Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/jseudsjv/public_html/wp-content/plugins/fusion-builder/shortcodes/components/featured-slider.php on line 239
“Sorry bor, di sini susi”
“Kopdar jamber, ntar bawa tiklip ya”
Akhir-akhir ini, banyak kita ketemui kosa kata baru dalam khasanah Bahasa Indonesia. Sebagian merupakan serapan atau terjemahan dari bahasa asing, seperti kata gawai (gagdet), nara hubung (contact person), pranala (link), dan sebagainya. Sebagian lagi merupakan kata yang benar-benar baru lahir. Kata-kata tersebut bisa merupakan kata yang digayakan, misalnya santai menjadi santuy, yuk menjadi kuy; atau merupakan akronim dari dua kata yang digabung menjadi satu, seperti beberapa kata yang saya kutip di awal.
Sebagai bagian dari generasi konvensional, saya sering mengalami kebingungan ketika membaca kalimat-kalimat seperti di atas. Awalnya, saya menduga kalimat tersebut merupakan percakapan antara seseorang yang bernama Abor dan Susi. Ternyata, bor itu kebalikan dari bro, dan susi itu akronim dari susah sinyal. Jamber bisa dikira-kira akronim jam berapa, tapi butuh beberapa hari bagi saya untuk bisa menemukan arti kata tiklip. Tikar lipat. Saya benar-benar tersesat.
Maraknya pemakaian akronim dua kata di kalangan generasi milineal, merupakan suatu fenomena unik bagi perkembangan Bahasa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pengaruh penggunaan gawai sebagai alat komunikasi. Dengan gawai yang bukan lagi merupakan barang mewah dan akses internet yang mudah, generasi milineal menjadi lebih suka berkomunikasi melalui bahasa tulis. Media sosial menjadi rumah kedua bagi mereka.
Salah satu ciri generasi milineal adalah menyukai kepraktisan. Mereka tidak suka repot dengan tulisan, yang penting tujuan tersampaikan. Jadilah mereka menyingkat kata-kata agar hemat waktu dan, sedikit kuota. (Saya katakan sedikit karena penghematan beberapa huruf dan beberapa detik tidak akan mengurangi banyak kuota). Mereka menjadi piawai menciptakan kata-kata baru dan dengan cepat menyebarluaskannya di antara mereka. Tak butuh waktu lama bagi sebuah kata baru untuk menjadi viral di media sosial.
Dengan dalih penghematan, trend akronim dua kata ini semakin marak. Awalnya dilatarbelakangi kebutuhan hemat menulis, akhirnya merambah pula ke penghematan secara lisan, karena bahasa lisan dan tulis tidak bisa dipisahkan secara saklek. Dan akibatnya, akan tersisa sedikit saja yang masih akan tersesat ketika membaca kalimat yang mengandung akronim.
Memperkaya atau Merusak?
Sebagian dari akronim yang merupakan terjemahan bahasa asing sudah menjadi kosa kata resmi Bahasa Indonesia dan masuk dalam KBBI, misalnya kata surel (surat elektronik), daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan). Ketiganya merupakan terjemahan kata email, online dan offline. Dalam konteks seperti ini, akronim jelas memperkaya khasanah perbendaharaan kata Bahasa Indonesia. Bahasa berkembang seiring perkembangan zaman, maka memang dibutuhkan kata baru yang mewakili keadaan zaman itu. Alat-alat teknologi yang dulu belum ada sekarang menjadi ada, maka terciptalah kata benda baru. Pekerjaan yang dulu belum terpikirkan sekarang menjamur, maka lahirlah kata kerja baru pula.
Akan tetapi, menurut saya kita tidak boleh latah dalam menciptakan kata baru berdasarkan akronim dua kata atau lebih. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin, kata yang asli akan hilang. Generasi berikutnya bisa jadi tidak mengetahui kata dasar yang membentuk kata tersebut. Parahnya lagi, ketika dihadapkan pada kata aslinya, mereka malah tidak paham. Kondisi demikian bisa merusak keaslian Bahasa Indonesia.
Mencegah munculnya kata baru sama saja dengan mencegah tumbuhnya jamur di musim hujan. Tidak mungkin. Waktu terus berputar dan zaman terus berkembang. Perubahan yang serba cepat menuntut respon yang cepat pula, termasuk dari segi bahasa. Akronim merupakan alternatif respon berbahasa yang cepat, tepat, dan berterima. Karenanya, akronim akan terus menjadi kebutuhan dan -akhirnya- bagian dari keseharian kita. Akronim sebagai suatu penghematan boleh kita pakai, tetapi bukan untuk menyesatkan pemakai dari penangkapan makna yang sebenarnya.
Satu sikap penting yang harus kita jaga adalah kita harus memahami kapan dan dalam situasi bagaimana kita menggunakan akronim-akronim tersebut. Dalam situasi formal, menggunakan bahasa baku adalah sebuah keharusan. Bahasa baku digunakan sampai kapanpun dalam situasi formal, sedangkan akronim yang tidak baku suatu saat bisa hilang dan digantikan dengan yang lebih baru lagi. Pengarus-utamaan bahasa baku, baik secara lisan maupun tulis, harus dimasyarakatkan kembali untuk menjaga keaslian Bahasa Indonesia. Penambahan kosa kata baru bisa diterima dengan tetap menomorsatukan bahasa baku.
Oleh : Iis Nuryati, S.Pd. – Guru SMPIT Insan Kamil, Kab. Karanganyar