiatan Bermain ). Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti.
Suparman, Atwi. 1994. Desain Instruksional. Jakarta: Direktoral Jenderal PendidikanTinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2001. Pengembangan Kurikulum ( Teori dan Praktek ). Bandung: Penerbit Rosda.
—– .2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Penerbit Rosda.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press.
*) Pengembang Teknologi Pembelajaran LPMP Jawa Tengah