By: Dr. MRT
(Feature perjalanan ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri)
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
Hari ini, saya berangkat lebih awal ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Setelah check-out dari Hotel Grand Horison Serpong pukul 08.00 WIB, saya masih memiliki cukup waktu sebelum penerbangan pada jam 11.15 WIB. Saya meninggalkan hotel megah berlantai 31 itu menggunakan taksi online sendirian karena peserta kegiatan evaluasi penggunaan Chromebook oleh Direktorat SMP Kemendikbud Ristek rata-rata memilih penerbangan sore. Teman sekamar saya, Mas Ali Mansyur, Kepala Bidang Sarpras dari Kabupaten Fakfak, Papua, bahkan harus menginap satu hari lagi karena tiket hari Minggu sudah habis, dan dia baru bisa terbang panjang ke wilayah bagian timur Indonesia pada hari Senin berikutnya. Sebelum sampai di rumah ia kadang kadang juga harus menginap dulu di kota tempat ia transit.
Perjalanan dari Tangerang Selatan ke Cengkareng melalui jalur belakang memakan waktu sekitar 45 menit, dan saya memilih jalur ini karena hari Minggu ini lalu lintas relatif sepi. Jadi tidak usah menggunakan jalur tol pun perjalanan menuju bandara masih cukup waktu. Saya memutuskan untuk menjelajahi jalur alternatif yang membawa saya melalui daerah perluasan kota yang berkembang pesat.
Berbeda dengan pemandangan saat berangkat ke hotel yang melewati berbagai jalur tol baru, jalur MRT, jalur KRL, dan berbagai persimpangan jalan melingkar bersusun yang mengagumkan, di sepanjang perjalanan pulang ini, saya melewati perkembangan kota yang tidak kalah mengesankan di daerah Tangerang Selatan. Daerah yang sebelumnya dikenal sebagai pedesaan dengan sawah-sawah menghijau sekarang telah berubah menjadi kawasan hunian dan industri yang modern. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan, dan kompleks industri menggantikan pemandangan sawah hijau yang dulu biasa terlihat di sini. Meskipun pemandangan alam yang hijau tergantikan oleh yang lain, perubahan ini mencerminkan pertumbuhan pesat perkotaan yang terus berlangsung di wilayah Tangerang Selatan dan sekitarnya.
Saat tiba di Terminal 2, saya melihat antrian panjang di depan counter check-in untuk penerbangan tujuan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya bergabung dalam antrian yang tampak paling pendek, di belakang tiga wisatawan asing tua. Bagi saya penampilan ketiga orang asing itu cukup menarik. Mereka adalah seorang pria tua yang tinggi dan rambutnya sudah menipis yang berpenampilan sederhana, serta dua perempuan yang cukup berusia namun berusaha tampil trendy. Kedua perempuan itu berambut pirang yang sebagian besar mulai memutih. Saya tidak berani menebak usia mereka, sebab secara fisik dan postur tubuh mereka terlihat lebih muda, namun kerutan kerutan di wajah mereka terlihat sangat jelas dan cukup dalam.
Karena antrian terlalu lama, saya memutuskan untuk memulai percakapan dengan pria Kanada itu. “Excuse me, sir. You bring so many goods. Are you on a vacation journey or going for an international conference?” (Permisi, Pak. Barang yang Anda bawa banyak sekali. Apakah Anda sedang dalam perjalanan liburan atau menghadiri konferensi internasional?).
Pertanyaan pilihan ganda dengan opsi dua jawaban ini membuatnya tersenyum, dan dia menjawab bahwa ia sedang berlibur. Saya sempat melirik tas troli kecil lelaki tua itu yang ternyata resleting saku depannya terbuka karena rusak. Dua tas yang lain ia tumpuk di troli satunya. Pria itu ternyata seorang kakek yang datang jauh-jauh dari Kanada karena ingin menjenguk cucunya yang berusia tiga tahun yang orang tuanya bekerja di Solo. Ia tipikal lelaki sederhana. Berbeda dengan dua nenek di depannya yang membawa tas troli besar yang terlihat bagus dan mahal.
Percakapan kami rupanya menarik perhatian dua perempuan asing itu, dan akhirnya mereka bergabung dalam obrolan kami. Rupanya dua wanita itu berasal dari Jerman dan mereka akan berlibur ke Bali dengan sebelumnya singgah di Yogyakarta dan beberapa destinasi wisata di Jawa, seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Untuk menunjukkan bahwa Indonesia memang benar-benar indah, saya mulai membagikan pengalaman wisata saya di Indonesia, terutama tentang tempat-tempat eksotik di sekitar Labuan Bajo dan wilayah Indonesia timur lainnya, agar mereka tidak hanya tahu tentang Borobudur atau Bali.
Dengan bersemangat saya berbagi cerita tentang perjalanan menulis dengan metode Menemu Baling (menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga). “I call my method as Aural Reading Oral Writing Literacy, because by using the support of AI we can write using our mouth just by speaking and we can read by using our ears or just by listening.” (Saya menyebut metode saya ini dengan sebutan Aural Reading Oral Writing Literacy, karena dengan dukungan AI kita bisa menulis menggunakan mulut atau hanya dengan berbicara dan kita bisa membaca dengan menggunakan telinga atau hanya dengan mendengarkan.).
“Around the Labuan Bajo beach and Komodo Island National Park, the views are stunning. The islands there have white sandy beaches and crystal clear sea water, so that when viewed from a drone, the view of the seabed with its beautiful corals looks like it is only covered by a thin layer of transparent glass. In the national park there also live the Komodo tribe and ancient dragons whose existence is strictly protected.” (Di sekitar Labuan Bajo dan Taman Nasional Pulau Komodo, pemandangannya begitu memukau. Pulau-pulau di sana memiliki pantai berpasir putih dan air laut yang sejernih kristal, sehingga ketika dilihat dari drone, pemandangan dasar laut dengan karang-karang indahnya terlihat seperti hanya dilapisi oleh lapisan tipis kaca yang tembus pandang. Di taman nasional itu tinggallah suku Komodo dan naga purbakala yang keberadaannya sangat dilindungi.) Saya berkata berapi-api.
Saya lalu mengisahkan petualangan berada diatas kapal kayu menjelajahi pulau demi pulau dan sempat bertemu dengan arus laut yang disebut kala-kala yang bisa sangat berbahaya namun seru. Lalu saya juga menceritakan pengalaman menakjubkan berada di Pink Beach, melakukan snorkeling di antara koral laut yang luar biasa, lalu ke Manta Point di mana kita bisa dengan jelas melihat gerombolan ikan pari raksasa dengan ukuran yang mind blowing berenang di bawah perahu. Itu adalah momen yang sungguh luar biasa. Jadi saya menyarankan mereka untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut pada liburan berikutnya.
Saya juga menyinggung keberadaan situs megalitik Gunung Padang yang misterius. “Gunung Padang site is a terraced building that resembles a pyramid. It is thought to have been made by humans thousands of years before Christ. Even older than the oldest pyramids in Egypt.” (Gunung Padang adalah Sebuah punden berundak yang menyerupai piramid. Diperkirakan dibuat oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Bahkan lebih tua dari piramida yang paling tua di Mesir). Cerita saya bersemangat. Mereka terbelalak dan mengangguk-angguk takjub.
Ketika percakapan kami berlanjut, kami mulai saling bertukar informasi tentang kota asal dan tempat kelahiran kami. Saya jadi tahu bahwa dua perempuan Jerman itu lahir di Dortmund dan tinggal di Hamburg, sementara pria Kanada itu berasal dari Manitoba dan masih tinggal di sana sampai saat ini. Saya mencoba menjelaskan bahwa salah satu mantan presiden Indonesia, Dr. Eng, BJ Habibie adalah tokoh terkenal di bidang penerbangan yang hasil karyanya banyak dimanfaatkan oleh Boeing. Dia dikenal sebagai Mr. Crack. Tampaknya kedua wanita itu tidak terlalu paham info tersebut. Sedangkan si Pria Kanada tampaknya justru lebih tahu, terutama tentang suksesi di Indonesia.
Kepada pria Kanada itu, saya dengan antusias menjelaskan bahwa Semarang, ibu kota Jawa Tengah, tempat saya tinggal, berada dalam satu provinsi dengan Solo, tempat putra dari pria tua tersebut bekerja. Sementara kepada kedua wanita tua itu, saya juga berbagi informasi bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta, yang akan mereka kunjungi, terletak di selatan provinsi tempat saya tinggal. Informasi ini membentuk ikatan kecil di antara kami, dan kami mulai mendalami perbincangan mengenai perbedaan budaya dan keindahan tempat-tempat yang telah kami kunjungi di berbagai belahan dunia.
Pembicaraan kami begitu menarik hingga tidak terasa sampailah giliran kami untuk melakukan check-in di depan petugas konter. Namun, saya melihat bahwa kedua wanita tua tersebut tampak ingin melanjutkan diskusi tentang berbagai topik yang bagi mereka begitu mengasyikkan. Sementara itu, pria tua Kanada yang lebih tenang cenderung tersenyum dan berusaha mengerti bahwa pertemuan singkat itu akan segera berakhir.
Kedua wanita itu sudah menghadap kepada petugas konter. Tiba-tiba, salah satu dari wanita tersebut membalikkan badan dan menghadap kepada saya. Dengan wajah yang sedikit kurang percaya lalu ia bertanya kepada saya, “Are you Indonesian?”
Terlihat seolah dia agak kurang yakin kalau saya benar-benar asli Indonesia. Mungkin, karena dalam percakapan kami, saya sering berbicara dalam bahasa Inggris yang lumayan lebih lancar daripada bahasa Inggris mereka sebagai orang Jerman. Inilah yang mungkin akhirnya memicu munculnya pertanyaan itu.
Dengan senyum bijak saya menjawab, “I come from Semarang, the capital city of Central Java, and I am a native Indonesian.” (Saya berasal dari Semarang, ibukota Jawa Tengah, dan saya adalah orang Indonesia asli). Penjelasan itu membuat mereka tersadar dan akhirnya tertawa bersama sebelum kami berpisah.
Saya berharap mereka akan kembali ke Indonesia di waktu yang lain bersama lebih banyak teman dan kepada lebih banyak lagi kepada orang-orang dari negara asal mereka tentang betapa indahnya Indonesia.
(Penulis, Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, M. Kom.) adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC (Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas), dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ).